Share

Bagian 3

Author: Intanabellia
last update Last Updated: 2021-09-06 16:58:03

Matahari menyembul malu dari ufuk timur, ia membawa hangat dari sinar yang di bawa olehnya. Menghalau dingin malam yang sempat menyelimuti daerah bumi. Tetes-tetes embun juga nampak masih memilih tinggal di dedaunan pohon pada sekitaran kawasan pemakaman umum ini. Di salah satu pusaran, seseorang dengan perlahan menabur bunga di susul dengan tangan yang berdoa. Di sampingnya lagi, seseorang lain terduduk di kursi roda mengikuti gerakan yang ia lakukan. Itu Alan dan Mira, tengah berkunjung pada malam sang kepala keluarga yang sesungguhnya.

Sudah belasan tahun pergi, namun keduanya tidak pernah lupa dengan kenangan bersama suami sekaligus ayah dalam keluarga mereka. Seharusnya jika Herdan masih bernapas, dia pasti akan senang melihat bagaimana putra kecil yang sering merengek ingin digendong olehnya dulu sudah menjadi remaja tampan sekarang. Dia pasti juga bangga melihat bagaimana toko kue yang di bangun bersama istrinya itu kini telah sukses dengan banyak pelanggan yang silih berganti berdatangan. Tapi seberapa hebat mereka melawan takdir? Tuhan sudah mengatur semua, termasuk dengan kepergian Herdan dari mereka.

Usai menabur bunga dan berdoa, Mira berniat turun dari kursi roda. Tidak peduli dengan rok putih selutut miliknya yang mengenai tanah lembab itu. Tidak merasa direpotkan, Alan pun turut membantu Ibunya dengan hati hati, ia juga mencoba mengatur posisi badan Mira agar duduk nyaman, lalu memundurkan kursi roda di belakangnya. Detik setelahnya, tangan putih Mira yang berbalut cardigan panjang itu menyentuh dan mengusap nisan itu selama beberapa kali. Mira tersenyum, tangan lainnya beralih mengambil satu buah bunga yang di taburkan Alan tadi. Memindahkannya berdekatan dengan nisan.

"Hai sayang, aku datang. Kamu apa kabar? Di sini lebih damai, ya? Aku tau itu." lirih Mira.

"Lihat anak kita, sayang. Dia sudah tumbuh besar sekarang. Dia yang dulu bermain bola denganmu kini lebih banyak menghabiskan waktunya bersamaku. Membantu aku yang tidak berguna ini."

Alan menepuk pundak Mira, ia menggeleng namun ia juga menerbitkan senyum.

"Jangan berkata seperti itu, Bu. Ayah pasti tidak suka." kata Alan.

Mira terkekeh.

"Lihatlah, bahkan Alan sudah berani menegurku. Cara dia menegurku sama dengan cara kamu menegurku, sayang. Ahh aku mengerti, ternyata banyak dari sifatmu yang mendarah daging dalam diri anak kita. Oh iya, aku bawakan bunga untukmu. Kamu lihat sekarang? Sudah 10 tahun lebih tiap ulang tahun pernikahan kita, hanya aku yang memberikan bunga untukmu. Aku harap kamu suka dengan bunga ini." ujar Mira pada akhirnya. Ia meletakkan buket bunga yang cukup besar, bahkan sampai menutupi nisan suaminya. Lalu segera ia meminta bantuan kepada Alan untuk meminta duduk kembali di kursi roda, yang tentu dengan Alan di balas dengan senang hati.

Hari ini adalah tepat hari pernikahan Mira dan Herdan, sudah menjadi kebiasaan Mira dan Alan datang berkunjung. Membawakan buket bunga besar hanya untuk mendiang Herdan. Membersihkan makam dari rerumputan kecil juga tidak mereka lupakan sebelum akhirnya mereka pergi pulang. Seperti sekarang, dalam perjalanan pulang, Mira bercerita tentang masa lalu bersama Herdan. Dengan begitu, Mira berharap bahwa Alan tidak pernah kosong kehilangan figur seorang Ayah. Meski tidak lagi bisa bertatap dan berbicara langsung, tapi dalam lubuk hatinya, Alan percaya bahwa Ayah selalu menemaninya. Di sana, Ayah pasti tengah mengamati dan ikut serta mendengarkan cerita Mira.

"Dulu, saat usiamu 2 tahun. Ayah rela hujan-hujanan beli susu, karena kebetulan waktu itu susu kamu sudah habis. Persediaan juga sudah habis, padahal Ibu sudah bilang tidak perlu beli. Sekali absen minum susu juga tidak terlalu buruk. Tapi Ayah kamu itu keras kepala, sama seperti kamu. Tidak peduli dengan hujan yang masih deras, dia dengan payungnya pergi ke Minimarket. Ibu sampai heran dibuatnya." ujar Mira, ia terkekeh membayangkan masa itu. Ingatan tentang masa lalu bersama suaminya itu kembali, seperti lembar usang namun tidak pernah kehilangan makna di dalamnya.

Tok, tok, tok!

Terdengar ketukan pintu rumah, dengan tergopoh-gopoh Mira langsung membukakan pintu. Di depan, Herdan tersenyum puas dengan sebuah kresek di tangannya. Pakaiannya basah, bahkan ia tidak lagi berlindung dengan payung. Mira yang melihatnya langsung menggelengkan kepala, tidak percaya bahwa di depannya sekarang adalah suaminya.

"Astaga sayang, ayo cepat masuk. Terima kasih sekali sudah bersedia hujan-hujanan demi susu ini. Payung yang kamu bawa kemana? Aku masih ingat sebelum berangkat tadi aku memberikanmu payung biru. Sebentar, aku sembari buatkan teh hangat dulu. Kamu gantilah semua pakaian itu. Aku tidak ingin kamu sakit." ujar Mira sarat dengan kekhawatirannya.

"Payung yang aku bawa, di tengah jalan tadi terbang terbawa angin. Anginnya tadi luar biasa. Bahkan aku seperti akan ikut terbawa terbang." Herdan terkekeh. Ia melepas jaket, membuka kancing kemeja satu persatu dan meletakkannya di ember kecil berdekatan dengan mesin cuci.

"Ayahhh!!"

Alan kecil berteriak, suara nyaringnya menggema satu rumah. Herdan yang melihat anaknya berlari akan mendekatinya itu pun langsung cepat menyilangkan kedua tangannya di depan.

"Roarrr!! Raksasa besar datang! Jangan mendekat atau pangeran kecil ini akan mati." begitu ucap Herdan. Ia berlagak layaknya Ayah yang tengah bercanda dengan anaknya. Mira yang melihat tingkah suami dan anaknya dari penyekat dapur itu tertawa.

"Sini, nak. Biarkan Raksasa besar itu membersihkan dirinya." kata Mira.

Alan kecil pun berlari, memeluk kaki Mira yang membuat sang pemilik kaki menjadi gemas. Mira lantas berjongkok guna menyamakan tinggi anaknya. Ia mencubit pelan hidung mancung Alan, Alan nampak risih. Namun itu malah membuat Mira semakin gemas.

"Alan mau apa, sayang? Mau susu, ya? Sebentar ya." kata Mira, ia memberikan kecupan singkat di kepala Alan. 

Sembari menunggu susu miliknya datang, Alan kecil berlari menuju sofa panjang di ruang tengah. Ia merebahkan dirinya dengan sebuah robot Ultraman. Beberapa menit kemudian, sofa berguncang. Membuat Alan langsung terduduk. Netranya melihat kanan kiri, namun tidak ada siapa-siapa. Alan kecil pun berdiri sebelum akhirnya matanya bertatapan dengan mata Herdan, Ayahnya. Begitu mengetahui Herdan datang, Alan memekik girang. Ia langsung meminta gendong yang disambut semangat oleh Herdan.

Sudah pukul sepuluh malam, namun putra kecil mereka itu nampak masih segar untuk masuk ke kamar dan tidur. Tubuhnya masih aktif berlari kesana kemari mengajak Herdan untuk mengejarnya. Seperti musuh dan penyelemat, mereka saling menyerang dalam akting. Sebelum akhirnya semua disudahi saat mendengar nasihat Mira untuk segera tidur. Mira juga segera memberikan susu itu kepada Alan dan secangkir teh hangat untuk Herdan. Saat semuanya sudah selesai, Mira langsung meminta mereka untuk pergi tidur mengingat malam sudah semakin larut.

"Ayah hebat, Bu!" Alan tertawa, membayangkan dirinya dan Ayah yang di marahi Mira semasa dulu.

"Sungguh, waktu itu kalian benar-benar buat Ibu sudah kesal. Bahkan, saat Ibu hendak pergi tidur Ibu mendapat sebuah pesan dari tetangga. Dia menanyakan kenapa rumah kita sangat berisik. Hahaha."

Keduanya masih sibuk tertawa, hingga tidak merasa bahwa mereka sudah sampai di Rumah. Cepat sekali, pikir mereka. Mungkin karena sibuk berceloteh cerita tadi, membuat mereka tidak sadar bahwa perjalanan panjang pun serasa singkat seperti saat ini. Seperti kehidupan, akan menjadi lebih cepat apabila dijalani dengan bahagia. Namun lebih cepat di sini tidak membuat rugi, tidak ada yang perlu di sayangkan dengan menjalani kehidupan yang bahagia. Dengan rasa tabah dan damai di dalamnya, bahkan rasa luka dan sedih akan melebur. Tidak sepenuhnya memang, tapi setidaknya sakit yang di rasa akan berkurang ketika bahagia datang. Nikmatilah setiap waktu yang berjalan, agar kamu mampu memaknai apa yang terjadi.

Related chapters

  • The Return of Friendship Shoes   Bagian 4

    Selepas libur Sekolah kemarin, kini Alan kembali masuk. Menyambut hari Senin yang kebanyakan menjadi hari yang paling tidak di sukai oleh pelajar, banyak yang bilang karena mata pelajarannya cukup padat untuk memulai hari awal saat bersekolah. Tapi tidak bagi Alan, lima hari waktu bersekolah seperti tidak ada bedanya. Semua sama, tanpa terkecuali.Sekarang sedang berlangsung dilaksanakannya upacara, sudah menjadi kebiasaan lama bahwa hari Senin akan menjadi hari di adakannya upacara bendera. Bukan hanya di sekolahnya, tapi hampir semua sekolah di Indonesia memiliki kebiasaan tersebut. Biasanya murid yang terlambat akan mendapat hukuman yang lebih memalukan daripada hari-hari lainnya. Mereka di minta untuk berdiri di depan barisan, dilihat oleh semua warga sekolah. Salah satu sederet siswa yang dihukum itu ada Alan. Tidak, dia sudah mematuhi peraturan sekolah. Ia bahkan berangkat dengan seragam lengkap. Dasi yang melingkar di lehernya, sepatu hitam yang membungkus kedua

    Last Updated : 2021-09-06
  • The Return of Friendship Shoes   Bagian 5

    Setelah setengah jam berhasil membuat Mita bergelut di dalam ruang guru dan menjawab berbagai pertanyaan, akhirnya ia diputuskan untuk masuk di kelas Darel. Ia ditemani salah satu guru yang kebetulan akan mengajar di kelas Darel pun berjalan bersama melewati koridor kelas. Sesekali keduanya saling melempar pertanyaan dan jawaban sekadar untuk berkenalan."Selamat pagi anak-anak. Hari ini kita kedatangan teman baru, mari kenalkan dirimu, Nak." ujar Guru itu mempersilakan Mita memperkenalkan dirinya secara singkat."Halo semuanya! Namaku Mita Mizuki, kalian bisa memanggilku Mita. Seperti yang sudah kalian ketahui, aku murid pindahan dari Jepang. Kini, aku dan keluargaku memilih untuk kembali ke Indonesia dan menetap di sini. Aku harap kalian bisa menerimaku di sini, terima kasih." ucap Mita di iringi dengan membungkukan badannya. Sepertinya kebiasaan khas orang Jepang tersebut sudah mengental dalam dirinya. Hidup belasan tahun di Jepang tentu tidak semudah itu sega

    Last Updated : 2021-09-06
  • The Return of Friendship Shoes   Bagian 6

    Taman belakang sekolah menjadi tempat pelarian Mita dan Darel. Tangan mereka masih saling bertaut erat meski keduanya sudah duduk pada salah satu bangku panjang yang di sediakan. Beberapa detik setelahnya, Darel baru tersadar. Dia melepas genggaman Mita dengan cepat, hal itu membuat Mita sedikit kaget. Lantas, suasana di antara mereka menjadi canggung. Mita memilih mengatur fokusnya pada air mancur yang berada di tengah-tengah kolam di depan sana dan Darel lebih memilih mengusap paha kakinya dengan tangan dengan pelan namun berulang."Terima kasih." ujar Darel pada akhirnya, dia masih dalam posisi yang sama. Bedanya kali ini dia sedikit menunduk, menatap tangannya yang memerah.Di samping Darel, Mita tampak sedikit kelabakan sebelum akhirnya mengangguk dengan senyum kikuk. Salah satu tangan Mita sesekali membenarkan rok seragam tanpa maksud yang jelas."Kamu ke---"Mita memotong percakapannnya sendiri saat melihat Darel hendak beranjak pergi. Lantas

    Last Updated : 2021-09-12
  • The Return of Friendship Shoes   Bagian 7

    "Apa maksud ucapanmu?""Kamu tidak menyadari kenapa dia duduk di bangku belakang sendiri? Biar aku beri tau, dengarkan dengan baik, oke?""Jadi dia---"Suatu hari di mana perkenalan murid baru di adakan di lapangan sekolah. Murid yang akan menempati kelas 10 itu menjalani masa orientasi, di depan barisan, kepala sekolah berpidato singkat memberikan penyambutan kepada para murid. Suara tepukan tangan menggema setelah kepala sekolah mengucapkan selamat datang di SMA ini dan pamit untuk menutup sesi pidato darinya. Barisan di ambil alih oleh Kakak kelas yang masuk dalam organisasi OSIS, mereka dengan cepat mengatur barisan yang sempat hendak membubarkan diri dengan tegas. Bahkan mereka tidak segan untuk berteriak memanggil adik kelas yang mulai bandel.Di barisan belakang, Alan berdiri. Posisi tempatnya cukup mendapat banyak sinar matahari yang perlahan mulai naik dan hangat yang di bawa mulai bertambah panas. Sebentar lagi, mereka akan di berikan jam

    Last Updated : 2021-09-18
  • The Return of Friendship Shoes   Bagian 8

    "Alan pulang."Mira menggerakkan laju kursi rodanya dengan semangat, dia menghampiri anaknya. Senyum di wajah Mira tidak pernah luntur saat menyambut Alan kembali ke Rumah. Daun pintu menggerakkan laju pintu untuk terbuka, menampilkan Alan lengkap dengan seragam sekolah serta senyum hangat di wajahnya."Halo Nyonya besar!! Tuan mudamu telah kembali." Alan terkekeh, dia menyempatkan waktu untuk memeluk Mira yang dengan senang hati Mira terima, Mira turut membalas pelukan dari anaknya."Dasar!" ujar Mira sembari tertawa kecil.Mira memundurkan kursi rodanya, melaju kembali ke arah dapur, dia tengah memasak sup sayur hari ini. Belum selesai, sebab Mira baru mengupas dan membersihkan sayuran tadi sebelum Alan pulang."Masakan Ibu belum selesai, kamu bersihkan badanmu dulu, Ibu akan selesaikan ini secepatnya." Mira mulai mengambil pisau dan kembali berkutat dengan tugasnya. Bahan yang sudah dia iris, di masukkan ke dalam mangkuk besar untuk di cuc

    Last Updated : 2021-09-28
  • The Return of Friendship Shoes   Bagian 1

    Sekolah, sebuah gedung yang dikenal mempunyai banyak ruang yang berbeda-beda. Menjadi salah satu tempat utama untuk menuntut ilmu bagi sebagian besar manusia sebagai bekal masa depan. Gedung dengan berbagai tingkatan kelas dan pengajaran yang bertahap itu seakan tidak pernah kehilangan ramai suasana oleh warga sekolah. Ya, kecuali hari libur, sih. Orang bilang Sekolah ibarat tempat kedua yang kita singgahi setelah Rumah tempat tinggal. Di sana, seseorang akan menemukan dan berbaur dengan manusia yang beragam sifat, saling berdiskusi dan bekerja sama meraih yang terbaik. Koridor kelas tidak pernah kehilangan tapak dari derap langkah murid dan guru, atau bahkan penjaga sekolah.Bila dijabarkan lebih lanjut, mungkin bagian pertama ini tidaklah cukup. Maka untuk itu, izinkan aku membawamu menikmati kisah yang ku suguhkan hari ini. Izinkan aku untuk memperkenalkan mereka dalam tiap lembar cerita nanti. Aku berharap, kamu akan bersedia.Katanya Sekolah adalah tempat sederhan

    Last Updated : 2021-09-05
  • The Return of Friendship Shoes   Bagian 2

    Beralih pada Sekolah yang menjadi tempat menyakitkan untuk Alan, di sini Alan merasa menemukan damai. Bukan dengan barang mewah yang bisa membuat mata Alan terbelalak tidak percaya, bukan juga dengan banyak lembar uang yang bisa membuatnya membeli berbagai barang dengan mudahnya. Di sini, dengan rambut kepala yang di elus pelan penuh ketulusan, berbaring menjadikan paha seseorang sebagai bantal kepalanya. Di iringi nyanyian merdu dari sosok yang ia sebut Ibu."Ibu suka lihat kamu bermanja-manja seperti ini." kata wanita 42 tahun itu. Mira namanya.Alan tersenyum, ia bergerak mencari kenyamanan yang lebih baik. Alan menatap netra milik Ibunya, sembab di sana masih terlihat jelas untuk Alan meski Mira sudah berusaha sebaik mungkin membagi senyumnya. Berapa lama ia menangis sendirian? Bagaimana seandainya tadi Alan tidak bergegas pulang setelah usai sekolah? Apa ibunya akan menjadi lebih kacau daripada saat ia membuka pintu dan menampilkan Ibunya tengah menangis, te

    Last Updated : 2021-09-06

Latest chapter

  • The Return of Friendship Shoes   Bagian 8

    "Alan pulang."Mira menggerakkan laju kursi rodanya dengan semangat, dia menghampiri anaknya. Senyum di wajah Mira tidak pernah luntur saat menyambut Alan kembali ke Rumah. Daun pintu menggerakkan laju pintu untuk terbuka, menampilkan Alan lengkap dengan seragam sekolah serta senyum hangat di wajahnya."Halo Nyonya besar!! Tuan mudamu telah kembali." Alan terkekeh, dia menyempatkan waktu untuk memeluk Mira yang dengan senang hati Mira terima, Mira turut membalas pelukan dari anaknya."Dasar!" ujar Mira sembari tertawa kecil.Mira memundurkan kursi rodanya, melaju kembali ke arah dapur, dia tengah memasak sup sayur hari ini. Belum selesai, sebab Mira baru mengupas dan membersihkan sayuran tadi sebelum Alan pulang."Masakan Ibu belum selesai, kamu bersihkan badanmu dulu, Ibu akan selesaikan ini secepatnya." Mira mulai mengambil pisau dan kembali berkutat dengan tugasnya. Bahan yang sudah dia iris, di masukkan ke dalam mangkuk besar untuk di cuc

  • The Return of Friendship Shoes   Bagian 7

    "Apa maksud ucapanmu?""Kamu tidak menyadari kenapa dia duduk di bangku belakang sendiri? Biar aku beri tau, dengarkan dengan baik, oke?""Jadi dia---"Suatu hari di mana perkenalan murid baru di adakan di lapangan sekolah. Murid yang akan menempati kelas 10 itu menjalani masa orientasi, di depan barisan, kepala sekolah berpidato singkat memberikan penyambutan kepada para murid. Suara tepukan tangan menggema setelah kepala sekolah mengucapkan selamat datang di SMA ini dan pamit untuk menutup sesi pidato darinya. Barisan di ambil alih oleh Kakak kelas yang masuk dalam organisasi OSIS, mereka dengan cepat mengatur barisan yang sempat hendak membubarkan diri dengan tegas. Bahkan mereka tidak segan untuk berteriak memanggil adik kelas yang mulai bandel.Di barisan belakang, Alan berdiri. Posisi tempatnya cukup mendapat banyak sinar matahari yang perlahan mulai naik dan hangat yang di bawa mulai bertambah panas. Sebentar lagi, mereka akan di berikan jam

  • The Return of Friendship Shoes   Bagian 6

    Taman belakang sekolah menjadi tempat pelarian Mita dan Darel. Tangan mereka masih saling bertaut erat meski keduanya sudah duduk pada salah satu bangku panjang yang di sediakan. Beberapa detik setelahnya, Darel baru tersadar. Dia melepas genggaman Mita dengan cepat, hal itu membuat Mita sedikit kaget. Lantas, suasana di antara mereka menjadi canggung. Mita memilih mengatur fokusnya pada air mancur yang berada di tengah-tengah kolam di depan sana dan Darel lebih memilih mengusap paha kakinya dengan tangan dengan pelan namun berulang."Terima kasih." ujar Darel pada akhirnya, dia masih dalam posisi yang sama. Bedanya kali ini dia sedikit menunduk, menatap tangannya yang memerah.Di samping Darel, Mita tampak sedikit kelabakan sebelum akhirnya mengangguk dengan senyum kikuk. Salah satu tangan Mita sesekali membenarkan rok seragam tanpa maksud yang jelas."Kamu ke---"Mita memotong percakapannnya sendiri saat melihat Darel hendak beranjak pergi. Lantas

  • The Return of Friendship Shoes   Bagian 5

    Setelah setengah jam berhasil membuat Mita bergelut di dalam ruang guru dan menjawab berbagai pertanyaan, akhirnya ia diputuskan untuk masuk di kelas Darel. Ia ditemani salah satu guru yang kebetulan akan mengajar di kelas Darel pun berjalan bersama melewati koridor kelas. Sesekali keduanya saling melempar pertanyaan dan jawaban sekadar untuk berkenalan."Selamat pagi anak-anak. Hari ini kita kedatangan teman baru, mari kenalkan dirimu, Nak." ujar Guru itu mempersilakan Mita memperkenalkan dirinya secara singkat."Halo semuanya! Namaku Mita Mizuki, kalian bisa memanggilku Mita. Seperti yang sudah kalian ketahui, aku murid pindahan dari Jepang. Kini, aku dan keluargaku memilih untuk kembali ke Indonesia dan menetap di sini. Aku harap kalian bisa menerimaku di sini, terima kasih." ucap Mita di iringi dengan membungkukan badannya. Sepertinya kebiasaan khas orang Jepang tersebut sudah mengental dalam dirinya. Hidup belasan tahun di Jepang tentu tidak semudah itu sega

  • The Return of Friendship Shoes   Bagian 4

    Selepas libur Sekolah kemarin, kini Alan kembali masuk. Menyambut hari Senin yang kebanyakan menjadi hari yang paling tidak di sukai oleh pelajar, banyak yang bilang karena mata pelajarannya cukup padat untuk memulai hari awal saat bersekolah. Tapi tidak bagi Alan, lima hari waktu bersekolah seperti tidak ada bedanya. Semua sama, tanpa terkecuali.Sekarang sedang berlangsung dilaksanakannya upacara, sudah menjadi kebiasaan lama bahwa hari Senin akan menjadi hari di adakannya upacara bendera. Bukan hanya di sekolahnya, tapi hampir semua sekolah di Indonesia memiliki kebiasaan tersebut. Biasanya murid yang terlambat akan mendapat hukuman yang lebih memalukan daripada hari-hari lainnya. Mereka di minta untuk berdiri di depan barisan, dilihat oleh semua warga sekolah. Salah satu sederet siswa yang dihukum itu ada Alan. Tidak, dia sudah mematuhi peraturan sekolah. Ia bahkan berangkat dengan seragam lengkap. Dasi yang melingkar di lehernya, sepatu hitam yang membungkus kedua

  • The Return of Friendship Shoes   Bagian 3

    Matahari menyembul malu dari ufuk timur, ia membawa hangat dari sinar yang di bawa olehnya. Menghalau dingin malam yang sempat menyelimuti daerah bumi. Tetes-tetes embun juga nampak masih memilih tinggal di dedaunan pohon pada sekitaran kawasan pemakaman umum ini. Di salah satu pusaran, seseorang dengan perlahan menabur bunga di susul dengan tangan yang berdoa. Di sampingnya lagi, seseorang lain terduduk di kursi roda mengikuti gerakan yang ia lakukan. Itu Alan dan Mira, tengah berkunjung pada malam sang kepala keluarga yang sesungguhnya.Sudah belasan tahun pergi, namun keduanya tidak pernah lupa dengan kenangan bersama suami sekaligus ayah dalam keluarga mereka. Seharusnya jika Herdan masih bernapas, dia pasti akan senang melihat bagaimana putra kecil yang sering merengek ingin digendong olehnya dulu sudah menjadi remaja tampan sekarang. Dia pasti juga bangga melihat bagaimana toko kue yang di bangun bersama istrinya itu kini telah sukses dengan banyak pelanggan yang silih

  • The Return of Friendship Shoes   Bagian 2

    Beralih pada Sekolah yang menjadi tempat menyakitkan untuk Alan, di sini Alan merasa menemukan damai. Bukan dengan barang mewah yang bisa membuat mata Alan terbelalak tidak percaya, bukan juga dengan banyak lembar uang yang bisa membuatnya membeli berbagai barang dengan mudahnya. Di sini, dengan rambut kepala yang di elus pelan penuh ketulusan, berbaring menjadikan paha seseorang sebagai bantal kepalanya. Di iringi nyanyian merdu dari sosok yang ia sebut Ibu."Ibu suka lihat kamu bermanja-manja seperti ini." kata wanita 42 tahun itu. Mira namanya.Alan tersenyum, ia bergerak mencari kenyamanan yang lebih baik. Alan menatap netra milik Ibunya, sembab di sana masih terlihat jelas untuk Alan meski Mira sudah berusaha sebaik mungkin membagi senyumnya. Berapa lama ia menangis sendirian? Bagaimana seandainya tadi Alan tidak bergegas pulang setelah usai sekolah? Apa ibunya akan menjadi lebih kacau daripada saat ia membuka pintu dan menampilkan Ibunya tengah menangis, te

  • The Return of Friendship Shoes   Bagian 1

    Sekolah, sebuah gedung yang dikenal mempunyai banyak ruang yang berbeda-beda. Menjadi salah satu tempat utama untuk menuntut ilmu bagi sebagian besar manusia sebagai bekal masa depan. Gedung dengan berbagai tingkatan kelas dan pengajaran yang bertahap itu seakan tidak pernah kehilangan ramai suasana oleh warga sekolah. Ya, kecuali hari libur, sih. Orang bilang Sekolah ibarat tempat kedua yang kita singgahi setelah Rumah tempat tinggal. Di sana, seseorang akan menemukan dan berbaur dengan manusia yang beragam sifat, saling berdiskusi dan bekerja sama meraih yang terbaik. Koridor kelas tidak pernah kehilangan tapak dari derap langkah murid dan guru, atau bahkan penjaga sekolah.Bila dijabarkan lebih lanjut, mungkin bagian pertama ini tidaklah cukup. Maka untuk itu, izinkan aku membawamu menikmati kisah yang ku suguhkan hari ini. Izinkan aku untuk memperkenalkan mereka dalam tiap lembar cerita nanti. Aku berharap, kamu akan bersedia.Katanya Sekolah adalah tempat sederhan

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status