Hari Minggu besoknya, ternyata Jelita sudah diperbolehkan pulang oleh Dokter.
Dexter membereskan barang-barang Jelita dan memasukkan semuanya ke dalam mobil, lalu ia kembali ke dalam kamar untuk membawa Jelita yang masih menggunakan kursi roda.Saat ia mendorong kursi roda Jelita hingga ke pintu depan kamar, tiba-tiba Dexter baru menyadari bahwa ada sesuatu yang hilang dari Jelita."Dimana kalungmu?" tanya Dexter sambil menatap leher Jelita yang polos.Hah? Refleks, Jelita meraba lehernya yang terasa kosong. Kalung rose gold liontin kupu-kupu yang semalam Dexter hadiahkan untuknya tidak ada di sana!"Uhm... apa mungkin ketinggalan di kamar mandi ya?" tanya Jelita bingung sambil menatap Dexter."Oke. Aku cari dulu sebentar ya. Kamu tunggu di sini saja," ucap Dexter sambil memasang rem di kursi roda Jelita, lalu pria itu pun menghilang kembali masuk ke dalam kamar.Jelita mengernyit. Aneh, rasanya tadi ia sama sekali tidak melepaskan kalungnya itu saat mandi. Atau ia yang lupa?"Permisi... maaf apa ini milikmu?" sebuah suara lembut mengagetkan Jelita dan membuatnya menoleh.Sesosok wanita cantik yang juga duduk di kursi roda tersenyum kepada Jelita. Mata hijaunya bersinar cerah, sangat unik sekaligus cantik. Kulitnya putih berpendar indah, dengan rambut hitam seleher.Jelita sampai mengedipkan matanya berkali-kali hanya untuk memastikan bahwa wanita ini bukanlah makhluk peri yang nyasar ke dunia manusia.Wanita itu mengulurkan tangannya kepada Jelita dengan telapak tangan yang terbuka, memperlihatkan sebuah kalung liontin kupu-kupu yang ia cari di sana."Kalungku!" seru Jelita gembira dan meraih benda itu dari tangan wanita cantik bermata zamrud di depannya itu."Terima kasih, Kak! Aku mencari-carinya dari tadi," tukasnya lega. "Oh iya, namaku Jelita. Nama kakak siapa?""Halo Jelita. Panggil saja aku Nana," sahut wanita itu sambil menatap Jelita dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Ngomong-ngomong usiamu berapa?""Aku?" Jelita menunjuk wajahnya sendiri. "Enam belas tahun, Kak."Nana mengangguk pelan. "Masih sangat belia ya... Pantas saja...""Ya?" Jelita mengernyit bingung. Pantas apa?"Tidak apa-apa," tukas Nana sambil tertawa pelan. "Baiklah Jelita, kalau begitu aku pergi dulu ya." Ia pun tersenyum sambil membelokkan kursi rodanya untuk berlalu."Kak Nana, tunggu!" Jelita menarik rem pengaman kursi roda dan menggerakkannya mendekati Nana yang telah menghentikan kursi roda dan menatapnya bingung.Ia melepaskan gelang etnik yang melingkar di tangannya. Gelang yang terdiri dari tiga untai gelang-gelang kecil, terdiri dari seuntai gelang batu warna coklat, seuntai gelang tali ulir dan seuntai lagi gelang berbadul love yang semuanya diikat menjadi satu."Kak, tolong terimalah gelang ini sebagai ucapan terima kasih karena sudah menemukan benda yang sangat berharga bagiku," ucap Jelita sambil mengulurkan benda kesayangannya."Gelang itu aku yang buat sendiri, Kak. Jadi cuma ada satu di dunia, loh!" candanya sambil terkekeh pelan.Nana sedikit terkejut karena tidak menyangka akan menerima sesuatu dari Jelita. Ia menatap gelang etnik yang memang terlihat unik itu di tangannya dalam diam."Ini... untukku?" tanyanya ragu-ragu.Jelita mengangguk penuh semangat hingga kaca matanya sedikit melorot ke bawah hidung. "Bukan barang yang mahal sih, Kak. Tapi mudah-mudahan Kak Nana suka."Tiba-tiba suara langkah kaki terdengar dari arah bekas kamar Jelita, dan seketika Nana pun terlihat gugup. "Ehm, baiklah. Gelangnya aku terima ya? Ok, bye now," ucapnya sambil berlalu dengan kursi rodanya secepat mungkin."Bye, Kak Nana! Terima kasih ya!" sahut Jelita sambil melambaikan tangan kepada Nana yang telah menjauh dengan meluncur cepat di atas kursi rodanya."Siapa itu, Jelita?" Dexter yang kini sudah berada di belakangnya pun bertanya."Oh, itu Kak Nana. Nih, dia yang menemukan kalungku!" Jelita melambaikan kalung rose gold berliontin kupu-kupu di hadapan Dexter."Oh ya? Syukurlah kalau begitu," sahut Dexter lega. Kalung yang ia berikan kepada Jelita itu memiliki nilai historis yang penting baginya.Heaven mendapatkan kalung itu dari William ayah Dexter, yang diwariskan dari nenek Dexter yang telah tiada."Maaf ya, kayaknya tadi nggak sengaja jatuh deh," sesal Jelita merasa sangat bersalah karena teledor.Dexter mengelus rambut hitam Jelita yang panjang. "It's okay, Hun. Aku tahu kamu nggak sengaja," sahut Dexter sambil tertawa pelan melihat wajah menyesal Jelita yang menggemaskan.Lelaki itu pun menatap kepergian wanita yang bernama Nana itu sambil tersenyum dan berterima kasih dalam hati.***Tak terasa hari pertunangan Jelita dan Dexter telah tiba, dan Jelita benar-benar bahagia sekaligus gugup. Perasaan insecure menyerangnya lagi, memikirkan betapa jauh ketimpangan sosial antara dirinya dan Dexter.Jelita mematut dirinya di depan cermin. Ia telah didandani oleh make-up artist yang cukup berpengalaman, sehingga menyulap Jelita yang lugu dan polos menjadi seorang wanita dewasa yang sangat cantik.Gaunnya yang berwarna krem lembut dengan taburan swarovski yang tersebar menutupi dada dan berserakan di bagian roknya membuat penampilan Jelita terlihat elegan dan mewah, namun tetap saja ia tidak percaya diri.Pintu kamar Jelita yang berupa lift pun terbuka, dan Tania, Kevin serta Bu Dira keluar dari sana dengan ekspresi mereka masing-masing saat melihat Jelita.Tania yang menjerit, Bu Dira yang langsung berkaca-kaca, dan Kevin yang... datar-datar saja. Hah. Dasar cowok!"Inilah 'Jelita' yang sebenarnya," ucap Bu Dira kagum sambil menyusut setitik air matanya saat memandangi anak asuhnya itu. Ia memeluk dan mengecup pipi Jelita dengan penuh kasih dan memberikan senyuman penuh haru, membuat gadis itu pun ikut menitikkan air mata."Heeiii... jangan nangis. Sayang make-up mahal!" seru Tania sambil mengipas-ngipas wajah Jelita dengan harapan setitik embun di matanya itu akan menguap dan tidak merusak dandannya.Jelita tersenyum dan menatap Kevin yang dari tadi hanya diam saja. "Makasih ya, Vin... untuk persahabatanmu selama ini. Makasih juga sudah datang," ucap Jelita dengan suara serak sarat emosi."Apaan sih, Nyet? Kamu ngomongnya kaya mau pergi kemana aja. Memangnya setelah kamu tunangan terus kita nggak bakalan sahabatan lagi?" ledek Kevin yang akhirnya bersuara juga sambil menoyor pelan kepala Jelita.'Iya juga ya. Dasar Jelita geblek'. Gadis itu pun terbahak menertawakan kebodohannya sendiri. Perasaan bahagia dan hari sudah membuat otaknya gagal loading kayaknya.Suara denting lift membuat mereka semua menatap pintu besi yang perlahan terbuka, menampakkan seorang wanita elegan bergaun maroon dengan rambut pirang gelap dan wajah yang rupawan.Tania, Kevin dan Bu Dira hanya bisa melongo menatap Heaven yang berjalan anggun ke arah mereka dan tersenyum menawan."Jelita, are you ready?" tanya Heaven sambil mengamati Jelita dari ujung kepala hingga kaki. Ia terlihat sangat puas dengan penampilan gadis itu hari ini yang memang terlihat sempurna.Jelita mengangguk, dan tak lupa mengenalkan Bu Dira, Kevin dan Tania kepada Heaven sebelum ia turun menuju ke taman di lantai bawah, tempat dilaksanakannya acara pertunangan.Dengan kaki terbalut high heels coklat tua penuh mote mengkilat, Jelita berjalan di sepanjang jalan setapak taman yang telah ditaburi mawar dan penuh bunga di sisinya.Para tamu yang hadir hampir seratus persen adalah saudara Dexter dan kolega dari William Green ikut mengagumi kecantikan Jelita yang memang nyaris sempurna itu.Rata-rata mereka sudah tahu bahwa gadis itu adalah yatim piatu, dan mereka juga sudah diwanti-wanti agar tidak membocorkan kegiatan apa pun yang terjadi di kediaman Dexter hari ini.Dengan diapit oleh Bu Dira serta Heaven di sisinya, mata Jelita berbinar bahagia saat melihat Dexter yang menatapnya dari kejauhan.'Tampannya tunanganku,' pikir Jelita sambil tersenyum. Jantungnya pun berdebar melihat makhluk yang begitu sempurna, dan makin berdetak kencang saat langkahnya semakin dekat dengan lelaki yang dicintainya.Dexter memakai jas krem senada gaun Jelita dan menata rambut caramelnya dengan rapi, membuat wajahnya yang sangat tampan bak malaikat jatuh ke bumi itu pun semakin terlihat memikat.Saat Jelita tiba di hadapannya, Dexter menatap sayu wajah gadisnya itu dengan penuh damba. Jelita sangat cantik."I am a fucking lucky guy," gumannya pelan saat terpaku dan tenggelam pada mata sebening embun itu. Dexter merasa tersesat pada kilau jutaan manik di mata Jelita, namun ia menolak untuk mencari jalan pulang."I am lost. But I am happy to know that i'm lost in your heart," bisik Dexter di telinga Jelita, yang membuat gadis itu menunduk dan merona.Acara pertunangan Dexter-Jelita pun berjalan dengan lancar. Mungkin memang berbeda dengan pertunangan pada umumnya, karena Jelita hanya memiliki Bu Dira sebagai satu-satunya keluarga.William Green, ayah Dexter, membuka acara dengan pidato sambutannya yang berwibawa.Baru kali ini Jelita bertemu dengan pria yang masih sangat tampan di usianya yang sudah empat puluh delapan tahun itu, dan sepertinya dia orang yang baik.Terlihat terlalu posesif kepada Heaven, sih.... tapi itu wajar karena istrinya itu sangat cantik meski usianya sudah tidak muda lagi.Jelita benar-benar beruntung karena William Green juga menerima dirinya yang yatim piatu miskin ini dengan baik, bahkan calon papa mertuanya itu langsung mengajak Jelita berdansa setelah acara tukar cincin selesai dan setelah Dexter melakukan dansa pertama dengannya sebagai tunangan."Dexter bilang, kamu suka baca buku-buku tentang hukum ya?" tanya lelaki bertuxedo hitam itu sambil berdansa pelan dengan Jelita.Jelita mengangguk. "Iya, Dad. Aku memang suka. Terutama hukum Internasional dan perdata," sahut Jelita antusias.William tersenyum. "Kalau begitu, ambillah kuliah di fakultas hukum, Jelita. Pilih universitas yang kamu mau, di dalam atau luar negeri. Dad yang akan membiayai semua pendidikanmu hingga setinggi apa pun yang kamu inginkan," tukas William sambil tersenyum."Terima kasih, Dad. Tapi Dexter juga bilang bahwa dia yang akan membiayaiku," ucap Jelita malu-malu."Hah, anak itu! Dad tahu dia lucky trader di bidang saham dan sukses besar di situ. Tapi Dad ingin sekali dia bangkrut sehingga terpaksa melanjutkan Alpha Green Company," cetus William muram. "Cobalah bujuk dia untuk meneruskan usaha keluarganya, Jelita. Dia terlalu keasyikan main saham dan jadi malas mengelola hotel."Jelita tersenyum. "Ya, Dad. Akan kucoba untuk membujuknya."Lagu pengiring dansa mereka telah selesai, dan William pun melepaskan tangannya dari Jelita untuk bertepuk tangan dan memberi hormat kepada pasangan dansanya.Jelita sedang mencari-cari Dexter yang tadi sedang berbincang dengan kolega ayahnya, saat seseorang menyapanya."Hei, Jelita."Gadis itu pun melotot saat melihat teman sebangku di sekolah yang berdiri di depannya dengan tuxedo hitam. Ia pun menelan ludah."Zikri?! Aa-apa yang kamu lakukan di sini?" sebutir keringat mulai muncul di kening Jelita. Zikri telah mengetahui hubungannya dengan Dexter!Zikri tersenyum menyeringai sambil menatap Jelita dari atas ke bawah. Tatapannya sempat terhenti sejenak di dada yang menyembul dari balik taburan swarowski dan kaki jenjang indah terpampang dari balik belahan gaunnya.Jelita looks so yummy. Selama ini Zikri hanya melihatnya dalam seragam sekolah, dan ia benar-benar tak menyangka bahwa gadis yang disukainya ini juga memiliki tubuh yang menggiurkan."Papaku adalah kolega Pak William Green, jadi dia juga diundang ke sini," jawab Zikri santai. Lalu ia mendekatkan bibirnya ke telinga Jelita. "Kena kamu sekarang, Jelita! Aku benar kan, ternyata kalian punya hubungan lebih dari sekedar Kakak-Adik asuh?"Jelita menjauhkan telinganya dari bibir Zikri dengan raut kesal. "Oke, kamu memang benar. Puas?"Zikri tertawa pelan. "Tentu saja aku belum puas. Kamu harus menuruti semua perintahku jika kamu tidak ingin pertunangan ini sampai bocor di sekolah," ujar Zikri dengan seringai liciknya."Aku mau kamu jadi pacarku."***hari ini triple up ya. akan up lagi jam 3 dan 6 soreJelita menatap Zikri seakan teman sebangkunya itu sudah gila. "Udah belum halunya? Aku ini sudah bertunangan, Zikri! Dexter bisa memukulmu jika ia sampai tahu hal ini!" tukas gusar Jelita. Zikri tertawa samar. "Tunanganmu itu tidak akan berani melakukannya. Dia tahu siapa aku." Zikri mendengus dan kembali mendekatkan bibirnya, membuat Jelita kesal dan serta merta memalingkan wajah."Lihat saja, besok sekolah akan geger dengan berita ini jika kamu tidak menuruti perintahku!" bisik tajam lelaki itu sebelum ia berjalan santai ke arah meja buffet. Jelita menatap punggung Zikri sambil melontarkan sejuta makian dalam hati. Huh, dia tidak akan berani mengatakannya pada teman-teman di sekolah! 'Awas saja. Akan kuadukan hal ini kepada Dexter!''Tapi ngomong-ngomong, dimana sih Dexter?' Kenapa tunangannya itu mendadak menghilang setelah acara?Tatapan mata Jelita bersirobok pada Kevin, Tania dan Bu Dira yang asik mengobrol sambil menikm
Zikri bosan sekali dengan acara ini. Tak ada teman seusianya yang bisa diajak ngobrol. Well, kecuali Kevin dan cewek entah siapa itu sih, tapi jujur saja Zikri juga malas bertemu dengan sahabat Jelita yang menyebalkan itu. Haahh, sebaiknya ia pulang saja. Lagipula Jelita entah berada di mana sekarang. Padahal satu-satunya alasan ia bersedia diajak papanya ke sini adalah karena ia ingin bertemu Jelita, tak peduli meski ia sudah bertunangan dengan Dexter laknat itu.Zikri pun langsung pergi begitu saja tanpa pamit dengan papanya ataupun pemilik rumah. Tak ada juga yang akan peduli dengannya. Untung saja tadi dia menolak untuk satu mobil dengan papanya, dan memilih untuk mengendarai mobil sendiri.Di dalam mini cooper-nya, Zikri langsung melepas dasi tuxedo yang serasa mencekik lehernya. Ia menatap Audemars Piguet yang melingkar di pergelangan tangannya. Hmm... masih jam delapan malam. Sekarang ke club mana sebaiknya i
"Tunggu di mobil ya. Aku mau ambil kuncinya dulu," ucap Zikri kepada Jelita. Ia pun membuka pintu mobilnya lalu keluar. Zikri akhirnya memutuskan untuk membawa Jelita ke villa keluarganya di Bogor yang memang kosong tak ada yang menempati, hanya ada Pak Narwo--penjaga yang tidur di paviliun samping villa sekaligus yang setiap hari membersihkan tempat itu.Biasanya Pak Narwo akan membuka pintu gerbangnya jika ada salah satu keluarga Sutomiharjo yang datang. Namun karena Zikri tidak memberitahu sebelumnya, maka pria paruh baya itu tidak berjaga di pos satpam. Mungkin dia sedang berada di paviliunnya.Zikri menekan bel di tiang pintu gerbang. Setelah dua kali, ia melihat seseorang berjalan tergesa-gesa ke arahnya."Ya ampun, Mas Zikri?!" seru kaget seorang lelaki berusia sekitar enam puluhan yang mengenakan celana panjang hitam dan kaus hijau. "Sebentar Mas, saya bukakan dulu pintunya," ucapnya sambil mengeluarkan serenceng kunci dari saku."Maaf datang malam-malam dan tidak memberitahu
Dexter memukuli setir mobilnya berkali-kali saat lampu lalu lintas berubah merah. "Aaaaarrrghhhh!!! Brengseeeekkkk!!!"Ia berteriak sambil menjambak rambut dengan kedua tangannya sekuat tenaga, berharap rasa sakit yang ia rasakan bisa melebihi rasa sakit di hatinya karena kepergian Jelita.Jelita. Jelita...Nama yang terus terngiang di dalam benaknya, diikuti oleh bayangan sosok perempuan indah nan sempurna yang dengan bodohnya telah ia sia-siakan.Jika saat ini ada pistol di hadapan Dexter, maka sudah pasti akan ia gunakan untuk meledakkan otaknya yang bodoh ini. Dexter menumpukan kepalanya yang pusing di atas setir, mengabaikan bunyi bising klakson mobil di belakangnya yang bersahut-sahutan. Lampu lalin telah berubah menjadi hijau, namun lelaki itu seakan tidak memiliki tenaga lagi untuk sekedar menjalankan mobilnya. Dexter pun masih terdiam saat mendengar suara makian dari mobil-mobil yang melewatinya. Tubuhnya ber
Saat ini waktu telah menunjukkan jam 1 dini hari. Dexter baru saja sampai di depan villa milik keluarga Sutomiharjo di daerah Bogor. Menurut Putra, villa tersebut adalah properti milik keluarga Zikri yang posisinya paling dekat dari Jakarta. Jadi besar kemungkinan Zikri membawa Jelita ke tempat itu.Dexter pun keluar dari mobilnya, dan berjalan ke arah pagar tinggi yang ditumbuhi tanaman menjalar dengan bunga kecil yang berwarna kuning.Pagar itu terkunci. Tidak heran juga sih, sekarang memang sudah jauh lewat dari tengah malam. Apalagi suasana di sekitar villa juga sangat sepi. Dexter melihat bel di tiang pagar dan langsung saja memencetnya tanpa ragu. Ia yakin sekali Jelita sedang berada di dalam villa ini. Ia harus bertemu dengan gadis itu, dan membawanya pulang ke Jakarta sekarang juga. Bagaimana pun caranya.***Udara Bogor yang dingin membuat Jelita tiba-tiba bersin dan terbangun. Sambil menggosok-gosok hidungnya, ia pun berusaha memicingkan mata karena merasakan kulit dingin
Zikri membawa Jelita ke pantai ancol yang sudah pasti sangat sepi di siang terik seperti ini, terutama karena hari ini bukan weekend.Sebelumnya ia mampir dulu ke toko terdekat untuk membeli topi lebar bundar agar Jelita tidak terlalu kepanasan, dan membeli minuman ringan dingin serta beberapa es krim untuk Jelita.Gadis itu sebenarnya kaget saat mengetahui kalau Zikri mengajaknya ke pantai, yang merupakan salah satu landscape faforit Jelita selain gunung.Meskipun siang ini sangat panas, namun Jelita tak peduli. Dengan riang, ia bermain air sambil berlari-larian. Ia jadi teringat, terakhir kalinya ke pantai adalah saat ia membolos sekolah bersama Kevin. Dan alasan ia bolos karena kesal kepada Zikri yang tiba-tiba saja menciumnya tanpa permisi.Uh. Siapa sangka jika sekarang ia ke pantai justru bersama Zikri!Jelita melirik Zikri yang sedang tidur telentang di atas kain yang dibentangkan di pasir, kaca mata hitam bertengger di h
Selesai sarapan, dengan terburu-buru Jelita menggendong anak-anaknya dan mendudukkan mereka di dalam carseat mobil. Hanya tersisa sedikit waktu untuk mengantarkan anak-anaknya ke daycare lalu berangkat ke kantor. Semoga saja tidak macet di perjalanan. Namun sesampainya di daycare, entah kenapa tiba-tiba saja Aireen menangis dan tidak mau berpisah dengan Jelita. Dengan terpaksa wanita itu mengajaknya bermain-main dan bercanda selama lima belas menit, hingga anak perempuannya itu lebih tenang. Fiuuh... untung saja Axel anteng bermain sendiri dan tidak ikut-ikutan rewel seperti adiknya!Dari daycare, Jelita lanjut membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi mengalahkan pembalap yang kesetanan menuju kantor. Ia sudah terlambat! Karyawan baru yang belum ada seminggu bekerja dan sudah berani-beraninya terlambat??!!Oh God. Sudah terbayang punishment yang akan ia terima. Dari yang ringan seperti teguran, sindiran, hingga makian. Huuuh... semoga saja tidak sampai di pilihan yang terakhir.Ses
"Miss Kanaya, anda sudah ditunggu Mr. Pierce di dalam ruangannya," ucap Stefi, sekretaris Jason Pierce melalui sambungan telepon. "Okay, Stef. Thanks ya!" Jelita langsung bangkit dari kursi kerjanya untuk berjalan menuju ruang Jason. Sesampainya di sana ia pun mengetuk pintu ruang kerja pimpinan tertinggi di Firma Hukum ini dengan perlahan, dan mendengar sayup suara yang menyuruhnya masuk. Jason duduk di kursi kerjanya yang tinggi dan sedang serius membaca sebuah dokumen tebal. Wajahnya sedikit terangkat ketika melihat Jelita yang masuk ke dalam ruangannya.Jelita langsung ikut duduk di sofa panjang saat melihat lelaki itu berdiri dari kursi kerja untuk duduk di sofa single."Aku sudah menerima e-mail tentang revisi kontrak kerja sama PT Lintas Megah darimu," Jason membuka pembicaraan setelah melihat Jelita duduk tenang di sofa."Lumayan juga untuk lawyer yang biasa menangani konflik rumah tangga," cetusnya lagi dengan senyum yang terpantul dari mata birunya yang memikat.Jelita pun
"Ya, aku di sana, Sayang. Saat Anaya lahir, aku memanjat dinding rumah sakit dan duduk dengan cemas di ruang sebelah. Mendengar semua rintihan kesakitanmu, dan mendengar tangisan pertama anak perempuan kita."***Sehabis Dexter dan Jelita bertemu dan bercinta semalaman, paginya lelaki itu langsung menemui anak-anak serta seluruh keluarganya. Tentu saja mereka semua sangat kaget, namun juga terharu dan menangis penuh rasa bahagia melihat Dexter bisa kembali berkumpul bersama mereka. Bahkan sejak saat itu Axel, Aireen, Ellard dan Ellena selalu ingin tidur di kamar orang tuanya, bersempit-sempitan dalam satu ranjang master bed.Jelita hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum melihat kelakuan anak-anaknya yang seperti tidak mau berpisah lagi dengan Daddy mereka. Seperti juga malam ini. Meskipun malam ini sudah malam ke-lima kembalinya Dexter ke rumah, empat anak mereka itu masih saja rela tidur bersempit-sempit di ranjang Jelita dan Dexter. Untung saja ranjang itu superbes
Jelita menatap dengan segenap penuh kerinduan pada manik karamel yang selalu membuatnya terbuai, tenggelam dalam kedalamannya yang seakan tak berdasar itu. Ada begitu banyak pertanyaan yang berkecamuk di dalam hati Jelita, namun entah mengapa kali ini seolah bibirnya terkunci.Hanya desah tercekat yang lolos dari bibirnya ketika Dexter menggores bibirnya di leher Jelita yang seharum bunga. Kesepuluh jemari wanita itu telah terbenam di dalam kelebatan rambut Dexter yang sedikit lebih panjang dari biasanya, wajahnya mendongak dengan kedua mata yang terpejam rapat.Lelaki itu menyesap kuat lehernya bagaikan vampir kehausan yang membutuhkan darah segar agar ia tetap hidup. Rasa sakit itu begitu nyata, begitu nikmat dirasakan oleh Jelita. Untuk kali ini, ia benar-benar tak keberatan jika Dexter menyakitinya. Jelita justru ingin disakiti, ia bahkan tidak akan menolak jika Dexter ingin membawanya ke dalam Love Room dan membelenggunya dengan rantai besi lalu menyiksanya seperti Dexter di
Kedua lelaki itu masih terus melakukan baku hantam, tak berhenti saling melancarkan serangan serta pukulan yang mematikan untuk membuat lawannya tak berkutik. Ruangan besar yang biasanya digunakan untuk pertemuan para anggota Black Wolf itu pun kini tak berbentuk lagi. Meja lonjong panjang dari kayu jati itu telah terbelah, setelah Dexter melemparkan tubuh Kairo ke atasnya. Potongan-potongan kayu itu pun mereka jadikan senjata yang cukup berbahaya karena ujung-ujung patahannya yang runcing.Dexter telah merasakannya, karenq Kairo menusuk kakinya dengan kayu runcing iti ketika ia lengah.Dua puluh kursi yang berada di sana pun menjadi sasaran untuk dijadikan senjata. Pertempuran itu benar-benar sengit. Kairo melemparkan kursi terakhir yang masih utuh kepada Dexter yang sedang terjengkang setelah sebelumnya terkena tendangan, namun untung saja di detik terakhir dia masih sempat menghindar.Dengan sisa-sisa tenaganya, Dexter menerjang tubuh Kairo dan menjatuhkannya ke lantai, lalu b
Rasanya setiap sendi di kaki Jelita mau lepas dari engselnya, tapi ia abaikan semua rasa sakit itu dan terus saja berlari, untuk mengejar sesosok tinggi yang ia rindukan dan telah berada jauh di depannya.Aaahhh, sial... sekarang lelaki itu malah menghilang!!Dengan napas yang tersengal, Jelita berhenti di depan pintu sebuah cafe untuk bersandar sejenak di tiang putih besarnya. Berlari dengan heels 5 senti sambil membawa tas dan dokumen tebal benar-benar sebuah perjuangan.Ditambah lagi sudah sebulan terakhir ini dia juga jarang berolahraga. Lengkaplah sudah.Sambil mengatur napasnya yang berantakan, Jelita mengamati spot terakhir dimana Dexter terakhir terlihat. Atau mungkin, orang yang sangat mirip dengan Dexter Green, suaminya yang telah meninggal dua tahun yang lalu. Tidak, itu pasti Dexter. Jelita sangat yakin lelaki yang barusan ia lihat adalah Dexter!Jelita tak tahu apa yang ia rasakan saat ini, karena hatinya serasa ditumbuhi bunga yang bermekaran namun juga sekaligus dina
Cuma ngingetin, ini novel yang 100% happy ending ya. Jadi... jangan kaget baca bab ini. Peace.***Tubuh Jelita membeku dengan tatapan kosongnya yang lurus terarah pada pusara penuh bunga di hadapannya. Tak ada satu pun isak tangis yang keluar dari bibir pucat itu, karena airmatanya telah mengering.Tubuh dan hatinya kini telah kebas, menebal dan mati rasa.Ini terjadi lagi. Untuk yang kedua kalinya.Apakah dirinya pembawa sial? Apakah dirinya memang tidak ditakdirkan untuk bahagia?Apakah dia tidak layak untuk mendapatkan cinta yang begitu besar dari seseorang yang luar biasa? Dulu Zikri, dan sekarang...Sekarang...Jelita mengangkat wajahnya yang pucat dan melihat Heaven yang berada di seberangnya. Wanita itu tengah tersedu dengan sangat pilu, sementara William terus memeluk dan berusaha menenangkan istrinya.Seketika Jelita pun merasa iba. Heaven telah kehilangan putrinya, dan kini kejadian itu pun terulang kembali. Dia kehilangan putranya.'Maafkan aku, Mom.' 'Putra tercinta
Jelita menatap lelaki paruh baya yang sedang terbaring diam itu dengan tatapan sendu. Matanya terpejam rapat, alat bantu napas menutup sebagian wajahnya dan beberapa infus terlihat menancap di tubuhnya. Ayahnya berada dalam kondisi koma. Pukulan keras yang beberapa kali menghantam kepalanya membuat otaknya mengalami trauma. Wajahnya penuh lebam dan luka, begitu pun sekujur tubuhnya. Robekan di sepanjang lengannya bahkan harus dioperasi karena merusak banyak syaraf-syaraf penting.Wanita itu pun kembali terisak pelan ketika mengingat penyiksaan keji kepada ayahnya itu. Seorang ayah yang baru ditemuinya setelah tiga puluh satu tahun hidupnya. Seorang ayah yang sempat ia benci ketika mengetahui kisahnya di masa lalu."Ayah, maafkan aku..." lirih Jelita sambil terus terisak. Ia mengunjungi Allan menggunakan kursi roda dengan diantarkan oleh suster jaga. Heaven pulang sebentar untuk melihat anak-anak Jelita di rumah, sekaligus membawa barang-barang yang diperlukan untuk rawat inap me
Dengan sekuat tenaga, Dexter melempar ponselnya membentur dinding hingga hancur berkeping-keping.Kemarahan yang terasa membakar dadanya ingin sekali ia lampiaskan kepada Prisilla Pranata, wanita iblis jahanam itu."Aaaarrghhhh!!!" Dexter menarik kursi yang ia duduki lalu mengangkatnya tinggi-tinggi, dan membantingnya ke lantai dengan keras hingga hancur berantakan."Mr. Green..." Nero masuk ke ruangan itu dan tidak heran lagi saat melihat suasana di sekelilingnya yang kacau-balau bagai terjangan angin badai memporak-porandakan seluruh isinya. Tuan Mudanya itu memang selalu menghancurkan barang-barang jika sedang murka.Seseorang telah berani mengusik istri dari Dexter Green, dan Nero memastikan kalau orang itu beserta kaki tangannya tidak akan bisa selamat dari kemurkaan lelaki itu. Dexter Green biasanya memang tidak sekejam ayahnya jika berhadapan dengan musuh-musuhnya, namun Nero tidak terlalu yakin lagi setelah apa yang ia lihat hari ini.Sisi psikopat Dexter yang selama ini jau
Kening berkerut Prisilla Pranata semikin penuh dengan lipatan saat ia mengernyit. Sudah tiga jam James tidak dapat dihubungi. Ada apa ini? Tak biasanya anak lelaki satu-satunya itu hilang kontak selama ini. Cih, paling-paling ia mabuk-mabukan dan bermain dengan jalang di night club. Hanya saja saat ini Prisilla membutuhkan James menemui Alarik. Wanita itu ingin mendapatkan bukti yang meyakinkan bahwa Alarik benar-benar sudah menculik dan menyiksa Allan beserta kedua putrinya itu. Lebih baik lagi jika ada videonya, pasti Prisilla akan sangat puas melihat jerit kesakitan dan permohonan ampun mereka yang menjijikkan.Dan sekarang entah kenapa tiba-tiba saja wanita yang masih terlihat anggun di usia lanjut itu merasa gelisah, karena Alarik belum memberikan kabar apa pun. Terakhir kira-kira beberapa jam yang lalu si pembunuh bayaran itu hanya memberi kabar kalau berhasil menangkap ketiga orang itu, tapi setelahnya tidak ada info apa pun lagi. Brengsek! Dimana sih mereka? James dan
"DEXTER, HENTIKAAN!"Kalimat perintah dari William Green itu sebenarnya terdengar begitu keras dengan suaranya yang menggelegar, namun putra satu-satunya yang ditegur itu seperti tidak bisa mendengar apa pun lagi. Telinga, mata dan hatinya sudah tertutup oleh kemurkaan yang begitu besar, sehingga tubuhnya pun bergerak bagai robot mematikan yang terus menghancurkan lawannya tanpa henti."KATAKAN DIMANA ISTRIKU, BEDEBAH!!" Bentakan keras itu diiringi oleh tatapan pekat dari netra karamel Dexter yang dalam dan menakutkan, seakan mampu menghisap seluruh jiwamu hingga kering tak bersisa.BUUUGH!!!Kembali, pukulan kuat itu telak ia layangkan kepada James Pranata, yang sudah terdiam di lantai dengan tubuh dan wajah yang penuh bersimbah darah.William Green pun akhirnya memberikan kode kepada ajudannya Nero dan tiga orang pengawal untuk menahan putranya agar tidak membunuh James yang sepertinya sudah sekarat itu.Bukan karena William peduli dengan nyawa James, ia hanya ingin mendapatkan inf