Share

The Return of Friendship Shoes
The Return of Friendship Shoes
Author: Intanabellia

Bagian 1

Author: Intanabellia
last update Last Updated: 2021-09-05 15:21:56

Sekolah, sebuah gedung yang dikenal mempunyai banyak ruang yang berbeda-beda. Menjadi salah satu tempat utama untuk menuntut ilmu bagi sebagian besar manusia sebagai bekal masa depan. Gedung dengan berbagai tingkatan kelas dan pengajaran yang bertahap itu seakan tidak pernah kehilangan ramai suasana oleh warga sekolah. Ya, kecuali hari libur, sih. Orang bilang Sekolah ibarat tempat kedua yang kita singgahi setelah Rumah tempat tinggal. Di sana, seseorang akan menemukan dan berbaur dengan manusia yang beragam sifat, saling berdiskusi dan bekerja sama meraih yang terbaik. Koridor kelas tidak pernah kehilangan tapak dari derap langkah murid dan guru, atau bahkan penjaga sekolah.

Bila dijabarkan lebih lanjut, mungkin bagian pertama ini tidaklah cukup. Maka untuk itu, izinkan aku membawamu menikmati kisah yang ku suguhkan hari ini. Izinkan aku untuk memperkenalkan mereka dalam tiap lembar cerita nanti. Aku berharap, kamu akan bersedia.

Katanya Sekolah adalah tempat sederhana yang mudah ditemukan untuk berbahagia. Memecah tawa dalam canda yang mengudara dalam hangat suasana ruangan berbentuk persegi yang cukup luas. Meja dan kursi yang tertata selalu menjadi saksi bagaimana mereka melewati hari di ruangan bernama kelas itu. Tulisan-tulisan yang di buat sekreatif dan tertempel di dinding-dinding kelas menjadi kalimat penyemangat bagi para murid atau guru saat waktu belajar berlangsung. Seperti sekarang, saat jam istirahat tiba. Murid berjumlah 20 orang di dalam kelas nampak saling berceloteh melempar canda dan membagi tawa. Beberapa murid perempuan yang duduk di lantai dengan menyilakan kedua kakinya, membentuk pola lingkaran terlihat antusias mendengarkan salah satu di antara mereka tengah bercerita. Beberapa anak laki-laki berdiri didepan papan tulis yang terpajang, saling menulis dan menggambar sesuatu dengan kapur yang bahkan hampir menemui ujung habisnya. Di bagian belakang sekelompok murid laki laki ada yang saling bekerja sama dan bersaing, saling berseru dalam permainan video game di handphone milik masing-masing. Sisanya ada yang mengerjakan tugas, makan, juga tidur seperti yang di lakukan oleh murid laki-laki yang mendapat posisi berdekatan langsung dengan jendela kelas. Ia menelungkupkan kepalanya, seakan tertidur sebelum akhirnya mendongak saat lemparan kertas mendarat mengenai tangan putihnya.

"Woi! Ambil tugas di ruang guru sana! Buruan, kita nggak mau ya sampe telat gegara kamu nggak mau ambil." 

Suara yang berasal dari perempuan berambut panjang dengan polesan lipstik yang mencolok itu seketika memaksa ia untuk menegakkan badan. 

"Kenapa tidak kamu sendiri yang ambil? Kamu kan ketua kelasnya, dasar." pikir lelaki itu yang hanya di dengar oleh dirinya sendiri.

Lelaki itu Alan, ia berusia 15 tahun namun sudah memasuki kelas 11 MIPA 1 dimana teman-temannya satu sampai dua tahun lebih tua darinya. Alan itu orang yang cukup berprestasi, tidak heran ia dengan mudah ikut kelas akselerasi. Alan tidak seperti teman lainnya yang akan menjadi salah satu pemberi heboh di dalam kelas, saat istirahat seringkali ia pergi ke perpustakaan atau tidur seperti sekarang. Alan juga tidak mempunyai banyak teman, hal itu membuat Alan mencoret sekolah sebagai tempat bahagia kedua setelah Rumah. Menurut Alan, Sekolah adalah salah satu tempat dimana kesabarannya di uji, di mana ia harus menyiapkan mental saat mendapat perlakuan yang kurang baik dari teman-teman sekolahnya. Ya, Alan tidak seberuntung remaja lainnya.

Alan berdiri, bersiap menuruti perintah Dayna si perempuan tadi yang menjabat sebagai ketua kelas. Ia tidak mempunyai keberanian yang cukup untuk melawan mereka, bahkan berujar satu kalimat pembela saja rasanya hanya akan menjadi kaca bencana untuknya seperti yang ia alami saat kelas 10, saat sekolah sedang mengadakan masa perkenalan. Di saat itu, Kakak kelas meminta murid baru membentuk kelompok dan membuat lagu untuk dinyanyikan bersama di depan hadapan kelompok lain. Kemudian, Alan di minta untuk mengambil sebuah buku guna menulis lirik di salah satu tas temannya, namun tanpa sengaja ia malah menjatuhkan tas tersebut. Membuat isinya berserakan, merasa bersalah ia pun meminta maaf dan segera mengambil satu persatu barang. Tetapi, temannya itu nampak sangat kesal, ia merebut kasar tas dalam genggamannya dan memakinya. Alhasil, pertengkaran terjadi dan membuat mereka di hukum satu kelompok akibat tidak adanya kekompakan. 

Koridor kelas terlihat sepi, hanya derap langkah kaki Alan yang mengisi keheningan, sesekali ia juga menoleh ke kanan kiri memperhatikan kelas kelas lain. Namun sepertinya ia memang di takdirkan untuk berteman dengan sial, belum juga Akan sampai di ruang guru, sebuah bola basket mendarat di kepala Alan, cukup keras dan membuatnya hampir terjatuh andai saja ia tidak segera mencari pegangan  dari sebuah tiang penyekat kelas. Ia mengaduh dan mengusap kepala beberapa kali, berharap rasa sakit di sana segera enyah. Beberapa detik, telinga Alan merekam jelas bagaimana suara tawa dari teman-teman yang sedang bermain basket di lapangan tengah menertawakan dirinya, bahkan sebagian dari mereka ada yang mengejek dan memberikan umpatan untuk Alan.  Tidak ingin berlama-lama, Alan segera memacu langkahnya lebih cepat untuk sampai di Ruang guru dan mengambil soal lalu kembali ke kelas.

"Ini, ya, Alan. Maaf Ibu nggak bisa ngajar, ada rapat yang harus Ibu hadiri. Kalian kerjakan dalam waktu dua jam mulai dari sekarang, nanti kamu tidak usah mengumpulkan tugasnya kemari, biar nanti Ibu datang ke kelas kalian saja, karena kebetulan rapatnya sudah selesai dan Ibu juga akan mengajar di samping kelas kalian." kata Guru perempuan berambut panjang dengan penjepit rambut sederhana yang menambah kesan lembut pribadinya itu. Ibu Mayra namanya, guru 35 tahun yang mengajar mata pelajaran Matematika. Tutur katanya yang lembut dan sopan membuat warga sekolah betah berbincang dengan Ibu Mayra. 

Alan mengangguk dan tersenyum kecil, segera ia berpamitan untuk kembali ke kelas. Beruntung dalam perjalanan ia kembali, Alan tidak lagi menemui kesialan. Permainan basket pun bahkan sudah berakhir, lapangan menjadi kosong. Hanya beberapa orang saja yang berlalu-lalang melewati lapangan tersebut. Alan cukup lega di buatnya. Saat kembali ke kelas, suasana masih sama, ramai. Ia mendekati meja di mana menjadi tempat singgah Dayna. Meletakkan tumpukan lembar soal itu di meja, dan mengatakan kepada Deyna bahwa ia sudah mengambilnya. Deyna pun memberikan sebuah jempol dan meminta Alan untuk segera pergi dari mejanya. Dua menit setelahnya, nyaring suasana Deyna menjadi pusat di mana semua teman sekelas memberikan fokus. 

"Hai guys! Ada tugas dari Bu Mayra yang harus kita kerjakan dalam dua jam kedepan! Segera kerjakan dan kumpulkan kembali ke mejaku nanti, inget kita kelas unggulan dan jangan mempermalukan kelas dengan ada yang tidak mengerjakan tugas ini!" perintah Deyna dengan lantang, ia dengan gesit membagikan satu persatu lembar. Anehnya, Deyna sengaja melewati meja Alan, ia tidak memberikan lembar soal tersebut dan berjalan begitu saja dengan membawa satu lembar sisa yang merupakan bagian Alan. Alan menghela napas, ia bangkit dan berdiri. 

"Jangan bercanda, Dey. Berikan kertasnya." kata Alan memohon. 

Deyna berdecak, ia mengibaskan rambut panjangnya dengan sombong. Ia ikut berdiri dari tempat duduknya, memandang Alan dengan remeh. Lantas sengaja meremas pelan kertas itu, membuat lembaran itu menjadi lusuh. Tidak berhenti di situ, Deyna juga menjatuhkannya ke lantai. Saat Alan hendak mengambil, sebuah kaki dengan sepatu bermerk mahal menginjak tangan Alan. Membuat Alan meringis dan menatap kaki dari cowok yang sedang berada di sampingnya itu. Setelah di rasa puas, kaki itu kembali pada posisi semula, meninggalkan bekas merah di punggung tangan Alan. Hal itu sontak mengundang tawa dari teman-temannya.

"Dasar bodoh!"

"Kenapa dia tidak melawan saja, sih? Memang lemah."

"Lihat, dia nampak mengenaskan sekali, hahaha"

Alan mendengarnya, sangat jelas. Membuat ia terdiam beberapa saat sebelum akhirnya kembali ke meja dan mengerjakan tugas itu dengan sedikit menunduk. Meski ia berusaha menyibukkan diri dengan soal-soal hitungan di depan matanya, kalimat juga tawa dari teman-teman yang merendahkan Alan masih terngiang-ngiang di dalam isi kepalanya. Saling bersahutan, membuat satu tetes air mata Alan jatuh begitu saja dan dengan cepat ia menghapus bekas itu dengan sedikit kasar.

"Sial! Kenapa aku harus menangis! Memangnya siapa mereka? Seberapa pantas mereka untuk ku tangisi seperti ini? Fokus, Lan! Ayo kerjakan tugasmu" batin Alan berusaha menyemangati dirinya sendiri.

Alan pernah melawan, namun tenaganya tidak sebanding dengan mereka. Alan pernah membela, namun sayang suaranya tidak cukup untuk sekadar menghentikan suara dari mulut-mulut yang mengelilinginya, menyuarakan kalimat kasar yang tidak hanya sesekali singgah dan menciptakan ribut dikepala. Sampai sekarang, Alan masih tidak mengerti kenapa teman-temannya bersikap buruk kepadanya. Memangnya salah apa yang telah dia lakukan? Seburuk itukah salahnya? Sungguh, Alan di buat gila dengan pemikiran ini. Seringkali ia berpikir apa dengan pergi akan membuat semua menjadi lebih baik? Namun pikiran sehat Alan dengan sigap menamparnya dengan kuat. Jika seperti ini sudah tidak bisa ia tahan, lantas bagaimana dengan seseorang di sana yang harus Alan jaga baik senyum ataupun tawanya. Bagaimana bisa ia membiarkan orang itu menangis karena ulah yang ia perbuat sendiri? Alan menghela napas, tidak ingin berlama-lama tenggelam dalam pikirannya, ia segera memberikan semua fokus untuk mengerjakan soal demi soal matematika dari Bu Mayra tersebut setelah beberapa kali menghela napas untuk menemukan tenang dalam dirinya.

Related chapters

  • The Return of Friendship Shoes   Bagian 2

    Beralih pada Sekolah yang menjadi tempat menyakitkan untuk Alan, di sini Alan merasa menemukan damai. Bukan dengan barang mewah yang bisa membuat mata Alan terbelalak tidak percaya, bukan juga dengan banyak lembar uang yang bisa membuatnya membeli berbagai barang dengan mudahnya. Di sini, dengan rambut kepala yang di elus pelan penuh ketulusan, berbaring menjadikan paha seseorang sebagai bantal kepalanya. Di iringi nyanyian merdu dari sosok yang ia sebut Ibu."Ibu suka lihat kamu bermanja-manja seperti ini." kata wanita 42 tahun itu. Mira namanya.Alan tersenyum, ia bergerak mencari kenyamanan yang lebih baik. Alan menatap netra milik Ibunya, sembab di sana masih terlihat jelas untuk Alan meski Mira sudah berusaha sebaik mungkin membagi senyumnya. Berapa lama ia menangis sendirian? Bagaimana seandainya tadi Alan tidak bergegas pulang setelah usai sekolah? Apa ibunya akan menjadi lebih kacau daripada saat ia membuka pintu dan menampilkan Ibunya tengah menangis, te

    Last Updated : 2021-09-06
  • The Return of Friendship Shoes   Bagian 3

    Matahari menyembul malu dari ufuk timur, ia membawa hangat dari sinar yang di bawa olehnya. Menghalau dingin malam yang sempat menyelimuti daerah bumi. Tetes-tetes embun juga nampak masih memilih tinggal di dedaunan pohon pada sekitaran kawasan pemakaman umum ini. Di salah satu pusaran, seseorang dengan perlahan menabur bunga di susul dengan tangan yang berdoa. Di sampingnya lagi, seseorang lain terduduk di kursi roda mengikuti gerakan yang ia lakukan. Itu Alan dan Mira, tengah berkunjung pada malam sang kepala keluarga yang sesungguhnya.Sudah belasan tahun pergi, namun keduanya tidak pernah lupa dengan kenangan bersama suami sekaligus ayah dalam keluarga mereka. Seharusnya jika Herdan masih bernapas, dia pasti akan senang melihat bagaimana putra kecil yang sering merengek ingin digendong olehnya dulu sudah menjadi remaja tampan sekarang. Dia pasti juga bangga melihat bagaimana toko kue yang di bangun bersama istrinya itu kini telah sukses dengan banyak pelanggan yang silih

    Last Updated : 2021-09-06
  • The Return of Friendship Shoes   Bagian 4

    Selepas libur Sekolah kemarin, kini Alan kembali masuk. Menyambut hari Senin yang kebanyakan menjadi hari yang paling tidak di sukai oleh pelajar, banyak yang bilang karena mata pelajarannya cukup padat untuk memulai hari awal saat bersekolah. Tapi tidak bagi Alan, lima hari waktu bersekolah seperti tidak ada bedanya. Semua sama, tanpa terkecuali.Sekarang sedang berlangsung dilaksanakannya upacara, sudah menjadi kebiasaan lama bahwa hari Senin akan menjadi hari di adakannya upacara bendera. Bukan hanya di sekolahnya, tapi hampir semua sekolah di Indonesia memiliki kebiasaan tersebut. Biasanya murid yang terlambat akan mendapat hukuman yang lebih memalukan daripada hari-hari lainnya. Mereka di minta untuk berdiri di depan barisan, dilihat oleh semua warga sekolah. Salah satu sederet siswa yang dihukum itu ada Alan. Tidak, dia sudah mematuhi peraturan sekolah. Ia bahkan berangkat dengan seragam lengkap. Dasi yang melingkar di lehernya, sepatu hitam yang membungkus kedua

    Last Updated : 2021-09-06
  • The Return of Friendship Shoes   Bagian 5

    Setelah setengah jam berhasil membuat Mita bergelut di dalam ruang guru dan menjawab berbagai pertanyaan, akhirnya ia diputuskan untuk masuk di kelas Darel. Ia ditemani salah satu guru yang kebetulan akan mengajar di kelas Darel pun berjalan bersama melewati koridor kelas. Sesekali keduanya saling melempar pertanyaan dan jawaban sekadar untuk berkenalan."Selamat pagi anak-anak. Hari ini kita kedatangan teman baru, mari kenalkan dirimu, Nak." ujar Guru itu mempersilakan Mita memperkenalkan dirinya secara singkat."Halo semuanya! Namaku Mita Mizuki, kalian bisa memanggilku Mita. Seperti yang sudah kalian ketahui, aku murid pindahan dari Jepang. Kini, aku dan keluargaku memilih untuk kembali ke Indonesia dan menetap di sini. Aku harap kalian bisa menerimaku di sini, terima kasih." ucap Mita di iringi dengan membungkukan badannya. Sepertinya kebiasaan khas orang Jepang tersebut sudah mengental dalam dirinya. Hidup belasan tahun di Jepang tentu tidak semudah itu sega

    Last Updated : 2021-09-06
  • The Return of Friendship Shoes   Bagian 6

    Taman belakang sekolah menjadi tempat pelarian Mita dan Darel. Tangan mereka masih saling bertaut erat meski keduanya sudah duduk pada salah satu bangku panjang yang di sediakan. Beberapa detik setelahnya, Darel baru tersadar. Dia melepas genggaman Mita dengan cepat, hal itu membuat Mita sedikit kaget. Lantas, suasana di antara mereka menjadi canggung. Mita memilih mengatur fokusnya pada air mancur yang berada di tengah-tengah kolam di depan sana dan Darel lebih memilih mengusap paha kakinya dengan tangan dengan pelan namun berulang."Terima kasih." ujar Darel pada akhirnya, dia masih dalam posisi yang sama. Bedanya kali ini dia sedikit menunduk, menatap tangannya yang memerah.Di samping Darel, Mita tampak sedikit kelabakan sebelum akhirnya mengangguk dengan senyum kikuk. Salah satu tangan Mita sesekali membenarkan rok seragam tanpa maksud yang jelas."Kamu ke---"Mita memotong percakapannnya sendiri saat melihat Darel hendak beranjak pergi. Lantas

    Last Updated : 2021-09-12
  • The Return of Friendship Shoes   Bagian 7

    "Apa maksud ucapanmu?""Kamu tidak menyadari kenapa dia duduk di bangku belakang sendiri? Biar aku beri tau, dengarkan dengan baik, oke?""Jadi dia---"Suatu hari di mana perkenalan murid baru di adakan di lapangan sekolah. Murid yang akan menempati kelas 10 itu menjalani masa orientasi, di depan barisan, kepala sekolah berpidato singkat memberikan penyambutan kepada para murid. Suara tepukan tangan menggema setelah kepala sekolah mengucapkan selamat datang di SMA ini dan pamit untuk menutup sesi pidato darinya. Barisan di ambil alih oleh Kakak kelas yang masuk dalam organisasi OSIS, mereka dengan cepat mengatur barisan yang sempat hendak membubarkan diri dengan tegas. Bahkan mereka tidak segan untuk berteriak memanggil adik kelas yang mulai bandel.Di barisan belakang, Alan berdiri. Posisi tempatnya cukup mendapat banyak sinar matahari yang perlahan mulai naik dan hangat yang di bawa mulai bertambah panas. Sebentar lagi, mereka akan di berikan jam

    Last Updated : 2021-09-18
  • The Return of Friendship Shoes   Bagian 8

    "Alan pulang."Mira menggerakkan laju kursi rodanya dengan semangat, dia menghampiri anaknya. Senyum di wajah Mira tidak pernah luntur saat menyambut Alan kembali ke Rumah. Daun pintu menggerakkan laju pintu untuk terbuka, menampilkan Alan lengkap dengan seragam sekolah serta senyum hangat di wajahnya."Halo Nyonya besar!! Tuan mudamu telah kembali." Alan terkekeh, dia menyempatkan waktu untuk memeluk Mira yang dengan senang hati Mira terima, Mira turut membalas pelukan dari anaknya."Dasar!" ujar Mira sembari tertawa kecil.Mira memundurkan kursi rodanya, melaju kembali ke arah dapur, dia tengah memasak sup sayur hari ini. Belum selesai, sebab Mira baru mengupas dan membersihkan sayuran tadi sebelum Alan pulang."Masakan Ibu belum selesai, kamu bersihkan badanmu dulu, Ibu akan selesaikan ini secepatnya." Mira mulai mengambil pisau dan kembali berkutat dengan tugasnya. Bahan yang sudah dia iris, di masukkan ke dalam mangkuk besar untuk di cuc

    Last Updated : 2021-09-28

Latest chapter

  • The Return of Friendship Shoes   Bagian 8

    "Alan pulang."Mira menggerakkan laju kursi rodanya dengan semangat, dia menghampiri anaknya. Senyum di wajah Mira tidak pernah luntur saat menyambut Alan kembali ke Rumah. Daun pintu menggerakkan laju pintu untuk terbuka, menampilkan Alan lengkap dengan seragam sekolah serta senyum hangat di wajahnya."Halo Nyonya besar!! Tuan mudamu telah kembali." Alan terkekeh, dia menyempatkan waktu untuk memeluk Mira yang dengan senang hati Mira terima, Mira turut membalas pelukan dari anaknya."Dasar!" ujar Mira sembari tertawa kecil.Mira memundurkan kursi rodanya, melaju kembali ke arah dapur, dia tengah memasak sup sayur hari ini. Belum selesai, sebab Mira baru mengupas dan membersihkan sayuran tadi sebelum Alan pulang."Masakan Ibu belum selesai, kamu bersihkan badanmu dulu, Ibu akan selesaikan ini secepatnya." Mira mulai mengambil pisau dan kembali berkutat dengan tugasnya. Bahan yang sudah dia iris, di masukkan ke dalam mangkuk besar untuk di cuc

  • The Return of Friendship Shoes   Bagian 7

    "Apa maksud ucapanmu?""Kamu tidak menyadari kenapa dia duduk di bangku belakang sendiri? Biar aku beri tau, dengarkan dengan baik, oke?""Jadi dia---"Suatu hari di mana perkenalan murid baru di adakan di lapangan sekolah. Murid yang akan menempati kelas 10 itu menjalani masa orientasi, di depan barisan, kepala sekolah berpidato singkat memberikan penyambutan kepada para murid. Suara tepukan tangan menggema setelah kepala sekolah mengucapkan selamat datang di SMA ini dan pamit untuk menutup sesi pidato darinya. Barisan di ambil alih oleh Kakak kelas yang masuk dalam organisasi OSIS, mereka dengan cepat mengatur barisan yang sempat hendak membubarkan diri dengan tegas. Bahkan mereka tidak segan untuk berteriak memanggil adik kelas yang mulai bandel.Di barisan belakang, Alan berdiri. Posisi tempatnya cukup mendapat banyak sinar matahari yang perlahan mulai naik dan hangat yang di bawa mulai bertambah panas. Sebentar lagi, mereka akan di berikan jam

  • The Return of Friendship Shoes   Bagian 6

    Taman belakang sekolah menjadi tempat pelarian Mita dan Darel. Tangan mereka masih saling bertaut erat meski keduanya sudah duduk pada salah satu bangku panjang yang di sediakan. Beberapa detik setelahnya, Darel baru tersadar. Dia melepas genggaman Mita dengan cepat, hal itu membuat Mita sedikit kaget. Lantas, suasana di antara mereka menjadi canggung. Mita memilih mengatur fokusnya pada air mancur yang berada di tengah-tengah kolam di depan sana dan Darel lebih memilih mengusap paha kakinya dengan tangan dengan pelan namun berulang."Terima kasih." ujar Darel pada akhirnya, dia masih dalam posisi yang sama. Bedanya kali ini dia sedikit menunduk, menatap tangannya yang memerah.Di samping Darel, Mita tampak sedikit kelabakan sebelum akhirnya mengangguk dengan senyum kikuk. Salah satu tangan Mita sesekali membenarkan rok seragam tanpa maksud yang jelas."Kamu ke---"Mita memotong percakapannnya sendiri saat melihat Darel hendak beranjak pergi. Lantas

  • The Return of Friendship Shoes   Bagian 5

    Setelah setengah jam berhasil membuat Mita bergelut di dalam ruang guru dan menjawab berbagai pertanyaan, akhirnya ia diputuskan untuk masuk di kelas Darel. Ia ditemani salah satu guru yang kebetulan akan mengajar di kelas Darel pun berjalan bersama melewati koridor kelas. Sesekali keduanya saling melempar pertanyaan dan jawaban sekadar untuk berkenalan."Selamat pagi anak-anak. Hari ini kita kedatangan teman baru, mari kenalkan dirimu, Nak." ujar Guru itu mempersilakan Mita memperkenalkan dirinya secara singkat."Halo semuanya! Namaku Mita Mizuki, kalian bisa memanggilku Mita. Seperti yang sudah kalian ketahui, aku murid pindahan dari Jepang. Kini, aku dan keluargaku memilih untuk kembali ke Indonesia dan menetap di sini. Aku harap kalian bisa menerimaku di sini, terima kasih." ucap Mita di iringi dengan membungkukan badannya. Sepertinya kebiasaan khas orang Jepang tersebut sudah mengental dalam dirinya. Hidup belasan tahun di Jepang tentu tidak semudah itu sega

  • The Return of Friendship Shoes   Bagian 4

    Selepas libur Sekolah kemarin, kini Alan kembali masuk. Menyambut hari Senin yang kebanyakan menjadi hari yang paling tidak di sukai oleh pelajar, banyak yang bilang karena mata pelajarannya cukup padat untuk memulai hari awal saat bersekolah. Tapi tidak bagi Alan, lima hari waktu bersekolah seperti tidak ada bedanya. Semua sama, tanpa terkecuali.Sekarang sedang berlangsung dilaksanakannya upacara, sudah menjadi kebiasaan lama bahwa hari Senin akan menjadi hari di adakannya upacara bendera. Bukan hanya di sekolahnya, tapi hampir semua sekolah di Indonesia memiliki kebiasaan tersebut. Biasanya murid yang terlambat akan mendapat hukuman yang lebih memalukan daripada hari-hari lainnya. Mereka di minta untuk berdiri di depan barisan, dilihat oleh semua warga sekolah. Salah satu sederet siswa yang dihukum itu ada Alan. Tidak, dia sudah mematuhi peraturan sekolah. Ia bahkan berangkat dengan seragam lengkap. Dasi yang melingkar di lehernya, sepatu hitam yang membungkus kedua

  • The Return of Friendship Shoes   Bagian 3

    Matahari menyembul malu dari ufuk timur, ia membawa hangat dari sinar yang di bawa olehnya. Menghalau dingin malam yang sempat menyelimuti daerah bumi. Tetes-tetes embun juga nampak masih memilih tinggal di dedaunan pohon pada sekitaran kawasan pemakaman umum ini. Di salah satu pusaran, seseorang dengan perlahan menabur bunga di susul dengan tangan yang berdoa. Di sampingnya lagi, seseorang lain terduduk di kursi roda mengikuti gerakan yang ia lakukan. Itu Alan dan Mira, tengah berkunjung pada malam sang kepala keluarga yang sesungguhnya.Sudah belasan tahun pergi, namun keduanya tidak pernah lupa dengan kenangan bersama suami sekaligus ayah dalam keluarga mereka. Seharusnya jika Herdan masih bernapas, dia pasti akan senang melihat bagaimana putra kecil yang sering merengek ingin digendong olehnya dulu sudah menjadi remaja tampan sekarang. Dia pasti juga bangga melihat bagaimana toko kue yang di bangun bersama istrinya itu kini telah sukses dengan banyak pelanggan yang silih

  • The Return of Friendship Shoes   Bagian 2

    Beralih pada Sekolah yang menjadi tempat menyakitkan untuk Alan, di sini Alan merasa menemukan damai. Bukan dengan barang mewah yang bisa membuat mata Alan terbelalak tidak percaya, bukan juga dengan banyak lembar uang yang bisa membuatnya membeli berbagai barang dengan mudahnya. Di sini, dengan rambut kepala yang di elus pelan penuh ketulusan, berbaring menjadikan paha seseorang sebagai bantal kepalanya. Di iringi nyanyian merdu dari sosok yang ia sebut Ibu."Ibu suka lihat kamu bermanja-manja seperti ini." kata wanita 42 tahun itu. Mira namanya.Alan tersenyum, ia bergerak mencari kenyamanan yang lebih baik. Alan menatap netra milik Ibunya, sembab di sana masih terlihat jelas untuk Alan meski Mira sudah berusaha sebaik mungkin membagi senyumnya. Berapa lama ia menangis sendirian? Bagaimana seandainya tadi Alan tidak bergegas pulang setelah usai sekolah? Apa ibunya akan menjadi lebih kacau daripada saat ia membuka pintu dan menampilkan Ibunya tengah menangis, te

  • The Return of Friendship Shoes   Bagian 1

    Sekolah, sebuah gedung yang dikenal mempunyai banyak ruang yang berbeda-beda. Menjadi salah satu tempat utama untuk menuntut ilmu bagi sebagian besar manusia sebagai bekal masa depan. Gedung dengan berbagai tingkatan kelas dan pengajaran yang bertahap itu seakan tidak pernah kehilangan ramai suasana oleh warga sekolah. Ya, kecuali hari libur, sih. Orang bilang Sekolah ibarat tempat kedua yang kita singgahi setelah Rumah tempat tinggal. Di sana, seseorang akan menemukan dan berbaur dengan manusia yang beragam sifat, saling berdiskusi dan bekerja sama meraih yang terbaik. Koridor kelas tidak pernah kehilangan tapak dari derap langkah murid dan guru, atau bahkan penjaga sekolah.Bila dijabarkan lebih lanjut, mungkin bagian pertama ini tidaklah cukup. Maka untuk itu, izinkan aku membawamu menikmati kisah yang ku suguhkan hari ini. Izinkan aku untuk memperkenalkan mereka dalam tiap lembar cerita nanti. Aku berharap, kamu akan bersedia.Katanya Sekolah adalah tempat sederhan

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status