Suara percakapan antara Arsyanendra dan Surendra berhasil membuat Ravania yang tertidur di samping tempat tidur Arsyanendra kemudian membuka matanya.
Masih dengan mengerjap – ngerjapkan kelopak matanya, Ravania mengangkat kepalanya dan menatap ke arah Arsyanendra dengan tatapan datar.
“Selamat pagi, Nona Indhira. . .” ucap Arsyanendra dan Surendra bersama – sama.
Dua suara yang mengucapkan selamat pagi, membuat Ravania kemudian menatap ke arah Arsyanendra dan Surendra secara bergantian. Dan begitu sadar, Ravania kemudian berteriak, “Uwaaaaahhh. . . kenapa Tuan Surendra sudah ada di sini? Kenapa Yang Mulia juga ada di sini?”
“Sepertinya Nona lupa jika semalam Nona tertidur di kamarku dan bukan kamar Nona,” ucap Arsyanendra yang kemudian mengangkat tangannya yang masih digenggam oleh Ravania.
“Uwahhh,” teriak Ravania untuk kedua kalinya dan langsung melepaskan genggaman tangannya di tangan Arsyanendra. Ravania langs
“Maafkan aku, Nona Indhira. Aku dengar kemarin Nona mengalami insiden dan sekarang masih harus menemani aku,” jelas Zia Pramanaya yang duduk di samping Ravania. “Tidak perlu sungkan, Nona Zia. Lagi pula, aku tidak sengaja membuat kesalahan kepada Yang Mulia dan menemani Nona Zia adalah caraku membayar kesalahanku kepada Yang Mulia,” jawab Ravania dengan tersenyum malu. “Sepertinya. . . hubungan Nona dengan Yang Mulia lebih dekat dari yang aku kira,” kata Zia Pramanaya. Ravania terkekeh, “Heh, benarkah terlihat seperti itu, Nona? Saya kira hubungan saya dengan Yang Mulia hanya sebatas teman saja mengingat ayah kami adalah sahabat dulunya.” “Aku jelas melihat bahwa Yang Mulia melihat Nona Indhira dengan tatapan yang berbeda ketika menatap gadis lainnya. Bahkan selama ini aku mengira bahwa Nona Virya lah yang paling dekat dengan Yang Mulia, namun ternyata pandanganku itu salah. Yang Mulia memandang Nona Indhira dengan tatapan berbeda. M
Arsyanendra memang terkejut dan tergiur dengan sesuatu yang keluar dari mulut Shankara.Namun sebagai seseorang yang sudah berpengalaman dalam menghadapi orang – orang dengan mulut berbisa seperti Shankara Danati, Arsyanendra yang tergiur dengan cepat menyembunyikan perasaannya itudan bersikap seolah tidak peduli seperti yang selama ini dilakukannya ketika berhadapan dengan kaum aristokrat. “Kenapa aku harus percaya ucapan Tuan? Bisa saja Tuan hanya membual dan mengatakan kata – kata kosong hanya agar aku menyelamatkan putri Tuan.” “Tidak, Yang Mulia. Saya mungkin suka membual, saya mungkin suka berbohong untuk mendapatkan banyak uang. Tapi saya tidak akan main – main jika menyangkut nyawa anak saya , Zhafiro.” Arsyanendra melirik tajam ke arah Shankara Danapati dan melihat ke dalam mata Shankara Danapati. “Apakah Tuan lupa jika putri Tuan itu bahkan bersikap seolah tidak kenal dengan Tuan ketika berada dalam pengadi
“Bagaimana dengan persiapan untuk pemilu?” tanya Arsyanendra yang duduk di ruang kerjanya ketika Surendra datang untuk memberikan laporannya. “Semua sudah siap, Yang Mulia. Minggu depan seluruh rakyat Hindinia akan mengeluarkan suara mereka untuk pemilihan Ratu Hindinia.” “Lalu bagaimana dengan nama Variza Widyanatha?” tanya Arsyanendra lagi. “Sudah dihapus dalam daftar nama calon Ratu. Berita mengenai serangan yang terjadi kepada Nona Indhira atas perintah Nona Variza juga sudah disebarkan ke seluruh Hindinia. Begitu pula dengan berita mengenai Nona Zhafiro.” “Bagus. . . itu artinya pemilihan umum kali ini hanya akan ada dua kandidat yang nantinya akan terpilih. Ini pertarungan antara Indhira dan Zia. Lalu jika Zia memang akan memihak pada kita seperti yang dikatakannya maka kemenangan mutlak akan jatuh ke tangan Indhira seperti yang kita inginkan. . ,” jelas Arsyanendra. “Tapi. . .” “Tapi apa, Yang Mulia?”
“Saya akan melakukannya, Yang Mulia. . .” teriak Narendra. Narendra kemudian mengangkat tangan kirinya lagi dan tubuhnya bergerak dengan cepat ke arah Arsyanendra. Kali ini. . . Narendra benar – benar ingin memukul Arsyanendra. Kali ini. . . Narendra benar – benar ingin membalas sepupunya yang selalu mengalahkannya dalam segala hal dalam hidupnya. Buk. . . Pukulan Narendra mendarat di tempat yang sama dengan tempat di mana pukulan Narendra mendarat di wajah Arsyanendra. “Yang Mulia!” Surendra berteriak kencang dan segera berlari ke arah Arsyanendra ketika melihat Arsyanendra untuk kedua kalinya terpental setelah menerima pukulan dari Narendra. Namun untuk kedua kalinya juga, Arsyanendra mengangkat tangan kanannya dan memberikan isyarat kepada Surendra untuk tetap diam di tempat dan tidak mengganggunya. “Tapi. . . Yang Mulia. . .” teriak Surendra yang langkah kakinya tertahan oleh isyarat Arsy
“Apa maksud ucapan itu, Yang Mulia?” tanya Narendra yang terkejut mendengar jawaban dari mulut Arsyanendra. “Yang Mulia ingin menyerahkan takhta ini kepada Virya nantinya?”“Kenapa, Narendra?” tanya balik Arsyanendra dengan menatap tajam ke arah Narendra. “Kamu tidak yakin jikaVirya, adikmu mampu menduduki takhta dan memimpin Hindinia? Harusnya kamu tahu dengan baik, Virya adalah kandidat terbaik yang mampu memimpin Hindinia. Virya adalah gadis yang bijak, gadis yang cerdas dan anggun. Virya memiliki kecakapan layaknya seorang raja, Narendra.”“Tapi. . . dia adalah seorang wa. . .”Narendra belum menyelesaikan kalimatnya ketika Arsyanendra dengan cepat memotong ucapan Narendra.“Seorang wanita??” potong Arsyanendra. “Kenapa memangnya dengan seorang wanita? Apa hanya karena terlahir sebagai seorang wanita, maka tidak bisa menjadi pemimpin yang baik d
Setelah meninggalkan Ravania bersama dengan pengawal istana kepercayaan Surendra, Arsyanendra kemudian berjalan dengan Surendra danbeberapa pasukan pengawal istana menuju ke penjara istana di mana Gyan dan Variza Widyanatha ditemukan tewas. Selama perjalanan menuju ke penjara istana, Surendra membagi pengawal istana untuk menjaga seluruh gerbang dan menutup gerbang. Surendra juga meminta beberapa pengawal istana untuk mengirim pesan melalui orang – orang kepercayaan Surendra yang bekerja di luar,ke kediaman Balakosa di mana Virya dan Narendra Balakosa tinggal. “Yang Mulia.” Panggilan Surendra itu, tidak mampu membuat langkah Arsyanendra terhenti karena perasaan ingin tahunya melihat keadaan Gyan dan Variza Widyanatha yang tewas di dalam penjaranya. “Kita terlambat, Yang Mulia.” Langkah Arsyanendra terhenti dan membuat semua pasukan pengawal istana yang mengikutinya dari belakang kemudian serentak menarik rem di kaki
“Apa yang baru saja kamu katakan, Rando??” tanya Arkatama Agastya dengan raut wajah tidak percaya. “Apa aku tidak salah dengar??”Rando memberikan anggukan kepala kepada Arkatama Agastya, “Ya, Tuanku. Itu yang saya lihat dari cara Yang Mulia menatap Nona Indhira. Meski tidak seratus persen, tapi saya yakin Yang Mulia menyukai Nona Indhira layaknya perasaan pria kepada wanita.”Setelah meminta Rando untuk meninggalkan ruangannya, Arkatama Agastya kemudian duduk di kursinya dan merenungkan kembali ucapan Rando yang baru saja didengarnya. Antara percaya dan tidak percaya, Arkatama Agastya kemudian berusaha menggali ke dalam ingatannya tentang Arsyanendra dan Indhira Darmawangsa.Kenangan kemudian mengalir di dalam benak Arkatama Agastya dari pengumuman tiba – tiba Arsyanendra yang membawa Indhira Darmawangsa menjadi satu dari empat kandidat calon Ratu Hindinia.Kenangan Arkatama Agastya kemudian mem
Pengumuman hasil pemilihan umum Ratu Hindinia menjadi hari di mana Ravania yang menyamar sebagai Indhira Darmawangsa juga dinobatkan sebagai Ratu Hindinia dan ketika Ravania mengetahui hasil pemilihan umum dari Virya Balakosa, perasaan Ravania bercampur aduk menjadi satu. Namun prosesi penobatan Ratu Hindinia dilakukan seminggu setelah pengumuman karena persiapan yang diperlukan dalam prosesnya sama seperti ketika Arsyanendra dinobatkan sebagai Raja Ketiga Hindinia. Ravania kelak juga harus berkeliling menyapa rakyat Hindinia di Jako Arta seperti yang pernah dilalui oleh Arsyanendra.“Selamat, Nona Indhira,” ucap Virya Balakosa memberikan selamat kepada Ravania.Tidak lama kemudian Zia Pramanaya yang juga terpaksa tinggal di dalam istana Hindinia pun mengucapkan selamat kepada Ravania dengan wajah bahagia.“Selamat, Nona Indhira.”Ravania tersenyum menerima ucapan selamat dari Zia Pramanaya dan Virya Balakos
Ravania yang baru bisa kembali seminggu kemudian setelah menemani Zia Pramanaya yang terluka, berharap bisa bertemu dengan Arsyanendra ketika kembali ke ibu kota. Namun bukan kebahagiaan yang didapatkan Ravania ketika kembali ke ibu kota.Ini tidak mungkin, pikir Ravania.Begitu tiba di ibukota, seluruh bendera hitam di pasang di sepanjang jalan. Bendera yang sama seperti bendera di mana Raja Pertama dan Raja Kedua dinyatakan meninggal.“Maafkan aku, Nona Zia. Aku harus segera ke istana. Yang Mulia, aku harus bertemu dengan Yang Mulia.”Ravania berlari lebih dulu menuju ke istana dengan harapan bahwa apa yang terlintas di dalam benaknya saat ini adalah salah. Ravania mengabaikan para penjaga gerbang istana yang menundukkan kepalanya ketika melihat Ravania tiba. Ravania terus berlari dan mengabaikan banyak pelayan istana dan pengawal istana yang menundukkan kepalanya kepada Ravania dan memberikan salamnya kepada Ravania.
Ravania bersama dengan Virya dan Narendra butuh waktu dua hari untuk memastikan seluruh pasukan bantuan datang, membaginya menjadi empat dan membawanya ke ibu kota. Dalam perjalanannya, pasukan bantuan yang dikomandoi oleh Narendra masih harus melawan pasukan milik empat dewan penjaga perbatasan Hindinia yang akan berangkat ke ibu kota.Untuk melawan pasukan perbatasan yang dipimpin oleh empat kepala keluarga kaum aristokrat, Narendra dan pasukan tambahannya membutuhkan waktu tiga hari untuk menjatuhkan semua pasukan perbatasan. Di hari terakhir, Narendra bersama dengan pasukan bantuannya berhasil menyelamatkan pasukan yang dipimpin oleh Zia Pramanaya yang ditawan oleh pasukan perbatasan milik empat kepala keluarga kaum aristokrat.“Nona Zia,” teriak Ravania.“Akhirnya kalian datang, meski sedikit terlambat. . .”“Jangan banyak bicara, Nona Zia. Luka – luka Nona bisa semakin parah karena Nona ber
Persediaan makanan yang semakin menipis, jumlah pasukan yang terluka yang semakin banyak serta suara ledakan dari perang di ibu kota terdengar oleh Arsyanendra bersama dengan Surendra yang terus menyusun pasukannya bersama dengan panglimanya.“Pasukan milik Nona Zia juga mengalami hal yang sama, Yang Mulia. Mereka tidak akan bertahan lebih dari tiga hari menahan pasukan perbatasan yang datang dari empat penjuru arah.”“Lalu bagaimana jika pasukan milik Zia berhasil ditembus, berapa lama lagi kita bisa menahan pasukan milik Arkatama dan pasukan milik perbatasan?”Arsyanendra memikirkan kemungkinan terburuk dalam peperangan yang akan terjadi beberapa hari ke depan.“Paling lama tiga hari setelah pasukan milik Nona Zia ditembus, Yang Mulia. Jumlah makanan yang semakin menipis, obat – obatan yang juga semakin banyak serta banyak menimbang jumlah pasukan yang tersisa bersama dengan jumlah granat dan p
Keesokan harinya, Ravania bersama dengan Ardizya, Virya dan Narendra Balakosa pergi keluar istana dengan menggunakan jalur rahasia yang tersembunyi di hutan istana.“Guru, apa benar jika kita meninggalkan Yang Mulia seorang diri?”“Ini perintah Yang Mulia. Apapun yang terjadi kita harus melaksanakan perintahnya. Terlebih lagi. . . aku dan Virya punya tugas khusus yang harus kami kerjakan ketika berhasil keluar dari Jako Arta.”“Tugas? Tugas apa itu?”“Membawa pasukan dari negara tetangga,” jawab Virya Balakosa.“Apa maksudnya dengan itu, Nona Virya??”“Selain kalah jumlah, pasukan milik Yang Mulia lebih banyak berisi kaum proletar yang tidak ahli dalam berperang. Jadi Yang Mulia sengaja mengirimku keluar untuk meminta bantuan kepada negara tetangga dan membuatku untuk bernegosiasi dengan mereka.”Mulut Ravania tertutup sembari m
“Bagaimana dengan pasukan kita, Surendra? Jika seandainya kita berperang dalam waktu dekat, apakah kita akan siap untuk melawan mereka?”Arsyanendra yang menyadari perang sudah dekat kemudian mulai menyusun strategi dengan keadaan pasukan miliknya.“Mereka siap, Yang Mulia. Meski pasukan kita mungkin hanya setengah dari jumlah pasukan milik kaum aristokrat, tapi pasukan di bawah pimpinan Yang Mulia sudah siap untuk berperang.”“Kalau begitu seperti taktik perang sebelumnya, masukkan semua pasukan kita melalui jalan rahasia yang terhubung dengan hutan istana dan biarkan mereka membangun tenda di hutan istana untuk persiapan perang. Lalu siapkan titahku untuk dibawa oleh Virya dan Ravania nantinya. Sebelum perang terjadi, kita harus sudah mengeluarkan Ravania dan Virya dari ibu kota jika kita ingin menang dalam perang ini.”“Saya mengerti, Yang Mulia.”Surendra hendak kelua
“Lalu ke mana Indhira Darmawangsa yang asli selama ini berada?” tanya Narendra. “Kenapa kau harus bersusah payah membuat kembaran dari Indhira Darmawangsa untuk menggantikannya membantumu dan membuat keadaan semakin rumit, Arsyanendra??” “Tuan Narendra,” sela Surendra untuk kedua kalinya. Surendra hendak membuka mulutnya untuk berbicara menggantikan Arsyanendra namun niat Surendra yang terbaca oleh Arsyanendra lebih dulu, dengan cepat dihentikan oleh Arsyanendra dengan mengangkat tangannya lagi dan memberikan isyarat kepada Surendra untuk kedua kalinya. “Tapi, Yang Mulia. . .” kata Surendra. “Harus aku yang mengatakannya sendiri, Surendra,” jawab Arsyanendra kepada Surendra. Setelah berusaha untuk menenangkan Surendra, Arsyanendra kemudian mengalihkan pandangannya kepada Narendra dan memberikan jawaban yang diinginkan oleh Narendra. “Indhira Darmawangsa sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu.” “Men
Setelah mempermalukan tujuh kepala kaum aristokrat di depan istana, Arsyanendra kemudian memerintahkan kepada Surendra untuk membawa Bagram ke dalam istana dan menyembunyikannya di kamar Ravania. Sementara itu, Arsyanendra bersama dengan Ravania kemudian menikmati pesta yang diadakan untuk penobatan Ratu Hindinia yang digelar oleh istana. Dalam pesta penyambutannya, Arsyanendra kemudian mengenalkan banyak orang kepada Ravania dari presiden negara tetangga, Raja dari negara tetangga dan perwakilan dari beberapa negara yang sengaja datang ke Hindinia hanya untuk mengucapkan selamat kepada Ravania. Setelah empat jam pesta lamanya digelar, Ravania yang sudah sangat merasa lelah dengan jadwalnya yang padat selama sehari ini kemudian diperbolehkan untuk kembali ke kamarnya dan beristirahat. “Aku akan mengantarmu, Ratuku,” ucap Arsyanendra yang tiba – tiba muncul di samping Ravania dan menggandeng tangan Ravania. “. . .” Ravan
Arsyanendra yang sedang duduk di takhtanya kemudian bangkit ketika mendengar bisikan dari Surendra.“Mohon maafkan saya, Yang Mulia. Tapi Tuan Narendra mengirim pesan bahwa sesuatu yang buruk mungkin sedang terjadi saat ini gerbang istana.”Berusaha untuk tetap tersenyum dan bersikap seolah tidak terjadi apapun, Arsyanendra kemudian bertanya kepada Surendra.“Apa yang terjadi?”“Delapan kepala kaum aristokrat menghadap Nona Indhira yang baru saja memasuki istana.”“Kita pergi ke sana. Sepertinya kaum aristokrat sudah berusaha untuk melancarkan rencananya untuk menjatuhkan ratuku dan berusaha untuk memberi tahu padaku jika aku tidak akan pernah bisa menang dari mereka.”Setelah membalas ucapan Surendra, Arsyanendra kemudian melangkahkan kakinya dan berjalan menuju ke luar aula di mana saat ini Ravania sedang bersama dengan Narendra menghadapi tujuh kepala kelu
“Bagaimana?” tanya Surendra dari luar ruang ganti Ravania ketika Ravania sedang mengenakan gaun untuk penobatan dan mencoba jubah kerajaan yang tidak berbeda dengan yang selama ini dikenakan oleh Arsyanendra. “Apakah Nona Indhira merasa kurang pas?”“Tidak, Tuan Surendra. Tuan bisa memberitahu pada Yang Mulia, jika semua pakaian yang harus aku kenakan besok telah sesuai dan cocok denganku.”“Baiklah kalau begitu, Nona. Setelah ini saya akan memberi kabar kepada Yang Mulia jika Nona sudah mencoba semua pakaian yang ada. Lalu, Nona. . .”“Ya, Tuan Surendra,” potong Ravania yang masih berada di dalam ruang ganti sembari mengganti pakaiannya kembali.“Saya hanya ingin memberitahu kepada Nona, jika besok Nona akan mendapatkan pengawal pribadi seperti saya.”“Siapa yang akan jadi pengawal pribadi, Tuan Surendra?” tanya Ravania penasaran.