*Happy reading*
---Jelita sangat bahagia. Rasanya hatinya ingin meledak menjadi serpihan-serpihan yang berkerlap-kerlip dan bercahaya di udara.Ia masih tak percaya bahwa seorang Dexter Green ternyata akan bertunangan dengannya!Dirinya yang hanya seorang yatim piatu, yang bahkan telah dibuang oleh pengurus panti asuhannya sendiri, yang memiliki rasa insecure parah karena merasa tidak dicintai dan diinginkan oleh siapa pun.Namun sekarang ada seseorang yang seluarbiasa itu yang menginginkannya!Kebahagiaan yang dirasakan Jelita terasa tumpah-ruah, terlalu besar untuk ia tanggung sendiri.Sehingga akhirnya ia pun memutuskan untuk berbagi kebahagiaan ini dengan Kevin dan Kak Tania.Jelita memutuskan untuk lebih dulu menelepon Kak Tania. Ia sudah tak sabar untuk bercerita!"Halo, Kak. Ini Jelita. Apa kabar?""Jelita! Ya ampun, apa kabarmu? Aku baik-baik saja, cuma agak kesal aja karena sudah beberapa hari ini nggak punya teman ngobrol sejak kamu cuti kerja.""Jangan ngambek gitu dong. Nanti cantiknya hilang, lho," goda Jelita sambil terkekeh geli."Biarin hilang. Habisnya kesel sih, ditinggal terus sama kamu.""Kaaaak... maaf. Besok aku ke sana, kok. Umm... tapi bukan buat kerja sih. Aku mau resign, Kak.""APPAAA??!"Jelita pun otomatis menjauhkan telinga dari ponselnya mendengar teriakan bar-bar Kak Tania."Kok resign sih? Kenapa, kamu pasti udah ngerasa nggak level lagi ya berteman sama aku, mentang-mentang sudah pacaran sama Dexter Green yang maha tajir itu?"Jelita berdecak. "Ih, apaan sih? Mana ada begitu, Kak! Aku sebenarnya masih ingin bekerja di Cheese & Us, tapi Kak Dexter yang keberatan. Dia mau aku hanya fokus sekolah dan belajar untuk bisa masuk universitas yang diinginkan, Kak," jelasnya.Terdengar helaan nafas Tania di seberang sana. Jujur saja ia sebenarnya merasa bahagia untuk Jelita, setelah apa yang gadis itu derita selama ini, sekarang dia bisa mendapatkan seseorang yang mencintainya.Tapi rasanya sedih juga karena akan kehilangan Jelita yang sudah tidak bekerja lagi di toko."Yah... jika Yang Mulia Tuan Dexter Green sudah bersabda, aku bisa bilang apa?" tukasnya murung. "I will be miss you, Jelita."Jelita tertawa kecil. "Isssh! Kak Tania kayak aku mau pergi ke Timbuktu aja sih pakai kangen segala. Kan nanti kakak bisa main ke sini, atau aku yang main ke toko.""Iya sih. Nggak jadi kangen deh.""Hilih, dasar!""Hehe... by the way, gimana rasanya pacaran sama Dexter Green? Dia tipe yang romantis nggak sih?" tanya Tania kepo.Jelita menggigit bibirnya membayangkan sosok pacarnya yang tampan itu.Romantis?Hmm... sampai sekarang ia saja belum tahu definisi romantis itu seperti apa.Yang ia tahu, Dexter itu penuh gairah yang meledak-ledak. Selalu menjamah tubuhnya kapan pun ia mau, dengan durasi yang sangat panjang dan melelahkan.Tapi nggak mungkin juga Jelita cerita segamblang itu pada Tania, kan?"Iya dong, romantis," sahut Jelita sambil tertawa pelan."Iih... kamu bikin aku iri aja! Ceritain dong gimana romantisnya seorang Dexter Green itu, pleasee? Aku butuh asupan hal-hal romantis nih. Bosen baca dari novel melulu.""Haha. Rahasia dong.""Hem... awas ya!"Mereka masih asik bercerita hingga beberapa menit kemudian, sebelum akhirnya Jelita mengakhiri teleponnya.Ia tidak jadi menceritakan rencana pertunangan dengan Dexter kepada Tania, karena lebih memilih untuk menceritakan semuanya secara langsung di toko besok, sekalian untuk memberikan surat pengunduran diri.Beberapa saat kemudian ponsel Jelita tiba-tiba berdenting pelan. Ternyata ada pesan dari Kevin.[Kata Tania, besok kamu mau ke toko?]Tania dan Kevin bertetangga di kompleks mereka, pasti gadis itu langsung bercerita pada Kevin tentang telepon mereka barusan.[Iya, aku mau resign, Vin.][Kenapa?][Umm... jangan cerita ke siapa-siapa dulu ya? Aku dan Kak Dexter akan segera bertunangan.]Jelita menunggu beberapa menit, namun belum juga ada balasan dari Kevin. Padahal pesannya sudah centang dua biru tanda sudah dibaca.[Aku bahagia sekaligus takut, Vin. Aku takut ini hanya mimpi. Aku takut aku tidak berhak untuk kebahagiaan ini. Dan aku takut jika teman-teman sekolah mengetahui hubunganku dengan Kak Dexter. Entah apa yang mereka pikirkan nanti]Lima menit berlalu, namun Kevin masih belum terlihat membaca pesan Jelita.[Vin? Udah tidur ya?]Lagi-lagi pesan dari Jelita hanya centang dua abu-abu, yang berarti Kevin belum membacanya.[Ya udah met bobo ya. Sweet dreams, my best bestie ever]Jelita tersenyum sendiri, merasa beruntung karena memiliki dua orang yang penting dalam hidupnya. Seandainya saja Bu Dira sudah tidak marah padanya, pasti Jelita juga akan membagikan kabar bahagia ini padanya.Apa besok sebaiknya dia ke panti asuhan?Jelita pun kembali meraih ponselnya.[Vin, besok temenin aku ke panti ya? Mau sungkem sekaligus minta restu. Dexter nggak mau diajak ke sana soalnya karena kesal sama Bu Dira]Jelita mengira Kevin tidak akan membaca pesannya seperti tadi, namun beberapa saat kemudian ponselnya tiba-tiba berdenting kembali.[Oke]Jelita tersenyum lega karena akhirnya Kevin membalas pesannya, meskipun hanya satu kata."Lagi ngapain, Babe?"Jelita menengadah menatap Dexter yang sudah berdiri di depannya. Jelita yang sedang duduk di atas ranjang pun tersenyum dan merentangkan tangannya, bermaksud untuk memberikan Dexter sebuah pelukan hangat.Seketika lelaki itu pun menerjang tubuh Jelita hingga mereka berdua terjatuh ke atas kasur. Sambil terkikik geli karena Dexter terus menciumi dan menggigit pelan lehernya, Jelita mengalungkan kedua tangan di leher kekasihnya.Dexter mengangkat kepalanya untuk mengagumi sejenak tawa cantik Jelita. "Aku suka melihatmu tertawa," gumannya sambil menatap lekat gadisnya."Jelita, kamu bahagia kan, bersamaku?"Jelita terdiam ketika melihat sorot mata Dexter yang terlihat serius menatapnya. Tanpa sadar tangannya pun terangkat untuk mengelus pelan rahang Dexter yang maskulin."Ya, tentu saja aku bahagia, Kak. Aku sangat bahagia."Senyum kecil terlukis di bibir penuh gadis itu. Ia tidak berbohong. Mungkin pada awalnya Jelita sulit menerima Dexter yang kerapkali memperlakukannya dengan kasar saat bercinta, namun makin ke sini lelaki itu jauh lebih lembut padanya.Hal itu membuat Jelita merasa nyaman dan dihargai.Jadi ya, tentu saja ia bahagia.Entah karena elusan dari jemari lembut Jelita, ataukah ucapan tulus gadis itu, yang pasti sesuatu telah membuat Dexter menahan napas tercekat.Gairah yang selalu menyala setiap ia melihat Jelita dan tubuh indahnya itu kini pun makin berkobar hebat.Dexter menurunkan kepalanya untuk mengecup bibir manis yang menggemaskan itu. "Aku pun sangat bahagia bisa bersamamu," bisiknya."Aku bersyukur bisa menemukanmu."Detik selanjutnya wajah Dexter telah tenggelam dalam dada Jelita yang masih berlapiskan kaus pink. Jejak-jejak basah pun tercipta di sana, menciptakan sensasi yang berbeda bagi Jelita.Tak biasanya Dexter mencumbu tubuhnya saat masih berpakaian lengkap. Jelita bahkan baru tahu bahwa ia juga bisa terangsang tanpa perlu menanggalkan baju.Satu tangan Dexter mulai mengusap-usap lembut paha Jelita yang tertutup hot pants jeans. Pekikan lirih pun lolos dari mulut Jelita saat jemari Dexter menyusup masuk ke dalam lingkar celana Jelita dan mulai berkelana dengan liar di dalam lembah hangatnya.Saat Dexter dan jemari cabulnya itu membuat otak Jelita berkabut, gadis itu pun bersiap untuk menyongsong gelombang yang datang dan menyapu segalanya.Jelita memejamkan mata dan meneriakkan nama Dexter dengan keras, saat ia telah tenggelam dalam arus deras gelora yang membuatnya terjatuh lemas.Dexter menyeringai melihat gadisnya yang telah mendapatkan pelepasan. Jelita benar-benar menggairahkan.Entahlah apa ini obsesi atau cinta atau keduanya, yang pasti lelaki itu tidak dapat menahan hasratnya tiap berada di dekat Jelita. Gadis itu bagaikan matahari, dan Dexter adalah bumi yang akan terus mengelilinginya.Kali ini Dexter perlahan membuka kaus pink yang membalut tubuh bagian atas Jelita dan melemparkannya ke lantai. Saat ia hendak menerkam kembali dada lembut gadis itu, tiba-tiba saja pintu kamarnya digedor dengan keras."Dexter buka pintunya!" teriak Heaven dari balik pintu.Shit. Dexter benar-benar lupa kalau malam ini ibunya menginap di sini!!***"Dexter, buka pintunya!" teriak Heaven dari balik pintu. Shit. Dexter benar-benar lupa kalau malam ini ibunya menginap di sini!!Dengan terpaksa, ia membuka lock pintu kamar yang juga merupakan pintu lift karena akses satu-satunya ke lantai empat adalah lift yang langsung terbuka di kamarnya. Jelita buru-buru menutupi bagian atas tubuhnya yang tersingkap dengan selimut. Ia ingin mencari kaus pink-nya namun entah kemana Dexter membuangnya."Jelita, are you okay?" Heaven yang langsung menerebos masuk saat Dexter membuka kunci otomatis pintu lift, bergegas berjalan ke ranjang untuk menemui Jelita."Mom, Jelita baik-baik saja! Apa Mom mengira aku mau mencelakainya?" sergah Dexter kesal. Heaven mengabaikan protes anaknya itu dan tetap saja menatap Jelita dengan seksama. "Jika Dexter menyakitimu, jangan takut untuk mengatakannya kepada Tante ya?""Iya, tante," sahut Jelita. Ia sedikit jengah karena Heaven terus mengamatinya lekat-lekat, meskipun di satu sisi ada perasaan senang karena di
Bel istirahat siang berbunyi. Dan seperti biasa, Jelita tidak ikut ke kantin karena Dexter telah membekalinya makanan dari rumah yang dimasak oleh Bi Ani, asisten rumah tangga di rumah Dexter. Lelaki itu hanya ingin memastikan bahwa Jelita hanya akan memakan makanan yang bergizi dan sehat. Kevin mendatangi kelas Jelita dan melihat Zikri yang masih duduk santai di kursinya, di samping Jelita. "Kamu nggak ke kantin, Zik?" sapa Kevin sambil melirik ke arah bekal makanan Jelita yang terlihat lezat. Zikri menggeleng. "Nanti juga akan ada yang memberiku makanan," tukasnya santai sambil melipat kedua tangannya menumpu di belakang kepala. Zikri memang disukai banyak cewek di sekolah. Dia kaya dan tampan, sehingga banyak yang ingin menjadi pacarnya.Dan benar saja, tidak berapa lama kemudian dua orang cewek dari kelas lain masuk ke dalam kelas mereka, dengan malu-malu memberikan bekal makanan bento ala Jepang dan minuman boba untuk Zikri. Zikri sengaja memberikan senyum manis terbaiknya
"Dexter, stop..." Jelita merasa melayang dan mendesah dengan penuh hasrat, namun di saat yang bersamaan ia sadar kalau ini tidak benar. Mereka sedang bermesraan di pinggir jalan raya yang penuh dengan lalu lalang kendaraan! Meskipun kaca Maserati ini sangat gelap, tetap saja bercinta di mobil sangat berisiko ketahuan dan pelakunya pun pasti akan dipermalukan. Jelita menjambak kuat rambut caramel lebat milik Dexter yang sedang berada di dadanya, membuat kepala lelaki itu sedikit menjauh dari bukit lembut milik Jelita yang terpampang terbuka dan sedang ia manjakan tadi."Stop, please. Ini di jalan raya," pinta Jelita dengan napas yang masih terengah akibat belaian lidah Dexter yang liar menjelajahi dadanya.Dexter tidak bisa menyembunyikan senyum lebarnya melihat wajah Jelita yang merona. Ia mengecup singkat dua puncak pink basah yang menggemaskan itu sebelum mengangkat pinggang Jelita dan meletakkan tubuhnya kembali ke kursi penumpang di sampingnya."Kamu benar, Sayang. Lagipula ki
Dexter memasuki The Coffee Craved, sebuah coffeeshop langganannya dimana pemiliknya adalah Putra, teman SMU-nya dulu. Ia sudah mengenal para barista dan waitress, bahkan telah memiliki spot tersendiri yang khusus disediakan Putra hanya untuk Dexter.Cukup lama juga ia tidak ke sini. Terakhir kalinya adalah waktu Dexter sedang kesal karena Jelita lebih memilih mengobati luka Kevin daripada pergi dengannya, dan ia hanya bisa duduk di sini sambil mengawasi GPS ponsel Jelita yang masih tidak bergerak dari pantai waktu itu.Sayang sekali temannya Putra hari ini tidak bisa datang dan menemani Dexter di cofeeshop, sehingga ia pun memutuskan untuk menikmati secangkir espresso sendirian sambil mengamati grafik pergerakan saham serta melakukan financial analysis. Ya, Dexter memang berbohong tadi saat mengatakan kepada ibunya bahwa ia hendak bertemu teman. Sebenarnya Dexter hanya memberikan waktu kepada Heaven untuk ngobrol santai dengan Jelita. Ia tahu kalau ibunya menyayangi Jelita dan suda
"Ayo dibuka mulutnya, aaa...." Dexter mengulurkan sesendok sup ayam ke bibir Jelita yang cemberut. Tetapi gadis itu malah semakin memalingkan wajahnya menjauh dari sendok maupun dari wajah Dexter.Dexter menghela napas. Sudah setengah jam ia membujuk Jelita agar mau makan, namun gadis itu sama sekali tidak menurutinya. Jelita kesal padanya gara-gara cerita Heaven tentang Wiona. Tadi ibunya itu mengatakan bahwa ia telah menceritakan soal Wiona kepada Jelita, tak lama sebelum gadis itu terserang maag. Mungkin Jelita stres karena memikirkan itu.Akhirnya Dexter pun meletakkan sendok itu di atas piring, dan menaruh piringnya di atas meja kecil di dekat ranjang. "Sayang, aku harus bagaimana supaya kamu mau makan?" Jelita terdiam mematung sejenak di posisinya, namun beberapa detik kemudian ia memutar kepalanya kembali menghadap Dexter. "Aku mau kamu jujur," ucapnya kemudian.Dexter pun memaki dalam hati. Sialan! Pasti dia mau bertanya soal Wiona! Kenapa Mom harus menceritakan wanita iblis
Hari Minggu besoknya, ternyata Jelita sudah diperbolehkan pulang oleh Dokter. Dexter membereskan barang-barang Jelita dan memasukkan semuanya ke dalam mobil, lalu ia kembali ke dalam kamar untuk membawa Jelita yang masih menggunakan kursi roda.Saat ia mendorong kursi roda Jelita hingga ke pintu depan kamar, tiba-tiba Dexter baru menyadari bahwa ada sesuatu yang hilang dari Jelita."Dimana kalungmu?" tanya Dexter sambil menatap leher Jelita yang polos.Hah? Refleks, Jelita meraba lehernya yang terasa kosong. Kalung rose gold liontin kupu-kupu yang semalam Dexter hadiahkan untuknya tidak ada di sana!"Uhm... apa mungkin ketinggalan di kamar mandi ya?" tanya Jelita bingung sambil menatap Dexter."Oke. Aku cari dulu sebentar ya. Kamu tunggu di sini saja," ucap Dexter sambil memasang rem di kursi roda Jelita, lalu pria itu pun menghilang kembali masuk ke dalam kamar.Jelita mengernyit. Aneh, rasanya tadi ia sama sekali tidak melepaskan kalungnya itu saat mandi. Atau ia yang lupa?"Permis
Jelita menatap Zikri seakan teman sebangkunya itu sudah gila. "Udah belum halunya? Aku ini sudah bertunangan, Zikri! Dexter bisa memukulmu jika ia sampai tahu hal ini!" tukas gusar Jelita. Zikri tertawa samar. "Tunanganmu itu tidak akan berani melakukannya. Dia tahu siapa aku." Zikri mendengus dan kembali mendekatkan bibirnya, membuat Jelita kesal dan serta merta memalingkan wajah."Lihat saja, besok sekolah akan geger dengan berita ini jika kamu tidak menuruti perintahku!" bisik tajam lelaki itu sebelum ia berjalan santai ke arah meja buffet. Jelita menatap punggung Zikri sambil melontarkan sejuta makian dalam hati. Huh, dia tidak akan berani mengatakannya pada teman-teman di sekolah! 'Awas saja. Akan kuadukan hal ini kepada Dexter!''Tapi ngomong-ngomong, dimana sih Dexter?' Kenapa tunangannya itu mendadak menghilang setelah acara?Tatapan mata Jelita bersirobok pada Kevin, Tania dan Bu Dira yang asik mengobrol sambil menikm
Zikri bosan sekali dengan acara ini. Tak ada teman seusianya yang bisa diajak ngobrol. Well, kecuali Kevin dan cewek entah siapa itu sih, tapi jujur saja Zikri juga malas bertemu dengan sahabat Jelita yang menyebalkan itu. Haahh, sebaiknya ia pulang saja. Lagipula Jelita entah berada di mana sekarang. Padahal satu-satunya alasan ia bersedia diajak papanya ke sini adalah karena ia ingin bertemu Jelita, tak peduli meski ia sudah bertunangan dengan Dexter laknat itu.Zikri pun langsung pergi begitu saja tanpa pamit dengan papanya ataupun pemilik rumah. Tak ada juga yang akan peduli dengannya. Untung saja tadi dia menolak untuk satu mobil dengan papanya, dan memilih untuk mengendarai mobil sendiri.Di dalam mini cooper-nya, Zikri langsung melepas dasi tuxedo yang serasa mencekik lehernya. Ia menatap Audemars Piguet yang melingkar di pergelangan tangannya. Hmm... masih jam delapan malam. Sekarang ke club mana sebaiknya i
"Ya, aku di sana, Sayang. Saat Anaya lahir, aku memanjat dinding rumah sakit dan duduk dengan cemas di ruang sebelah. Mendengar semua rintihan kesakitanmu, dan mendengar tangisan pertama anak perempuan kita."***Sehabis Dexter dan Jelita bertemu dan bercinta semalaman, paginya lelaki itu langsung menemui anak-anak serta seluruh keluarganya. Tentu saja mereka semua sangat kaget, namun juga terharu dan menangis penuh rasa bahagia melihat Dexter bisa kembali berkumpul bersama mereka. Bahkan sejak saat itu Axel, Aireen, Ellard dan Ellena selalu ingin tidur di kamar orang tuanya, bersempit-sempitan dalam satu ranjang master bed.Jelita hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum melihat kelakuan anak-anaknya yang seperti tidak mau berpisah lagi dengan Daddy mereka. Seperti juga malam ini. Meskipun malam ini sudah malam ke-lima kembalinya Dexter ke rumah, empat anak mereka itu masih saja rela tidur bersempit-sempit di ranjang Jelita dan Dexter. Untung saja ranjang itu superbes
Jelita menatap dengan segenap penuh kerinduan pada manik karamel yang selalu membuatnya terbuai, tenggelam dalam kedalamannya yang seakan tak berdasar itu. Ada begitu banyak pertanyaan yang berkecamuk di dalam hati Jelita, namun entah mengapa kali ini seolah bibirnya terkunci.Hanya desah tercekat yang lolos dari bibirnya ketika Dexter menggores bibirnya di leher Jelita yang seharum bunga. Kesepuluh jemari wanita itu telah terbenam di dalam kelebatan rambut Dexter yang sedikit lebih panjang dari biasanya, wajahnya mendongak dengan kedua mata yang terpejam rapat.Lelaki itu menyesap kuat lehernya bagaikan vampir kehausan yang membutuhkan darah segar agar ia tetap hidup. Rasa sakit itu begitu nyata, begitu nikmat dirasakan oleh Jelita. Untuk kali ini, ia benar-benar tak keberatan jika Dexter menyakitinya. Jelita justru ingin disakiti, ia bahkan tidak akan menolak jika Dexter ingin membawanya ke dalam Love Room dan membelenggunya dengan rantai besi lalu menyiksanya seperti Dexter di
Kedua lelaki itu masih terus melakukan baku hantam, tak berhenti saling melancarkan serangan serta pukulan yang mematikan untuk membuat lawannya tak berkutik. Ruangan besar yang biasanya digunakan untuk pertemuan para anggota Black Wolf itu pun kini tak berbentuk lagi. Meja lonjong panjang dari kayu jati itu telah terbelah, setelah Dexter melemparkan tubuh Kairo ke atasnya. Potongan-potongan kayu itu pun mereka jadikan senjata yang cukup berbahaya karena ujung-ujung patahannya yang runcing.Dexter telah merasakannya, karenq Kairo menusuk kakinya dengan kayu runcing iti ketika ia lengah.Dua puluh kursi yang berada di sana pun menjadi sasaran untuk dijadikan senjata. Pertempuran itu benar-benar sengit. Kairo melemparkan kursi terakhir yang masih utuh kepada Dexter yang sedang terjengkang setelah sebelumnya terkena tendangan, namun untung saja di detik terakhir dia masih sempat menghindar.Dengan sisa-sisa tenaganya, Dexter menerjang tubuh Kairo dan menjatuhkannya ke lantai, lalu b
Rasanya setiap sendi di kaki Jelita mau lepas dari engselnya, tapi ia abaikan semua rasa sakit itu dan terus saja berlari, untuk mengejar sesosok tinggi yang ia rindukan dan telah berada jauh di depannya.Aaahhh, sial... sekarang lelaki itu malah menghilang!!Dengan napas yang tersengal, Jelita berhenti di depan pintu sebuah cafe untuk bersandar sejenak di tiang putih besarnya. Berlari dengan heels 5 senti sambil membawa tas dan dokumen tebal benar-benar sebuah perjuangan.Ditambah lagi sudah sebulan terakhir ini dia juga jarang berolahraga. Lengkaplah sudah.Sambil mengatur napasnya yang berantakan, Jelita mengamati spot terakhir dimana Dexter terakhir terlihat. Atau mungkin, orang yang sangat mirip dengan Dexter Green, suaminya yang telah meninggal dua tahun yang lalu. Tidak, itu pasti Dexter. Jelita sangat yakin lelaki yang barusan ia lihat adalah Dexter!Jelita tak tahu apa yang ia rasakan saat ini, karena hatinya serasa ditumbuhi bunga yang bermekaran namun juga sekaligus dina
Cuma ngingetin, ini novel yang 100% happy ending ya. Jadi... jangan kaget baca bab ini. Peace.***Tubuh Jelita membeku dengan tatapan kosongnya yang lurus terarah pada pusara penuh bunga di hadapannya. Tak ada satu pun isak tangis yang keluar dari bibir pucat itu, karena airmatanya telah mengering.Tubuh dan hatinya kini telah kebas, menebal dan mati rasa.Ini terjadi lagi. Untuk yang kedua kalinya.Apakah dirinya pembawa sial? Apakah dirinya memang tidak ditakdirkan untuk bahagia?Apakah dia tidak layak untuk mendapatkan cinta yang begitu besar dari seseorang yang luar biasa? Dulu Zikri, dan sekarang...Sekarang...Jelita mengangkat wajahnya yang pucat dan melihat Heaven yang berada di seberangnya. Wanita itu tengah tersedu dengan sangat pilu, sementara William terus memeluk dan berusaha menenangkan istrinya.Seketika Jelita pun merasa iba. Heaven telah kehilangan putrinya, dan kini kejadian itu pun terulang kembali. Dia kehilangan putranya.'Maafkan aku, Mom.' 'Putra tercinta
Jelita menatap lelaki paruh baya yang sedang terbaring diam itu dengan tatapan sendu. Matanya terpejam rapat, alat bantu napas menutup sebagian wajahnya dan beberapa infus terlihat menancap di tubuhnya. Ayahnya berada dalam kondisi koma. Pukulan keras yang beberapa kali menghantam kepalanya membuat otaknya mengalami trauma. Wajahnya penuh lebam dan luka, begitu pun sekujur tubuhnya. Robekan di sepanjang lengannya bahkan harus dioperasi karena merusak banyak syaraf-syaraf penting.Wanita itu pun kembali terisak pelan ketika mengingat penyiksaan keji kepada ayahnya itu. Seorang ayah yang baru ditemuinya setelah tiga puluh satu tahun hidupnya. Seorang ayah yang sempat ia benci ketika mengetahui kisahnya di masa lalu."Ayah, maafkan aku..." lirih Jelita sambil terus terisak. Ia mengunjungi Allan menggunakan kursi roda dengan diantarkan oleh suster jaga. Heaven pulang sebentar untuk melihat anak-anak Jelita di rumah, sekaligus membawa barang-barang yang diperlukan untuk rawat inap me
Dengan sekuat tenaga, Dexter melempar ponselnya membentur dinding hingga hancur berkeping-keping.Kemarahan yang terasa membakar dadanya ingin sekali ia lampiaskan kepada Prisilla Pranata, wanita iblis jahanam itu."Aaaarrghhhh!!!" Dexter menarik kursi yang ia duduki lalu mengangkatnya tinggi-tinggi, dan membantingnya ke lantai dengan keras hingga hancur berantakan."Mr. Green..." Nero masuk ke ruangan itu dan tidak heran lagi saat melihat suasana di sekelilingnya yang kacau-balau bagai terjangan angin badai memporak-porandakan seluruh isinya. Tuan Mudanya itu memang selalu menghancurkan barang-barang jika sedang murka.Seseorang telah berani mengusik istri dari Dexter Green, dan Nero memastikan kalau orang itu beserta kaki tangannya tidak akan bisa selamat dari kemurkaan lelaki itu. Dexter Green biasanya memang tidak sekejam ayahnya jika berhadapan dengan musuh-musuhnya, namun Nero tidak terlalu yakin lagi setelah apa yang ia lihat hari ini.Sisi psikopat Dexter yang selama ini jau
Kening berkerut Prisilla Pranata semikin penuh dengan lipatan saat ia mengernyit. Sudah tiga jam James tidak dapat dihubungi. Ada apa ini? Tak biasanya anak lelaki satu-satunya itu hilang kontak selama ini. Cih, paling-paling ia mabuk-mabukan dan bermain dengan jalang di night club. Hanya saja saat ini Prisilla membutuhkan James menemui Alarik. Wanita itu ingin mendapatkan bukti yang meyakinkan bahwa Alarik benar-benar sudah menculik dan menyiksa Allan beserta kedua putrinya itu. Lebih baik lagi jika ada videonya, pasti Prisilla akan sangat puas melihat jerit kesakitan dan permohonan ampun mereka yang menjijikkan.Dan sekarang entah kenapa tiba-tiba saja wanita yang masih terlihat anggun di usia lanjut itu merasa gelisah, karena Alarik belum memberikan kabar apa pun. Terakhir kira-kira beberapa jam yang lalu si pembunuh bayaran itu hanya memberi kabar kalau berhasil menangkap ketiga orang itu, tapi setelahnya tidak ada info apa pun lagi. Brengsek! Dimana sih mereka? James dan
"DEXTER, HENTIKAAN!"Kalimat perintah dari William Green itu sebenarnya terdengar begitu keras dengan suaranya yang menggelegar, namun putra satu-satunya yang ditegur itu seperti tidak bisa mendengar apa pun lagi. Telinga, mata dan hatinya sudah tertutup oleh kemurkaan yang begitu besar, sehingga tubuhnya pun bergerak bagai robot mematikan yang terus menghancurkan lawannya tanpa henti."KATAKAN DIMANA ISTRIKU, BEDEBAH!!" Bentakan keras itu diiringi oleh tatapan pekat dari netra karamel Dexter yang dalam dan menakutkan, seakan mampu menghisap seluruh jiwamu hingga kering tak bersisa.BUUUGH!!!Kembali, pukulan kuat itu telak ia layangkan kepada James Pranata, yang sudah terdiam di lantai dengan tubuh dan wajah yang penuh bersimbah darah.William Green pun akhirnya memberikan kode kepada ajudannya Nero dan tiga orang pengawal untuk menahan putranya agar tidak membunuh James yang sepertinya sudah sekarat itu.Bukan karena William peduli dengan nyawa James, ia hanya ingin mendapatkan inf