Setelah menanyakan informasi untuk memastikan bahwa orang yang berada di hadapannya adalah benar – benar Shankara Danapati, Arsyanendra kemudian meminta Shankara Danapati untuk membaca sumpah agar berkata yang sejujur - jujurnya dan berkata yang sebenar – benarnya atas semua pertanyaan yang kelak akan diajukan oleh Arsyanendra kepada Shankara Danapati dalam pengadilan terbuka hari ini.
“Saya, Shankara Danapati dengan ini bersumpah akan mengatakan yang sebenar – benarnya dan sejujur – jujurnya dalam pengadilan ini. Bila saya melanggar sumpah ini, saya akan bersedia dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku di Hindinia.”
Setelah Shankara Danapati mengucapkan sumpahnya, Arsyanendra mulai membacakan dakwaan yang ada dalam berkas istana kepada Shankara Danapati dan kemudian mulai mengajukan pertanyaan kepada Shankara Danapati.
“Apakah Tuan Shankara Danapati dapat menjelaskan ke mana perginya uang yang berada dalam pengawasan Departemen Perekonomia
Mendengar ucapan dari Arsyanendra yang begitu meyakinkan, satu per satu tangan dari kaum proletar kemudian terangkat ke atas. Sepuluh orang. Dua puluh orang. Lima puluh orang. . . . Dan kemudian sepanjang mata Arsyanendra memandang ke arah kaum proletar, rasanya yang terlihat di mata Arsyanendra hanyalah tangan kaum proletar yang mengacung ke atas dan berusaha untuk berbicara kepada Arsyanendra. Arsyanendra mengangkat tangannya lagi dan memberikan isyarat yang sama seperti sebelumnya. Isyarat itu berhasil memberikan membuat ratusan dan mungkin ribuan kaum proletar yang berdiri di hadapan Arsyanendra akhirnya berhenti untuk bicara kepada Arsyanendra dan kemudian menjadi tenang. “Wahai rakyatku,” panggil Arsyanendra sembari melemparkan senyumannya. “Aku punya banyak waktu untuk mendengarkan keluhan kalian semua.” Tanpa diberi perintah dan seolah mengerti apa yang ada di dalam pikiran Arsyanendra saat
“Ahh, aku terkejut. Ini pertama kalinya Tuan Yasawirya meninggikan nada suara Tuan sekaligus memperlihatkan raut wajah yang ketakutan di hadapanku.” “Maafkan sikapku yang lancang ini, Yang Mulia. Tapi saya benar – benar khawatir dengan perbuatan Yang Mulia ini. Yang Mulia baru naik takhta kurang dari setahun dan sekarang Yang Mulia sudah berani menantang kaum aristokrat bahkan sebelum kekuatan kaum proletar kembali. Ini tindakan yang gila dan berbahaya, Yang Mulia.” “Aku tahu hal itu dengan baik, Tuan Yasawirya. Tapi. . .” Arsyanendra yang tadinya duduk di hadapan Yasawirya Pramanaya kemudian bangkit dari duduknya dan kemudian berjalan mendekat ke Yasawirya Pramanaya. “Justru tindakan Tuan saat ini pun sama gilanya dengan tindakanku. Kenapa Tuan membahayakan posisi Tuan dan datang kemari? Tindakan Tuan saat ini mungkin bisa membuat Tuan berada dalam posisi yang sama bahayanya dengan posisiku.” “Janji, Yang Mulia. Sepuluh tahun yang lalu, aku
Virya terdiam mendengar ucapan Arsyanendra dengan senyuman di wajahnya. Virya tahu dengan baik bahwa tinggal di istana sangat menyiksa Arsyanendra karena istana ini pula adalah tempat di mana Davendra Balakosa yang merupakan ayah dari Arsyanendra meregang nyawanya. “Yang Mulia akan pergi ke mana?” tanya Virya dengan suara lembutnya. “Ke mana saja asal menjauh dari istana ini. Menjauh dari segala urusan berat yang membuatku bertambah tua sebelum waktunya.” Arsyanendra kemudian tersenyum lagi setelah mengatakan kata “bertambah tua sebelum waktunya” kepada Virya. Sementara Virya Balakosa yang mendengar ucapan Arsyanendra itu kemudian tertawa kecil dan berkata, “Yang Mulia tidak terlihat tua sebelum waktunya. Tidakkah Yang Mulia tahu bahwa Yang Mulia adalah satu dari beberapa orang dengan wajah yang sangat tampan di mata rakyat Hindinia?” “Aku tahu itu, Virya dan karena wajahku yang tampan ini, kelak aku akan kesulita
“Salam Tuanku, Tuan Arkatama. . .” Salah satu pengawal Arkatama Agastya datang menghadap kepada Arkatama Agastya yang sedang bersantai di depan kolam renangnya di kediaman miliknya. “Ya, Rando. Berita apa yang kamu dapatkan hingga mengganggu ketenanganku?” Rando menundukkan kepalanya sebagai bentuk permintaan maafnya karena sudah mengganggu ketenangan dari Tuannya. “Mohon maafkan kelancangan saya ini, Tuanku.” “Sudahlah, aku mengenalmu dengan baik, Rando. Kali ini, aku akan memaafkan kelancanganmu ini.” Arkatama Agastya kemudian membuka matanya dan menatap ke arah Rando yang berdiri menundukkan kepalanya tidak jauh dari tempatnya bersantai. “Jadi berita apa yang kamu bawa, Rando?” Rando kemudian mengeluarkan sebuah amplop dengan ukuran sedang dari balik jas hitamnya dan memberikannya kepada Arkatama Agastya. “Ini, Tuanku.” “Apa ini, Rando?” tanya Arkatama Agastya yang menerima p
Sorakan pujian untuk Arsyanendra kemudian terdengar menggema ke seluruh penjuru Jako Arta. Arsyanendra yang mendengar pujian itu kemudian tersenyum bahagia melihat kebahagiaan di mata rakyatnya saat ini. Arsyanendra kemudian berdiri dari duduknya dan mengangkat tangan kanannya sebagai isyarat kepada rakyatnya untuk berhenti berteriak dan tenang. Melihat tangan Arsyanendra yang naik, seluruh rakyat Hindinia yang hadir dalam pengadilan terbuka dalam sekejap berubah menjadi tenang. “Rakyatku. . .” kata Arsyanendra. “Ini semua terjadi berkat kalian semua. Pujian itu harusnya diberikan kepada kalian semua dan bukannya kepadaku. Berkat keberanian kalian yang berani berbicara kepada perwakilan – perwakilan yang aku pilih, maka hari ini saya bisa memberikan hukuman yang pantas, yang sesuai dengan perbuatan Tuan Shankara Danapati selama ini yang merugikan rakyat, yang merugikan Hindinia. Jadi. . . mulai hari ini, mulai detik ini, saya sebagai Raja Hindinia ingin m
Dengan kondisi bahu kanan yang terluka dan masih mengeluarkan darah, Arsyanendra kemudian turun dari meja hakim dan memberikan ketenangan kepada rakyatnya yang ketakutan. “Yang Mulia. . .” “Yang Mulia. . .” Kaum proletar yang bangkit dari posisi tiarapnya kemudian segera berteriak memanggil Arsyanendra ketika melihat luka Arsyanendra yang bersimbah darah dan masih berusaha untuk menenangkan rakyatnya yang ketakutan. Arsyanendra tersenyum memandang ke arah rakyatnya dan berkata lagi, “Ingatlah ini rakyatku. Aku sebagai Raja Hindinia pasti akan melindungi kalian semua.” Mendengar dan melihat Arsyanendra yang berusaha bertahan, Rakyat Hindinia yang terdiri dari mayoritas kaum proletar kemudian meneriakkan kembali pujian – pujian mereka kepada Arsyanendra. “Hidup, Yang Mulia Arsyanendra.” “Hidup, Yang Mulia Arsyanendra.” “Hidup, Yang Mulia Arsyanendra.” Di tengah
“Yang Mulia kita pasti punya banyak nyawa dalam hidupnya,” ujar Jazziel Catra. Setelah pulang dari pengadilan terbuka delapan kepala kaum aristokrat kecuali Yasawirya Pramanaya kemudian menghadiri rapat besar – besaran atas perintah dari Arkatama Agastya. “Benar, sepertinya Yang Mulia kita itu benar – benar diberkati oleh Tuhan. Setelah kudetanya melawan kita dan Raja Jahan Balakosa, Yang Mulia kita selamat bahkan tanpa luka serius. Kali ini pun, Yang Mulia berhasil menghindari peluru itu dan hanya membuat bahunya terluka,” ucap Ethan Bimasena yang setuju dengan pendapat Jazziel Catra. “Kita tidak bisa meremehkan Yang Mulia. Meski usianya masih muda, Yang Mulia adalah satu – satunya keturunan Davendra Balakosa yang dulunya adalah calon Raja Hindinia. Yang Mulia sendiri bahkan dianggap sebagai keajaiban yang lahir dalam seribu tahun sekali oleh Raja Ekaraj Balakosa di usianya yang baru menginjak sepuluh tahun. Jadi meremehkan Yang Mulia sama
“Uhuk. . .uhuk. . .” Suara batuk dari Ravania kemudian membuat Arsyanendra melepaskan pelukannya. “Maafkan saya, Yang Mulia. Saya tersedak oleh air liur saya sendiri.” “Aku juga yang bersalah karena memeluk Nona terlalu lama. Nona Ravania harus minum dulu.” Ravania kemudian mengambil gelas dari meja Arsyanendra dan segera menuangkan air. Dengan cepat, Ravania kemudian meminum air itu. Glup. . .glup. . . Begitu selesai meminum satu gelas air, Ravania kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Arsyanendra dan bertanya, “Haruskan saya memanggil Tuan Surendra sekarang, Yang Mulia?” “Ya, Nona. Tolong panggilkan Surendra kemari.” Ravania kemudian hendak berjalan ke arah pintu di kamar Arsyanendra, namun langkahnya terhenti dan justru kembali ke tempat Arsyanendra di mana Arsyanendra sedang duduk bersandar pada kepala tempat tidur. “Ada apa, Nona?” tanya Arsyanendra yang m
Ravania yang baru bisa kembali seminggu kemudian setelah menemani Zia Pramanaya yang terluka, berharap bisa bertemu dengan Arsyanendra ketika kembali ke ibu kota. Namun bukan kebahagiaan yang didapatkan Ravania ketika kembali ke ibu kota.Ini tidak mungkin, pikir Ravania.Begitu tiba di ibukota, seluruh bendera hitam di pasang di sepanjang jalan. Bendera yang sama seperti bendera di mana Raja Pertama dan Raja Kedua dinyatakan meninggal.“Maafkan aku, Nona Zia. Aku harus segera ke istana. Yang Mulia, aku harus bertemu dengan Yang Mulia.”Ravania berlari lebih dulu menuju ke istana dengan harapan bahwa apa yang terlintas di dalam benaknya saat ini adalah salah. Ravania mengabaikan para penjaga gerbang istana yang menundukkan kepalanya ketika melihat Ravania tiba. Ravania terus berlari dan mengabaikan banyak pelayan istana dan pengawal istana yang menundukkan kepalanya kepada Ravania dan memberikan salamnya kepada Ravania.
Ravania bersama dengan Virya dan Narendra butuh waktu dua hari untuk memastikan seluruh pasukan bantuan datang, membaginya menjadi empat dan membawanya ke ibu kota. Dalam perjalanannya, pasukan bantuan yang dikomandoi oleh Narendra masih harus melawan pasukan milik empat dewan penjaga perbatasan Hindinia yang akan berangkat ke ibu kota.Untuk melawan pasukan perbatasan yang dipimpin oleh empat kepala keluarga kaum aristokrat, Narendra dan pasukan tambahannya membutuhkan waktu tiga hari untuk menjatuhkan semua pasukan perbatasan. Di hari terakhir, Narendra bersama dengan pasukan bantuannya berhasil menyelamatkan pasukan yang dipimpin oleh Zia Pramanaya yang ditawan oleh pasukan perbatasan milik empat kepala keluarga kaum aristokrat.“Nona Zia,” teriak Ravania.“Akhirnya kalian datang, meski sedikit terlambat. . .”“Jangan banyak bicara, Nona Zia. Luka – luka Nona bisa semakin parah karena Nona ber
Persediaan makanan yang semakin menipis, jumlah pasukan yang terluka yang semakin banyak serta suara ledakan dari perang di ibu kota terdengar oleh Arsyanendra bersama dengan Surendra yang terus menyusun pasukannya bersama dengan panglimanya.“Pasukan milik Nona Zia juga mengalami hal yang sama, Yang Mulia. Mereka tidak akan bertahan lebih dari tiga hari menahan pasukan perbatasan yang datang dari empat penjuru arah.”“Lalu bagaimana jika pasukan milik Zia berhasil ditembus, berapa lama lagi kita bisa menahan pasukan milik Arkatama dan pasukan milik perbatasan?”Arsyanendra memikirkan kemungkinan terburuk dalam peperangan yang akan terjadi beberapa hari ke depan.“Paling lama tiga hari setelah pasukan milik Nona Zia ditembus, Yang Mulia. Jumlah makanan yang semakin menipis, obat – obatan yang juga semakin banyak serta banyak menimbang jumlah pasukan yang tersisa bersama dengan jumlah granat dan p
Keesokan harinya, Ravania bersama dengan Ardizya, Virya dan Narendra Balakosa pergi keluar istana dengan menggunakan jalur rahasia yang tersembunyi di hutan istana.“Guru, apa benar jika kita meninggalkan Yang Mulia seorang diri?”“Ini perintah Yang Mulia. Apapun yang terjadi kita harus melaksanakan perintahnya. Terlebih lagi. . . aku dan Virya punya tugas khusus yang harus kami kerjakan ketika berhasil keluar dari Jako Arta.”“Tugas? Tugas apa itu?”“Membawa pasukan dari negara tetangga,” jawab Virya Balakosa.“Apa maksudnya dengan itu, Nona Virya??”“Selain kalah jumlah, pasukan milik Yang Mulia lebih banyak berisi kaum proletar yang tidak ahli dalam berperang. Jadi Yang Mulia sengaja mengirimku keluar untuk meminta bantuan kepada negara tetangga dan membuatku untuk bernegosiasi dengan mereka.”Mulut Ravania tertutup sembari m
“Bagaimana dengan pasukan kita, Surendra? Jika seandainya kita berperang dalam waktu dekat, apakah kita akan siap untuk melawan mereka?”Arsyanendra yang menyadari perang sudah dekat kemudian mulai menyusun strategi dengan keadaan pasukan miliknya.“Mereka siap, Yang Mulia. Meski pasukan kita mungkin hanya setengah dari jumlah pasukan milik kaum aristokrat, tapi pasukan di bawah pimpinan Yang Mulia sudah siap untuk berperang.”“Kalau begitu seperti taktik perang sebelumnya, masukkan semua pasukan kita melalui jalan rahasia yang terhubung dengan hutan istana dan biarkan mereka membangun tenda di hutan istana untuk persiapan perang. Lalu siapkan titahku untuk dibawa oleh Virya dan Ravania nantinya. Sebelum perang terjadi, kita harus sudah mengeluarkan Ravania dan Virya dari ibu kota jika kita ingin menang dalam perang ini.”“Saya mengerti, Yang Mulia.”Surendra hendak kelua
“Lalu ke mana Indhira Darmawangsa yang asli selama ini berada?” tanya Narendra. “Kenapa kau harus bersusah payah membuat kembaran dari Indhira Darmawangsa untuk menggantikannya membantumu dan membuat keadaan semakin rumit, Arsyanendra??” “Tuan Narendra,” sela Surendra untuk kedua kalinya. Surendra hendak membuka mulutnya untuk berbicara menggantikan Arsyanendra namun niat Surendra yang terbaca oleh Arsyanendra lebih dulu, dengan cepat dihentikan oleh Arsyanendra dengan mengangkat tangannya lagi dan memberikan isyarat kepada Surendra untuk kedua kalinya. “Tapi, Yang Mulia. . .” kata Surendra. “Harus aku yang mengatakannya sendiri, Surendra,” jawab Arsyanendra kepada Surendra. Setelah berusaha untuk menenangkan Surendra, Arsyanendra kemudian mengalihkan pandangannya kepada Narendra dan memberikan jawaban yang diinginkan oleh Narendra. “Indhira Darmawangsa sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu.” “Men
Setelah mempermalukan tujuh kepala kaum aristokrat di depan istana, Arsyanendra kemudian memerintahkan kepada Surendra untuk membawa Bagram ke dalam istana dan menyembunyikannya di kamar Ravania. Sementara itu, Arsyanendra bersama dengan Ravania kemudian menikmati pesta yang diadakan untuk penobatan Ratu Hindinia yang digelar oleh istana. Dalam pesta penyambutannya, Arsyanendra kemudian mengenalkan banyak orang kepada Ravania dari presiden negara tetangga, Raja dari negara tetangga dan perwakilan dari beberapa negara yang sengaja datang ke Hindinia hanya untuk mengucapkan selamat kepada Ravania. Setelah empat jam pesta lamanya digelar, Ravania yang sudah sangat merasa lelah dengan jadwalnya yang padat selama sehari ini kemudian diperbolehkan untuk kembali ke kamarnya dan beristirahat. “Aku akan mengantarmu, Ratuku,” ucap Arsyanendra yang tiba – tiba muncul di samping Ravania dan menggandeng tangan Ravania. “. . .” Ravan
Arsyanendra yang sedang duduk di takhtanya kemudian bangkit ketika mendengar bisikan dari Surendra.“Mohon maafkan saya, Yang Mulia. Tapi Tuan Narendra mengirim pesan bahwa sesuatu yang buruk mungkin sedang terjadi saat ini gerbang istana.”Berusaha untuk tetap tersenyum dan bersikap seolah tidak terjadi apapun, Arsyanendra kemudian bertanya kepada Surendra.“Apa yang terjadi?”“Delapan kepala kaum aristokrat menghadap Nona Indhira yang baru saja memasuki istana.”“Kita pergi ke sana. Sepertinya kaum aristokrat sudah berusaha untuk melancarkan rencananya untuk menjatuhkan ratuku dan berusaha untuk memberi tahu padaku jika aku tidak akan pernah bisa menang dari mereka.”Setelah membalas ucapan Surendra, Arsyanendra kemudian melangkahkan kakinya dan berjalan menuju ke luar aula di mana saat ini Ravania sedang bersama dengan Narendra menghadapi tujuh kepala kelu
“Bagaimana?” tanya Surendra dari luar ruang ganti Ravania ketika Ravania sedang mengenakan gaun untuk penobatan dan mencoba jubah kerajaan yang tidak berbeda dengan yang selama ini dikenakan oleh Arsyanendra. “Apakah Nona Indhira merasa kurang pas?”“Tidak, Tuan Surendra. Tuan bisa memberitahu pada Yang Mulia, jika semua pakaian yang harus aku kenakan besok telah sesuai dan cocok denganku.”“Baiklah kalau begitu, Nona. Setelah ini saya akan memberi kabar kepada Yang Mulia jika Nona sudah mencoba semua pakaian yang ada. Lalu, Nona. . .”“Ya, Tuan Surendra,” potong Ravania yang masih berada di dalam ruang ganti sembari mengganti pakaiannya kembali.“Saya hanya ingin memberitahu kepada Nona, jika besok Nona akan mendapatkan pengawal pribadi seperti saya.”“Siapa yang akan jadi pengawal pribadi, Tuan Surendra?” tanya Ravania penasaran.