Bab 40
Gathan menatap lekat layar ponselnya. Netranya fokus pada sebuah wajah berbingkai bundar di sana. Kemarin ia berjanji untuk melepaskan segalanya; mulai dari sosoknya, hingga kenangan tentangnya. Namun nyatanya, ia kembali lagi ke sini. Menatap wajah yang begitu akrab itu lamat-lamat, meresapi setiap rasa perih, getir, rindu, serta kebas yang datang silih berganti. Memang cari mati.
Ibu jari Gathan mengusap layar ponselnya ke atas. Kolase foto itu masih sama dengan satu pekan yang lewat. Tak ada tambahan foto baru; foto pernikahan, misalnya. Namun hal itu justru membuat Gathan bersyukur, setidaknya patah hati itu masih tertunda—persetan dengan melepas dengan ikhlas! Niat memang mudah, melakoninya ternyata lebih susah dari yang ia kira.
Jika ia pikir-pikir, Fanala itu memang semacam candu baginya. Dulu ketika ia masih remaja, ia kecanduan menemui Fanala hingga berkali-kali meninggalkan barangnya d
Sasha menekan bel di sisi pintu. Tak lama, pintu terkuak, menampakkan wajah Kak Arbii yang lusuh. Kelihatannya mantan-calon-suami-Kak-Nala itu baru bangun tidur.Selewat beberapa detik mengerjap memandangi tamunya, Kak Arbii bergeser lalu membuka pintu lebih lebar, mempersilahkan Sasha untuk masuk."Masih bisa molor lo, Kak," ujar Sasha, melangkah melewati ambang pintu."Semalem gue gak bisa tidur sama sekali," balas Kak Arbii, mengekori Sasha. "Gak usah merendahkan kesedihan gue ya, lo.""Halah," balas Sasha, menempati sofa panjang berwarna biru pastel. Di biarkannya ranselnya tergeletak di lantai. "Sedih dibikin sendiri. Sok sadboy lo, Kak.""Bacot lo, Sha!"Kak Arbii melemparkan tubuh ke sisi Sasha, menumpukan kakinya yang berselonjor di atas pahanya, yang segera ia tepis hingga jatuh ke lantai. "Berat banget kaki lo, Kak!" omelnya. "
Arbii duduk bersama Sasha dalam satu sofa panjang yang tadi sempat mereka tempati bersama. Mereka berdua duduk menghadap Karel yang berlaku seolah hakim yang akan menghukum mereka hanya karena imajinasinya yang liar.Arbii sebetulnya tak terlalu peduli dengan asumsi Karel yang tidak-tidak. Ia hanya khawatir jika Fanala muncul tiba-tiba dan rencana mereka terbongkar. Sebab sama sekali tak ada jaminan Karel akan bungkam dari keluarga mereka, bahkan bila ia memohon seraya bersujud di hadapannya agar merahasiakan kenyataan bila Fanala lah yang membatalkan pernikahan mereka dan hendak menemui Gathan. Ia tak mau Fanala dipersalahkan atas apa pun. Kendati dia telah menyakiti hatinya."Kak, gimana ini?" bisik desis Sasha di muka telinga Arbii. "Kak Karel pasti salah paham ini sama kita berdua. Bisa disidang keluarga, kita."Arbii hanya mengangkat bahunya, tak acuh. Sorry, Sha, keselam
Bab 43"Jelasin!" tuntut Karel. Sekali lagi ia berperan sebagai hakim. Dan terdakwa di sofa panjang kini bertambah seorang lagi; Fanala."Rel," ujar Fanala lembut, "dari mana lo tahu kita di sini?""Nah!" seru Arbii. "Tadi gue sampe lupa mau nanyain ini karena lo sibuk nyudutin gue selingkuh sama adek lo," terangnya sengit. Bodohnya sekali ia bisa sampai lupa menanyakan hal ini walau sebetulnya ia sudah menduga pastilah Sasha yang membawa peliharaan galak Fanala ini. "Sekarang jawab pertanyaan Fanala!""Lo nuduh Arbii selingkuh sama Sasha?!" Suara Fanala meninggi. Mau tak mau Arbii tersenyum kecil mendapati kemarahan Fanala akan ide liar Karel yang menyudutkannya. Andai saja mereka hanya berdua di sini, ia pasti sudah khilaf dan mencium Fanala saking gemasnya. Huh! Sayang sekali waktu dan tempatnya tak tepat, terlebih lagi situasi hubungan mereka sudah gawat.
Bab 44Sasha kira akan ada pertempuran sengit, atau sekurang-kurangnya adu bacotan. Namun ternyata saat Kak Karel dan Kak Arbii kembali, keadaan tenang-tenang saja. Kak Karel bicara santai tanpa urat leher mengencang. Walau memang agak mengejutkan saat Kak Arbii mengatakan bila Kak Karel akan ikut dalam ekspedisi menemui Gathan ini.Sebetulnya Sasha senang-senang saja semua berakhir tenang begini. Karena jika Kak Karel tak menerima dengan baik rencana Kak Arbii semua pasti kacau balau. Terlebih lagi dengan sikap keras kepala Kak Karel. Akan sulit membuatnya reda jika sudah meledak. Namun, ketenangan Kak Karel malah menaikan kewaspadaannya. Rasanya seperti ketenangan laut sebelum tsunami. Karena rasanya aneh sekali Kak Karel selunak ini. Dengan Kak Nala dan Gathan dalam urusan yang sama! Aneh! Ia malah takut Kak Karel berbuat yang tidak-tidak di sana nanti. Apalagi dengan kondisi Gathan sekarang."Kak, menuru
Bab 45"Saya bisa sendiri," ujar Gathan dengan begitu dinginnya pada Kinan."Tapi Tante nyuruh Kinan anter Mas Gathan sampai kamar, Mas." Kinan menolak perintah Gathan untuk membiarkanya melanjutkan perjalanan ke kamarnya sendiri. Ia keukeuh mendorong kursi roda Gathan melintasi koridor singkat yang memisahkan ruang tamu dan ruang makan.Gathan menengok ke belakang, mendelik tajam pada Kinan. Keteguhan yang dipaksakan terpampang jelas di wajah Kinan yang lembut itu. Hingga nyaris saja Gathan tertawa geli melihatnya. Namun tentu saja urung karena tertawa terlalu kontras dengan emosi yang menguasainya saat ini. Bisa-bisa ia dikira gila karena perubahan emosi yang teramat drastis. Lagipula godaan untuk tertawa itu tak sebegitu besarnya, dan bukan jenis tawa bahagia tapi lebih ke tawa kasihan."Kinan!" ujar Gathan, begitu singkat, begitu tajam, begitu mengancam. Membuat Kinan yang m
Bab 46Kinan kembali ke meja makan dengan perasaan tak tenang. Ia sudah dapat merasakan akan adanya kehebohan tak lama lagi. Mas Gathan selalu begitu. Dulu. Namun belakangan ini sejak kedatangan teman lamanya—Mbak Sasha, suasana hati Mas Gathan sering tak menentu, persis cuaca bulan ini. Kadang Mas Gathan tenang sekali dan kebanyakan waktunya dihabiskan di kamar, memandangi ladang bunga matahati lewat jendelanya dengan sorot mata sendu. Lalu di lain waktu ia nampak ceria dan suka sekali bernostalgia tentang ingatannya yang belum lama ini kembali; mengenai teman-teman karibnya. Dan kecerian serta nostalgia itu selalu reda saat sebuah nama meluncur dari mulut Mas Gathan; Fanala. Kinan bahkan sampai ingat namanya karena moment of silent yang selalu mengekori nama itu. Membuatnya bertanya-tanya siapakah Fanala itu? Kenapa Mas Gathan nampak begitu... terobang-ambing saat namanya tersebut? Bagaimana sosoknya? Begitu penasarannya, Kinan bahkan pernah nekat bertanya pada Bosnya tak didapatiny
Bab 47Ada saat di mana terkadang Arbii menyesali keputusannya; seperti sekarang. Saat ia berlarian di sekitar apartemen, dikejar-kejar oleh Fanala. Rasanya menyenakan sekali, hingga ia tak rela untuk melepaskan gadis itu pada laki-laki lain. Ia tak rela membiarkan kebahagian bernama Fanala ini lepas dari genggamannya."Ar! Jangan gila ya kamu nelepon Kak Elma beneran!" seru Fanala, sementara Sasha berdiri di ambang pintu kamar, tertawa kala menonton dua orang yang sudah seperti kakaknya bermain kejar-kejaran bagai kucing dan anjing."Kak Elma harus diperingati kalo ada bibit pelakor yang mulai bangkit lagi," balas Arbii seraya menempelkan ponsel ke muka telingannya. Ia masih berlari, berupaya menghindari cengkraman tangan Fanala yang terjulur gemas."Aku cuma bercanda tahu!" sanggah Fanala. "Mana mungkin aku beneran berharap Kak Farrel sama Kak Elma dulu gak jadi nikah.""Tapi aku denger tadi Kak Nala serius pas ngomong gitu," sahut Sasha, memanas-manasi keadaan.Tanpa menoleh pada S
Bab 48Seperti selalu, dekapan Arbii adalah tempat pertama yang bersedia menyembunyikan tangisnya. Seperti selalu, kalimat penghibur serta lembut usapan tangan Arbii di kepalanya adalah obat yang mampu menenangkannya. Seperti selalu—setidaknya beberapa tahun belakangan ini, Arbii adalah yang paling menerima dirinya, paling memahami, paling setia membersamainya. Tapi semua hal baik tentang Arbii itu tak mampu membuatnya untuk tak berlari menuju masa lalu hanya karena seikat bunga dan sekotak kenangan. Jahat sekali dirinya, bukan? Ia berpaling dari sosok yang selalu menyediakan keberadaannya selama delapan tahun belakangan untuk sosok yang selama delapan tahun ini ia nantikan—sosok yang mengusirnya bahkan sebelum ia datang.Barangkali ini hukuman atas kejahatannya pada Arbii. Ia mematahkan hati laki-laki baik seperti Arbii, kini hatinya yang dipatahkan oleh laki-laki yang paling ia harapkan—Gathan."Dia gak mau aku dateng, Ar ...," ucap Fanala di antara isak lirihnya. "Dia gak mau aku d