Selepas libur Sekolah kemarin, kini Alan kembali masuk. Menyambut hari Senin yang kebanyakan menjadi hari yang paling tidak di sukai oleh pelajar, banyak yang bilang karena mata pelajarannya cukup padat untuk memulai hari awal saat bersekolah. Tapi tidak bagi Alan, lima hari waktu bersekolah seperti tidak ada bedanya. Semua sama, tanpa terkecuali.
Sekarang sedang berlangsung dilaksanakannya upacara, sudah menjadi kebiasaan lama bahwa hari Senin akan menjadi hari di adakannya upacara bendera. Bukan hanya di sekolahnya, tapi hampir semua sekolah di Indonesia memiliki kebiasaan tersebut. Biasanya murid yang terlambat akan mendapat hukuman yang lebih memalukan daripada hari-hari lainnya. Mereka di minta untuk berdiri di depan barisan, dilihat oleh semua warga sekolah. Salah satu sederet siswa yang dihukum itu ada Alan. Tidak, dia sudah mematuhi peraturan sekolah. Ia bahkan berangkat dengan seragam lengkap. Dasi yang melingkar di lehernya, sepatu hitam yang membungkus kedua kakinya, juga topi berwarna abu-abu di kepalanya. Ia juga sudah memakai kaos kaki berwarna putih menutupi mata kaki. Namun, Alan seperti di takdirkan untuk melekat pada kesialan.
Saat kakinya baru menginjak masuk ke dalam kelas, seseorang telah mengambil topi yang ia pakai dengan cukup kasar. Membuat Alan yang tidak siap harus terjatuh, beruntung tidak terbentur pada sudut meja di dekatnya. Seolah tidak puas, salah satu temannya bernama Dertan itu juga melepas sepatu Alan. Mengganti kaos kaki putihnya dengan kaos kaki berwarna cerah mencolok. Memaksanya untuk berdiri dan merangkul Alan berjalan keluar untuk masuk barisan. Dertan sengaja melempar tas Alan yang ternyata tidak tepat sasaran meja yang di duduki Alan.
Disepanjang koridor, Dertan dan dua temannya saling merangkul dengan Alan. Mereka terlihat seperti teman baik yang saling menabur tawa. Padahal tidak tau saja, bahwa di antara mereka ada seseorang yang butuh pertolongan. Setidaknya untuk bernapas dengan lega, sebab rangkulan Dertan teramat kuat, membuat leher Alan sedikit kesakitan. Ia berusaha kuat menahan ringisan atau jika tidak lehernya akan benar-benar terluka. Bertambah orang lain bisa mengetahui bahwa dirinya telah di bully, hal itu pasti akan membuat Dertan di hukum dan akan menindasnya lebih keras. Menyalahkan Alan karena dirinya lah yang menyebabkan Dertan dan kedua temannya di hukum. Sungguh kejadian kelas sepuluh dulu tidak ingin ia ulangi. Saat di mana ia berteriak meminta tolong kepada salah satu guru yang kebetulan tengah berjalan di ujung koridor. Ia berteriak dan mengatakan bahwa Dertan serta teman-temannya telah menyembunyikan sepatu miliknya dan membuang isi tasnya ke dalam sebuah tong sampah kertas. Guru yang melihat mereka bersikap buruk langsung menghukum Dertan dan temannya itu. Meminta mereka untuk berdiri di tengah lapangan pada siang hari yang cukup menyengat dan membuat surat introspeksi diri serta permintaan maaf. Namun setelah kejadian tersebut, sikap Dertan dan temannya semakin menjadi. Mereka seolah dendam kepada Alan, menjadikan hari-hari Alan setelah itu menjadi momok yang menakutkan.
Mereka yang terbully bukan berati lemah, hanya saja keadaan dan perlakuan buruk yang diterima membuat mulut mereka terkunci rapat. Beberapa di selimuti rasa takut yang mendalam. Tidak bersuara bukan berati mereka baik-baik saja dengan itu. Tidak melawan bukan berati mereka benar-benar tidak bisa membalas. Bukankah bullying dalam hal dan bentuk apapun tidak bisa dibenarkan sebaik dan spesial alasannya yang di berikan? Mereka ketakutan, namun tidak jarang orang lain mengira mereka adalah makhluk lemah yang tidak bisa melawan barangkali untuk membantah. Tau apa mereka? Hanya mengetahui bahwa pelaku yang membully pantas di hukum berharap dengan begitu orang yang menjadi korban akan selamat dan kembali hidup dengan tenang. Seperti itu, masalah akan selesai, pikir mereka. Padahal berakhirnya masa bullying tidak menjadikan mereka benar-benar kembali untuk baik-baik saja. Tapi setidaknya keberuntungan kecil sudah menyertai mereka yang menjadi korban, mereka tidak harus merasakan sakit bahkan trauma yang lebih buruk lagi dari perbuatan-perbuatan tidak pantas yang mereka terima. Tapi ketahuilah, luka mereka tidak pernah semudah membalikkan telapak tangan untuk kembali sembuh. Bahkan dari mereka masih membutuhkan bantuan orang seperti psikolog bahkan psikiater untuk mengobati mental mereka. Jadi pahamilah, meskipun sering di anggap sepele bullying tidak bisa di biarkan begitu saja.
"Pak, Lihat! Alan tidak berseragam lengkap!" pekik Dertan saat sampai pada deret barisan para murid.
Seorang Bapak Guru yang mendengar pekikan muridnya langsung menghampiri. Dia mengecek apa benar bahwa salah satu muridnya telah melanggar aturan dalam kegiatan upacara. Begitu melihat dan percaya bahwa Alan tidak berseragam lengkap, ia langsung meminta Alan pergi dan masuk ke dalam barisan yang serupa dengan dirinya.
"Bagaimana bisa kamu memakai kaos kaki secerah itu, Alan? Ingat nilai kedisplinan kamu akan berkurang jika kamu tidak bisa merubah sikap burukmu itu. Senin yang lalu kamu tidak memakai dasi, sekarang kaos kaki mu berwarna cerah. Di mana topimu? Tidak mengenakan juga? Huh, cepat sana masuk barisan itu." kata Bapak Guru tadi sembari menunjukkan tangannya ke arah barisan yang di maksud.
"Maaf, Pak." Alan hanya berbicara demikian. Ia segera melangkahkan kakinya menuju barisan murid yang tidak mematuhi peraturan. Samar-samar, ia bisa mendengar beberapa orang menertawakan dan berbisik-bisik tentangnya. Membuat ia menundukkan kepala dan mempercepat langkah.
"Lihat, apakah dia akan menjadi langganan di barisan itu?"
"Dertan benar-benar keterlaluan!"
"Kasihan, ya? Dertan juga berlebihan. Tapi kita bisa apa? Aku tidak ingin berurusan dengan Dertan atau nasibku akan sama seperti Alan."
"Alan yang bodoh! Hahaha."
"Dia benar-benar bodoh, kenapa tidak mengadu guru tadi, dasar!"
"Alan yang malang..."
Alan tidak butuh serapah mereka, Alan tidak butuh kasihan. Mereka ini tau apa tentangnya? Mereka menganggap dirinya teman? Teman yang seperti apa? Apa cukup mereka yang membicarakannya di belakang itu pantas menyebut mereka adalah teman? Jika begitu, kenapa Alan masih saja merasa sendiri? Ucap serapah yang mereka bicarakan berulang-ulang itu nyatanya tidak membuat Alan selamat dari perlakuan buruk Dertan dan dua temannya tersebut. Jadi, definisi seperti apa teman baik itu?
Kini Alan sudah ikut berbaris dan mengikuti upacara dengan baik. Hingga pada saat Kepala Sekolah memegang pelantang dan memberikan nasihat-nasihat kecil yang bahkan membuat sebagian para siswa menggerutu sebal. Sebab matahari sudah semakin naik, tapi kepala sekolah itu hanya mengulang-ulang pembicaraan yang sama. Barulah setelah hampir menghabiskan 15 menit, kepala sekolah itu pamit undur diri. Menyudahi obrolannya bersama warga sekolah. Namun sebelum benar-benar pergi, kepala sekolah itu mengatakan bahwa sekolah mereka kedatangan murid baru hasil dari pertukaran pelajar. Murid baru itu adalah perempuan asal Jepang.
"Anak-anak sekalian. Dengarkan Bapak sebentar, ya. Hari ini kita kedatangan teman baru, dia seorang perempuan dari pertukaran pelajar. Perkenalan bisa kalian lakukan nanti waktu istirahat, ya! Dan ya, Bapak lupa memberi tau. Dia akan masuk kelas 11, jadi silakan antusias kalian Bapak harapkan untuk menyambut teman baru kalian nanti. Sekian."
Begitu ucap kepala sekolah, beberapa detik setelahnya suara gaduh mulai bermunculan sana-sini. Para murid mulai saling bergumam satu sama lain tentang murid baru yang sekarang tengah berdiri di samping Alan. Ikut serta menjadi anggota dalam barisan tersebut. Bukan karena tidak berseragam lengkap, tapi karena ini adalah hari pertamanya bersekolah. Jadi para guru memintanya untuk masuk ke dalam barisan yang di tempati Alan.
Gadis itu tersenyum hangat kepada semua, sebelum akhirnya menengok dan menyapa Alan.
"Hai! Perkenalkan namaku Mita Mizuki, kamu bisa memanggilku Mita." kata gadis itu yang ternyata bernama Mita.
Rambut panjangnya ia biarkan terurai, sesekali ikut menari terkena terpaan angin di pagi hari ini. Kulitnya putih bersih dengan gelang yang melingkar di tangan kirinya. Gelang itu nampak sudah ketinggalan trend seperti kebanyakan gelang yang di pakai baru-baru ini. Nampak kekecilan, namun Mita terlihat nyaman dengan gelang tersebut. Roknya yang selutut dengan jas hitam yang membalut tubuhnya itu semakin membuat dirinya benar-benar seperti ciri khas pelajar Jepang.
Alan hanya menatapnya sekilas, entah mengapa ia merasa sesuatu yang aneh ketika matanya bertabrakan dan menatap mata Mita. Seperti ingatan tentang seseorang yang Alan tunggu itu hadir dalam pikirannya. Tapi bagaimana bisa? Tidak mungkin bahwa Mita adalah orang yang Alan tunggu itu.
Sejenak, Alan juga menatap ke arah Dertan. Di sana, anak itu nampak menyeringai kepadanya. Juga menunjuk ke arah Mita beberapa kali dengan tangannya. Seolah paham, Alan langsung menghapus niatnya yang akan membalas perkenalan Mita tadi. Sungguh, ia tidak ingin ada orang lain lagi yang menjadi korban bullyan Dertan dan temannya itu. Maka saat upacara secara resmi di bubarkan, Alan dengan cepat meninggalkan barisan. Melangkahkan kakinya lebar-lebar, bahkan sesekali ia berlari kecil agar cepat sampai di kelas dan duduk tenang di dalam. Mengabaikan sedikit teriakan Mita yang memanggil namanya berulang, Mita yang masih berdiam di tempat pun di buat bingung dengan sikap Alan yang seolah menghindar. Apa ia baru saja membuat kesalahan? Tetapi apa? Bukankah perkenalannya tadi adalah hal wajar? Apa ia terlalu berlebihan? Mita bahkan masih tetap berdiri di tempat meski barisan sudah bilang dan para murid sudah memasuki kelas masing-masing. Hingga pada akhirnya, tepukan dari salah satu guru bahasa Inggris menyadarkan Mita. Mita tersenyum malu dibuatnya, ia segera mengikuti langkah guru muda itu yang mengantarkannya ke ruang guru untuk mengurus beberapa data tentang dirinya.
Setelah setengah jam berhasil membuat Mita bergelut di dalam ruang guru dan menjawab berbagai pertanyaan, akhirnya ia diputuskan untuk masuk di kelas Darel. Ia ditemani salah satu guru yang kebetulan akan mengajar di kelas Darel pun berjalan bersama melewati koridor kelas. Sesekali keduanya saling melempar pertanyaan dan jawaban sekadar untuk berkenalan."Selamat pagi anak-anak. Hari ini kita kedatangan teman baru, mari kenalkan dirimu, Nak." ujar Guru itu mempersilakan Mita memperkenalkan dirinya secara singkat."Halo semuanya! Namaku Mita Mizuki, kalian bisa memanggilku Mita. Seperti yang sudah kalian ketahui, aku murid pindahan dari Jepang. Kini, aku dan keluargaku memilih untuk kembali ke Indonesia dan menetap di sini. Aku harap kalian bisa menerimaku di sini, terima kasih." ucap Mita di iringi dengan membungkukan badannya. Sepertinya kebiasaan khas orang Jepang tersebut sudah mengental dalam dirinya. Hidup belasan tahun di Jepang tentu tidak semudah itu sega
Taman belakang sekolah menjadi tempat pelarian Mita dan Darel. Tangan mereka masih saling bertaut erat meski keduanya sudah duduk pada salah satu bangku panjang yang di sediakan. Beberapa detik setelahnya, Darel baru tersadar. Dia melepas genggaman Mita dengan cepat, hal itu membuat Mita sedikit kaget. Lantas, suasana di antara mereka menjadi canggung. Mita memilih mengatur fokusnya pada air mancur yang berada di tengah-tengah kolam di depan sana dan Darel lebih memilih mengusap paha kakinya dengan tangan dengan pelan namun berulang."Terima kasih." ujar Darel pada akhirnya, dia masih dalam posisi yang sama. Bedanya kali ini dia sedikit menunduk, menatap tangannya yang memerah.Di samping Darel, Mita tampak sedikit kelabakan sebelum akhirnya mengangguk dengan senyum kikuk. Salah satu tangan Mita sesekali membenarkan rok seragam tanpa maksud yang jelas."Kamu ke---"Mita memotong percakapannnya sendiri saat melihat Darel hendak beranjak pergi. Lantas
"Apa maksud ucapanmu?""Kamu tidak menyadari kenapa dia duduk di bangku belakang sendiri? Biar aku beri tau, dengarkan dengan baik, oke?""Jadi dia---"Suatu hari di mana perkenalan murid baru di adakan di lapangan sekolah. Murid yang akan menempati kelas 10 itu menjalani masa orientasi, di depan barisan, kepala sekolah berpidato singkat memberikan penyambutan kepada para murid. Suara tepukan tangan menggema setelah kepala sekolah mengucapkan selamat datang di SMA ini dan pamit untuk menutup sesi pidato darinya. Barisan di ambil alih oleh Kakak kelas yang masuk dalam organisasi OSIS, mereka dengan cepat mengatur barisan yang sempat hendak membubarkan diri dengan tegas. Bahkan mereka tidak segan untuk berteriak memanggil adik kelas yang mulai bandel.Di barisan belakang, Alan berdiri. Posisi tempatnya cukup mendapat banyak sinar matahari yang perlahan mulai naik dan hangat yang di bawa mulai bertambah panas. Sebentar lagi, mereka akan di berikan jam
"Alan pulang."Mira menggerakkan laju kursi rodanya dengan semangat, dia menghampiri anaknya. Senyum di wajah Mira tidak pernah luntur saat menyambut Alan kembali ke Rumah. Daun pintu menggerakkan laju pintu untuk terbuka, menampilkan Alan lengkap dengan seragam sekolah serta senyum hangat di wajahnya."Halo Nyonya besar!! Tuan mudamu telah kembali." Alan terkekeh, dia menyempatkan waktu untuk memeluk Mira yang dengan senang hati Mira terima, Mira turut membalas pelukan dari anaknya."Dasar!" ujar Mira sembari tertawa kecil.Mira memundurkan kursi rodanya, melaju kembali ke arah dapur, dia tengah memasak sup sayur hari ini. Belum selesai, sebab Mira baru mengupas dan membersihkan sayuran tadi sebelum Alan pulang."Masakan Ibu belum selesai, kamu bersihkan badanmu dulu, Ibu akan selesaikan ini secepatnya." Mira mulai mengambil pisau dan kembali berkutat dengan tugasnya. Bahan yang sudah dia iris, di masukkan ke dalam mangkuk besar untuk di cuc
Sekolah, sebuah gedung yang dikenal mempunyai banyak ruang yang berbeda-beda. Menjadi salah satu tempat utama untuk menuntut ilmu bagi sebagian besar manusia sebagai bekal masa depan. Gedung dengan berbagai tingkatan kelas dan pengajaran yang bertahap itu seakan tidak pernah kehilangan ramai suasana oleh warga sekolah. Ya, kecuali hari libur, sih. Orang bilang Sekolah ibarat tempat kedua yang kita singgahi setelah Rumah tempat tinggal. Di sana, seseorang akan menemukan dan berbaur dengan manusia yang beragam sifat, saling berdiskusi dan bekerja sama meraih yang terbaik. Koridor kelas tidak pernah kehilangan tapak dari derap langkah murid dan guru, atau bahkan penjaga sekolah.Bila dijabarkan lebih lanjut, mungkin bagian pertama ini tidaklah cukup. Maka untuk itu, izinkan aku membawamu menikmati kisah yang ku suguhkan hari ini. Izinkan aku untuk memperkenalkan mereka dalam tiap lembar cerita nanti. Aku berharap, kamu akan bersedia.Katanya Sekolah adalah tempat sederhan
Beralih pada Sekolah yang menjadi tempat menyakitkan untuk Alan, di sini Alan merasa menemukan damai. Bukan dengan barang mewah yang bisa membuat mata Alan terbelalak tidak percaya, bukan juga dengan banyak lembar uang yang bisa membuatnya membeli berbagai barang dengan mudahnya. Di sini, dengan rambut kepala yang di elus pelan penuh ketulusan, berbaring menjadikan paha seseorang sebagai bantal kepalanya. Di iringi nyanyian merdu dari sosok yang ia sebut Ibu."Ibu suka lihat kamu bermanja-manja seperti ini." kata wanita 42 tahun itu. Mira namanya.Alan tersenyum, ia bergerak mencari kenyamanan yang lebih baik. Alan menatap netra milik Ibunya, sembab di sana masih terlihat jelas untuk Alan meski Mira sudah berusaha sebaik mungkin membagi senyumnya. Berapa lama ia menangis sendirian? Bagaimana seandainya tadi Alan tidak bergegas pulang setelah usai sekolah? Apa ibunya akan menjadi lebih kacau daripada saat ia membuka pintu dan menampilkan Ibunya tengah menangis, te
Matahari menyembul malu dari ufuk timur, ia membawa hangat dari sinar yang di bawa olehnya. Menghalau dingin malam yang sempat menyelimuti daerah bumi. Tetes-tetes embun juga nampak masih memilih tinggal di dedaunan pohon pada sekitaran kawasan pemakaman umum ini. Di salah satu pusaran, seseorang dengan perlahan menabur bunga di susul dengan tangan yang berdoa. Di sampingnya lagi, seseorang lain terduduk di kursi roda mengikuti gerakan yang ia lakukan. Itu Alan dan Mira, tengah berkunjung pada malam sang kepala keluarga yang sesungguhnya.Sudah belasan tahun pergi, namun keduanya tidak pernah lupa dengan kenangan bersama suami sekaligus ayah dalam keluarga mereka. Seharusnya jika Herdan masih bernapas, dia pasti akan senang melihat bagaimana putra kecil yang sering merengek ingin digendong olehnya dulu sudah menjadi remaja tampan sekarang. Dia pasti juga bangga melihat bagaimana toko kue yang di bangun bersama istrinya itu kini telah sukses dengan banyak pelanggan yang silih
"Alan pulang."Mira menggerakkan laju kursi rodanya dengan semangat, dia menghampiri anaknya. Senyum di wajah Mira tidak pernah luntur saat menyambut Alan kembali ke Rumah. Daun pintu menggerakkan laju pintu untuk terbuka, menampilkan Alan lengkap dengan seragam sekolah serta senyum hangat di wajahnya."Halo Nyonya besar!! Tuan mudamu telah kembali." Alan terkekeh, dia menyempatkan waktu untuk memeluk Mira yang dengan senang hati Mira terima, Mira turut membalas pelukan dari anaknya."Dasar!" ujar Mira sembari tertawa kecil.Mira memundurkan kursi rodanya, melaju kembali ke arah dapur, dia tengah memasak sup sayur hari ini. Belum selesai, sebab Mira baru mengupas dan membersihkan sayuran tadi sebelum Alan pulang."Masakan Ibu belum selesai, kamu bersihkan badanmu dulu, Ibu akan selesaikan ini secepatnya." Mira mulai mengambil pisau dan kembali berkutat dengan tugasnya. Bahan yang sudah dia iris, di masukkan ke dalam mangkuk besar untuk di cuc
"Apa maksud ucapanmu?""Kamu tidak menyadari kenapa dia duduk di bangku belakang sendiri? Biar aku beri tau, dengarkan dengan baik, oke?""Jadi dia---"Suatu hari di mana perkenalan murid baru di adakan di lapangan sekolah. Murid yang akan menempati kelas 10 itu menjalani masa orientasi, di depan barisan, kepala sekolah berpidato singkat memberikan penyambutan kepada para murid. Suara tepukan tangan menggema setelah kepala sekolah mengucapkan selamat datang di SMA ini dan pamit untuk menutup sesi pidato darinya. Barisan di ambil alih oleh Kakak kelas yang masuk dalam organisasi OSIS, mereka dengan cepat mengatur barisan yang sempat hendak membubarkan diri dengan tegas. Bahkan mereka tidak segan untuk berteriak memanggil adik kelas yang mulai bandel.Di barisan belakang, Alan berdiri. Posisi tempatnya cukup mendapat banyak sinar matahari yang perlahan mulai naik dan hangat yang di bawa mulai bertambah panas. Sebentar lagi, mereka akan di berikan jam
Taman belakang sekolah menjadi tempat pelarian Mita dan Darel. Tangan mereka masih saling bertaut erat meski keduanya sudah duduk pada salah satu bangku panjang yang di sediakan. Beberapa detik setelahnya, Darel baru tersadar. Dia melepas genggaman Mita dengan cepat, hal itu membuat Mita sedikit kaget. Lantas, suasana di antara mereka menjadi canggung. Mita memilih mengatur fokusnya pada air mancur yang berada di tengah-tengah kolam di depan sana dan Darel lebih memilih mengusap paha kakinya dengan tangan dengan pelan namun berulang."Terima kasih." ujar Darel pada akhirnya, dia masih dalam posisi yang sama. Bedanya kali ini dia sedikit menunduk, menatap tangannya yang memerah.Di samping Darel, Mita tampak sedikit kelabakan sebelum akhirnya mengangguk dengan senyum kikuk. Salah satu tangan Mita sesekali membenarkan rok seragam tanpa maksud yang jelas."Kamu ke---"Mita memotong percakapannnya sendiri saat melihat Darel hendak beranjak pergi. Lantas
Setelah setengah jam berhasil membuat Mita bergelut di dalam ruang guru dan menjawab berbagai pertanyaan, akhirnya ia diputuskan untuk masuk di kelas Darel. Ia ditemani salah satu guru yang kebetulan akan mengajar di kelas Darel pun berjalan bersama melewati koridor kelas. Sesekali keduanya saling melempar pertanyaan dan jawaban sekadar untuk berkenalan."Selamat pagi anak-anak. Hari ini kita kedatangan teman baru, mari kenalkan dirimu, Nak." ujar Guru itu mempersilakan Mita memperkenalkan dirinya secara singkat."Halo semuanya! Namaku Mita Mizuki, kalian bisa memanggilku Mita. Seperti yang sudah kalian ketahui, aku murid pindahan dari Jepang. Kini, aku dan keluargaku memilih untuk kembali ke Indonesia dan menetap di sini. Aku harap kalian bisa menerimaku di sini, terima kasih." ucap Mita di iringi dengan membungkukan badannya. Sepertinya kebiasaan khas orang Jepang tersebut sudah mengental dalam dirinya. Hidup belasan tahun di Jepang tentu tidak semudah itu sega
Selepas libur Sekolah kemarin, kini Alan kembali masuk. Menyambut hari Senin yang kebanyakan menjadi hari yang paling tidak di sukai oleh pelajar, banyak yang bilang karena mata pelajarannya cukup padat untuk memulai hari awal saat bersekolah. Tapi tidak bagi Alan, lima hari waktu bersekolah seperti tidak ada bedanya. Semua sama, tanpa terkecuali.Sekarang sedang berlangsung dilaksanakannya upacara, sudah menjadi kebiasaan lama bahwa hari Senin akan menjadi hari di adakannya upacara bendera. Bukan hanya di sekolahnya, tapi hampir semua sekolah di Indonesia memiliki kebiasaan tersebut. Biasanya murid yang terlambat akan mendapat hukuman yang lebih memalukan daripada hari-hari lainnya. Mereka di minta untuk berdiri di depan barisan, dilihat oleh semua warga sekolah. Salah satu sederet siswa yang dihukum itu ada Alan. Tidak, dia sudah mematuhi peraturan sekolah. Ia bahkan berangkat dengan seragam lengkap. Dasi yang melingkar di lehernya, sepatu hitam yang membungkus kedua
Matahari menyembul malu dari ufuk timur, ia membawa hangat dari sinar yang di bawa olehnya. Menghalau dingin malam yang sempat menyelimuti daerah bumi. Tetes-tetes embun juga nampak masih memilih tinggal di dedaunan pohon pada sekitaran kawasan pemakaman umum ini. Di salah satu pusaran, seseorang dengan perlahan menabur bunga di susul dengan tangan yang berdoa. Di sampingnya lagi, seseorang lain terduduk di kursi roda mengikuti gerakan yang ia lakukan. Itu Alan dan Mira, tengah berkunjung pada malam sang kepala keluarga yang sesungguhnya.Sudah belasan tahun pergi, namun keduanya tidak pernah lupa dengan kenangan bersama suami sekaligus ayah dalam keluarga mereka. Seharusnya jika Herdan masih bernapas, dia pasti akan senang melihat bagaimana putra kecil yang sering merengek ingin digendong olehnya dulu sudah menjadi remaja tampan sekarang. Dia pasti juga bangga melihat bagaimana toko kue yang di bangun bersama istrinya itu kini telah sukses dengan banyak pelanggan yang silih
Beralih pada Sekolah yang menjadi tempat menyakitkan untuk Alan, di sini Alan merasa menemukan damai. Bukan dengan barang mewah yang bisa membuat mata Alan terbelalak tidak percaya, bukan juga dengan banyak lembar uang yang bisa membuatnya membeli berbagai barang dengan mudahnya. Di sini, dengan rambut kepala yang di elus pelan penuh ketulusan, berbaring menjadikan paha seseorang sebagai bantal kepalanya. Di iringi nyanyian merdu dari sosok yang ia sebut Ibu."Ibu suka lihat kamu bermanja-manja seperti ini." kata wanita 42 tahun itu. Mira namanya.Alan tersenyum, ia bergerak mencari kenyamanan yang lebih baik. Alan menatap netra milik Ibunya, sembab di sana masih terlihat jelas untuk Alan meski Mira sudah berusaha sebaik mungkin membagi senyumnya. Berapa lama ia menangis sendirian? Bagaimana seandainya tadi Alan tidak bergegas pulang setelah usai sekolah? Apa ibunya akan menjadi lebih kacau daripada saat ia membuka pintu dan menampilkan Ibunya tengah menangis, te
Sekolah, sebuah gedung yang dikenal mempunyai banyak ruang yang berbeda-beda. Menjadi salah satu tempat utama untuk menuntut ilmu bagi sebagian besar manusia sebagai bekal masa depan. Gedung dengan berbagai tingkatan kelas dan pengajaran yang bertahap itu seakan tidak pernah kehilangan ramai suasana oleh warga sekolah. Ya, kecuali hari libur, sih. Orang bilang Sekolah ibarat tempat kedua yang kita singgahi setelah Rumah tempat tinggal. Di sana, seseorang akan menemukan dan berbaur dengan manusia yang beragam sifat, saling berdiskusi dan bekerja sama meraih yang terbaik. Koridor kelas tidak pernah kehilangan tapak dari derap langkah murid dan guru, atau bahkan penjaga sekolah.Bila dijabarkan lebih lanjut, mungkin bagian pertama ini tidaklah cukup. Maka untuk itu, izinkan aku membawamu menikmati kisah yang ku suguhkan hari ini. Izinkan aku untuk memperkenalkan mereka dalam tiap lembar cerita nanti. Aku berharap, kamu akan bersedia.Katanya Sekolah adalah tempat sederhan