"Jelita? Kamu lagi di luar? Kok kedengeran suara hujan?"
Dexter memang berniat menelepon Jelita sebelum ia tidur. Lelaki itu ingin mendengar suara lembut pacar kecilnya itu yang entah kenapa bisa membuat perasaannya jauh lebih tenang.Namun betapa kagetnya ia saat mendengar suara derai hujan yang begitu deras, seakan-akan Jelita sedang berada di luar rumah.Dan ia pun semakin kaget ketika mendengar suara isakan pelan dari arah seberang telepon, yang beradu diantara suara deru hujan yang jatuh dengan keras membasahi bumi."Jelita... kamu kenapa nangis? Ada apa?""Kak... aku... diusir dari panti," ucap Jelita sambil terisak. Airmata yang tadi sempat terhenti tiba-tiba mengalir kembali saat ia mendengar suara Dexter, sederas air hujan di sekelilingnya.Dexter yang awalnya sedang berbaring santai di ranjang pun mendadak langsung duduk dan bersandar di kepala ranjang. "Diusir?""Iya Kak...""Terus, sekarang kamu lagi dimana?""Aku di halte bis...""Ngapain di halte?"Jelita terdiam sesaat. Terdengar tarikan napas berat sebelum kata-kata meluncur dari bibirnya. "Tadinya aku mau ke rumah Kevin, tapi rupanya bis dan angkot sudah nggak ada jam segini," sahutnya muram.Dexter mengernyit mendengar sebuah nama asing yang disebutkan oleh Jelita. "Siapa Kevin?""Kevin itu sahabatku dari SMP, Kak."Sahabat dari SMP??Dexter pun langsung mendesah keras. Kenapa sih sahabat Jelita harus seorang laki-laki?Yaa, ya~~ ia sangat tahu jika saat ini memang bukan waktu yang tepat untuk merasa cemburu, namun Dexter juga seorang laki-laki yang merasa terganggu ketika mengetahui pacarnya memiliki teman dekat seorang lelaki.Sudahlah. Lebih penting sekarang segera bergegas menemui Jelita, karena sangat berbahaya membiarkan seorang gadis sendirian di malam yang telah begitu larut dan hujan yang dingin ini."Jangan matikan sambungannya, ya? Aku akan segera menjemputmu sekarang."Dexter langsung melompat dari tempat tidur, dan mengambil jaket hoodie untuk menutupi kaus tipisnya. Untung saja ia mengenakan celana panjang training hari ini dan bukan celana pendek, sehingga ia tidak perlu menggantinya lagi.Dengan tergesa-gesa, ia pun membuka pintu apartemen dan segera berlari menuju lift untuk turun ke basement, tempat dimana mobilnya terparkir."Jelita, kamu masih di situ kan?" Dexter telah memasang airpods di telinganya agar bisa bebas berkomunikasi dengan Jelita sambil menyetir."Iya kak, aku masih di sini...," sahut Jelita pendek. "Oke. Aku menuju ke sana sekarang."***Menyetir dengan kecepatan tinggi dalam hujan yang turun begitu deras memang berbahaya, namun Dexter sudah tidak peduli lagi. Dalam pikirannya hanyalah bagaimana ia bisa secepatnya bertemu dengan Jelita agar hatinya merasa tenang.Hujan yang lebat disertai kilatan petirnya yang menakutkan membuat Dexter semakin merasa resah, membayangkan sosok Jelita yang sendirian di halte bis, kedinginan dan sedih.Lalu ketika akhirnya ia sampai di halte terdekat dari Panti Asuhan tempat tinggal Jelita, Dexter pun melihat sosok mungil gadis yang sejak tadi memenuhi benaknya.Ia duduk sambil menaikkan dan melipat kakinya, membuat wajahnya tenggelam dalam lutut. Rambut panjangnya yang basah menutupi sebagian kakinya yang tertekuk dan dipeluk oleh kedua tangannya.Dexter begitu lega ketika akhirnya bisa bertemu dengan Jelita. Ia pun buru-buru keluar dari mobil dengan payung hitam besar yang akan melindunginya dari hujan, dan juga untuk melindungi tubuh kecil gadis itu.Jelita sendiri sepertinya masih belum menyadari kehadiran Dexter, karena ia masih diam tidak bergerak dari duduknya.Sementara itu Dexter terdiam memandangi sekujur tubuh gadis itu yang basah kuyup, dan juga darah yang mengalir dari luka lecet di tangan dan kakinya."Jelita..." Dexter memanggilnya pelan, namun masih bisa terdengar meskipun suara hujan begitu derasnya.Gadis itu pun mengangkat wajahnya yang pucat dan sembab karena air mata. Kali ini Jelita tidak memakai kaca mata, sehingga Dexter bisa melihat jelas matanya yang merah dan sayu."Kak Dexter..."Saat Jelita hendak menurunkan kakinya untuk menapak di lantai halte, Dexter pun segera bergerak lebih cepat.Jelita memekik kaget saat lelaki itu tiba-tiba saja menggendong dirinya ala bridal dan menatapnya wajahnya lekat-lekat."Pegang payungnya biar kamu nggak kena hujan," perintah Dexter pelan pada Jelita yang masih membelalakkan matanya karena terkejut."Bajumu basah semua," keluh Dexter saat ia mendudukkan Jelita di kursi penumpang bagian depan mobil."Maaf, aku jadi merepotkan dan membuat baju kakak dan kursi mobil jadi ikut basah," cetus Jelita merasa bersalah.Dexter menghembuskan napas kesal. "Aku nggak peduli semua itu, Jelita! Aku cuma peduli sama kesehatan kamu. Kenapa kamu keluar dari panti nggak pakai payung, sih?" omelnya sambil memasang seat belt yang melintang di tubuh Jelita.Namun alih-alih menjawab, gadis itu malah hanya diam dan menunduk, hal yang membuat Dexter semakin merasa kesal."Siapa yang melakukan ini padamu?" Dexter mengelus dengan sangat lembut serta perlahan, pada luka berdarah di tangan Jelita. Meskipun begitu, tatapan matanya terlihat dingin dan penuh emosi.Dexter kemudian memperhatikan ekspresi gadis itu yang tiba-tiba semakin pucat dan gemetaran. Apa ia takut?"Itu... tadi aku jatuh di trotoar karena terpeleset pas hujan," sahut Jelita sambil membuang muka dari tatapan tajam Dexter."Jujur aja kenapa, sih?" cetus Dexter kecewa atas kebohongan yang begitu jelas terlihat, namun ia pun sadar jika tidak bisa memaksa Jelita yang terlihat terluka fisik dan batinnya saat ini.Melihat gadis itu baik-baik saja sebenarnya juga sudah membuatnya sangat lega. Biarlah nanti Jelita yang akan bercerita sendiri. Ia akan menunggu.Dexter telah memasukkan koper dan tas Jelita ke mobilnya, kemudian ia pun menjalankan mobilnya untuk berlalu dari situ."Kak, antarkan aku ke rumah Kevin, ya?"Rasanya Dexter ingin memukul setirnya dengan keras mendengar nama itu lagi yang keluar dari bibir Jelita.Siapa sih sebenarnya si Kevin itu? Kenapa Jelita begitu ingin bersamanya dibandingkan dengan pacarnya sendiri?Tapi ia tidak mau termakan rasa cemburunya. Hell!! Diantara mereka berdua, Dexterlah yang jauh lebih dewasa! Jadi tidak seharusnya dia cemburu yang kekanakkan, apalagi di situasi yang sangat berat bagi Jelita saat ini."Aku antarnya besok saja ya. Masa malam-malam begini kamu mau menginap di rumah Kevin? Rasanya nggak enak sama keluarganya sahabat kamu itu, kan?"Untuk sesaat Jelita pun hanya mengerjap bingung, namun setelah berpikir beberapa menit, rasanya ada benarnya juga perkataan Dexter."Tapi aku nggak punya teman lain selain Kevin, Kak. Kak Tania juga aku nggak tahu rumahnya."Dexter menghela napas pelan mendengar rengekan Jelita. "Kamu punya aku, Jelita. Malam ini menginaplah di apartemenku," tukas Dexter pelan tanpa melepaskan pandangannya dari jalanan di depannya.***Jelita masih merasa gugup saat Dexter menggendongnya dari parkiran hingga mereka naik lift, dan berjalan masuk dengan santai ke dalam apartemennya.Baru kali ini Jelita masuk ke dalam sebuah gedung bertingkat yang disebut apartemen, dan ia benar-benar takjub. Segalanya begitu mewah dan indah, begitu pula saat ia memasuki unit apartemen milik pacarnya itu.Dexter langsung membawa Jelita masuk ke dalam kamarnya. Sebuah kamar utama yang luas dan ada kamar mandinya, yang sama besarnya dengan ruang tamu di panti sekaligus dapur dan ruang santai."Kamu mandi dulu ya? Ini handuknya dan pakai bajuku saja dulu." Dexter mengangsurkan semua yang disebutkannya tadi ke hadapan Jelita.Gadis itu mengangguk, tapi sejenak kemudian ia pun kembali menatap Dexter dengan manik beningnya yang polos. "Kak Dexter nggak mandi?""Kenapa? Apa kamu mau mengajak mandi bareng?" goda Dexter sambil nyengir.Wajah Jelita pun mendadak terasa panas mendengarnya. "Ng-nggak! Aku... cuma nanya aja karena badan Kak Dexter kan ikut basah. Pasti nggak enak dan lengket. Ka-kalau gitu aku mandinya cepet biar gantian Kakak bisa mandi juga." Lalu gadis itu buru-buru berlari ke kamar mandi sampai hampir saja kakinya terpeleset."Hei. Jangan berlari! Dan santai saja, Jelita. Di luar masih ada kamar mandi kok. Jadi aku mandinya di sana supaya kamu nggak perlu terburu-buru ya," tukas Dexter sambil tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah gadisnya.Setelah mandi dan memakai kaus Dexter yang sangat kebesaran di tubuhnya, Jelita merasa lebih segar meskipun luka-lukanya masih terasa perih.Ia membalut rambut panjangnya dengan handuk dan memuntirnya ke atas, menampakkan leher putih jenjangnya yang membuat Dexter beberapa kali melemparkan lirikan diam-diam."Mana sini, biar diobati lukanya," Dexter menarik tangan Jelita agar duduk lebih dekat dengannya. Ia mengobati luka panjang di lengan kanan Jelita yang seperti lecet terkena cambukan. Pun luka di kakinya, mereka terlihat sama."Masih sakit?" tanya Dexter sambil mengelus kulit halus di dekat luka di kaki Jelita.Gadis itu menggeleng. Wajahnya terlihat muram dan kalut, juga seperti sedang berjuang menahan air mata yang hampir tumpah.Seketika Dexter menggenggam tangan Jelita dan menatapnya lembut. "Boleh aku memelukmu?"Ketika gadis itu mengangguk, Dexter pun langsung merengkuh tubuh kecil itu ke dalam pelukannya.Hangat. Dan damai.Itulah yang Jelita rasakan saat ia merebahkan kepala serta bahunya pada Dexter. Aroma lelaki itu begitu wangi dan menenangkan.Jelita amat sangat jarang dipeluk oleh orang dewasa seumur hidupnya, karena ia yatim piatu yang harus berbagi pelukan Bu Dira dengan belasan adiknya sebagai wali mereka.Jelita semakin menyurukkan wajahnya di dada Dexter saat ucapan dan makian Bu Dira terngiang kembali dan membuatnya menangis.Dexter melepaskan handuk dari rambut Jelita hingga membuat helai-helainya tergerai indah dan lembab di punggungnya.Jelita masih saja terisak selama dua puluh menit. Gadis itu merasa lelah dan mengantuk setelah menangis, namun matanya sangat sulit dipejamkan.Ia masih melamun dalam dekapan Dexter saat telapak tangan lelaki itu meraba pipinya."Udah nggak nangis ya?" tanya Dexter lega setelah mengetahui tidak ada lagi air mata yang tumpah di pipi Jelita. Ia pun mengurai pelukan mereka perlahan dan tersenyum kecil mendapati mata sembab Jelita."Aku buatkan susu ya? Biar badan kamu hangat. Tunggu di sini saja, aku mau ke dapur sebentar."Saat Dexter menghilang ke dapur, Jelita menaikkan kedua kakinya ke atas sofa untuk memeluk kedua lututnya. Sekarang ia merasa kedinginan saat Dexter tidak memeluknya seperti tadi.Uhm. Jika ia meminta pacarnya itu untuk memeluknya semalaman, apa ia akan dicap genit?Jelita pun menoyor kepalanya sendiri. Ya iyalah! Mana ada perempuan baik-baik yang minta dipeluk semalaman!Meskipun rasanya Jelita ingin melakukan apa pun asal bisa kembali mendapatkan dekapan hangat itu lagi."Uhm... kak?" Jelita menatap Dexter di sampingnya yang sedang menonton televisi. Ia sudah menghabiskan segelas susu coklat hangat dan beberapa potong biskuit gandum yang diletakkan Dexter di meja depan sofa."Ya?""Uhm... itu..."Dexter menatap lekat Jelita yang terlihat salah tingkah. "Kenapa? Kamu ngantuk? Mau tidur sekarang?"Jelita mengangguk pelan dan membiarkan saat lelaki itu kembali menggendong dan meletakkan tubuhnya di atas ranjang besar yang nyaman. Diam-diam Jelita pun tersenyum kala mendapatkan princess treatment seperti ini.Rasanya seperti mimpi. Diperlakukan seistimewa ini oleh pria yang luar biasa tampan tak pernah sekali pun menjadi mimpinya."Tidurlah," ucap Dexter setelah merapikan selimut untuk menutupi tubuh Jelita, lalu mengacak lembut rambut di puncak kepala gadis itu.Namun saat Dexter hendak membalikkan badan untuk berlalu, tiba-tiba Jelita memegang tangannya."Kak... kalau boleh, aku minta dipeluk malam ini," ucapnya dengan suara tercekat sambil menunduk malu.Kepala Dexter mendadak pening sesaat mendengar permintaan yang diucapkan dengan lirih namun dapat menembus otaknya, menciptakan jejak-jejak panas yang membuat tubuhnya mendadak terasa gerah.Apa gadis ini tidak tahu efek permintaan itu bagi tubuhnya yang mulai bergairah?Dexter mendehem pelan, berusaha mengusir pikiran tidak pantas yang mulai menguasai otaknya."Maaf, Jelita. Sepertinya aku nggak bisa memberikan itu padamu. Aku ini lelaki normal. Bisa-bisa aku malah menyakitimu jika aku memelukmu tubuhmu semalaman," ucap Dexter apa adanya.Perkataan lelaki itu pun sontak membuat Jelita terhenyak, dan ia buru-buru melepaskan tangannya yang tadi menyentuh lengan Dexter."Maaf," ujarnya sambil menggigit bibir dan merebahkan tubuhnya di ranjang. Jelita menaikkan selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya, membuat Dexter tertawa kecil.Gadisnya pasti sangat malu sekarang.***Dexter terbangun dari tidur lelapnya di kamar tamu dengan perasaan bingung.Sambil mengerjap-kerjapkan matanya yang silau karena lampu kamar yang lupa ia matikan sepanjang malam, otaknya pun mulai berpikir.'Tunggu sebentar, kenapa aku malah tidur dikamar tamu alih-alih di kamarku ya?''Oh iya. Ada Jelita.'Saat ia mengingat satu persatu tentang peristiwa semalam, Dexter pun baru menyadari bahwa ada sesuatu yang terasa mengganjal di pinggangnya. Mata caramel pria itu sontak membelalak kaget, saat melihat tangan satu halus yang memeluk pinggangnya dari belakang. Oh... My... God...Dexter menelan ludah dengan susah payah, ketika akhirnya baru menyadari bahwa bukan hanya ada tangan berkulit putih yang melingkari pinggangnya, namun juga ada tubuh hangat dan lembut yang sedang menempel di punggungnya saat ini.Seketika jantung pria itu mulai berdegup dengan keras dan napasnya mulai memburu. 'Shit!! Apa yang Jelita lakukan di sini??'Dexter ingat sekali kalau semalam ia membiarkan Jelita
Serta-merta Jelita menginjak kaki Zikri dengan keras, membuat lelaki itu melepaskan ciuman dari bibirnya.Lalu dengan sekuat tenaga, ia juga langsung mendorong tubuh Zikri hingga lelaki itu jatuh terjengkang di atas lantai."AKU BENCI KAMU!!" Jelita menjerit sambil berurai air mata dan berlari keluar. Zikri sialan! Dia sudah mencuri first kiss yang ingin Jelita berikan pada lelaki yang disukainya. Ia ingin melakukan ciuman pertama dengan Kak Dexter!Tapi si brengsek itu malah mengambil paksa momen yang paling ia tunggu dalam enam belas tahun hidupnya. Ciuman dari seorang pangeran tampan yang baik hati, bukan dari musuh bebuyutan yang menyebalkan!!!Jelita menepis kasar air mata yang luruh dengan punggung tangannya. Ia ingin sekali pergi sejauhnya dari sekolah ini, rasanya ia tidak ingin melihat wajah Zikri untuk selamanya! Tapi... kemana ia harus pergi?Rumah yang ia tahu adalah Panti Asuhan Cinta Kasih. Orang tua yang ia miliki adalah Bu Dira. Namun wanita itu telah mengusir Jeli
Jelita benar-benar pusing. Rasanya seperti masalah datang bertubi-tubi padanya. Belum selesai masalah Bu Dira yang mengusirnya dari Panti, Zikri yang menciumnya tanpa permisi, ditambah lagi sekarang pacar dan sahabatnya yang saling berseteru."Kamu nggak ngejar pacarmu yang tua itu?" sindir Kevin saat Jelita belum juga beranjak menyusul Dexter, gadis itu malah mengobati luka-luka di wajah Kevin akibat pukulan Dexter. Tadi ia berlari ke apotik terdekat untuk membeli obat-obatan, plester dan kapas. Mana mungkin ia setega itu membiarkan sahabatnya?Jelita mendengus kesal. "Kak Dexter nggak tua! Masih dua puluh satu tahun, kok!" sergahnya sambil menekan keras luka di bibir Kevin dengan sengaja."Aawww! Sakit, Nyet!!" gerutu Kevin sambil memelototi Jelita."Bodo!" balas Jelita sambil menjulurkan lidah. Siapa suruh menghina Kak Dexter! Kevin berdecih sebal. "Ngapain sih kamu pacaran sama Om-om? Kayak nggak ada cowok lain aja!" Jelita yang telah selesai mengobati luka di wajah Kevin pun
"Aku nggak bisa janji nggak akan melakukan hal selain pelukan, Jelita. Jadi gimana? Masih mau aku peluk nanti malam?"***Ucapan Dexter yang membingungkan itu masih terngiang jelas dalam pikiran Jelita yang sedang berbaring di tempat tidur. Seketika ia pun bergidik saat membayangkannya. 'Kak Dexter tak bisa janji untuk tidak melakukan hal selain pelukan?Tapi... Apakah Kak Dexter pernah melakukan "hal itu" sebelumnya?''Yah, kalau dipikir-pikir usia Kak Dexter kan sudah termasuk dewasa, dua puluh satu tahun. Lagipula dia laki-laki yang sangat tampan, dari keluarga Green yang sangat terkenal dan juga kaya-raya. Pasti yang mau menjadi pacarnya juga banyak banget.'Jelita menggigit bibirnya. Di satu sisi ia ingin sekali tidur dalam dekapan Kak Dexter seperti semalam. Rasanya sangat nyaman dan tenang saat ada tubuh hangat yang seakan melindungimu, karena Jelita hampir tidak pernah mendapatkan pelukan selama ia di Panti Asuhan. Kadang-kadang saja Bu Dira memeluknya jika Jelita sedang men
~BEBERAPA SAAT SEBELUMNYA~Setelah mimpi buruknya yang semakin hari semakin mengerikan dan selalu membuatnya terbangun serta gemetar ketakutan, Jelita pun akhirnya bisa bernapas lega ketika melihat Dexter yang sudah nyenyak tertidur di kamarnya.'YES!!! Sekarang aku bisa memeluk Kak Dexter tanpa dia tahu,' pekik gembira Jelita dalam hati. Tanpa menunggu lebih lama, ia pun langsung terlelap saat tangannya telah mendekap tubuh atletis lelaki itu.Tapi... ada yang aneh.Jelita merasa sesuatu yang basah dan hangat melumat kuat bibirnya. Sakit. Perih. Dan karena dua hal itu Jelita pun akhirnya terbangun, dan membelalakkan mata saat ia menatap wajah Dexter yang begitu dekat dengan wajahnya, dengan bibir yang memagut keras bibirnya.Jelita ingin berteriak, namun suaranya bungkam oleh kecupan Dexter yang bergerak liar di bibirnya. Jelita takut sekali, tapi ia tetap berusaha sekuat tenaga untuk mendorong tubuh pacarnya itu. Jelita pun akhirnya memberontak, menggerak-gerakkan kepalanya untuk
"Saya Dexter Green, wali murid dari Jelita Kanaya." Dexter memperkenalkan diri pada Kepala Sekolah Jelita, yang langsung melotot menatap sosok rupawan dan famous di Indonesia itu. Siapa sih yang tidak kenal dengan Dexter Green? Wajahnya terlalu sering terpampang di televisi!"S-selamat datang, Tuan Dexter. Saya Riana, Kepala Sekolah Brentwood Highschool. Ini Pak Hendrik wali kelas Jelita, dan ini Bu Lena guru BP," sahutnya sambil memperkenalkan diri serta dua orang guru di situ. Lidah Riana mendadak kelu mendapati anak dari orang terkaya nomor satu di Indonesia berdiri langsung di depan matanya sendiri."Jadi, Anda adalah Kakak Asuh dari Jelita Kanaya?" Dexter mengangguk, lalu matanya menatap ke arah Jelita yang duduk di depan para guru dan Kepsek. Wajahnya terlihat pucat, mungkin karena kaget melihat Dexter yang tiba-tiba berada di sekolahnya. Tadi Jelita memang diam-diam mengadu kepada lelaki itu melalui pesan whatsapp tentang situasi di sekolahnya, dan meminta nasihat apa yang
Jelita terbangun dan mengerjap-kerjapkan matanya karena mendengar suara bisik-bisik pelan di dekat ranjang besar tempatnya tidur. "Sudah bangun?"Gadis itu menoleh ke sumber suara yang menegurnya lembut, suara Dexter. Namun matanya pun membelalak kaget saat melihat sosok wanita elegan berambut pirang yang sedang duduk di sofa di samping Dexter. Wanita itu menatap wajahnya lekat-lekat."Aaaaaaaarrgghh!!" jerit Jelita sambil kembali menarik selimut menutupi wajahnya. 'Si-siapa itu?? Siapa wanita berambut pirang yang duduk di sebelah Dexter??''Tunggu sebentar. Sepertinya aku mengenal wajahnya...'Jelita meneguk ludahnya dengan susah payah. Wanita cantik berambut pirang dengan warna lmata caramel itu adalah Heaven Green, ibu dari Dexter!!Jelita menatap tubuh polosnya yang tertutup selimut, dan mengerang dalam hati.'Ya Tuhan. Kenapa aku harus bertemu wanita itu di posisi seperti ini?? Aaarghhh... rasanya ia ingin sekali menghilang ditelan bumi!!!'"Mom, please... kasihan Jelita. Dia p
Ketika Jelita mengira ia bisa selamat dari Zikri dan kelakuannya yang absurd itu, masalah baru pun datang. Bu Siska menugaskan siswanya membentuk kelompok yang terdiri dari dua orang, untuk mengerjakan tugas Sosiologi dan untuk presentasi di depan kelas.Karena tidak ada yang mau menjadikan Jelita teman kelompok, maka mau tidak mau terpaksa ia pun menerima ajakan Zikri untuk bekerja sama, meskipun sebenarnya sangat enggan."Papaku punya cafe di daerah Kemang, kita kerjakan tugasnya di sana saja," Zikri mengusulkan pada Jelita yang sedang membereskan perlengkapan sekolahnya. Waktu sekolah telah usai dan para siswa berlarian keluar kelas untuk pulang.Jelita mendelik. "Mana ada ngerjain tugas di cafe? Nggak ah. Kita ke perpus aja," tolaknya sambil menarik risleting tas ranselnya. "Jangan di perpus, kita ke toko buku saja. Beli semua buku yang diperlukan, lalu mengerjakan tugas untuk presentasinya di coffeeshop di lantai dua." Jelita hendak memprotes, tapi Zikri keburu menarik tangan
"Ya, aku di sana, Sayang. Saat Anaya lahir, aku memanjat dinding rumah sakit dan duduk dengan cemas di ruang sebelah. Mendengar semua rintihan kesakitanmu, dan mendengar tangisan pertama anak perempuan kita."***Sehabis Dexter dan Jelita bertemu dan bercinta semalaman, paginya lelaki itu langsung menemui anak-anak serta seluruh keluarganya. Tentu saja mereka semua sangat kaget, namun juga terharu dan menangis penuh rasa bahagia melihat Dexter bisa kembali berkumpul bersama mereka. Bahkan sejak saat itu Axel, Aireen, Ellard dan Ellena selalu ingin tidur di kamar orang tuanya, bersempit-sempitan dalam satu ranjang master bed.Jelita hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum melihat kelakuan anak-anaknya yang seperti tidak mau berpisah lagi dengan Daddy mereka. Seperti juga malam ini. Meskipun malam ini sudah malam ke-lima kembalinya Dexter ke rumah, empat anak mereka itu masih saja rela tidur bersempit-sempit di ranjang Jelita dan Dexter. Untung saja ranjang itu superbes
Jelita menatap dengan segenap penuh kerinduan pada manik karamel yang selalu membuatnya terbuai, tenggelam dalam kedalamannya yang seakan tak berdasar itu. Ada begitu banyak pertanyaan yang berkecamuk di dalam hati Jelita, namun entah mengapa kali ini seolah bibirnya terkunci.Hanya desah tercekat yang lolos dari bibirnya ketika Dexter menggores bibirnya di leher Jelita yang seharum bunga. Kesepuluh jemari wanita itu telah terbenam di dalam kelebatan rambut Dexter yang sedikit lebih panjang dari biasanya, wajahnya mendongak dengan kedua mata yang terpejam rapat.Lelaki itu menyesap kuat lehernya bagaikan vampir kehausan yang membutuhkan darah segar agar ia tetap hidup. Rasa sakit itu begitu nyata, begitu nikmat dirasakan oleh Jelita. Untuk kali ini, ia benar-benar tak keberatan jika Dexter menyakitinya. Jelita justru ingin disakiti, ia bahkan tidak akan menolak jika Dexter ingin membawanya ke dalam Love Room dan membelenggunya dengan rantai besi lalu menyiksanya seperti Dexter di
Kedua lelaki itu masih terus melakukan baku hantam, tak berhenti saling melancarkan serangan serta pukulan yang mematikan untuk membuat lawannya tak berkutik. Ruangan besar yang biasanya digunakan untuk pertemuan para anggota Black Wolf itu pun kini tak berbentuk lagi. Meja lonjong panjang dari kayu jati itu telah terbelah, setelah Dexter melemparkan tubuh Kairo ke atasnya. Potongan-potongan kayu itu pun mereka jadikan senjata yang cukup berbahaya karena ujung-ujung patahannya yang runcing.Dexter telah merasakannya, karenq Kairo menusuk kakinya dengan kayu runcing iti ketika ia lengah.Dua puluh kursi yang berada di sana pun menjadi sasaran untuk dijadikan senjata. Pertempuran itu benar-benar sengit. Kairo melemparkan kursi terakhir yang masih utuh kepada Dexter yang sedang terjengkang setelah sebelumnya terkena tendangan, namun untung saja di detik terakhir dia masih sempat menghindar.Dengan sisa-sisa tenaganya, Dexter menerjang tubuh Kairo dan menjatuhkannya ke lantai, lalu b
Rasanya setiap sendi di kaki Jelita mau lepas dari engselnya, tapi ia abaikan semua rasa sakit itu dan terus saja berlari, untuk mengejar sesosok tinggi yang ia rindukan dan telah berada jauh di depannya.Aaahhh, sial... sekarang lelaki itu malah menghilang!!Dengan napas yang tersengal, Jelita berhenti di depan pintu sebuah cafe untuk bersandar sejenak di tiang putih besarnya. Berlari dengan heels 5 senti sambil membawa tas dan dokumen tebal benar-benar sebuah perjuangan.Ditambah lagi sudah sebulan terakhir ini dia juga jarang berolahraga. Lengkaplah sudah.Sambil mengatur napasnya yang berantakan, Jelita mengamati spot terakhir dimana Dexter terakhir terlihat. Atau mungkin, orang yang sangat mirip dengan Dexter Green, suaminya yang telah meninggal dua tahun yang lalu. Tidak, itu pasti Dexter. Jelita sangat yakin lelaki yang barusan ia lihat adalah Dexter!Jelita tak tahu apa yang ia rasakan saat ini, karena hatinya serasa ditumbuhi bunga yang bermekaran namun juga sekaligus dina
Cuma ngingetin, ini novel yang 100% happy ending ya. Jadi... jangan kaget baca bab ini. Peace.***Tubuh Jelita membeku dengan tatapan kosongnya yang lurus terarah pada pusara penuh bunga di hadapannya. Tak ada satu pun isak tangis yang keluar dari bibir pucat itu, karena airmatanya telah mengering.Tubuh dan hatinya kini telah kebas, menebal dan mati rasa.Ini terjadi lagi. Untuk yang kedua kalinya.Apakah dirinya pembawa sial? Apakah dirinya memang tidak ditakdirkan untuk bahagia?Apakah dia tidak layak untuk mendapatkan cinta yang begitu besar dari seseorang yang luar biasa? Dulu Zikri, dan sekarang...Sekarang...Jelita mengangkat wajahnya yang pucat dan melihat Heaven yang berada di seberangnya. Wanita itu tengah tersedu dengan sangat pilu, sementara William terus memeluk dan berusaha menenangkan istrinya.Seketika Jelita pun merasa iba. Heaven telah kehilangan putrinya, dan kini kejadian itu pun terulang kembali. Dia kehilangan putranya.'Maafkan aku, Mom.' 'Putra tercinta
Jelita menatap lelaki paruh baya yang sedang terbaring diam itu dengan tatapan sendu. Matanya terpejam rapat, alat bantu napas menutup sebagian wajahnya dan beberapa infus terlihat menancap di tubuhnya. Ayahnya berada dalam kondisi koma. Pukulan keras yang beberapa kali menghantam kepalanya membuat otaknya mengalami trauma. Wajahnya penuh lebam dan luka, begitu pun sekujur tubuhnya. Robekan di sepanjang lengannya bahkan harus dioperasi karena merusak banyak syaraf-syaraf penting.Wanita itu pun kembali terisak pelan ketika mengingat penyiksaan keji kepada ayahnya itu. Seorang ayah yang baru ditemuinya setelah tiga puluh satu tahun hidupnya. Seorang ayah yang sempat ia benci ketika mengetahui kisahnya di masa lalu."Ayah, maafkan aku..." lirih Jelita sambil terus terisak. Ia mengunjungi Allan menggunakan kursi roda dengan diantarkan oleh suster jaga. Heaven pulang sebentar untuk melihat anak-anak Jelita di rumah, sekaligus membawa barang-barang yang diperlukan untuk rawat inap me
Dengan sekuat tenaga, Dexter melempar ponselnya membentur dinding hingga hancur berkeping-keping.Kemarahan yang terasa membakar dadanya ingin sekali ia lampiaskan kepada Prisilla Pranata, wanita iblis jahanam itu."Aaaarrghhhh!!!" Dexter menarik kursi yang ia duduki lalu mengangkatnya tinggi-tinggi, dan membantingnya ke lantai dengan keras hingga hancur berantakan."Mr. Green..." Nero masuk ke ruangan itu dan tidak heran lagi saat melihat suasana di sekelilingnya yang kacau-balau bagai terjangan angin badai memporak-porandakan seluruh isinya. Tuan Mudanya itu memang selalu menghancurkan barang-barang jika sedang murka.Seseorang telah berani mengusik istri dari Dexter Green, dan Nero memastikan kalau orang itu beserta kaki tangannya tidak akan bisa selamat dari kemurkaan lelaki itu. Dexter Green biasanya memang tidak sekejam ayahnya jika berhadapan dengan musuh-musuhnya, namun Nero tidak terlalu yakin lagi setelah apa yang ia lihat hari ini.Sisi psikopat Dexter yang selama ini jau
Kening berkerut Prisilla Pranata semikin penuh dengan lipatan saat ia mengernyit. Sudah tiga jam James tidak dapat dihubungi. Ada apa ini? Tak biasanya anak lelaki satu-satunya itu hilang kontak selama ini. Cih, paling-paling ia mabuk-mabukan dan bermain dengan jalang di night club. Hanya saja saat ini Prisilla membutuhkan James menemui Alarik. Wanita itu ingin mendapatkan bukti yang meyakinkan bahwa Alarik benar-benar sudah menculik dan menyiksa Allan beserta kedua putrinya itu. Lebih baik lagi jika ada videonya, pasti Prisilla akan sangat puas melihat jerit kesakitan dan permohonan ampun mereka yang menjijikkan.Dan sekarang entah kenapa tiba-tiba saja wanita yang masih terlihat anggun di usia lanjut itu merasa gelisah, karena Alarik belum memberikan kabar apa pun. Terakhir kira-kira beberapa jam yang lalu si pembunuh bayaran itu hanya memberi kabar kalau berhasil menangkap ketiga orang itu, tapi setelahnya tidak ada info apa pun lagi. Brengsek! Dimana sih mereka? James dan
"DEXTER, HENTIKAAN!"Kalimat perintah dari William Green itu sebenarnya terdengar begitu keras dengan suaranya yang menggelegar, namun putra satu-satunya yang ditegur itu seperti tidak bisa mendengar apa pun lagi. Telinga, mata dan hatinya sudah tertutup oleh kemurkaan yang begitu besar, sehingga tubuhnya pun bergerak bagai robot mematikan yang terus menghancurkan lawannya tanpa henti."KATAKAN DIMANA ISTRIKU, BEDEBAH!!" Bentakan keras itu diiringi oleh tatapan pekat dari netra karamel Dexter yang dalam dan menakutkan, seakan mampu menghisap seluruh jiwamu hingga kering tak bersisa.BUUUGH!!!Kembali, pukulan kuat itu telak ia layangkan kepada James Pranata, yang sudah terdiam di lantai dengan tubuh dan wajah yang penuh bersimbah darah.William Green pun akhirnya memberikan kode kepada ajudannya Nero dan tiga orang pengawal untuk menahan putranya agar tidak membunuh James yang sepertinya sudah sekarat itu.Bukan karena William peduli dengan nyawa James, ia hanya ingin mendapatkan inf