Bab 48Seperti selalu, dekapan Arbii adalah tempat pertama yang bersedia menyembunyikan tangisnya. Seperti selalu, kalimat penghibur serta lembut usapan tangan Arbii di kepalanya adalah obat yang mampu menenangkannya. Seperti selalu—setidaknya beberapa tahun belakangan ini, Arbii adalah yang paling menerima dirinya, paling memahami, paling setia membersamainya. Tapi semua hal baik tentang Arbii itu tak mampu membuatnya untuk tak berlari menuju masa lalu hanya karena seikat bunga dan sekotak kenangan. Jahat sekali dirinya, bukan? Ia berpaling dari sosok yang selalu menyediakan keberadaannya selama delapan tahun belakangan untuk sosok yang selama delapan tahun ini ia nantikan—sosok yang mengusirnya bahkan sebelum ia datang.Barangkali ini hukuman atas kejahatannya pada Arbii. Ia mematahkan hati laki-laki baik seperti Arbii, kini hatinya yang dipatahkan oleh laki-laki yang paling ia harapkan—Gathan."Dia gak mau aku dateng, Ar ...," ucap Fanala di antara isak lirihnya. "Dia gak mau aku d
Jadi aku harus pulang ke rumah lagi, nih?" tanya Sasha tak habis pikir. Selera makannya jadi berkurang setelah mendengar isi telepon yang diterima Kak Nala dan Kak Arbii semalam, juga keputusan yang akhirnya mereka berdua ambil. Roti isi yang tadi ia santap dengan lahap kini jadi agak terasa hambar. Berita pagi ini membuatnya hilang semangat. "Padahal baru kemarin dateng."Fanala mengangguk. "Ya ... mau gimana lagi, kita udah ketahuan ada di sini," jawabnya tak enak. "Dan ... Gathan belum mau ketemu Kakak," tambahnya pelan. "Mungkin kita harus kasih dia waktu sebentar lagi. Sambil Kakak cari cara gimana supaya dia mau ketemu Kakak."Sasha menepuk-nepuk pelan pundak Kak Nala yanh duduk di sisinya. Pasti berat sekali bagi Kak Nala menerima hal ini. Ia sudah rela menggagalkan pernikahannya untuk bertemu Gathan. Namun kini harus menghadapi kenyataan pahit bila Gathan beserta ibunya tak mau menerima kehadirannya. Pahit, pahit."Setelah sarapan ini gue sama Fanala langsung mau balik," Kak
Bab 50Segera setelah mobil berhenti di pelataran rumah Fanala, Arbii buru-buru turun dari mobil untuk membukakan pintu bagi gadis itu. Ini sudah menjadi rutinitas yang menyenangkan baginya. Awalnya Fanala menolak ia perlakukan begini. Menurut Fanala, tangannya masih berfungsi dengan baik, jadi dia bisa membuka pintu untuk dirinya sendiri (inilah akibat bersahabat dengan laki-laki). Namun Arbii memaksanya untuk terbiasa diperlakukan begini. Hingga akhirnya—setelah bertahun-tahun—Fanala terbiasa juga."Makasih, Ar," ujar Fanala kasual. "Ya, udah, aku langsung masuk ya," izinnya.Arbii mengangguk mengiyakan."Hati-hati di jalan," Fanala mengingatkan, selalu. "Jangan ngebut-ngebut. Jangan keluyuran, langsung pulang."Sekali lagi Arbii mengangguk."Aku masuk," lagi, Fanala pamit untuk kedua kalinya. Dan Arbii mengangguk untuk ketiga kalinya.Fanala berbalih hendak masuk ke rumahnya yang berpintu putih, lantas Arbii mengekor di belakangnya. Rumah di hadapan mereka ini mulai dihuni secara p
"Lo sadar sesuatu, gak, sih, Ar?""Apa?" tanya Arbii.Elma menghela tangannya dari genggaman tangan Arbii. Rasanya ia kesal sekali dengan adik semata wayangnya ini. Arbii benar-benar sudah tak tertolong. Ke-bucin-annya sudah mendarah daging, meresap ke sumsum tulang hingga mengubah struktur DNA-nya. Hingga Arbii jadi bodoh sekali. Dia rela menyakiti hatinya sendiri cuma karena Fanala."Dari saat Fanala memutuskan untuk membatalkan pernikahan kalian, saat itu juga dia ngebuang lo, Ar," ujar Elma penuh menekanan. Ia geram sekali. Ia gemas pada kebodohan adiknya dan marah pada Fanala yang tega memperlakukan adiknya seperti ini. "Lo sadar gak, sih? Dia rela ninggalin orang yang selama delapan tahun ini nemenin dia, buat orang yang selama delapan tahun ini cuma bikin dia nunggu!"Arbii termangu mendengar ucapan Elma itu. Dia pasti menyadari bahwa apa yang dikatakan oleh kakaknya ini benar adanya. Arbii hanya terlalu keras kepala dan bebal untuk mengakuinya."Lo gak jadi pilihannya, Ar! Da
Bab 52Sasha tiba di Bandung saat senja mulai menjelang. Akhirnya ia punya orang yang mau menampungnya sampai beberapa hari ke depan. Prinsipnya: jangan menginap di rumah teman lebih dari seminggu, karena jika lebih ada kemungkinan mereka akan muak dan tak akan mau lagi menumpanginya di lain waktu. Jadi ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tak menginap lebih dari sepekan, sebetah apa pun dirinya."SASHAAAA!"Sasha menoleh ke arah sumber suara cempreng itu. Seketika senyumnya terkembang tatkala melihat Karina, sahabatnya semasa kuliah, tergesa menghampirinya. Sasha pun ikut menyongsongnya lalu mendekap gadis berambut berwarna biru malam itu."Apa kabar lu?" tanya Karina heboh setelah pelukan keduanya luruh. Seperti biasa, ketika sedang excited, suara gadis itu akan meninggi dan dirinya sama sekali tak peduli dengan keadaan di sekitarnya. Ia tidak sama sekali menghiraukan, apalagi malu, saat orang-orang yang sibuk berlalu lalang di stasiun ini mengernyit memandangnya."Alhamdulillah,
Rumah Karina berada di pinggiran kota. Dengan kondisi lingkungan yang tidak terlalu ramai dan sangat sejuk. Membuat Sasha jadi hobi sekali tidur. Jika tidak diseret Karina bangun untuk sarapan, barangkali ia masih mendengkur hingga siang nanti. Bahkan, baru saja selesai makan pun, mata Sasha mulai terasa berat lagi tatkala punggungnya bersentuhan dengan empuk dan hangatnya punggung sofa. Perlahan-lahan, tirai matanya jatuh terkatup... Damai sekali rasanya. Tidur... lagi...."Sha!" seru Karina sadis, membuat Sasha terperanjat hingga bagun mendadak. "Tidur aja lu, baru kelar makan juga," omel temannya itu. "Mandi sana!""Anjir, Kar! Kaget gue," ujur Sasha seraya mendelik pada temannya itu. "Kan gak lucu kalo gue kena serangan jantung terus mati sekarang.""Iyalah gak lucu, siapa yang menemin gue kalo lo mati.""Ck!" Sasha berdecak sebal. Bisa-bisanya yang dipikirkan Karina hanya siapa yanh menemaninya jika dia mati. Tak ada akhlaknya memang teman ya satu ini. "Gak ada yang bisa diharapi
Bab 54: Keyakinan"Ini baru buka ya kedainya?" tanya Fanala saat ia masuk ke sebuah kedai makan yang diapit sebuah salon dan toko sepatu. Kedai itu cukup ramai. Dua orang yang nampaknya merupakan karyawan sibuk ke sana kemari meracik dan mengantarkan pesanan. "Aku pernah pergi ke salon di sebelah tapi seingetku di sini bukan kedai bubur sebelumnya.""Iya, baru buka," jawab Arbii. Menarik sebuah kursi untuk Fanala duduki. "Yang punya temennya Kak Elma."Fanala duduk dan mulai melihat-lihat daftar menu yang ada di atas meja. Sementara itu Arbii menempati bangku di sisinya."Ada banyak banget jenis buburnya," gumam Fanala. Ada sekitar lima belas jenis bubur yang bahkan ia baru tahu ada jenis bubur semacam itu."Kamu mau bubur yang mana?" tanya Arbii."Bubur ayam biasa aja, deh," sahut Fanala. Ia bukan orang yang exploratif terhadap makanan. Daripada mencoba menu baru, ia lebih suka menu lama yang sudah nyaman di mulutnya. "Kamu mau makan yang mana?" Ia mengangkat wajahnya, memandang Arbi
Sasha kembali ke ruang keluarga dengan perasaan tak tenang. Ia heran kenapa kisah cinta mereka tak ada yang berjalan baik: dirinya, kakaknya, Kak Nala, Kak Arbii, juga Gathan. Apa mereka terkena semacam kutukan?Kisahnya dan Radit menggantung tanpa kepastian. Kisah Kak Nala dan Gathan membuat mereka berdua sama-sama terluka, hingga terpisah sewindu lamanya. Kisah Kak Nala dan Arbii berakhir di pelaminan. Ini literaly, berakhir di pelaminan: pernikahan mereka batal! Dan kini pernikahan Kak Karel dan Vira di ujung tanduk; kisah mereka pun nyaris luruh tak bersisa."Kenapa muka lu kayak gitu?" tanya Karina, begitu Sasha kembali duduk di sisi Chacha yang sudah menghabiskan pudingnya dan kini berganti melahap sepotong apel."Gak apa-apa," sahut Sasha. Lantas ia mengangkat kakinya ke atas sofa untuk bersila menghadap Chacha. Senyum sudah kembali ke wajahnya tatkala memandang wajah menggaskan Chacha. Setelah ia pikir-pikir, ia sesuatu yang familiar di wajah bocah kecil itu. Seolah ada bagian