Sorakan pujian untuk Arsyanendra kemudian terdengar menggema ke seluruh penjuru Jako Arta. Arsyanendra yang mendengar pujian itu kemudian tersenyum bahagia melihat kebahagiaan di mata rakyatnya saat ini. Arsyanendra kemudian berdiri dari duduknya dan mengangkat tangan kanannya sebagai isyarat kepada rakyatnya untuk berhenti berteriak dan tenang.
Melihat tangan Arsyanendra yang naik, seluruh rakyat Hindinia yang hadir dalam pengadilan terbuka dalam sekejap berubah menjadi tenang.
“Rakyatku. . .” kata Arsyanendra. “Ini semua terjadi berkat kalian semua. Pujian itu harusnya diberikan kepada kalian semua dan bukannya kepadaku. Berkat keberanian kalian yang berani berbicara kepada perwakilan – perwakilan yang aku pilih, maka hari ini saya bisa memberikan hukuman yang pantas, yang sesuai dengan perbuatan Tuan Shankara Danapati selama ini yang merugikan rakyat, yang merugikan Hindinia. Jadi. . . mulai hari ini, mulai detik ini, saya sebagai Raja Hindinia ingin m
Dengan kondisi bahu kanan yang terluka dan masih mengeluarkan darah, Arsyanendra kemudian turun dari meja hakim dan memberikan ketenangan kepada rakyatnya yang ketakutan. “Yang Mulia. . .” “Yang Mulia. . .” Kaum proletar yang bangkit dari posisi tiarapnya kemudian segera berteriak memanggil Arsyanendra ketika melihat luka Arsyanendra yang bersimbah darah dan masih berusaha untuk menenangkan rakyatnya yang ketakutan. Arsyanendra tersenyum memandang ke arah rakyatnya dan berkata lagi, “Ingatlah ini rakyatku. Aku sebagai Raja Hindinia pasti akan melindungi kalian semua.” Mendengar dan melihat Arsyanendra yang berusaha bertahan, Rakyat Hindinia yang terdiri dari mayoritas kaum proletar kemudian meneriakkan kembali pujian – pujian mereka kepada Arsyanendra. “Hidup, Yang Mulia Arsyanendra.” “Hidup, Yang Mulia Arsyanendra.” “Hidup, Yang Mulia Arsyanendra.” Di tengah
“Yang Mulia kita pasti punya banyak nyawa dalam hidupnya,” ujar Jazziel Catra. Setelah pulang dari pengadilan terbuka delapan kepala kaum aristokrat kecuali Yasawirya Pramanaya kemudian menghadiri rapat besar – besaran atas perintah dari Arkatama Agastya. “Benar, sepertinya Yang Mulia kita itu benar – benar diberkati oleh Tuhan. Setelah kudetanya melawan kita dan Raja Jahan Balakosa, Yang Mulia kita selamat bahkan tanpa luka serius. Kali ini pun, Yang Mulia berhasil menghindari peluru itu dan hanya membuat bahunya terluka,” ucap Ethan Bimasena yang setuju dengan pendapat Jazziel Catra. “Kita tidak bisa meremehkan Yang Mulia. Meski usianya masih muda, Yang Mulia adalah satu – satunya keturunan Davendra Balakosa yang dulunya adalah calon Raja Hindinia. Yang Mulia sendiri bahkan dianggap sebagai keajaiban yang lahir dalam seribu tahun sekali oleh Raja Ekaraj Balakosa di usianya yang baru menginjak sepuluh tahun. Jadi meremehkan Yang Mulia sama
“Uhuk. . .uhuk. . .” Suara batuk dari Ravania kemudian membuat Arsyanendra melepaskan pelukannya. “Maafkan saya, Yang Mulia. Saya tersedak oleh air liur saya sendiri.” “Aku juga yang bersalah karena memeluk Nona terlalu lama. Nona Ravania harus minum dulu.” Ravania kemudian mengambil gelas dari meja Arsyanendra dan segera menuangkan air. Dengan cepat, Ravania kemudian meminum air itu. Glup. . .glup. . . Begitu selesai meminum satu gelas air, Ravania kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Arsyanendra dan bertanya, “Haruskan saya memanggil Tuan Surendra sekarang, Yang Mulia?” “Ya, Nona. Tolong panggilkan Surendra kemari.” Ravania kemudian hendak berjalan ke arah pintu di kamar Arsyanendra, namun langkahnya terhenti dan justru kembali ke tempat Arsyanendra di mana Arsyanendra sedang duduk bersandar pada kepala tempat tidur. “Ada apa, Nona?” tanya Arsyanendra yang m
Hari penentuan ujian kedua pemilihan Ratu Hindinia. . . Arsyanendra yang baru saja selesai mengenakan pakaiannya kemudian berjalan dengan tergesa – gesa dan membuat Surendra dan para pengawalnya harus berjalan cepat untuk mengimbangi langkah Arsyanendra. Hari ini. . . Arsyanendra berniat untuk meminta penjelasan kepada Ravania yang dengan sengaja membuat dirinya menjadi bidak dalam ujian pemilihan Ratu Hindinia. Setelah melewati lorong – lorong panjang di dalam istana, Arsyanendra yang berjalan lebih cepat dari biasanya kemudian dengan tiba – tiba menghentikan langkahnya dan membuat Surendra bersama dengan para pengawal istana yang mengikutinya tiba – tiba menarik rem tubuh mereka secara mendadak. “Itu dia. . .” gumam Arsyanendra, “akhirnya ketemu.” Arsyanendra yang baru enam puluh detik yang lalu tiba – tiba menghentikan langkahnya kemudian membuat kakinya melangkah lagi dengan cepat. “Nona Indhira. .
Napas Virya terhenti selama beberapa detik ketika mendengar permintaan yang keluar dari mulut Arsyanendra. “Virya??” Panggilan Arsyanendra itu kemudian mengembalikan napas Virya yang terhenti selama beberapa detik. “Apa kamu bisa melakukannya, Virya?” tanya Arsyanendra lagi. Spontan, Virya menganggukkan kepalanya dan menjawab, “Jika Yang Mulia sudah memberikan perintah, maka saya harus melakukannya. Tapi kenapa Yang Mulia ingin meminta bantuan Kakak?” “Ada alasan yang tidak bisa aku katakan sekarang padamu, Virya. Nanti. . . aku pasti akan mengatakannya padamu.” “Baiklah, saya mengerti. Yang Mulia pasti tidak akan memberikan perintah tanpa lebih dulu memikirkan akibatnya. Saya yakin perintah Yang Mulia selalu benar seperti perintah – perintah yang selalu Yang Mulia berikan pada saya.” Arsyanendra terkekeh mendengar jawaban juru dari mulut Virya Balakosa untuk pertama kalinya yang memberikan p
Mendengar nama Narendra Balakosa yang menggantikan Arsyanendra kemudian membuat delapan duta perwakilan melemahkan pertahanan mereka karena delapan duta perwakilan meremehkan kemampuan Narendra Balakosa dalam pertaruhan judi. Tapi pada kenyataannya, hanya dalam waktu singkat Narendra Balakosa berhasil memenangkan semua taruhan dan membuat kedelapan duta perwakilan harus menuruti perintah pihak yang menang. Arsyanendra bertepuk tangan dengan kencang ketika melihat kemenangan Narendra Balakosa yang menggantikan posisinya untuk bertaruh. “Lihatlah, kalian bahkan tidak bisa membuat orangku kalah dalam taruhan. . .” ucap Arsyanendra dengan senyuman kebanggaannya. “Saudara sepupu Yang Mulia memang orang yang hebat,” puji Gulzar duta perwakilan dari negara Bara yang berbatasan dengan gurun di utara Hindinia. “Ya, sepertinya semua pemilik darah Balakosa adalah orang yang berkualitas. Nona Virya Balakosa dikenal dengan kec
Aku harus membunuh gadis itu. . . Kalimat itu merasuk di dalam benak Variza Widyanatha yang tanpa sengaja melihat Arsyanendra dan Indhira Darmawangsa sebelum ujian tahap empat dimulai. Bagaimana gadis itu bisa membuat Yang Mulia tersenyum seperti itu? Bagaimana gadis itu bisa membuat Yang Mulia yang biasanya selalu menjaga jarak kini meniadakan jarak itu? Bagaimana bisa gadis itu yang memiliki kesempatan untuk membuat Yang Mulia melihatnya dengan tatapan penuh cinta? Bagaimana, bagaimana bisa?? Aku sungguh tidak terima. Aku benar – benar tidak terima jika aku kalah dari gadis sepertinya. # # # “Yang Mulia.” Panggilan Surendra itu kemudian membuat Arsyanendra yang belum lama duduk di ruangannya dan memejamkan mata sejenak, terkejut dan langsung membuka matanya. “Apakah saya mengganggu istirahat Yang Mulia?” tanya Surendra. “Tidak, Surendra. A
“Yang Mulia,” panggil Surendra. “Bisakah Yang Mulia tidak ikut dalam proses penyelamatan Nona Indhira?” “Tidak, Surendra. Indhira berada dalam bahaya karena aku. Jadi sudah seharusnya aku turun tangan langsung untuk menyelamatkannya.” “Tapi. . . luka Yang Mulia masih belum sembuh dengan benar,” ucap Surendra yang berusaha untuk menahan Arsyanendra. “Luka ini. . .” Arsyanendra menunjukkan bahunya dan menggerakkannya di depan Surendra. “Kamu lihat, luka ini hanyalah luka ringan bagiku. Dua minggu adalah waktu yang cukup untuk memulihkanku.” “Tapi. . .” “Tidak ada tapi – tapian lagi, Surendra,” potong Arsyanendra. “Saat ini. . . Indhira sedang berada dalam keadaan bahaya dan tidak bisa menunggu kita berdebat di sini.” Surendra tidak bisa lagi menahan dan menghentikan Arsyanendra yang sudah membulatkan tekadnya seperti kebiasaannya di masa lalu. Arsyanendra membuka kotak penyimpnan pistol m