“Uhuk. . .uhuk. . .”
Suara batuk dari Ravania kemudian membuat Arsyanendra melepaskan pelukannya.
“Maafkan saya, Yang Mulia. Saya tersedak oleh air liur saya sendiri.”
“Aku juga yang bersalah karena memeluk Nona terlalu lama. Nona Ravania harus minum dulu.”
Ravania kemudian mengambil gelas dari meja Arsyanendra dan segera menuangkan air. Dengan cepat, Ravania kemudian meminum air itu.
Glup. . .glup. . .
Begitu selesai meminum satu gelas air, Ravania kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Arsyanendra dan bertanya, “Haruskan saya memanggil Tuan Surendra sekarang, Yang Mulia?”
“Ya, Nona. Tolong panggilkan Surendra kemari.”
Ravania kemudian hendak berjalan ke arah pintu di kamar Arsyanendra, namun langkahnya terhenti dan justru kembali ke tempat Arsyanendra di mana Arsyanendra sedang duduk bersandar pada kepala tempat tidur.
“Ada apa, Nona?” tanya Arsyanendra yang m
Hari penentuan ujian kedua pemilihan Ratu Hindinia. . . Arsyanendra yang baru saja selesai mengenakan pakaiannya kemudian berjalan dengan tergesa – gesa dan membuat Surendra dan para pengawalnya harus berjalan cepat untuk mengimbangi langkah Arsyanendra. Hari ini. . . Arsyanendra berniat untuk meminta penjelasan kepada Ravania yang dengan sengaja membuat dirinya menjadi bidak dalam ujian pemilihan Ratu Hindinia. Setelah melewati lorong – lorong panjang di dalam istana, Arsyanendra yang berjalan lebih cepat dari biasanya kemudian dengan tiba – tiba menghentikan langkahnya dan membuat Surendra bersama dengan para pengawal istana yang mengikutinya tiba – tiba menarik rem tubuh mereka secara mendadak. “Itu dia. . .” gumam Arsyanendra, “akhirnya ketemu.” Arsyanendra yang baru enam puluh detik yang lalu tiba – tiba menghentikan langkahnya kemudian membuat kakinya melangkah lagi dengan cepat. “Nona Indhira. .
Napas Virya terhenti selama beberapa detik ketika mendengar permintaan yang keluar dari mulut Arsyanendra. “Virya??” Panggilan Arsyanendra itu kemudian mengembalikan napas Virya yang terhenti selama beberapa detik. “Apa kamu bisa melakukannya, Virya?” tanya Arsyanendra lagi. Spontan, Virya menganggukkan kepalanya dan menjawab, “Jika Yang Mulia sudah memberikan perintah, maka saya harus melakukannya. Tapi kenapa Yang Mulia ingin meminta bantuan Kakak?” “Ada alasan yang tidak bisa aku katakan sekarang padamu, Virya. Nanti. . . aku pasti akan mengatakannya padamu.” “Baiklah, saya mengerti. Yang Mulia pasti tidak akan memberikan perintah tanpa lebih dulu memikirkan akibatnya. Saya yakin perintah Yang Mulia selalu benar seperti perintah – perintah yang selalu Yang Mulia berikan pada saya.” Arsyanendra terkekeh mendengar jawaban juru dari mulut Virya Balakosa untuk pertama kalinya yang memberikan p
Mendengar nama Narendra Balakosa yang menggantikan Arsyanendra kemudian membuat delapan duta perwakilan melemahkan pertahanan mereka karena delapan duta perwakilan meremehkan kemampuan Narendra Balakosa dalam pertaruhan judi. Tapi pada kenyataannya, hanya dalam waktu singkat Narendra Balakosa berhasil memenangkan semua taruhan dan membuat kedelapan duta perwakilan harus menuruti perintah pihak yang menang. Arsyanendra bertepuk tangan dengan kencang ketika melihat kemenangan Narendra Balakosa yang menggantikan posisinya untuk bertaruh. “Lihatlah, kalian bahkan tidak bisa membuat orangku kalah dalam taruhan. . .” ucap Arsyanendra dengan senyuman kebanggaannya. “Saudara sepupu Yang Mulia memang orang yang hebat,” puji Gulzar duta perwakilan dari negara Bara yang berbatasan dengan gurun di utara Hindinia. “Ya, sepertinya semua pemilik darah Balakosa adalah orang yang berkualitas. Nona Virya Balakosa dikenal dengan kec
Aku harus membunuh gadis itu. . . Kalimat itu merasuk di dalam benak Variza Widyanatha yang tanpa sengaja melihat Arsyanendra dan Indhira Darmawangsa sebelum ujian tahap empat dimulai. Bagaimana gadis itu bisa membuat Yang Mulia tersenyum seperti itu? Bagaimana gadis itu bisa membuat Yang Mulia yang biasanya selalu menjaga jarak kini meniadakan jarak itu? Bagaimana bisa gadis itu yang memiliki kesempatan untuk membuat Yang Mulia melihatnya dengan tatapan penuh cinta? Bagaimana, bagaimana bisa?? Aku sungguh tidak terima. Aku benar – benar tidak terima jika aku kalah dari gadis sepertinya. # # # “Yang Mulia.” Panggilan Surendra itu kemudian membuat Arsyanendra yang belum lama duduk di ruangannya dan memejamkan mata sejenak, terkejut dan langsung membuka matanya. “Apakah saya mengganggu istirahat Yang Mulia?” tanya Surendra. “Tidak, Surendra. A
“Yang Mulia,” panggil Surendra. “Bisakah Yang Mulia tidak ikut dalam proses penyelamatan Nona Indhira?” “Tidak, Surendra. Indhira berada dalam bahaya karena aku. Jadi sudah seharusnya aku turun tangan langsung untuk menyelamatkannya.” “Tapi. . . luka Yang Mulia masih belum sembuh dengan benar,” ucap Surendra yang berusaha untuk menahan Arsyanendra. “Luka ini. . .” Arsyanendra menunjukkan bahunya dan menggerakkannya di depan Surendra. “Kamu lihat, luka ini hanyalah luka ringan bagiku. Dua minggu adalah waktu yang cukup untuk memulihkanku.” “Tapi. . .” “Tidak ada tapi – tapian lagi, Surendra,” potong Arsyanendra. “Saat ini. . . Indhira sedang berada dalam keadaan bahaya dan tidak bisa menunggu kita berdebat di sini.” Surendra tidak bisa lagi menahan dan menghentikan Arsyanendra yang sudah membulatkan tekadnya seperti kebiasaannya di masa lalu. Arsyanendra membuka kotak penyimpnan pistol m
“Sudah kukatakan, aku baik – baik saja, Surendra.” Arsyanendra mengulang lagi kalimatnya ketika melihat Surendra yang berdiri di samping tempat tidurnya dengan wajah cemas. “Kenapa Yang Mulia melakukan hal berbahaya itu lagi?” tanya Surendra yang telah kehilangan kesabarannya. “Sebelum ini, Yang Mulia terluka karena kelalaian saya yang tidak cakap dalam menjaga Yang Mulia. Hari ini. . . lagi – lagi, Yang Mulia menerjang bahaya padahal ada banyak pasukan yang bisa menangkap pelaku penembakan itu tanpa harus turun tangan dari Yang Mulia.” Arsyanendra menghela napas panjang sembari menahan rasa sakit di kaki kanannya yang terluka karena tergores peluru yang datang ke arahnya. “Aku maju bukan tanpa alasan, Surendra. Aku maju karena aku yakin, aku tidak akan terbunuh dalam penembakan tadi,” jelas Arsyanendra. “Tadi saat melihat peluru yang meluncur ke arah Indhira, aku mengenali peluru itu. Peluru itu adalah milik pelayan kesayangan
Suara percakapan antara Arsyanendra dan Surendra berhasil membuat Ravania yang tertidur di samping tempat tidur Arsyanendra kemudian membuka matanya. Masih dengan mengerjap – ngerjapkan kelopak matanya, Ravania mengangkat kepalanya dan menatap ke arah Arsyanendra dengan tatapan datar. “Selamat pagi, Nona Indhira. . .” ucap Arsyanendra dan Surendra bersama – sama. Dua suara yang mengucapkan selamat pagi, membuat Ravania kemudian menatap ke arah Arsyanendra dan Surendra secara bergantian. Dan begitu sadar, Ravania kemudian berteriak, “Uwaaaaahhh. . . kenapa Tuan Surendra sudah ada di sini? Kenapa Yang Mulia juga ada di sini?” “Sepertinya Nona lupa jika semalam Nona tertidur di kamarku dan bukan kamar Nona,” ucap Arsyanendra yang kemudian mengangkat tangannya yang masih digenggam oleh Ravania. “Uwahhh,” teriak Ravania untuk kedua kalinya dan langsung melepaskan genggaman tangannya di tangan Arsyanendra. Ravania langs
“Maafkan aku, Nona Indhira. Aku dengar kemarin Nona mengalami insiden dan sekarang masih harus menemani aku,” jelas Zia Pramanaya yang duduk di samping Ravania. “Tidak perlu sungkan, Nona Zia. Lagi pula, aku tidak sengaja membuat kesalahan kepada Yang Mulia dan menemani Nona Zia adalah caraku membayar kesalahanku kepada Yang Mulia,” jawab Ravania dengan tersenyum malu. “Sepertinya. . . hubungan Nona dengan Yang Mulia lebih dekat dari yang aku kira,” kata Zia Pramanaya. Ravania terkekeh, “Heh, benarkah terlihat seperti itu, Nona? Saya kira hubungan saya dengan Yang Mulia hanya sebatas teman saja mengingat ayah kami adalah sahabat dulunya.” “Aku jelas melihat bahwa Yang Mulia melihat Nona Indhira dengan tatapan yang berbeda ketika menatap gadis lainnya. Bahkan selama ini aku mengira bahwa Nona Virya lah yang paling dekat dengan Yang Mulia, namun ternyata pandanganku itu salah. Yang Mulia memandang Nona Indhira dengan tatapan berbeda. M