Bab 39
"Mau ke mana kamu?"
Sasha yang tengah sibuk memindahkan beberapa pakaiannya dari dalam koper ke dalam sebuah ransel agar tak membawa terlalu banyak barang, menoleh. Didapatinya Karel berdiri di ambang pintu kamar dengan tangan yang bersidekap di depan dada. Sejenak ia gelagapan. Namun segera ia mengatur wajah dan suaranya agar terdengar normal.
Lagipula ia heran sekali, seingatnya semalam kakaknya ini masih mendiamkannya usai marah besar karena keikutsertaannya dalam menggagalkan pernikahan Kak Nala. Tapi kenapa sekarang sudah mengajaknya bicara lagi? Tidak bisa ditunda sajakah inisiatifnya itu untuk menegurnya? Ya, setidaknya sampai setelah keberangkatannya.
"Biasa, liburan," sahut Sasha sok tak acuh. Padahal jantungnya sudah berpacu dengan cepat, takut Karel dan membaca gelagat anehnya. Sebab seberapa pun keranjingannya ia berlibur, ia belum pernah berangkat liburan hanya setelah bebe
Bab 40Gathan menatap lekat layar ponselnya. Netranya fokus pada sebuah wajah berbingkai bundar di sana. Kemarin ia berjanji untuk melepaskan segalanya; mulai dari sosoknya, hingga kenangan tentangnya. Namun nyatanya, ia kembali lagi ke sini. Menatap wajah yang begitu akrab itu lamat-lamat, meresapi setiap rasa perih, getir, rindu, serta kebas yang datang silih berganti. Memang cari mati.Ibu jari Gathan mengusap layar ponselnya ke atas. Kolase foto itu masih sama dengan satu pekan yang lewat. Tak ada tambahan foto baru; foto pernikahan, misalnya. Namun hal itu justru membuat Gathan bersyukur, setidaknya patah hati itu masih tertunda—persetan dengan melepas dengan ikhlas! Niat memang mudah, melakoninya ternyata lebih susah dari yang ia kira.Jika ia pikir-pikir, Fanala itu memang semacam candu baginya. Dulu ketika ia masih remaja, ia kecanduan menemui Fanala hingga berkali-kali meninggalkan barangnya d
Sasha menekan bel di sisi pintu. Tak lama, pintu terkuak, menampakkan wajah Kak Arbii yang lusuh. Kelihatannya mantan-calon-suami-Kak-Nala itu baru bangun tidur.Selewat beberapa detik mengerjap memandangi tamunya, Kak Arbii bergeser lalu membuka pintu lebih lebar, mempersilahkan Sasha untuk masuk."Masih bisa molor lo, Kak," ujar Sasha, melangkah melewati ambang pintu."Semalem gue gak bisa tidur sama sekali," balas Kak Arbii, mengekori Sasha. "Gak usah merendahkan kesedihan gue ya, lo.""Halah," balas Sasha, menempati sofa panjang berwarna biru pastel. Di biarkannya ranselnya tergeletak di lantai. "Sedih dibikin sendiri. Sok sadboy lo, Kak.""Bacot lo, Sha!"Kak Arbii melemparkan tubuh ke sisi Sasha, menumpukan kakinya yang berselonjor di atas pahanya, yang segera ia tepis hingga jatuh ke lantai. "Berat banget kaki lo, Kak!" omelnya. "
Arbii duduk bersama Sasha dalam satu sofa panjang yang tadi sempat mereka tempati bersama. Mereka berdua duduk menghadap Karel yang berlaku seolah hakim yang akan menghukum mereka hanya karena imajinasinya yang liar.Arbii sebetulnya tak terlalu peduli dengan asumsi Karel yang tidak-tidak. Ia hanya khawatir jika Fanala muncul tiba-tiba dan rencana mereka terbongkar. Sebab sama sekali tak ada jaminan Karel akan bungkam dari keluarga mereka, bahkan bila ia memohon seraya bersujud di hadapannya agar merahasiakan kenyataan bila Fanala lah yang membatalkan pernikahan mereka dan hendak menemui Gathan. Ia tak mau Fanala dipersalahkan atas apa pun. Kendati dia telah menyakiti hatinya."Kak, gimana ini?" bisik desis Sasha di muka telinga Arbii. "Kak Karel pasti salah paham ini sama kita berdua. Bisa disidang keluarga, kita."Arbii hanya mengangkat bahunya, tak acuh. Sorry, Sha, keselam
Bab 43"Jelasin!" tuntut Karel. Sekali lagi ia berperan sebagai hakim. Dan terdakwa di sofa panjang kini bertambah seorang lagi; Fanala."Rel," ujar Fanala lembut, "dari mana lo tahu kita di sini?""Nah!" seru Arbii. "Tadi gue sampe lupa mau nanyain ini karena lo sibuk nyudutin gue selingkuh sama adek lo," terangnya sengit. Bodohnya sekali ia bisa sampai lupa menanyakan hal ini walau sebetulnya ia sudah menduga pastilah Sasha yang membawa peliharaan galak Fanala ini. "Sekarang jawab pertanyaan Fanala!""Lo nuduh Arbii selingkuh sama Sasha?!" Suara Fanala meninggi. Mau tak mau Arbii tersenyum kecil mendapati kemarahan Fanala akan ide liar Karel yang menyudutkannya. Andai saja mereka hanya berdua di sini, ia pasti sudah khilaf dan mencium Fanala saking gemasnya. Huh! Sayang sekali waktu dan tempatnya tak tepat, terlebih lagi situasi hubungan mereka sudah gawat.
Bab 44Sasha kira akan ada pertempuran sengit, atau sekurang-kurangnya adu bacotan. Namun ternyata saat Kak Karel dan Kak Arbii kembali, keadaan tenang-tenang saja. Kak Karel bicara santai tanpa urat leher mengencang. Walau memang agak mengejutkan saat Kak Arbii mengatakan bila Kak Karel akan ikut dalam ekspedisi menemui Gathan ini.Sebetulnya Sasha senang-senang saja semua berakhir tenang begini. Karena jika Kak Karel tak menerima dengan baik rencana Kak Arbii semua pasti kacau balau. Terlebih lagi dengan sikap keras kepala Kak Karel. Akan sulit membuatnya reda jika sudah meledak. Namun, ketenangan Kak Karel malah menaikan kewaspadaannya. Rasanya seperti ketenangan laut sebelum tsunami. Karena rasanya aneh sekali Kak Karel selunak ini. Dengan Kak Nala dan Gathan dalam urusan yang sama! Aneh! Ia malah takut Kak Karel berbuat yang tidak-tidak di sana nanti. Apalagi dengan kondisi Gathan sekarang."Kak, menuru
Bab 45"Saya bisa sendiri," ujar Gathan dengan begitu dinginnya pada Kinan."Tapi Tante nyuruh Kinan anter Mas Gathan sampai kamar, Mas." Kinan menolak perintah Gathan untuk membiarkanya melanjutkan perjalanan ke kamarnya sendiri. Ia keukeuh mendorong kursi roda Gathan melintasi koridor singkat yang memisahkan ruang tamu dan ruang makan.Gathan menengok ke belakang, mendelik tajam pada Kinan. Keteguhan yang dipaksakan terpampang jelas di wajah Kinan yang lembut itu. Hingga nyaris saja Gathan tertawa geli melihatnya. Namun tentu saja urung karena tertawa terlalu kontras dengan emosi yang menguasainya saat ini. Bisa-bisa ia dikira gila karena perubahan emosi yang teramat drastis. Lagipula godaan untuk tertawa itu tak sebegitu besarnya, dan bukan jenis tawa bahagia tapi lebih ke tawa kasihan."Kinan!" ujar Gathan, begitu singkat, begitu tajam, begitu mengancam. Membuat Kinan yang m
Bab 46Kinan kembali ke meja makan dengan perasaan tak tenang. Ia sudah dapat merasakan akan adanya kehebohan tak lama lagi. Mas Gathan selalu begitu. Dulu. Namun belakangan ini sejak kedatangan teman lamanya—Mbak Sasha, suasana hati Mas Gathan sering tak menentu, persis cuaca bulan ini. Kadang Mas Gathan tenang sekali dan kebanyakan waktunya dihabiskan di kamar, memandangi ladang bunga matahati lewat jendelanya dengan sorot mata sendu. Lalu di lain waktu ia nampak ceria dan suka sekali bernostalgia tentang ingatannya yang belum lama ini kembali; mengenai teman-teman karibnya. Dan kecerian serta nostalgia itu selalu reda saat sebuah nama meluncur dari mulut Mas Gathan; Fanala. Kinan bahkan sampai ingat namanya karena moment of silent yang selalu mengekori nama itu. Membuatnya bertanya-tanya siapakah Fanala itu? Kenapa Mas Gathan nampak begitu... terobang-ambing saat namanya tersebut? Bagaimana sosoknya? Begitu penasarannya, Kinan bahkan pernah nekat bertanya pada Bosnya tak didapatiny
Bab 47Ada saat di mana terkadang Arbii menyesali keputusannya; seperti sekarang. Saat ia berlarian di sekitar apartemen, dikejar-kejar oleh Fanala. Rasanya menyenakan sekali, hingga ia tak rela untuk melepaskan gadis itu pada laki-laki lain. Ia tak rela membiarkan kebahagian bernama Fanala ini lepas dari genggamannya."Ar! Jangan gila ya kamu nelepon Kak Elma beneran!" seru Fanala, sementara Sasha berdiri di ambang pintu kamar, tertawa kala menonton dua orang yang sudah seperti kakaknya bermain kejar-kejaran bagai kucing dan anjing."Kak Elma harus diperingati kalo ada bibit pelakor yang mulai bangkit lagi," balas Arbii seraya menempelkan ponsel ke muka telingannya. Ia masih berlari, berupaya menghindari cengkraman tangan Fanala yang terjulur gemas."Aku cuma bercanda tahu!" sanggah Fanala. "Mana mungkin aku beneran berharap Kak Farrel sama Kak Elma dulu gak jadi nikah.""Tapi aku denger tadi Kak Nala serius pas ngomong gitu," sahut Sasha, memanas-manasi keadaan.Tanpa menoleh pada S
"Mau lo hitungin berapa kali juga, jumlah bunga matahari itu gak akan bertambah, Fan," ujar Gathan yang baru datang, melihat Fanala di tengah hari bolong ini berjongkok di hadapan pot-pot bunga mataharinya. Ia kemudian duduk di bangku di bawah rimbun pepohonan, bersandar santai.Fanala menoleh, membuat rambutnya yang sebahu itu bergoyang pelan. Matanya mendelik pada Gathan. "Tahu gue, tuh! Gue cuma memastikan gue gak salah hitung. Lagian lo ngapain sih ke sini? Jomblo lo, hari Minggu gini gak ada kerjaan?""Sewot banget sih, Fan. Gue tahu hari ini panas, tapi jangan marah-marah mulu lah. Cepet tua nanti, gak cantik lagi.""Apaan sih lo!" Wajah Fanala merah padam karena gombalan najis Gathan itu. Sejak ia tahu jika laki-laki yang lebih cocok jadi adiknya itu memyukainya, Fanala jadi sering merasa malu dekat-dekat dengan. "Duduk sini, Fan," ujar Gathan, menepuk bangku kosong di sisinya. "Panas kan di situ."Fanala berdehem sebelum bangkit berdiri lalu duduk di sisi Gathan. Ia heran, in
Sasha meletakkan satu buket bunga matahari di atas makam yang ditutup marmer hitam. Ia berjongkok di sisi makam itu, membersihkan daun-daun kering yang jatuh di atas nisan."Sayang, ya, Than, lo baru pulang setelah gak gue gak bisa ngajak lo main lagi. Padahal banyak yang pengen gue lakuin bareng sama lo kalo pulang lebih awal."Sudah setahun lebih Gathan meninggal. Sasha amat terpukul saat itu. Ia bahkan sempat pingsan dua kali ketika jasad Gathan tiba di Jakarta. Setelah delapan tahun pergi, Gathan pulang tinggal nama. Pedih sekali rasanya."Than, di sana gak ada Kak Nala, kan?" tanya Sasha, menepis air matanya yang jatuh tanpa diminta. "Kita di sini masih terus nyari Kak Nala walaupun polisi udah nyerah. Kak Nala terakhir terlihat di cctv terminal yang gak jauh dari pantai. Dan gak ada petunjuk lagi setelah itu. Kadang-kadang, saat gue kehilangan harapan, gue sering bertanya-tanya apa Kak Nala ada di laut? Apa dia terjebak di dasar lautan? Kesepian."Sebetulnya menyimpulkan bila K
"Udah bisa dihubungi Kak Nalanya, Dek?" tanya Bunda, muncul di pintu belakang. Sejak pagi beliau memintanya menghubungi Kak Nala karena beliau juga tak bisa menghubunginya."Belum, Bun. Masih gak aktif," sahut Sasha yang sedang duduk di beranda belakang, menonton Ayah membersihkan kandang burung-burung peliharaanya.Bunda mengernyit khawatir. "Kak Nala gak kenapa-kenapa kan ya? Bunda jadi khawatir.""Bunda udah selesai masaknya?" tanya Ayah."Iya," sahut Bunda."Beresin aja makanan yang mau dikasi ke Nala. Nanti Ayah sama Sasha yang anterin ke sana," ucap Ayah. Membuat Bunda berbalik masuk ke dalam, membereskan makanan yang ia buat untuk Kak Nala. Makanan itu jugalah yang jadi alasan Bunda mencoba menghubungi Kak Nala sejak pagi."Dua minggu yang lalu, Kak Nala ke sini mau ngapain, Dek?" tanya Ayah. Beliau menggantung kembali kandang-kandang burung yang sudah bersih."Mau ngomong sama Vira. Tapi Adek gak nanya ke Kak Nala sama Vira mereka ngomongin apa. Nanti dikira kepo lagi. Tapi ka
Sasha membawa Radit menjauh dari rumahnya. Ia tak ingin laki-laki itu bertemu dengan anggota keluarganya. Ini saja ia harus menjelaskan pada Kak Nala tentang Radit dan memintanya tak memberi tahu pada Kak Karel."Mau ngapain sih lo?" tanya Sasha setelah bukam sepanjang perjalanan menuju taman komplek yang sepi ini. Ia duduk di salah satu bangku mendahului Radit.Radit mengikuti Sasha, duduk di sisi gadis itu. Tanpa menyadari kedekatan yang ia ciptakan membuat jantung Sasha berdebar tak santai. "Elo sih gue telepon gak diangkat, gue chat gak dibaca.""Lo yang ngapain nelepon dan nge-chat gue?!" ucapa Sasha galak, mencoba bersuara lebih keras dari degup jantungnya. "Lo kan takut banget tuh ketahuan sama istri lo," cibirnya."Gue takut karena gue sayang sama Kala, Sha. Kalania, nama istri gue.""Gue gak pengen tahu nama istri lo," balas Sasha ketus.Hening. Radit tampaknya tak siap akan sikap Sasha yang begitu tak acuh padanya. Gadis dengan pandangan terluka yang ia lihat malam itu tamp
Setelah hari itu, Arbii beberapa kali berusaha menghubunginya, namun Fanala tak pernah mengangkatnya. Laki-laki itu bahkan datang ke rumah dan kantornya, menunggunya hingga larut, tapi Fanala tetap kukuh tak mau menjumpainya. Meski merasa kasihan, Fanala cukup keras hatinya mengingat ini untuk kebaikan Arbii itu sendiri.Selama dua minggu belakangan ini, Fanala sangat menyadari jika satu persatu hubungannya putus atau merenggang parah. Pertama, dengan kedua orang tuanya, yang tak pernah lagi menghubunginya atau dihubungi olehnya sejak Papa mengabari mereka telah tiba di Surabaya. Lalu, hubungan pekerjaannya yang di ujung tanduk, hanya tinggal dua minggu tersisa sebelum hubungan itu benar-benar putus. Kemudian, hubungannya dengan Arbii dan keluarganya yang kini tinggal kenangan. Dan kini hubungannya dengan Karel lah yang harus diputuskan.Fanala menghela napas, sebelum menghubungi Karel untuk memberi tahu laki-laki itu jika ia tengah berada di lobi kantornya. Karel yang ia minta turun
"Fan, aku agak telat gak apa-apa, ya? Kamu belum berangkat, kan?""Iya, gak apa-apa, Ar. Santai aja.""Oke. Tinggal satu janji lagi kok, abis itu aku langsung berangkat.""Iya, Ar."Fanala memutuskan sambungan dan meletakkan ponselnya di sisi ice americano-nya yang sudah tak lagi telalu dingin. Ya, ia berbohong pada Arbii tentang keberangkatannya. Ia sudah tiba di tempat janjian mereka sekitar setengah jam yang lalu. Ia hanya tak mau Arbii merasa tak enak karena membiarkannya menunggu. Cafe tempat Fanala kini berada kian ramai oleh pengunjung yang berpakaian rapi. Ia menduga mereka seperti dirinya—pegawai kantoran yang baru pulang kerja. Namun meski cafe itu mulai ramai, Fanala masih dapat mendengar jelas lagu yang tengar diputar: If Tomorrow Never Comes. Lagu favorit Gathan. Lagu pertama yang ia tahu dari laki-laki itu.Ini sudah kali kedua Fanala mengunjungi cafe ini, dan dua kali juga ia mendengar lagu ini diputar di sini. Entah ini kebetulan, pemiliknya memang suka lagu ini, atau
Sebagimana biasanya saat seseorang akan mengundurkan diri, akan ada waktu tunggu selama sebulan sebelum benar-benar off work. Waktu satu bulan itu akan digunakan perusahaan untuk mencari kandidat penggantinya dan Fanala harus mendelegasikan tugas-tugasnya pada penggantinya nanti.Saat sarapan tadi, Bang Dwiki sama sekali tak mencoba membujuknya, beliau hanya bertanya apa alasannya ingin mengundurkan diri. Dan saat Fanala menjelaskan alasannya, Bang Dwiki langsung menyetujui keputusannya dan menerima pengunduran dirinya. Namun Bang Dwiki berkata jika suatu saat nanti Fanala ingin kembali, ia akaj dengan senang hati menerimanya kembali bekerja untuk perusahaannya.Jadi kini Fanala mengendarai mobilnya pulang dengan perasaan sedikit lebih ringan, ada beban yang telah terangkat. Ia sudah menyelesaikan masalah dengan kantor. Sekarang ia akan menyelesaikan masalah dengan orang tuanya. Selanjutnya dengan Arbii dan keluarga laki-laki itu, dan terakhir masalah Karel dan Vira. Setelah itu ia be
Fanala turun dari ranjang pada pukul lima pagi. Jangan ditanya ia tidur atau tidak. Jawaban itu langsung nampak pasa kantong matanya yang menghitam. Meski lelah luar biasa dan tak dapat tertidur sama sekali semalam, Fanala berusaha berjalan senormal mungkin menuju kamar mandi untuk menyegarkan diri.Lama Fanala berada di kamar mandi sebab sejak kemarin ia sama sekali belum membersihkan diri. Ia bahkan menyempatkan diri untuk memakai lulur badar dan masker rambut juga scrubing wajah. Ia burusaha terlihat seperti Fanala yang biasa. Fanala yang rapi, bersih, dan terawat baik. Kacaunya pikirannya tak perlu lah tampak lagi dari penampilan luarnya. Cukup kemarin saja. Hari ini ia harus sudah tampak seperti biasanya.Selepas keluar dari kamar mandi, Fanala langsung mengaplikasikan rangkaian produk perawatan kulit pada wajahnya sebelum wajahnya benar-benar kering. Kemudian ia mengeringkan rambutnya lalu menatanya menjadi sesikit bergelombang. Setelah rambutnya rapi dan wajahnya terpoles make
Karel agak terkejut saat Sasha membukakan pintu bahkan sebelum kakinya menyentuh teras rumah. Ia lebih terkejut lagi mendapati semua anggota keluarganya yang tinggal di rumah ini masih tergaja dan duduk-duduk di ruang tamu. Ini rumah mereka baru saja kedatangan tamu atau mereka sedang menunggunya pulang? Ia akan sangat terharu bilang mereka memang sedang menunggunya pulang. Apalagi dengan Vira yang sudah beberapa hari ini bersikap dingin pasanya."Nungguin aku pulang?" tanya Karel setelah melewati ambang pintu yang telah dikatup Sasha kembali."Gak usah pede banget," cela Sasha dari balik punggung Karel."Terung ngapain belum pada tidur dan malah ngumpul-ngumpul di sini?" tanya Karel heran. Mana mungkin tidak? Setiap kali ia sungguhan lembur dan pulang malam, rumah pasti sudah gelap dan semua orang telah terlelap—ya, kecuali Vira. Namun Vira pun akan menunggunya di kamar, bukan di ruang tamu macam sekarang."Tante Rieke masuk rumah sakit," sahut Bunda. Wajahnya berkerut cemas. Hal itu