Share

20. Someone Else

Penulis: Black Aurora
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Ayo dibuka mulutnya, aaa...." Dexter mengulurkan sesendok sup ayam ke bibir Jelita yang cemberut. Tetapi gadis itu malah semakin memalingkan wajahnya menjauh dari sendok maupun dari wajah Dexter.

Dexter menghela napas. Sudah setengah jam ia membujuk Jelita agar mau makan, namun gadis itu sama sekali tidak menurutinya. Jelita kesal padanya gara-gara cerita Heaven tentang Wiona.

Tadi ibunya itu mengatakan bahwa ia telah menceritakan soal Wiona kepada Jelita, tak lama sebelum gadis itu terserang maag. Mungkin Jelita stres karena memikirkan itu.

Akhirnya Dexter pun meletakkan sendok itu di atas piring, dan menaruh piringnya di atas meja kecil di dekat ranjang. "Sayang, aku harus bagaimana supaya kamu mau makan?"

Jelita terdiam mematung sejenak di posisinya, namun beberapa detik kemudian ia memutar kepalanya kembali menghadap Dexter. "Aku mau kamu jujur," ucapnya kemudian.

Dexter pun memaki dalam hati. Sialan! Pasti dia mau bertanya soal Wiona! Kenapa Mom harus menceritakan wanita iblis itu kepada Jelita, sih?!

"Baiklah. Aku harus jujur soal apa?" tanya Dexter pasrah. Ia tahu pasti Jelita ingin menanyai soal masa lalunya. Apa boleh buat, daripada Jelita tidak mau makan.

Jelita menarik napas dan menghembuskannya pelan. Terlihat sekali kalau ia sedang stres. Wajahnya yang cantik meskipun sedikit pucat itu berkerut-kerut muram, dan berulangkali ia membetulkan letak kacamata di hidungnya dengan gelisah.

Di saat Dexter membebaskannya untuk bertanya apa pun, malah sekarang Jelita yang grogi. Mungkin ia takut mendengar kebenaran yang justru akan membuatnya semakin sakit hati. Atau mungkin juga ia takut Dexter malah berbohong agar tidak menyakitinya.

Jelita mendehem pelan, lalu membalas tatapan dari mata caramel berkilau yang menatapnya dengan lembut. God. Ia harus menguatkan hati kali ini.

"Tolong jawab dengan jujur. Aku ingin tahu semuanya, meski itu menyakitkan."

Dexter tersenyum kecil dan mengangguk padanya.

Jelita menarik napas dalam-dalam sebelum bertanya. "Apakah masih tersisa sedikit rasa cinta darimu untuknya?"

Ini dia. The Ultimate Question. Dexter mengira Jelita akan memberikan pertanyaan basa-basi dahulu, atau meminta Dexter untuk menceritakan awal pertemuannya dengan Wiona, dan bukan pertanyaan pamungkas yang diucapkan dengan sorot terluka dari mata beriris hitam berhias ribuan manik indah di dalamnya.

Dexter berpikir sejenak, berusaha menyusun kalimat jawaban sederhana yang tidak akan membuat Jelita sedih tanpa ia harus berbohong.

"Dia cuma bagian dari masa lalu yang tidak mungkin kuhapus, Jelita. Namun untuk saat ini dan seterusnya, hanya kamu yang akan ada di hatiku," tegas Dexter dengan menatap Jelita lekat, seakan ingin memberitahukan bahwa ia berkata jujur.

"Sungguh? Aku hanya akan bertanya satu kali, Dexter. Aku memberikan kesempatan bagimu untuk benar-benar berpikir sebelum kita bertunangan," tukas Jelita dengan mata berkaca-kaca. Wajar ia bertanya seperti itu, karena dari cerita Heaven padanya, Dexter sepertinya masih sulit melepaskan Wiona.

Heaven juga berkata bahwa beberapa kali lelaki itu menjalin hubungan dengan wanita, namun tidak ada yang serius dan lebih dari tiga bulan.

"Hei. Kamu menangis?" Dexter mendekati Jelita untuk memeluknya erat.

"Aku bukan pelampiasanmu, Dexter. Jangan bertunangan denganku jika kamu masih mencintainya! Aku sadar diri, dan tidak akan pernah menuntut apa pun darimu," ucap Jelita di antara isak tangisnya.

Ya, Jelita tahu ia hanya seorang yatim piatu miskin. Bisa berada di sisi Dexter tanpa status apa pun sebenarnya ia sudah sangat bahagia. Semua yang ia lalui akhir-akhir ini bahkan lebih indah dari mimpinya, dan Jelita tidak akan berani meminta lebih dari itu.

Dexter pun semakin mempererat pelukannya mendengar tangisan pilu gadisnya. "Baby, aku tidak mungkin bertunangan denganmu jika tidak mencintaimu," bisik Dexter lembut di telinga Jelita.

"Kamu bahkan sudah mencuri hatiku sejak saat pertama kali aku melihatmu serius dan tenggelam membaca buku setebal bantal itu." Dexter mengingatkan Jelita akan pertemuan pertama mereka di tempat kerjanya.

"Kamu manis sekali dengan kaca mata besar dan buku rumit di tangan. Dan sebenarnya saat itu aku sudah ingin sekali menciummu." Dan Dexter pun benar-benar mencium bibir manis itu untuk menghapus kesedihan di sana.

Ciuman itu awalnya dimaksudkan untuk menghibur Jelita, namun Dexter tidak sanggup melawan rasa ingin memiliki yang tiba-tiba hadir, mendesak dan menuntut tubuhnya untuk segera bersatu dengan gadisnya.

Dexter melepaskan ciuman panas mereka agar Jelita bisa menarik napas. Dengan kening yang saling bertaut dan napas yang saling memburu, Dexter membelai pipi mulus itu dengan lembut, lalu melepaskan kaca mata gadis itu dan menaruhnya di sisi bantal.

"I want you now, Sayang. So badly," ucapnya dengan mata caramel yang telah berkabut oleh hasrat.

Dan Jelita pun tak mampu menolak saat Dexter menyerang pertahanannya dengan belaian jemarinya di setiap titik sensitif Jelita, sementara bibirnya mencumbu ceruk leher gadis itu dan terus turun, lalu berhenti di dadanya.

Jelita mengerang gelisah saat Dexter membuka satu persatu kancing piyama rumah sakit yang ia kenakan. Lelaki itu menggeram senang ketika mengetahui kalau gadis itu tidak mengenakan bra di balik piyamanya.

"D-Dexter... nanti suster melihat kita--"

"Biarkan saja," potong Dexter tidak peduli sambil menggigit lembut dan mengulum puncak pink dada Jelita yang selalu membuatnya gemas. Satu tangannya sudah menyusup ke balik celana piyama Jelita, untuk memberikan sentuhan liar di daerah hangat dan lembab itu.

Jelita pun memekik pelan saat Dexter semakin mempercepat gerakan tangannya di sana, sebuah gelombang kenikmatan yang menerjang Jelita membuat gadis itu menggigit bibirnya kuat-kuat, berusaha menahan suara desahan keras keluar dari mulutnya. Ia malu sekali jika suaranya terdengar oleh suster di luar.

Dexter melepas semua kain yang melekat di tubuh Jelita, dan begitu juga dengan pakaiannya. Tak sedikitpun ia merasa malu dan takut apabila ada suster atau dokter atau siapa pun yang akan memergoki mereka. Dexter tak peduli.

Yang ada di dalam otaknya hanyalah Jelita dan tubuh indahnya yang membuat hasratnya begitu memuncak dan harus segera dituntaskan.

Dengan tubuh yang sama-sama polos tanpa sehelai benang pun, Dexter kembali menindih Jelita dan memberikan ciuman-ciuman panas dari bibirnya, serta sentuhan-sentuhan liar dari jemarinya.

Lalu Dexter pun mulai menghujam ke dalam tubuh Jelita. Setiap gerakan menimbulkan sensasi yang semakin lama semakin intens dan memabukkan. Dexter pun mendesah. Gadisnya ini benar-benar nikmat.

Saat Dexter semakin keras dan ganas menghujam ke dalam tubuh lembut Jelita, gadis itu pun kembali mengerang tanpa sadar. Suara seksi yang keluar dari mulutnya membuat Dexter semakin bergairah, dan memacunya untuk semakin bergerak cepat bagai kesetanan.

Saat kenikmatan itu semakin melesat tinggi, mereka pun sama-sama mendapatkan pelepasan yang memuaskan.

Deru napas mereka saling berpadu saat Dexter memeluk Jelita dalam dekapan hangatnya. Ia tahu Jelita suka sekali didekap seperti ini, dan Dexter akan selalu mendekapnya erat sehabis mereka bercinta.

Pandangan Jelita menjadi gelap, hanya ada titik-titik cahaya putih yang memenuhi penglihatannya. Tubuhnya yang belum sehat terasa makin remuk akibat percintaan panas mereka barusan. Tanpa sadar, Jelita pun tertidur karena kelelahan.

***

Setelah sesi bercinta mereka selesai, Dexter langsung memandikan Jelita dan membawanya jalan-jalan di taman rumah sakit dengan kursi roda.

"Sampai kapan aku di rawat?" tanya Jelita pada Dexter yang sedang mendorongnya menyusuri koridor rumah sakit.

"Kalau kondisimu stabil, besok sudah boleh pulang," sahut Dexter sambil tersenyum.

Jelita pun manyun. Akhir minggu yang seharusnya untuk bersantai dan jalan-jalan, malah dihabiskan di rumah sakit! Semoga saja hari minggu besok ia bisa pulang, karena Senin akan ada tes bahasa inggris dan matematika.

"Mom kemana?" tanya Jelita tiba-tiba.

"Hei. Ada aku, pacarmu dan calon tunanganmu di sini. Kenapa masih saja wanita itu yang kau tanyakan?" hardik Dexter kesal.

Padahal ia tadi sengaja mengusir ibunya itu secara halus, dengan mengatakan bahwa wanita itu butuh istirahat setelah tadi panik melihat kondisi Jelita. Dexter ingin menggunakan kesempatan ini untuk berduaan dengan kekasihnya.

Kening Jelita berkerut mendengarnya. "Jangan menyebut Mom dengan kata 'wanita itu', Dexter. Rasanya tidak pantas."

Dexter berdecak sebal. "Makanya jangan membuatku kesal! Tadi pagi aku sudah memberikan kalian waktu berjam-jam berdua. Dan lihat apa hasilnya? Kamu malah sakit!"

"Aku sakit bukan karena Mom! Aku sakit karena kamu!" bantah Jelita kesal.

Dexter menghentikan laju kursi roda Jelita karena mereka telah sampai di taman. Tempat ini cukup luas dan asri, dengan aneka tanamam hias yang berwarna-warni indah dilengkapi bangku-bangku dan meja untuk tempat pasien dan keluarga menikmati semilir udara sejuk.

Dexter mengunci kursi roda Jelita di bawah tempat yang sejuk karena dinaungi pohon besar. Lalu lelaki itu pun duduk di bangku di samping kursi roda Jelita, dan menatap lekat mata bermanik cantik yang dilapisi lensa itu.

"Aku minta maaf untuk masa lalu yang tidak bisa kuubah, Jelita. Untuk diriku yang dulu bodoh dan naif. Dan juga maaf karena belum bisa menceritakannya padamu," ucap Dexter sambil menghela napas.

"Aku takut kamu akan ketakutan dan pergi jika mendengarnya, karena kisahku yang terlalu rumit untuk dicerna. Tapi bukan berarti aku tidak akan pernah menceritakan semua padamu, Sayang."

"Jika saja Mom tidak bercerita, apa kamu mau jujur mengatakan segalanya?"

"Tentu saja."

"Kapan?"

"Mmm... mungkin setelah kita menikah. Tidak. Mungkin setelah kita memiliki dua anak, supaya kamu berpikir seribu kali untuk meninggalkanku," goda Dexter sambil mencium pipi Jelita gemas.

"Dexter!" pekik lirih Jelita sambil melotot. Ia menatap sekeliling dan baru menyadari bahwa mereka berdua telah menjadi pusat perhatian sekarang. Oh, bukan. Tapi cuma Dexter yang menjadi perhatian dan sasaran kekaguman semua orang.

Dexter tergelak melihat semburat merah di pipi Jelita, lalu mencubitnya gemas. Jika saja sekarang mereka di rumah dan kondisi Jelita sehat, ia pasti akan menyerang gadisnya lagi.

"Kamu tunggu di sini sebentar ya? Aku mau beli air mineral dulu di sana," ujar Dexter sambil menunjuk kantin yang tidak terlalu jauh dari taman.

Sepeninggal Dexter, Jelita memilih untuk menunduk dan menatap ponselnya, mengabaikan tatapan yang sekarang tertuju padanya dan membuatnya rikuh.

"Dek... itu kakaknya, ya? Ganteng banget deh. Boleh kenalan, nggak?" tiba-tiba terdengar suara malu-malu di samping kursi roda Jelita.

Ia pun mendongak, menatap dua orang perempuan yang senyum-senyum padanya.

'Ha? Pacarku sendiri dikira kakakku?'

"Dia bukan kakakku. Dia--"

"Jelita!"

Tiga kepala langsung menoleh cepat ke sumber suara yang memanggil Jelita. Terlihat Dexter mendatangi mereka dan menatap kedua perempuan itu dengan sorot dingin.

"Ada apa?" tanya Dexter pada kedua perempuan yang sekarang terlihat salah tingkah karena ditatap oleh makhluk rupawan di hadapannya.

"Eh, Mas... maaf tadi kami cuma mau kenalan sama Mas dan adiknya Mas. Boleh, kan?"

Dexter melirik Jelita yang diam sambil cemberut. Haha. Pasti pacarnya yang manis ini cemburu dan kesal karena dikira adiknya. Menggemaskan sekali. Bibir lembut gadisnya yang sedang mencebik itu terlihat menggoda untuk dilumat dengan keras.

Hmm... rasanya Dexter ingin menyeret Jelita masuk ke kamar dan kembali bercinta habis-habisan...

'Oh shit. Ada apa sih denganku? Apa penyakit maniak seks itu datang kembali?'

Dexter mendehem pelan, berusaha membersihkan tenggorokan sekaligus pikirannya yang selalu kotor setiap melihat Jelita.

"Maaf, tapi gadis ini bukan adikku, melainkan kekasihku," ucap Dexter akhirnya sambil mengelus rambut Jelita. "Dan aku harus membawa kekasihku ini kembali ke dalam kamar karena sepertinya ia lelah."

Lalu Dexter membuka rem pengaman di kursi roda Jelita dan mendorongnya berlalu dari dua orang perempuan yang bengong menatap mereka berdua.

"Masa sih, pacarnya? Kayaknya nggak mungkin deh. Cowoknya terlalu ganteng."

"Tapi kalau dibilang adik kakak juga nggak ada mirip-miripnya, sih..."

Jelita masih bisa mendengar bisikan mereka meskipun Dexter telah membawanya menjauh, dan itu makin membuatnya mendengus kesal.

Sementara Dexter hanya tersenyum lebar. Ia senang kali ini Jelita cemburu padanya. Akhirnya pacarnya ini merasakan juga apa yang selalu ia rasakan saat Jelita bercerita tentang Kevin, atau saat Dexter membayangkan teman sebangku Jelita yang memiliki rasa pada gadisnya.

Ya, si Zikri anak Pak Dirga Sutomiharjo itu. Rasanya Dexter masih kesal kalau mengingat anak itu yang pernah meminta ijin padanya untuk berpacaran dengan Jelita!

Dexter menaruh air mineral di pangkuan Jelita sambil mendorong kursi rodanya. "Nih, minum dulu."

"Nggak! Lagi nggak haus!" cetus Jelita.

Hampir saja Dexter terbahak mengetahui kalau gadisnya sedang ngambek. Uh, Jelita... kamu menggemaskan sekali!

"Minum sekarang, karena sampai di kamar aku akan membuatmu kehausan, Sayang. Bersiaplah. Kamu harus tanggung jawab karena membuatku terus menginginkan tubuhmu," bisik pelan Dexter di telinga Jelita, yang sontak membuat gadis itu membelalakkan mata dan merona.

Jelita menoleh dan mendongak menatap Dexter di belakangnya, dan mulutnya pun seketika terkunci saat menatap seringai devil yang menghiasi wajah tampan itu.

Ya ampun... dia serius. Kacau. Kalau begini, bagaimana Jelita bisa cepat sembuh? Dexter akan terus membuatnya kelelahan!

***

Dari kejauhan, tampak sepasang mata mengawasi seorang pria tampan yang sedang mendorong kursi roda berisi seorang gadis kecil berkaca mata yang terlihat seperti anak remaja.

Wiona tersenyum samar menatap ke arah dua sejoli itu, dan sekarang ia tahu alasannya kenapa Dexter tidak sudi untuk bersamanya lagi.

"Rupanya kamu sudah punya mainan baru, ya?" guman Wiona sambil tertawa pelan. "Gadismu begitu belia, Dex. Mengingatkanku pada Dexter yang innocent dan lucu. Aku sangat merindukanmu, Dexter. Sangat..."

***

Bab terkait

  • The Seductive Revenge   21. Engagement Party

    Hari Minggu besoknya, ternyata Jelita sudah diperbolehkan pulang oleh Dokter. Dexter membereskan barang-barang Jelita dan memasukkan semuanya ke dalam mobil, lalu ia kembali ke dalam kamar untuk membawa Jelita yang masih menggunakan kursi roda.Saat ia mendorong kursi roda Jelita hingga ke pintu depan kamar, tiba-tiba Dexter baru menyadari bahwa ada sesuatu yang hilang dari Jelita."Dimana kalungmu?" tanya Dexter sambil menatap leher Jelita yang polos.Hah? Refleks, Jelita meraba lehernya yang terasa kosong. Kalung rose gold liontin kupu-kupu yang semalam Dexter hadiahkan untuknya tidak ada di sana!"Uhm... apa mungkin ketinggalan di kamar mandi ya?" tanya Jelita bingung sambil menatap Dexter."Oke. Aku cari dulu sebentar ya. Kamu tunggu di sini saja," ucap Dexter sambil memasang rem di kursi roda Jelita, lalu pria itu pun menghilang kembali masuk ke dalam kamar.Jelita mengernyit. Aneh, rasanya tadi ia sama sekali tidak melepaskan kalungnya itu saat mandi. Atau ia yang lupa?"Permis

  • The Seductive Revenge   22. The Tragedy

    Jelita menatap Zikri seakan teman sebangkunya itu sudah gila. "Udah belum halunya? Aku ini sudah bertunangan, Zikri! Dexter bisa memukulmu jika ia sampai tahu hal ini!" tukas gusar Jelita. Zikri tertawa samar. "Tunanganmu itu tidak akan berani melakukannya. Dia tahu siapa aku." Zikri mendengus dan kembali mendekatkan bibirnya, membuat Jelita kesal dan serta merta memalingkan wajah."Lihat saja, besok sekolah akan geger dengan berita ini jika kamu tidak menuruti perintahku!" bisik tajam lelaki itu sebelum ia berjalan santai ke arah meja buffet. Jelita menatap punggung Zikri sambil melontarkan sejuta makian dalam hati. Huh, dia tidak akan berani mengatakannya pada teman-teman di sekolah! 'Awas saja. Akan kuadukan hal ini kepada Dexter!''Tapi ngomong-ngomong, dimana sih Dexter?' Kenapa tunangannya itu mendadak menghilang setelah acara?Tatapan mata Jelita bersirobok pada Kevin, Tania dan Bu Dira yang asik mengobrol sambil menikm

  • The Seductive Revenge   23. The Chaotic

    Zikri bosan sekali dengan acara ini. Tak ada teman seusianya yang bisa diajak ngobrol. Well, kecuali Kevin dan cewek entah siapa itu sih, tapi jujur saja Zikri juga malas bertemu dengan sahabat Jelita yang menyebalkan itu. Haahh, sebaiknya ia pulang saja. Lagipula Jelita entah berada di mana sekarang. Padahal satu-satunya alasan ia bersedia diajak papanya ke sini adalah karena ia ingin bertemu Jelita, tak peduli meski ia sudah bertunangan dengan Dexter laknat itu.Zikri pun langsung pergi begitu saja tanpa pamit dengan papanya ataupun pemilik rumah. Tak ada juga yang akan peduli dengannya. Untung saja tadi dia menolak untuk satu mobil dengan papanya, dan memilih untuk mengendarai mobil sendiri.Di dalam mini cooper-nya, Zikri langsung melepas dasi tuxedo yang serasa mencekik lehernya. Ia menatap Audemars Piguet yang melingkar di pergelangan tangannya. Hmm... masih jam delapan malam. Sekarang ke club mana sebaiknya i

  • The Seductive Revenge   24. I'll Give You A Hundred Kisses

    "Tunggu di mobil ya. Aku mau ambil kuncinya dulu," ucap Zikri kepada Jelita. Ia pun membuka pintu mobilnya lalu keluar. Zikri akhirnya memutuskan untuk membawa Jelita ke villa keluarganya di Bogor yang memang kosong tak ada yang menempati, hanya ada Pak Narwo--penjaga yang tidur di paviliun samping villa sekaligus yang setiap hari membersihkan tempat itu.Biasanya Pak Narwo akan membuka pintu gerbangnya jika ada salah satu keluarga Sutomiharjo yang datang. Namun karena Zikri tidak memberitahu sebelumnya, maka pria paruh baya itu tidak berjaga di pos satpam. Mungkin dia sedang berada di paviliunnya.Zikri menekan bel di tiang pintu gerbang. Setelah dua kali, ia melihat seseorang berjalan tergesa-gesa ke arahnya."Ya ampun, Mas Zikri?!" seru kaget seorang lelaki berusia sekitar enam puluhan yang mengenakan celana panjang hitam dan kaus hijau. "Sebentar Mas, saya bukakan dulu pintunya," ucapnya sambil mengeluarkan serenceng kunci dari saku."Maaf datang malam-malam dan tidak memberitahu

  • The Seductive Revenge   25. Breathtaking Night

    Dexter memukuli setir mobilnya berkali-kali saat lampu lalu lintas berubah merah. "Aaaaarrrghhhh!!! Brengseeeekkkk!!!"Ia berteriak sambil menjambak rambut dengan kedua tangannya sekuat tenaga, berharap rasa sakit yang ia rasakan bisa melebihi rasa sakit di hatinya karena kepergian Jelita.Jelita. Jelita...Nama yang terus terngiang di dalam benaknya, diikuti oleh bayangan sosok perempuan indah nan sempurna yang dengan bodohnya telah ia sia-siakan.Jika saat ini ada pistol di hadapan Dexter, maka sudah pasti akan ia gunakan untuk meledakkan otaknya yang bodoh ini. Dexter menumpukan kepalanya yang pusing di atas setir, mengabaikan bunyi bising klakson mobil di belakangnya yang bersahut-sahutan. Lampu lalin telah berubah menjadi hijau, namun lelaki itu seakan tidak memiliki tenaga lagi untuk sekedar menjalankan mobilnya. Dexter pun masih terdiam saat mendengar suara makian dari mobil-mobil yang melewatinya. Tubuhnya ber

  • The Seductive Revenge   26. Goodbye is the Saddest Word

    Saat ini waktu telah menunjukkan jam 1 dini hari. Dexter baru saja sampai di depan villa milik keluarga Sutomiharjo di daerah Bogor. Menurut Putra, villa tersebut adalah properti milik keluarga Zikri yang posisinya paling dekat dari Jakarta. Jadi besar kemungkinan Zikri membawa Jelita ke tempat itu.Dexter pun keluar dari mobilnya, dan berjalan ke arah pagar tinggi yang ditumbuhi tanaman menjalar dengan bunga kecil yang berwarna kuning.Pagar itu terkunci. Tidak heran juga sih, sekarang memang sudah jauh lewat dari tengah malam. Apalagi suasana di sekitar villa juga sangat sepi. Dexter melihat bel di tiang pagar dan langsung saja memencetnya tanpa ragu. Ia yakin sekali Jelita sedang berada di dalam villa ini. Ia harus bertemu dengan gadis itu, dan membawanya pulang ke Jakarta sekarang juga. Bagaimana pun caranya.***Udara Bogor yang dingin membuat Jelita tiba-tiba bersin dan terbangun. Sambil menggosok-gosok hidungnya, ia pun berusaha memicingkan mata karena merasakan kulit dingin

  • The Seductive Revenge   27. Take Me To Your Heart

    Zikri membawa Jelita ke pantai ancol yang sudah pasti sangat sepi di siang terik seperti ini, terutama karena hari ini bukan weekend.Sebelumnya ia mampir dulu ke toko terdekat untuk membeli topi lebar bundar agar Jelita tidak terlalu kepanasan, dan membeli minuman ringan dingin serta beberapa es krim untuk Jelita.Gadis itu sebenarnya kaget saat mengetahui kalau Zikri mengajaknya ke pantai, yang merupakan salah satu landscape faforit Jelita selain gunung.Meskipun siang ini sangat panas, namun Jelita tak peduli. Dengan riang, ia bermain air sambil berlari-larian. Ia jadi teringat, terakhir kalinya ke pantai adalah saat ia membolos sekolah bersama Kevin. Dan alasan ia bolos karena kesal kepada Zikri yang tiba-tiba saja menciumnya tanpa permisi.Uh. Siapa sangka jika sekarang ia ke pantai justru bersama Zikri!Jelita melirik Zikri yang sedang tidur telentang di atas kain yang dibentangkan di pasir, kaca mata hitam bertengger di h

  • The Seductive Revenge   28. Best Lawyer In Town

    Selesai sarapan, dengan terburu-buru Jelita menggendong anak-anaknya dan mendudukkan mereka di dalam carseat mobil. Hanya tersisa sedikit waktu untuk mengantarkan anak-anaknya ke daycare lalu berangkat ke kantor. Semoga saja tidak macet di perjalanan. Namun sesampainya di daycare, entah kenapa tiba-tiba saja Aireen menangis dan tidak mau berpisah dengan Jelita. Dengan terpaksa wanita itu mengajaknya bermain-main dan bercanda selama lima belas menit, hingga anak perempuannya itu lebih tenang. Fiuuh... untung saja Axel anteng bermain sendiri dan tidak ikut-ikutan rewel seperti adiknya!Dari daycare, Jelita lanjut membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi mengalahkan pembalap yang kesetanan menuju kantor. Ia sudah terlambat! Karyawan baru yang belum ada seminggu bekerja dan sudah berani-beraninya terlambat??!!Oh God. Sudah terbayang punishment yang akan ia terima. Dari yang ringan seperti teguran, sindiran, hingga makian. Huuuh... semoga saja tidak sampai di pilihan yang terakhir.Ses

Bab terbaru

  • The Seductive Revenge   154. End Of The Journey

    "Ya, aku di sana, Sayang. Saat Anaya lahir, aku memanjat dinding rumah sakit dan duduk dengan cemas di ruang sebelah. Mendengar semua rintihan kesakitanmu, dan mendengar tangisan pertama anak perempuan kita."***Sehabis Dexter dan Jelita bertemu dan bercinta semalaman, paginya lelaki itu langsung menemui anak-anak serta seluruh keluarganya. Tentu saja mereka semua sangat kaget, namun juga terharu dan menangis penuh rasa bahagia melihat Dexter bisa kembali berkumpul bersama mereka. Bahkan sejak saat itu Axel, Aireen, Ellard dan Ellena selalu ingin tidur di kamar orang tuanya, bersempit-sempitan dalam satu ranjang master bed.Jelita hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum melihat kelakuan anak-anaknya yang seperti tidak mau berpisah lagi dengan Daddy mereka. Seperti juga malam ini. Meskipun malam ini sudah malam ke-lima kembalinya Dexter ke rumah, empat anak mereka itu masih saja rela tidur bersempit-sempit di ranjang Jelita dan Dexter. Untung saja ranjang itu superbes

  • The Seductive Revenge   153. The Unity Of Love

    Jelita menatap dengan segenap penuh kerinduan pada manik karamel yang selalu membuatnya terbuai, tenggelam dalam kedalamannya yang seakan tak berdasar itu. Ada begitu banyak pertanyaan yang berkecamuk di dalam hati Jelita, namun entah mengapa kali ini seolah bibirnya terkunci.Hanya desah tercekat yang lolos dari bibirnya ketika Dexter menggores bibirnya di leher Jelita yang seharum bunga. Kesepuluh jemari wanita itu telah terbenam di dalam kelebatan rambut Dexter yang sedikit lebih panjang dari biasanya, wajahnya mendongak dengan kedua mata yang terpejam rapat.Lelaki itu menyesap kuat lehernya bagaikan vampir kehausan yang membutuhkan darah segar agar ia tetap hidup. Rasa sakit itu begitu nyata, begitu nikmat dirasakan oleh Jelita. Untuk kali ini, ia benar-benar tak keberatan jika Dexter menyakitinya. Jelita justru ingin disakiti, ia bahkan tidak akan menolak jika Dexter ingin membawanya ke dalam Love Room dan membelenggunya dengan rantai besi lalu menyiksanya seperti Dexter di

  • The Seductive Revenge   152. The Beloved Returns

    Kedua lelaki itu masih terus melakukan baku hantam, tak berhenti saling melancarkan serangan serta pukulan yang mematikan untuk membuat lawannya tak berkutik. Ruangan besar yang biasanya digunakan untuk pertemuan para anggota Black Wolf itu pun kini tak berbentuk lagi. Meja lonjong panjang dari kayu jati itu telah terbelah, setelah Dexter melemparkan tubuh Kairo ke atasnya. Potongan-potongan kayu itu pun mereka jadikan senjata yang cukup berbahaya karena ujung-ujung patahannya yang runcing.Dexter telah merasakannya, karenq Kairo menusuk kakinya dengan kayu runcing iti ketika ia lengah.Dua puluh kursi yang berada di sana pun menjadi sasaran untuk dijadikan senjata. Pertempuran itu benar-benar sengit. Kairo melemparkan kursi terakhir yang masih utuh kepada Dexter yang sedang terjengkang setelah sebelumnya terkena tendangan, namun untung saja di detik terakhir dia masih sempat menghindar.Dengan sisa-sisa tenaganya, Dexter menerjang tubuh Kairo dan menjatuhkannya ke lantai, lalu b

  • The Seductive Revenge   151. The Sight of You

    Rasanya setiap sendi di kaki Jelita mau lepas dari engselnya, tapi ia abaikan semua rasa sakit itu dan terus saja berlari, untuk mengejar sesosok tinggi yang ia rindukan dan telah berada jauh di depannya.Aaahhh, sial... sekarang lelaki itu malah menghilang!!Dengan napas yang tersengal, Jelita berhenti di depan pintu sebuah cafe untuk bersandar sejenak di tiang putih besarnya. Berlari dengan heels 5 senti sambil membawa tas dan dokumen tebal benar-benar sebuah perjuangan.Ditambah lagi sudah sebulan terakhir ini dia juga jarang berolahraga. Lengkaplah sudah.Sambil mengatur napasnya yang berantakan, Jelita mengamati spot terakhir dimana Dexter terakhir terlihat. Atau mungkin, orang yang sangat mirip dengan Dexter Green, suaminya yang telah meninggal dua tahun yang lalu. Tidak, itu pasti Dexter. Jelita sangat yakin lelaki yang barusan ia lihat adalah Dexter!Jelita tak tahu apa yang ia rasakan saat ini, karena hatinya serasa ditumbuhi bunga yang bermekaran namun juga sekaligus dina

  • The Seductive Revenge   150. The Unhealed Wounds

    Cuma ngingetin, ini novel yang 100% happy ending ya. Jadi... jangan kaget baca bab ini. Peace.***Tubuh Jelita membeku dengan tatapan kosongnya yang lurus terarah pada pusara penuh bunga di hadapannya. Tak ada satu pun isak tangis yang keluar dari bibir pucat itu, karena airmatanya telah mengering.Tubuh dan hatinya kini telah kebas, menebal dan mati rasa.Ini terjadi lagi. Untuk yang kedua kalinya.Apakah dirinya pembawa sial? Apakah dirinya memang tidak ditakdirkan untuk bahagia?Apakah dia tidak layak untuk mendapatkan cinta yang begitu besar dari seseorang yang luar biasa? Dulu Zikri, dan sekarang...Sekarang...Jelita mengangkat wajahnya yang pucat dan melihat Heaven yang berada di seberangnya. Wanita itu tengah tersedu dengan sangat pilu, sementara William terus memeluk dan berusaha menenangkan istrinya.Seketika Jelita pun merasa iba. Heaven telah kehilangan putrinya, dan kini kejadian itu pun terulang kembali. Dia kehilangan putranya.'Maafkan aku, Mom.' 'Putra tercinta

  • The Seductive Revenge   149. The Alpha Of Black Wolf

    Jelita menatap lelaki paruh baya yang sedang terbaring diam itu dengan tatapan sendu. Matanya terpejam rapat, alat bantu napas menutup sebagian wajahnya dan beberapa infus terlihat menancap di tubuhnya. Ayahnya berada dalam kondisi koma. Pukulan keras yang beberapa kali menghantam kepalanya membuat otaknya mengalami trauma. Wajahnya penuh lebam dan luka, begitu pun sekujur tubuhnya. Robekan di sepanjang lengannya bahkan harus dioperasi karena merusak banyak syaraf-syaraf penting.Wanita itu pun kembali terisak pelan ketika mengingat penyiksaan keji kepada ayahnya itu. Seorang ayah yang baru ditemuinya setelah tiga puluh satu tahun hidupnya. Seorang ayah yang sempat ia benci ketika mengetahui kisahnya di masa lalu."Ayah, maafkan aku..." lirih Jelita sambil terus terisak. Ia mengunjungi Allan menggunakan kursi roda dengan diantarkan oleh suster jaga. Heaven pulang sebentar untuk melihat anak-anak Jelita di rumah, sekaligus membawa barang-barang yang diperlukan untuk rawat inap me

  • The Seductive Revenge   148. The Ultimate Rival

    Dengan sekuat tenaga, Dexter melempar ponselnya membentur dinding hingga hancur berkeping-keping.Kemarahan yang terasa membakar dadanya ingin sekali ia lampiaskan kepada Prisilla Pranata, wanita iblis jahanam itu."Aaaarrghhhh!!!" Dexter menarik kursi yang ia duduki lalu mengangkatnya tinggi-tinggi, dan membantingnya ke lantai dengan keras hingga hancur berantakan."Mr. Green..." Nero masuk ke ruangan itu dan tidak heran lagi saat melihat suasana di sekelilingnya yang kacau-balau bagai terjangan angin badai memporak-porandakan seluruh isinya. Tuan Mudanya itu memang selalu menghancurkan barang-barang jika sedang murka.Seseorang telah berani mengusik istri dari Dexter Green, dan Nero memastikan kalau orang itu beserta kaki tangannya tidak akan bisa selamat dari kemurkaan lelaki itu. Dexter Green biasanya memang tidak sekejam ayahnya jika berhadapan dengan musuh-musuhnya, namun Nero tidak terlalu yakin lagi setelah apa yang ia lihat hari ini.Sisi psikopat Dexter yang selama ini jau

  • The Seductive Revenge   147. The Law Of Sowing And Reaping

    Kening berkerut Prisilla Pranata semikin penuh dengan lipatan saat ia mengernyit. Sudah tiga jam James tidak dapat dihubungi. Ada apa ini? Tak biasanya anak lelaki satu-satunya itu hilang kontak selama ini. Cih, paling-paling ia mabuk-mabukan dan bermain dengan jalang di night club. Hanya saja saat ini Prisilla membutuhkan James menemui Alarik. Wanita itu ingin mendapatkan bukti yang meyakinkan bahwa Alarik benar-benar sudah menculik dan menyiksa Allan beserta kedua putrinya itu. Lebih baik lagi jika ada videonya, pasti Prisilla akan sangat puas melihat jerit kesakitan dan permohonan ampun mereka yang menjijikkan.Dan sekarang entah kenapa tiba-tiba saja wanita yang masih terlihat anggun di usia lanjut itu merasa gelisah, karena Alarik belum memberikan kabar apa pun. Terakhir kira-kira beberapa jam yang lalu si pembunuh bayaran itu hanya memberi kabar kalau berhasil menangkap ketiga orang itu, tapi setelahnya tidak ada info apa pun lagi. Brengsek! Dimana sih mereka? James dan

  • The Seductive Revenge   146. The Salvation

    "DEXTER, HENTIKAAN!"Kalimat perintah dari William Green itu sebenarnya terdengar begitu keras dengan suaranya yang menggelegar, namun putra satu-satunya yang ditegur itu seperti tidak bisa mendengar apa pun lagi. Telinga, mata dan hatinya sudah tertutup oleh kemurkaan yang begitu besar, sehingga tubuhnya pun bergerak bagai robot mematikan yang terus menghancurkan lawannya tanpa henti."KATAKAN DIMANA ISTRIKU, BEDEBAH!!" Bentakan keras itu diiringi oleh tatapan pekat dari netra karamel Dexter yang dalam dan menakutkan, seakan mampu menghisap seluruh jiwamu hingga kering tak bersisa.BUUUGH!!!Kembali, pukulan kuat itu telak ia layangkan kepada James Pranata, yang sudah terdiam di lantai dengan tubuh dan wajah yang penuh bersimbah darah.William Green pun akhirnya memberikan kode kepada ajudannya Nero dan tiga orang pengawal untuk menahan putranya agar tidak membunuh James yang sepertinya sudah sekarat itu.Bukan karena William peduli dengan nyawa James, ia hanya ingin mendapatkan inf

DMCA.com Protection Status