Jelita terbangun dan mengerjap-kerjapkan matanya karena mendengar suara bisik-bisik pelan di dekat ranjang besar tempatnya tidur.
"Sudah bangun?"Gadis itu menoleh ke sumber suara yang menegurnya lembut, suara Dexter.Namun matanya pun membelalak kaget saat melihat sosok wanita elegan berambut pirang yang sedang duduk di sofa di samping Dexter. Wanita itu menatap wajahnya lekat-lekat."Aaaaaaaarrgghh!!" jerit Jelita sambil kembali menarik selimut menutupi wajahnya. 'Si-siapa itu?? Siapa wanita berambut pirang yang duduk di sebelah Dexter??''Tunggu sebentar. Sepertinya aku mengenal wajahnya...'Jelita meneguk ludahnya dengan susah payah. Wanita cantik berambut pirang dengan warna lmata caramel itu adalah Heaven Green, ibu dari Dexter!!Jelita menatap tubuh polosnya yang tertutup selimut, dan mengerang dalam hati.'Ya Tuhan. Kenapa aku harus bertemu wanita itu di posisi seperti ini?? Aaarghhh... rasanya ia ingin sekali menghilang ditelan bumi!!!'"Mom, please... kasihan Jelita. Dia pasti malu sekali karena kehadiran Mom di sini."Heaven melirik Dexter dan berdecih tak peduli. Ia pun berdiri dari sofa, lalu berjalan dengan santai menuju sisi ranjang tempat Jelita berada.Satu tangannya meraba bagian kepala Jelita yang masih tertutup selimut, membuat gadis itu tersentak kaget saat menyadari sesuatu menyentuh kepalanya dengan lembut."Hello, Shy Princess. May I see your face?"Jelita menggigit bibirnya yang gemetar. Sepertinya Heaven benar-benar tidak akan pergi! Perlahan, Jelita pun membuka selimutnya. Namun ia hanya berani membiarkan selimut itu terbuka sampai mata saja, hidung dan mulutnya masih tertutup.Seketika pandangannya pun beradu dengan mata caramel milik Heaven yang begitu mirip dengan Dexter.Heaven tersenyum pada bola mata polos sehitam malam dan sebening embun pagi itu. 'Ya ampun, gadis ini benar-benar masih kecil. Mungkin usianya baru 15 atau 16 tahun.''God, apa sih yang ada dalam pikiran Dexter? Apa dia tidak berpikir kalau dia bisa dituduh melakukan pelecehan pada anak di bawah umur?'"Hello, Ma'am," sahut Jelita dengan mata bermaniknya yang mengerjap-kerjap polos."Is your name is Jelita Kanaya? I love it. Jelita means beautiful and Kanaya means woman. Am I right?"Jelita mengangguk. "Yes, Ma'am. You are right.""Then would you get rid off that blanket? I need to see your face, Jelita."Jantung Jelita bagai meloncat dari rongganya saat Heaven memintanya untuk memperlihatkan wajahnya yang setengah tertutup selimut. Dengan perlahan dan takut-takut, Jelita menurunkan selimut hingga ke lehernya."Dia cantik, kan?"Heaven melirik anaknya yang terlihat terpesona pada wajah Jelita yang merona, lalu tanpa aba-aba wanita itu pun nenggeplak kepala Dexter dengan keras."Mom! Sakit!" protes Dexter sambil mengelus kepalanya yang sedikit pusing akibat pukulan ibunya.Sementara itu Heaven hanya mendengus. Ia masih merasa gusar dengan anaknya yang memanfaatkan gadis sepolos ini sebagai teman tidurnya."Jelita, tell me. Apa Dexter pernah membuatmu kesakitan? Kamu sebelumnya pasti masih virgin kan?""Mom! Stop!" cetus Dexter sambil mengerang kesal. Selama ini ibunya tidak pernah mau tahu dalam masalah kehidupan seksnya, bahkan cenderung cuek. Kenapa sekarang malah terkesan ikut campur?Dexter menarik tangan Heaven dan membawanya ke arah lift.Dengan gusar, Heaven pun menepis tangan anaknya. "Mom masih ingin berbicara dengan Jelita! Meskipun dia satu-satunya kekasih yang pernah kau bawa pulang ke rumah, tetap saja dia itu masih sangat belia, Dexter. Mom harus yakin kalau kau benar-benar memperlakukannya dengan lembut!" seru mamanya sambil melotot."Uhm, Kak Dexter sangat lembut padaku, Ma'am," Jelita tiba-tiba berucap pelan, membuat dua pasang mata caramel menatapnya dengan terkejut."Benarkah?" tanya Heaven ragu.Jelita mengangguk sambil berusaha mengulas senyum, meskipun ia masih merasa sangat gugup dan malu.Jelita hanya tidak tega jika Heaven terus memarahi dan memukul Dexter. Haaah... bagaimana reaksinya kalau tahu bahwa anaknya itu kadang-kadang suka memperlakukan Jelita dengan kasar?Terlihat Heaven menarik napas, lalu menatap tajam anaknya. "Oke. Untuk sekarang Mom akan percaya. Berpakaianlah, Jelita. Dan kalian temui Mom di bawah segera.""No, Mom. Aku harus mengantar Jelita kembali ke sekolah," tolak Dexter. "Dia harus belajar."Rasanya Heaven ingin sekali menonjok wajah anaknya. "Kalau begitu, kenapa kamu malah membawanya untuk tidur di rumah?!" tukasnya kesal sambil menghentakkan kaki ke arah lift yang terbuka."Let's have dinner tonight. Jelita harus ikut," putus Heaven dengan nada yang tidak bisa dibantah lagi. Tatapannya tajam menusuk kepada Dexter, namun berubah lembut saat ia menatap Jelita."See you tonight, Jelita," ucapnya sebelum pintu lift menutup dan membawanya ke lantai bawah.***Jelita kembali ke sekolah menjelang jam 10 pagi, dan membuat seisi kelas heboh saat melihat seorang Dexter Green yang mengantarnya ke depan pintu kelas.Zikri yang duduk di sebelah Jelita pun ikut terdiam dan hanya menatap teman sebangkunya itu dengan raut bertanya-tanya.Saat istirahat, Jelita tidak keluar menuju kantin seperti teman-temannya yang lain. Tadi Dexter sudah membelikannya bekal makan siang fastfood kesukaannya. Lagipula ia juga harus mencatat pelajaran yang tertinggal karena tadi ijin keluar.Kelas sangat sepi karena semua siswa berada di kantin. Jelita masih di mejanya, sibuk mencatat tentang matriks dalam matematika saat Zikri menarik rambut kuncir satunya hingga karetnya pun terlepas.Ia berdecak kesal sambil memelototi Zikri yang duduk di meja sampingnya. Senyum lebar menghiasi bibir merah gelap anak lelaki itu."Jangan. Kamu lebih cantik dengan rambut tergerai seperti itu," ucap Zikri seraya menahan tangan Jelita yang ingin menguncir rambutnya kembali. Ia merebut karet itu dari tangan Jelita dan langsung mengantongi di saku celana."Zik, balikin nggak!" sentak Jelita kesal."Ambil aja sendiri kalau berani," tantang Zikri.Jelita mendengus keras, lalu akhirnya memutuskan untuk mengabaikan teman sebangkunya yang menyebalkan itu dan kembali fokus mencatat matematika."Apa benar Dexter Green itu Kakak Asuhmu?"Jelita tetap diam dan mengabaikan pertanyaan Zikri. Lama-lama pasti dia juga bosan diabaikan, pikir Jelita."Jangan pacaran sama dia, Jelita. Dexter itu player. Dia akan mencampakkanmu setelah bosan menikmati tubuhmu."Jelita terpaku sesaat, namun kembali menulis meskipun dengan tangan yang agak gemetar.Zikri sialan! Ucapannya itu sangat telak mengenai apa yang ditakutkan oleh gadis itu. Ia memang sangat takut Dexter mencampakkannya saat lelaki itu bosan.Zikri mencengkram lengan Jelita dengan keras dan tiba-tiba. Wajahnya terlihat sangat gusar. "Jadi benar ya? Dexter itu pacarmu, kan?!" tuntutnya berapi-api."Lepasin, Zikri! Sakit!" jerit Jelita sambil meringis menahan sakit di lengannya. Ia berusaha menyentakkan tangan lelaki itu, tapi malah Zikri semakin menarik Jelita hingga tubuhnya menabrak tubuh Zikri."Cuma aku yang boleh jadi pacar kamu!" bentak Zikri keras sambil menangkup dagu Jelita dan mendekatkan wajahnya, bermaksud untuk mencium gadis yang selalu membuatnya kesal.Kesal karena Jelita selalu menampik perasaan, perhatian serta pemberiannya, dan sekarang gadis itu malah menjadi pacar Dexter Green??!PLAAAKK!!!Jelita menampar wajah teman sebangkunya itu dengan keras sebelum bibir Zikri menyentuh bibirnya."Aku akan adukan perbuatanmu pada Pak Hendrik. Sudah dua kali kamu melakukan hal yang menjijikkan itu padaku!"Zikri tertawa sumbang. "Menjijikkan? Lalu bagaimana dengan hubungan tipu-tipumu dengan Dexter Green? Ha? Dia bukan Kakak Asuhmu, kan?!" Zikri pun berdiri dari meja yang tadi ia duduki dan menatap Jelita dengan mata berkilat-kilat tajam."Aku adalah Zikri Gerhana Sutomihardjo. Mudah saja bagiku mendapatkan bukti akurat bahwa kalian berdua menjalin hubungan yang tidak pantas! Lihat saja, saat aku mendapatkan bukti itu, kamu harus menjadi milikku jika tidak ingin kusebar ke seantero sekolah!"Jelita tertegun sesaat mendengar ancaman Zikri itu. Namun sejurus kemudian ia berusaha bersikap tenang dan menghembuskan napas pelan. "Kamu halu ya, Zik? Udah deh, minggir sana. Catatanku belum selesai."Hampir saja Zikri menarik tubuh Jelita untuk yang kedua kalinya, namun dering bel tanda waktu istirahat selesai pun melengking berbunyi."Thank God," batin Jelita dalam hati.***Ketika Jelita mengira ia bisa selamat dari Zikri dan kelakuannya yang absurd itu, masalah baru pun datang. Bu Siska menugaskan siswanya membentuk kelompok yang terdiri dari dua orang, untuk mengerjakan tugas Sosiologi dan untuk presentasi di depan kelas.Karena tidak ada yang mau menjadikan Jelita teman kelompok, maka mau tidak mau terpaksa ia pun menerima ajakan Zikri untuk bekerja sama, meskipun sebenarnya sangat enggan."Papaku punya cafe di daerah Kemang, kita kerjakan tugasnya di sana saja," Zikri mengusulkan pada Jelita yang sedang membereskan perlengkapan sekolahnya. Waktu sekolah telah usai dan para siswa berlarian keluar kelas untuk pulang.Jelita mendelik. "Mana ada ngerjain tugas di cafe? Nggak ah. Kita ke perpus aja," tolaknya sambil menarik risleting tas ranselnya. "Jangan di perpus, kita ke toko buku saja. Beli semua buku yang diperlukan, lalu mengerjakan tugas untuk presentasinya di coffeeshop di lantai dua." Jelita hendak memprotes, tapi Zikri keburu menarik tangan
"Manisnya."Heaven tidak bisa tidak mengakui hal itu saat menatap kedatangan Jelita dan Dexter yang baru saja turun dari mobil.Gadis belia itu masih mengenakan seragam SMA dan Heaven juga baru mengetahui ternyata ia memakai kaca mata berbingkai hitam yang membuatnya makin terlihat polos dan menggemaskan. Pantas saja anaknya sampai tergila-gila seperti itu. Namun wanita yang masih terlihat sangat cantik di usianya yang sudah menginjak empat puluhan itu merasa was-was. Jelita masih terlalu belia. Ia masih sekolah! Apalagi Dexter bercerita bahwa dia yatim piatu yang bahkan dibuang dari panti asuhannya sendiri. Heaven sudah mewanti-wanti anaknya agar selalu berlaku lembut pada Jelita, karena ia sudah banyak menderita. Jangan sampai Dexter menambah panjang penderitaan gadis yatim-piatu yang pasti membutuhkan kasih sayang itu.Dan entah kenapa, Heaven menyukai gadis itu sejak pertama kali melihatnya tertidur di kamar Dexter. Wajahnya yang polos dan sikapnya yang malu-malu membuat wan
*Happy reading*---Jelita sangat bahagia. Rasanya hatinya ingin meledak menjadi serpihan-serpihan yang berkerlap-kerlip dan bercahaya di udara. Ia masih tak percaya bahwa seorang Dexter Green ternyata akan bertunangan dengannya! Dirinya yang hanya seorang yatim piatu, yang bahkan telah dibuang oleh pengurus panti asuhannya sendiri, yang memiliki rasa insecure parah karena merasa tidak dicintai dan diinginkan oleh siapa pun. Namun sekarang ada seseorang yang seluarbiasa itu yang menginginkannya!Kebahagiaan yang dirasakan Jelita terasa tumpah-ruah, terlalu besar untuk ia tanggung sendiri. Sehingga akhirnya ia pun memutuskan untuk berbagi kebahagiaan ini dengan Kevin dan Kak Tania. Jelita memutuskan untuk lebih dulu menelepon Kak Tania. Ia sudah tak sabar untuk bercerita!"Halo, Kak. Ini Jelita. Apa kabar?""Jelita! Ya ampun, apa kabarmu? Aku baik-baik saja, cuma agak kesal aja karena sudah beberapa hari ini nggak punya teman ngobrol sejak kamu cuti kerja.""Jangan ngambek gitu do
"Dexter, buka pintunya!" teriak Heaven dari balik pintu. Shit. Dexter benar-benar lupa kalau malam ini ibunya menginap di sini!!Dengan terpaksa, ia membuka lock pintu kamar yang juga merupakan pintu lift karena akses satu-satunya ke lantai empat adalah lift yang langsung terbuka di kamarnya. Jelita buru-buru menutupi bagian atas tubuhnya yang tersingkap dengan selimut. Ia ingin mencari kaus pink-nya namun entah kemana Dexter membuangnya."Jelita, are you okay?" Heaven yang langsung menerebos masuk saat Dexter membuka kunci otomatis pintu lift, bergegas berjalan ke ranjang untuk menemui Jelita."Mom, Jelita baik-baik saja! Apa Mom mengira aku mau mencelakainya?" sergah Dexter kesal. Heaven mengabaikan protes anaknya itu dan tetap saja menatap Jelita dengan seksama. "Jika Dexter menyakitimu, jangan takut untuk mengatakannya kepada Tante ya?""Iya, tante," sahut Jelita. Ia sedikit jengah karena Heaven terus mengamatinya lekat-lekat, meskipun di satu sisi ada perasaan senang karena di
Bel istirahat siang berbunyi. Dan seperti biasa, Jelita tidak ikut ke kantin karena Dexter telah membekalinya makanan dari rumah yang dimasak oleh Bi Ani, asisten rumah tangga di rumah Dexter. Lelaki itu hanya ingin memastikan bahwa Jelita hanya akan memakan makanan yang bergizi dan sehat. Kevin mendatangi kelas Jelita dan melihat Zikri yang masih duduk santai di kursinya, di samping Jelita. "Kamu nggak ke kantin, Zik?" sapa Kevin sambil melirik ke arah bekal makanan Jelita yang terlihat lezat. Zikri menggeleng. "Nanti juga akan ada yang memberiku makanan," tukasnya santai sambil melipat kedua tangannya menumpu di belakang kepala. Zikri memang disukai banyak cewek di sekolah. Dia kaya dan tampan, sehingga banyak yang ingin menjadi pacarnya.Dan benar saja, tidak berapa lama kemudian dua orang cewek dari kelas lain masuk ke dalam kelas mereka, dengan malu-malu memberikan bekal makanan bento ala Jepang dan minuman boba untuk Zikri. Zikri sengaja memberikan senyum manis terbaiknya
"Dexter, stop..." Jelita merasa melayang dan mendesah dengan penuh hasrat, namun di saat yang bersamaan ia sadar kalau ini tidak benar. Mereka sedang bermesraan di pinggir jalan raya yang penuh dengan lalu lalang kendaraan! Meskipun kaca Maserati ini sangat gelap, tetap saja bercinta di mobil sangat berisiko ketahuan dan pelakunya pun pasti akan dipermalukan. Jelita menjambak kuat rambut caramel lebat milik Dexter yang sedang berada di dadanya, membuat kepala lelaki itu sedikit menjauh dari bukit lembut milik Jelita yang terpampang terbuka dan sedang ia manjakan tadi."Stop, please. Ini di jalan raya," pinta Jelita dengan napas yang masih terengah akibat belaian lidah Dexter yang liar menjelajahi dadanya.Dexter tidak bisa menyembunyikan senyum lebarnya melihat wajah Jelita yang merona. Ia mengecup singkat dua puncak pink basah yang menggemaskan itu sebelum mengangkat pinggang Jelita dan meletakkan tubuhnya kembali ke kursi penumpang di sampingnya."Kamu benar, Sayang. Lagipula ki
Dexter memasuki The Coffee Craved, sebuah coffeeshop langganannya dimana pemiliknya adalah Putra, teman SMU-nya dulu. Ia sudah mengenal para barista dan waitress, bahkan telah memiliki spot tersendiri yang khusus disediakan Putra hanya untuk Dexter.Cukup lama juga ia tidak ke sini. Terakhir kalinya adalah waktu Dexter sedang kesal karena Jelita lebih memilih mengobati luka Kevin daripada pergi dengannya, dan ia hanya bisa duduk di sini sambil mengawasi GPS ponsel Jelita yang masih tidak bergerak dari pantai waktu itu.Sayang sekali temannya Putra hari ini tidak bisa datang dan menemani Dexter di cofeeshop, sehingga ia pun memutuskan untuk menikmati secangkir espresso sendirian sambil mengamati grafik pergerakan saham serta melakukan financial analysis. Ya, Dexter memang berbohong tadi saat mengatakan kepada ibunya bahwa ia hendak bertemu teman. Sebenarnya Dexter hanya memberikan waktu kepada Heaven untuk ngobrol santai dengan Jelita. Ia tahu kalau ibunya menyayangi Jelita dan suda
"Ayo dibuka mulutnya, aaa...." Dexter mengulurkan sesendok sup ayam ke bibir Jelita yang cemberut. Tetapi gadis itu malah semakin memalingkan wajahnya menjauh dari sendok maupun dari wajah Dexter.Dexter menghela napas. Sudah setengah jam ia membujuk Jelita agar mau makan, namun gadis itu sama sekali tidak menurutinya. Jelita kesal padanya gara-gara cerita Heaven tentang Wiona. Tadi ibunya itu mengatakan bahwa ia telah menceritakan soal Wiona kepada Jelita, tak lama sebelum gadis itu terserang maag. Mungkin Jelita stres karena memikirkan itu.Akhirnya Dexter pun meletakkan sendok itu di atas piring, dan menaruh piringnya di atas meja kecil di dekat ranjang. "Sayang, aku harus bagaimana supaya kamu mau makan?" Jelita terdiam mematung sejenak di posisinya, namun beberapa detik kemudian ia memutar kepalanya kembali menghadap Dexter. "Aku mau kamu jujur," ucapnya kemudian.Dexter pun memaki dalam hati. Sialan! Pasti dia mau bertanya soal Wiona! Kenapa Mom harus menceritakan wanita iblis
"Ya, aku di sana, Sayang. Saat Anaya lahir, aku memanjat dinding rumah sakit dan duduk dengan cemas di ruang sebelah. Mendengar semua rintihan kesakitanmu, dan mendengar tangisan pertama anak perempuan kita."***Sehabis Dexter dan Jelita bertemu dan bercinta semalaman, paginya lelaki itu langsung menemui anak-anak serta seluruh keluarganya. Tentu saja mereka semua sangat kaget, namun juga terharu dan menangis penuh rasa bahagia melihat Dexter bisa kembali berkumpul bersama mereka. Bahkan sejak saat itu Axel, Aireen, Ellard dan Ellena selalu ingin tidur di kamar orang tuanya, bersempit-sempitan dalam satu ranjang master bed.Jelita hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum melihat kelakuan anak-anaknya yang seperti tidak mau berpisah lagi dengan Daddy mereka. Seperti juga malam ini. Meskipun malam ini sudah malam ke-lima kembalinya Dexter ke rumah, empat anak mereka itu masih saja rela tidur bersempit-sempit di ranjang Jelita dan Dexter. Untung saja ranjang itu superbes
Jelita menatap dengan segenap penuh kerinduan pada manik karamel yang selalu membuatnya terbuai, tenggelam dalam kedalamannya yang seakan tak berdasar itu. Ada begitu banyak pertanyaan yang berkecamuk di dalam hati Jelita, namun entah mengapa kali ini seolah bibirnya terkunci.Hanya desah tercekat yang lolos dari bibirnya ketika Dexter menggores bibirnya di leher Jelita yang seharum bunga. Kesepuluh jemari wanita itu telah terbenam di dalam kelebatan rambut Dexter yang sedikit lebih panjang dari biasanya, wajahnya mendongak dengan kedua mata yang terpejam rapat.Lelaki itu menyesap kuat lehernya bagaikan vampir kehausan yang membutuhkan darah segar agar ia tetap hidup. Rasa sakit itu begitu nyata, begitu nikmat dirasakan oleh Jelita. Untuk kali ini, ia benar-benar tak keberatan jika Dexter menyakitinya. Jelita justru ingin disakiti, ia bahkan tidak akan menolak jika Dexter ingin membawanya ke dalam Love Room dan membelenggunya dengan rantai besi lalu menyiksanya seperti Dexter di
Kedua lelaki itu masih terus melakukan baku hantam, tak berhenti saling melancarkan serangan serta pukulan yang mematikan untuk membuat lawannya tak berkutik. Ruangan besar yang biasanya digunakan untuk pertemuan para anggota Black Wolf itu pun kini tak berbentuk lagi. Meja lonjong panjang dari kayu jati itu telah terbelah, setelah Dexter melemparkan tubuh Kairo ke atasnya. Potongan-potongan kayu itu pun mereka jadikan senjata yang cukup berbahaya karena ujung-ujung patahannya yang runcing.Dexter telah merasakannya, karenq Kairo menusuk kakinya dengan kayu runcing iti ketika ia lengah.Dua puluh kursi yang berada di sana pun menjadi sasaran untuk dijadikan senjata. Pertempuran itu benar-benar sengit. Kairo melemparkan kursi terakhir yang masih utuh kepada Dexter yang sedang terjengkang setelah sebelumnya terkena tendangan, namun untung saja di detik terakhir dia masih sempat menghindar.Dengan sisa-sisa tenaganya, Dexter menerjang tubuh Kairo dan menjatuhkannya ke lantai, lalu b
Rasanya setiap sendi di kaki Jelita mau lepas dari engselnya, tapi ia abaikan semua rasa sakit itu dan terus saja berlari, untuk mengejar sesosok tinggi yang ia rindukan dan telah berada jauh di depannya.Aaahhh, sial... sekarang lelaki itu malah menghilang!!Dengan napas yang tersengal, Jelita berhenti di depan pintu sebuah cafe untuk bersandar sejenak di tiang putih besarnya. Berlari dengan heels 5 senti sambil membawa tas dan dokumen tebal benar-benar sebuah perjuangan.Ditambah lagi sudah sebulan terakhir ini dia juga jarang berolahraga. Lengkaplah sudah.Sambil mengatur napasnya yang berantakan, Jelita mengamati spot terakhir dimana Dexter terakhir terlihat. Atau mungkin, orang yang sangat mirip dengan Dexter Green, suaminya yang telah meninggal dua tahun yang lalu. Tidak, itu pasti Dexter. Jelita sangat yakin lelaki yang barusan ia lihat adalah Dexter!Jelita tak tahu apa yang ia rasakan saat ini, karena hatinya serasa ditumbuhi bunga yang bermekaran namun juga sekaligus dina
Cuma ngingetin, ini novel yang 100% happy ending ya. Jadi... jangan kaget baca bab ini. Peace.***Tubuh Jelita membeku dengan tatapan kosongnya yang lurus terarah pada pusara penuh bunga di hadapannya. Tak ada satu pun isak tangis yang keluar dari bibir pucat itu, karena airmatanya telah mengering.Tubuh dan hatinya kini telah kebas, menebal dan mati rasa.Ini terjadi lagi. Untuk yang kedua kalinya.Apakah dirinya pembawa sial? Apakah dirinya memang tidak ditakdirkan untuk bahagia?Apakah dia tidak layak untuk mendapatkan cinta yang begitu besar dari seseorang yang luar biasa? Dulu Zikri, dan sekarang...Sekarang...Jelita mengangkat wajahnya yang pucat dan melihat Heaven yang berada di seberangnya. Wanita itu tengah tersedu dengan sangat pilu, sementara William terus memeluk dan berusaha menenangkan istrinya.Seketika Jelita pun merasa iba. Heaven telah kehilangan putrinya, dan kini kejadian itu pun terulang kembali. Dia kehilangan putranya.'Maafkan aku, Mom.' 'Putra tercinta
Jelita menatap lelaki paruh baya yang sedang terbaring diam itu dengan tatapan sendu. Matanya terpejam rapat, alat bantu napas menutup sebagian wajahnya dan beberapa infus terlihat menancap di tubuhnya. Ayahnya berada dalam kondisi koma. Pukulan keras yang beberapa kali menghantam kepalanya membuat otaknya mengalami trauma. Wajahnya penuh lebam dan luka, begitu pun sekujur tubuhnya. Robekan di sepanjang lengannya bahkan harus dioperasi karena merusak banyak syaraf-syaraf penting.Wanita itu pun kembali terisak pelan ketika mengingat penyiksaan keji kepada ayahnya itu. Seorang ayah yang baru ditemuinya setelah tiga puluh satu tahun hidupnya. Seorang ayah yang sempat ia benci ketika mengetahui kisahnya di masa lalu."Ayah, maafkan aku..." lirih Jelita sambil terus terisak. Ia mengunjungi Allan menggunakan kursi roda dengan diantarkan oleh suster jaga. Heaven pulang sebentar untuk melihat anak-anak Jelita di rumah, sekaligus membawa barang-barang yang diperlukan untuk rawat inap me
Dengan sekuat tenaga, Dexter melempar ponselnya membentur dinding hingga hancur berkeping-keping.Kemarahan yang terasa membakar dadanya ingin sekali ia lampiaskan kepada Prisilla Pranata, wanita iblis jahanam itu."Aaaarrghhhh!!!" Dexter menarik kursi yang ia duduki lalu mengangkatnya tinggi-tinggi, dan membantingnya ke lantai dengan keras hingga hancur berantakan."Mr. Green..." Nero masuk ke ruangan itu dan tidak heran lagi saat melihat suasana di sekelilingnya yang kacau-balau bagai terjangan angin badai memporak-porandakan seluruh isinya. Tuan Mudanya itu memang selalu menghancurkan barang-barang jika sedang murka.Seseorang telah berani mengusik istri dari Dexter Green, dan Nero memastikan kalau orang itu beserta kaki tangannya tidak akan bisa selamat dari kemurkaan lelaki itu. Dexter Green biasanya memang tidak sekejam ayahnya jika berhadapan dengan musuh-musuhnya, namun Nero tidak terlalu yakin lagi setelah apa yang ia lihat hari ini.Sisi psikopat Dexter yang selama ini jau
Kening berkerut Prisilla Pranata semikin penuh dengan lipatan saat ia mengernyit. Sudah tiga jam James tidak dapat dihubungi. Ada apa ini? Tak biasanya anak lelaki satu-satunya itu hilang kontak selama ini. Cih, paling-paling ia mabuk-mabukan dan bermain dengan jalang di night club. Hanya saja saat ini Prisilla membutuhkan James menemui Alarik. Wanita itu ingin mendapatkan bukti yang meyakinkan bahwa Alarik benar-benar sudah menculik dan menyiksa Allan beserta kedua putrinya itu. Lebih baik lagi jika ada videonya, pasti Prisilla akan sangat puas melihat jerit kesakitan dan permohonan ampun mereka yang menjijikkan.Dan sekarang entah kenapa tiba-tiba saja wanita yang masih terlihat anggun di usia lanjut itu merasa gelisah, karena Alarik belum memberikan kabar apa pun. Terakhir kira-kira beberapa jam yang lalu si pembunuh bayaran itu hanya memberi kabar kalau berhasil menangkap ketiga orang itu, tapi setelahnya tidak ada info apa pun lagi. Brengsek! Dimana sih mereka? James dan
"DEXTER, HENTIKAAN!"Kalimat perintah dari William Green itu sebenarnya terdengar begitu keras dengan suaranya yang menggelegar, namun putra satu-satunya yang ditegur itu seperti tidak bisa mendengar apa pun lagi. Telinga, mata dan hatinya sudah tertutup oleh kemurkaan yang begitu besar, sehingga tubuhnya pun bergerak bagai robot mematikan yang terus menghancurkan lawannya tanpa henti."KATAKAN DIMANA ISTRIKU, BEDEBAH!!" Bentakan keras itu diiringi oleh tatapan pekat dari netra karamel Dexter yang dalam dan menakutkan, seakan mampu menghisap seluruh jiwamu hingga kering tak bersisa.BUUUGH!!!Kembali, pukulan kuat itu telak ia layangkan kepada James Pranata, yang sudah terdiam di lantai dengan tubuh dan wajah yang penuh bersimbah darah.William Green pun akhirnya memberikan kode kepada ajudannya Nero dan tiga orang pengawal untuk menahan putranya agar tidak membunuh James yang sepertinya sudah sekarat itu.Bukan karena William peduli dengan nyawa James, ia hanya ingin mendapatkan inf