"Apa maksud ucapanmu?"
"Kamu tidak menyadari kenapa dia duduk di bangku belakang sendiri? Biar aku beri tau, dengarkan dengan baik, oke?"
"Jadi dia---"
Suatu hari di mana perkenalan murid baru di adakan di lapangan sekolah. Murid yang akan menempati kelas 10 itu menjalani masa orientasi, di depan barisan, kepala sekolah berpidato singkat memberikan penyambutan kepada para murid. Suara tepukan tangan menggema setelah kepala sekolah mengucapkan selamat datang di SMA ini dan pamit untuk menutup sesi pidato darinya. Barisan di ambil alih oleh Kakak kelas yang masuk dalam organisasi OSIS, mereka dengan cepat mengatur barisan yang sempat hendak membubarkan diri dengan tegas. Bahkan mereka tidak segan untuk berteriak memanggil adik kelas yang mulai bandel.
Di barisan belakang, Alan berdiri. Posisi tempatnya cukup mendapat banyak sinar matahari yang perlahan mulai naik dan hangat yang di bawa mulai bertambah panas. Sebentar lagi, mereka akan di berikan jam istirahat untuk sekadar memberi ruang bagi kaki yang mulai gemetar akibat terlalu lama berdiri. Dua jam, waktu yang lama untuk mereka yang melewatkan waktu sarapan ketika hendak berangkat sekolah tadi. Tidak terkecuali dengan Alan, bulir-bulir keringat mulai menghiasi wajahnya. Sesekali tangan kanannya ikut menyeka keringat di raut wajah Alan. Tinggal menunggu beberapa menit lagi sampai pada akhirnya gema suara dari mikrofon di depan sana menjadi suara indah yang di nantikan bagi murid-murid baru yang berbaris tersebut.
Mereka langsung membubarkan diri satu persatu, keluar dari barisan. Beberapa ada yang inisiatif untuk berkenalan dengan teman baru mereka masing-masing, beberapa sisanya lagi sibuk dengan dunia sendiri-sendiri. Ada yang duduk dengan kaki yang di luruskan berjejer, ada yang kembali ke kelas, bahkan ada pula yang pergi ke kantin untuk mengobati tenggorokan mereka yang kering. Di sinilah Alan sekarang, di sudut lapangan sendirian. Tidak ada teman baru yang datang, pun dengan dirinya yang masih enggan untuk mengajak berkenalan duluan. Dia mendudukkan tubuhnya di dekat rumput taman kecil sekolah. Di sampingnya, sebotol air mineral berukuran sedang menemani Alan. Sembari menengguk air mineral, pandangan Alan tertuju pada segerombolan anak laki-laki di depan sana. Mereka tertawa bersama dengan candaan yang saling mereka lontarkan. Di lihat dari segi penampilan sudah cukup menyadarkan Alan bahwa kondisinya dengan mereka berbeda. Alan hanya orang sederhana, tidak seperti mereka.
Pakaian yang sedikit di keluarkan membuat aura di dalam diri mereka identik dengan nakal. Ahh, Alan melupakan satu hal. Segerombolan laki-laki itu tadinya sempat mendapat hukuman karena melakukan pelanggaran masa orientasi yang berlaku. Cowok dengan rambut yang ia uraikan ke belakang, dia melanggar perihal sepatu. Sepatu yang dia pakai sekarang bukanlah warna hitam dan tali sepatu berwarna putih, melainkan sepatu berwarna abu-abu dengan tali biru tua yang cukup mencolok. Dia, namanya Dertan. Dan dua orang di sampingnya itu adalah teman akrabnya dengan sifat yang hampir tidak jauh beda.
Orientasi berakhir sesuai rencana, kini mereka tinggal mencari kelas dan tempat duduk yang telah di umumkan pada papan pengumuman. Kini, di depan papan pengumuman murid murid yang akan menempati kelas sepuluh saling berdesakan satu sama lain. Suara-suara gaduh bercampur. Bahkan karena terlalu ramai, Alan hampir terjatuh karena tersenggol pundak dari salah satu teman. Beruntung dia dapat menahan dirinya sendiri dengan berpegangan pada meja di samping papan pengumuman tersebut. Beberapa detik, dia memilih mundur. Sejenak membiarkan kegaduhan di sana menjadi lebih teratur. Selang hampir lima menit, kondisi mulai membaik. Alan dengan segera memeriksa namanya dan memasuki kelas yang di tuju.
Alan pikir teman sekelas akan bersikap baik sebagaimana yang Alan bayangkan. Tapi ternyata tidak, belum genap langkah kakinya sempurna menapaki kelas, sebuah kabur mendarat tepat di dahinya. Hal tersebut membuatnya mengaduh pelan.
"Hei! Jalan lihat-lihat dong!" ucap orang yang ternyata melempar kapur.
Dertan bangkit dari kursinya, ia menghampiri orang yang telah melemparkan kapur ke arah Alan. Alan berpikir bahwa Dertan akan membantu, tapi ternyata tidak. Kini beberapa kapur tertuju kepada Alan, membuat Alan melindungi diri dengan kedua tangannya yang menutupi wajah.
"Apa yang kalian lakukan, hah?" Alan berkata, membuat Dertan menghentikan lemparan.
"Hanya iseng." jawab Dertan dengan tawa seperti meremehkan.
"Tunggu! Jadi apa masalahnya?" tanya Mita masih tidak paham dengan cerita yang Deyna ceritakan. Dia memotong kecil kue yang di pesan dan menyuapkan ke dalam mulut.
"Dia itu bodoh. Sebenernya, aku tidak sepenuhnya membenci dia. Tapi kamu tau? Alan itu pengecut, bahkan untuk melawan omongan Dertan saja tidak bisa. Rasanya tidak ada keberanian dalam diri Alan. Itu membuatku muak." kata Deyna, ia memutuskan ceritanya sampai situ.
•••
Pagi hari ini cukup cerah, Mita bangun tepat waktu, hari ini dia memutuskan untuk berjalan kaki, sebab jarak rumah dengan sekolahnya tidak terlalu jauh. Lagipula dia sudah cukup mengingat lingkungan di sekitarnya, dia yakin bahwa dia tidak akan tersesat.
Saat berjalan, Mita mengambil ponsel di saku seragamnya. Membuka aplikasi komunikasi untuk mengecek pesan dari Deyna yang semalam berbincang mengenai tugas-tugas sekolah. Namun, Mita di kejutkan dengan satu nama yang dia pikirkan dan membuat fokus belajarnya kemarin berantakan.
"Siapa?"
Satu kata itu membuatnya bingung. Apa dia mengirim pesan kepada Alan? Dia rasa tidak sebab dia memutuskan untuk mematikan ponselnya setelah berulang kali mengetik namun dia hapus lagi. Apa dia salah lihat?
Mita berhenti, menepi ke pinggiran jalan hanya untuk mengecek bahwa nama kontak yang berada di atas sendiri itu benar-benar namanya, nama Alan. Mita bahkan mencubit pipinya, mungkin dia hanya berhalusinasi. Namun ternyata tidak, maka setelah sadar menguasainya dengan baik, Mita bergegas membuka pesan tersebut. Terkejut sebab pesan terakhir yang dia ketik terkirim kepada Alan, bahkan mendapat pesan balasan. Tidak ingin membuang waktu lebih banyak, Mita bergegas membalas pesan tersebut."Eh, Alan, ini aku Mita! Mari berteman dan jangan lupa simpan nomorku ya!>.<" balas Mita. Sejenak dia terkekeh dengan emoticon yang ia sertakan, merasa geli pada dirinya sendiri. Lalu, dia memasukkan kembali ponselnya dan melanjutkan langkah menuju sekolah barunya.
Dia bersenandung kecil dalam perjalanannya. Sesekali menyapa orang yang berlalu lalang meskipun orang itu tidak Mita kenal.
Di sinilah sekarang, Mita pikir dia akan sampai sekolah tepat pada waktunya. Ternyata, sial! Dia terlambat. Mita datang di saat gerbang sekolah sudah benar-benar tertutup rapat dengan satpam yang berjaga di samping gerbang. Jika dia masuk, tentu dia akan ketahuan dan bisa saja mendapat hukuman. Oh tidak, ini adalah hari-hari baru untuknya, Mita tidak ingin merusak nama baiknya sendiri dengan keadaan saat ini.
Kita bersembunyi pada salah satu tiang yang masih milik kawasan sekolah, mengambil ponselnya dan mengirim pesan kepada Deyna. Meminta bantuan bahwa dia terlambat, Mita meminta tolong kepada Deyna untuk memberitahu Guru bahwa dia sedang izin ke kamar mandi saat guru memanggil presensi kelas. Deyna pun menyetujui, membuat Mita bernapas lega, setidaknya dia aman di dalam kelas nanti. Kini otaknya berpikir bagaimana dia bisa masuk dalam sekolah dan duduk tenang di kelas tanpa sepengetahuan satpam dan guru bimbingan konseling yang ikut berjaga.
Saat sedang sibuk berpikir, tepukan tangan seseorang di pundaknya membuatnya terkejut. Mita menoleh ke belakang, dirinya semakin tercengang saat ternyata orang yang menepuk pundaknya adalah Alan. Mita malu sekarang!
"Kamu terlambat, ayo ikut denganku." ujar Alan dengan senyum tipis yang membuat Mita terdiam untuk beberapa saat.
"Hey?"
Mita tersadar, "Ah, eh? Oh iya kemana?" Sial, bahkan perkataan Mita menjadi gagap, dia semakin malu akibat ulahnya sendiri.
Ternyata, Alan mengajaknya pada halaman belakang sekolah. Di sana, terdapat pintu kecil yang tertutup oleh tumbuhan-tumbuhan liar. Jadi, Alan mengajak Mita untuk masuk lewat pintu ini? Bahkan ukuran pintu ini lebih kecil daripada tubuhnya sendiri.
"Bagaimana masuknya?" tanya Mita, dia jongkok untuk memperhatikan pintu tersebut sembari berpikir cara untuk melewati pintu tersebut.
"Jongkok lah seperti itu, lalu masuk hati-hati." jawab Alan dengan singkat. Tidak ada senyum di wajahnya kali ini. Mita melihat ke arah Alan, dia cowok yang tampan.
Mita tersadar, dia menampar pipinya sendiri karena sudah berpikir demikian. Ada yang salah dengan dirinya!
"Buruan, jika tidak biarkan aku masuk dahulu." Alan lama-lama kesal dengan Mita yang tidak segera menerobos pintu itu. Dia melirik jam tangannya, detak jarum jam di sama menunjukkan pukul 07.15 pagi. Sudah 15 menit keduanya terlambat.
"Oke, oke. Aku masuk." putus Mita. Dia segera masuk melewati pintu di susul dengan Alan. Kini keduanya berhasil memasuki sekolah tanpa ketahuan Guru. Mira kegirangan, dia lolos dari hukuman. Maka dengan cepat Mita berlari setelah mengucapkan terima kasih kepada Alan dan berjanji akan memberinya traktiran di Kantin. Mita bergegas memasuki kelas, beruntung Deyna cukup peka, dia mengacungkan tangannya dan berkata.
"Permisi ibu, maaf. Mita sudah kembali."
Mita tersenyum kikuk di depan pintu kelas, jantungnya berdebar. Sebelum akhirnya dia benar-benar bernapas lega saat Guru mempersilahkan dia masuk. Kini saat Mita sudah sepenuhnya duduk, Deyna menahan tawanya dengan mata yang meminta penjelasan. Mita mengerti maksud temannya itu dan dia akan mengatakan alasan dia terlambat nanti saat waktu istirahat tiba.
Saat buku sudah sepenuhnya Mita buka, dan guru sudah melanjutkan kembali penjelasannya, Mita bertanya-tanya kepada dirinya sendiri.
"Di mana Alan?"Mita yakin saat berlari tadi, dia tidak berlari cukup kencang dan membuat Alan tertinggal jauh. Pasalnya ini sudah lebih dari 5 menit dan Alan belum juga menunjukkan batang hidungnya di pintu kelas.Di sisi lain, Alan sibuk dengan kemoceng yang dia bawa guna membersihkan buku-buku perpustakaan. Dia di hukum. Saat berjalan di koridor kelas tadi, seorang guru tidak sengaja menangkap basah dirinya. Guru itu membawa Alan kepada guru bimbingan konseling, dia mengatakan bahwa dia sempat mendengar langkah kaki seseorang seperti sedang berlari. Akhirnya guru yang tengah mengajar itu memutuskan untuk keluar kelas dan mengecek keadaan sekitar, tidak di sangka saat pintu kelas dia buka, dia berpapasan dengan Alan. Alan sedikit terkejut, dia menghela napas sebelum akhirnya mengikuti langkah guru itu.
Alan mendapatkan hukuman untuk membersihkan ruang perpustakaan, membersihkan buku-buku yang mulai berdebu dan menatanya lebih rapi. Dia juga mengatakan kepada guru bahwa dia memang sempat berlari tadi. Namun pada kenyataannya, si Mita lah yang berlari.
Alan itu alergi dengan debu seperti sekarang, buku-buku lama yang tersimpan di dalam kardus. Mungkin buku-buku ini sudah termakan umur, mengingat beberapa halaman sudah mulai menguning. Alan memaksakan dirinya, mempercepat hukumannya agar segera selesai dan dia bisa ke ruang kesehatan untuk mengambil minyak. Dadanya mulai merasakan sesak."Sebentar lagi, Lan." batinnya, sebelum kegelapan mengambil alih dunianya sejenak.
"Alan pulang."Mira menggerakkan laju kursi rodanya dengan semangat, dia menghampiri anaknya. Senyum di wajah Mira tidak pernah luntur saat menyambut Alan kembali ke Rumah. Daun pintu menggerakkan laju pintu untuk terbuka, menampilkan Alan lengkap dengan seragam sekolah serta senyum hangat di wajahnya."Halo Nyonya besar!! Tuan mudamu telah kembali." Alan terkekeh, dia menyempatkan waktu untuk memeluk Mira yang dengan senang hati Mira terima, Mira turut membalas pelukan dari anaknya."Dasar!" ujar Mira sembari tertawa kecil.Mira memundurkan kursi rodanya, melaju kembali ke arah dapur, dia tengah memasak sup sayur hari ini. Belum selesai, sebab Mira baru mengupas dan membersihkan sayuran tadi sebelum Alan pulang."Masakan Ibu belum selesai, kamu bersihkan badanmu dulu, Ibu akan selesaikan ini secepatnya." Mira mulai mengambil pisau dan kembali berkutat dengan tugasnya. Bahan yang sudah dia iris, di masukkan ke dalam mangkuk besar untuk di cuc
Sekolah, sebuah gedung yang dikenal mempunyai banyak ruang yang berbeda-beda. Menjadi salah satu tempat utama untuk menuntut ilmu bagi sebagian besar manusia sebagai bekal masa depan. Gedung dengan berbagai tingkatan kelas dan pengajaran yang bertahap itu seakan tidak pernah kehilangan ramai suasana oleh warga sekolah. Ya, kecuali hari libur, sih. Orang bilang Sekolah ibarat tempat kedua yang kita singgahi setelah Rumah tempat tinggal. Di sana, seseorang akan menemukan dan berbaur dengan manusia yang beragam sifat, saling berdiskusi dan bekerja sama meraih yang terbaik. Koridor kelas tidak pernah kehilangan tapak dari derap langkah murid dan guru, atau bahkan penjaga sekolah.Bila dijabarkan lebih lanjut, mungkin bagian pertama ini tidaklah cukup. Maka untuk itu, izinkan aku membawamu menikmati kisah yang ku suguhkan hari ini. Izinkan aku untuk memperkenalkan mereka dalam tiap lembar cerita nanti. Aku berharap, kamu akan bersedia.Katanya Sekolah adalah tempat sederhan
Beralih pada Sekolah yang menjadi tempat menyakitkan untuk Alan, di sini Alan merasa menemukan damai. Bukan dengan barang mewah yang bisa membuat mata Alan terbelalak tidak percaya, bukan juga dengan banyak lembar uang yang bisa membuatnya membeli berbagai barang dengan mudahnya. Di sini, dengan rambut kepala yang di elus pelan penuh ketulusan, berbaring menjadikan paha seseorang sebagai bantal kepalanya. Di iringi nyanyian merdu dari sosok yang ia sebut Ibu."Ibu suka lihat kamu bermanja-manja seperti ini." kata wanita 42 tahun itu. Mira namanya.Alan tersenyum, ia bergerak mencari kenyamanan yang lebih baik. Alan menatap netra milik Ibunya, sembab di sana masih terlihat jelas untuk Alan meski Mira sudah berusaha sebaik mungkin membagi senyumnya. Berapa lama ia menangis sendirian? Bagaimana seandainya tadi Alan tidak bergegas pulang setelah usai sekolah? Apa ibunya akan menjadi lebih kacau daripada saat ia membuka pintu dan menampilkan Ibunya tengah menangis, te
Matahari menyembul malu dari ufuk timur, ia membawa hangat dari sinar yang di bawa olehnya. Menghalau dingin malam yang sempat menyelimuti daerah bumi. Tetes-tetes embun juga nampak masih memilih tinggal di dedaunan pohon pada sekitaran kawasan pemakaman umum ini. Di salah satu pusaran, seseorang dengan perlahan menabur bunga di susul dengan tangan yang berdoa. Di sampingnya lagi, seseorang lain terduduk di kursi roda mengikuti gerakan yang ia lakukan. Itu Alan dan Mira, tengah berkunjung pada malam sang kepala keluarga yang sesungguhnya.Sudah belasan tahun pergi, namun keduanya tidak pernah lupa dengan kenangan bersama suami sekaligus ayah dalam keluarga mereka. Seharusnya jika Herdan masih bernapas, dia pasti akan senang melihat bagaimana putra kecil yang sering merengek ingin digendong olehnya dulu sudah menjadi remaja tampan sekarang. Dia pasti juga bangga melihat bagaimana toko kue yang di bangun bersama istrinya itu kini telah sukses dengan banyak pelanggan yang silih
Selepas libur Sekolah kemarin, kini Alan kembali masuk. Menyambut hari Senin yang kebanyakan menjadi hari yang paling tidak di sukai oleh pelajar, banyak yang bilang karena mata pelajarannya cukup padat untuk memulai hari awal saat bersekolah. Tapi tidak bagi Alan, lima hari waktu bersekolah seperti tidak ada bedanya. Semua sama, tanpa terkecuali.Sekarang sedang berlangsung dilaksanakannya upacara, sudah menjadi kebiasaan lama bahwa hari Senin akan menjadi hari di adakannya upacara bendera. Bukan hanya di sekolahnya, tapi hampir semua sekolah di Indonesia memiliki kebiasaan tersebut. Biasanya murid yang terlambat akan mendapat hukuman yang lebih memalukan daripada hari-hari lainnya. Mereka di minta untuk berdiri di depan barisan, dilihat oleh semua warga sekolah. Salah satu sederet siswa yang dihukum itu ada Alan. Tidak, dia sudah mematuhi peraturan sekolah. Ia bahkan berangkat dengan seragam lengkap. Dasi yang melingkar di lehernya, sepatu hitam yang membungkus kedua
Setelah setengah jam berhasil membuat Mita bergelut di dalam ruang guru dan menjawab berbagai pertanyaan, akhirnya ia diputuskan untuk masuk di kelas Darel. Ia ditemani salah satu guru yang kebetulan akan mengajar di kelas Darel pun berjalan bersama melewati koridor kelas. Sesekali keduanya saling melempar pertanyaan dan jawaban sekadar untuk berkenalan."Selamat pagi anak-anak. Hari ini kita kedatangan teman baru, mari kenalkan dirimu, Nak." ujar Guru itu mempersilakan Mita memperkenalkan dirinya secara singkat."Halo semuanya! Namaku Mita Mizuki, kalian bisa memanggilku Mita. Seperti yang sudah kalian ketahui, aku murid pindahan dari Jepang. Kini, aku dan keluargaku memilih untuk kembali ke Indonesia dan menetap di sini. Aku harap kalian bisa menerimaku di sini, terima kasih." ucap Mita di iringi dengan membungkukan badannya. Sepertinya kebiasaan khas orang Jepang tersebut sudah mengental dalam dirinya. Hidup belasan tahun di Jepang tentu tidak semudah itu sega
Taman belakang sekolah menjadi tempat pelarian Mita dan Darel. Tangan mereka masih saling bertaut erat meski keduanya sudah duduk pada salah satu bangku panjang yang di sediakan. Beberapa detik setelahnya, Darel baru tersadar. Dia melepas genggaman Mita dengan cepat, hal itu membuat Mita sedikit kaget. Lantas, suasana di antara mereka menjadi canggung. Mita memilih mengatur fokusnya pada air mancur yang berada di tengah-tengah kolam di depan sana dan Darel lebih memilih mengusap paha kakinya dengan tangan dengan pelan namun berulang."Terima kasih." ujar Darel pada akhirnya, dia masih dalam posisi yang sama. Bedanya kali ini dia sedikit menunduk, menatap tangannya yang memerah.Di samping Darel, Mita tampak sedikit kelabakan sebelum akhirnya mengangguk dengan senyum kikuk. Salah satu tangan Mita sesekali membenarkan rok seragam tanpa maksud yang jelas."Kamu ke---"Mita memotong percakapannnya sendiri saat melihat Darel hendak beranjak pergi. Lantas
"Alan pulang."Mira menggerakkan laju kursi rodanya dengan semangat, dia menghampiri anaknya. Senyum di wajah Mira tidak pernah luntur saat menyambut Alan kembali ke Rumah. Daun pintu menggerakkan laju pintu untuk terbuka, menampilkan Alan lengkap dengan seragam sekolah serta senyum hangat di wajahnya."Halo Nyonya besar!! Tuan mudamu telah kembali." Alan terkekeh, dia menyempatkan waktu untuk memeluk Mira yang dengan senang hati Mira terima, Mira turut membalas pelukan dari anaknya."Dasar!" ujar Mira sembari tertawa kecil.Mira memundurkan kursi rodanya, melaju kembali ke arah dapur, dia tengah memasak sup sayur hari ini. Belum selesai, sebab Mira baru mengupas dan membersihkan sayuran tadi sebelum Alan pulang."Masakan Ibu belum selesai, kamu bersihkan badanmu dulu, Ibu akan selesaikan ini secepatnya." Mira mulai mengambil pisau dan kembali berkutat dengan tugasnya. Bahan yang sudah dia iris, di masukkan ke dalam mangkuk besar untuk di cuc
"Apa maksud ucapanmu?""Kamu tidak menyadari kenapa dia duduk di bangku belakang sendiri? Biar aku beri tau, dengarkan dengan baik, oke?""Jadi dia---"Suatu hari di mana perkenalan murid baru di adakan di lapangan sekolah. Murid yang akan menempati kelas 10 itu menjalani masa orientasi, di depan barisan, kepala sekolah berpidato singkat memberikan penyambutan kepada para murid. Suara tepukan tangan menggema setelah kepala sekolah mengucapkan selamat datang di SMA ini dan pamit untuk menutup sesi pidato darinya. Barisan di ambil alih oleh Kakak kelas yang masuk dalam organisasi OSIS, mereka dengan cepat mengatur barisan yang sempat hendak membubarkan diri dengan tegas. Bahkan mereka tidak segan untuk berteriak memanggil adik kelas yang mulai bandel.Di barisan belakang, Alan berdiri. Posisi tempatnya cukup mendapat banyak sinar matahari yang perlahan mulai naik dan hangat yang di bawa mulai bertambah panas. Sebentar lagi, mereka akan di berikan jam
Taman belakang sekolah menjadi tempat pelarian Mita dan Darel. Tangan mereka masih saling bertaut erat meski keduanya sudah duduk pada salah satu bangku panjang yang di sediakan. Beberapa detik setelahnya, Darel baru tersadar. Dia melepas genggaman Mita dengan cepat, hal itu membuat Mita sedikit kaget. Lantas, suasana di antara mereka menjadi canggung. Mita memilih mengatur fokusnya pada air mancur yang berada di tengah-tengah kolam di depan sana dan Darel lebih memilih mengusap paha kakinya dengan tangan dengan pelan namun berulang."Terima kasih." ujar Darel pada akhirnya, dia masih dalam posisi yang sama. Bedanya kali ini dia sedikit menunduk, menatap tangannya yang memerah.Di samping Darel, Mita tampak sedikit kelabakan sebelum akhirnya mengangguk dengan senyum kikuk. Salah satu tangan Mita sesekali membenarkan rok seragam tanpa maksud yang jelas."Kamu ke---"Mita memotong percakapannnya sendiri saat melihat Darel hendak beranjak pergi. Lantas
Setelah setengah jam berhasil membuat Mita bergelut di dalam ruang guru dan menjawab berbagai pertanyaan, akhirnya ia diputuskan untuk masuk di kelas Darel. Ia ditemani salah satu guru yang kebetulan akan mengajar di kelas Darel pun berjalan bersama melewati koridor kelas. Sesekali keduanya saling melempar pertanyaan dan jawaban sekadar untuk berkenalan."Selamat pagi anak-anak. Hari ini kita kedatangan teman baru, mari kenalkan dirimu, Nak." ujar Guru itu mempersilakan Mita memperkenalkan dirinya secara singkat."Halo semuanya! Namaku Mita Mizuki, kalian bisa memanggilku Mita. Seperti yang sudah kalian ketahui, aku murid pindahan dari Jepang. Kini, aku dan keluargaku memilih untuk kembali ke Indonesia dan menetap di sini. Aku harap kalian bisa menerimaku di sini, terima kasih." ucap Mita di iringi dengan membungkukan badannya. Sepertinya kebiasaan khas orang Jepang tersebut sudah mengental dalam dirinya. Hidup belasan tahun di Jepang tentu tidak semudah itu sega
Selepas libur Sekolah kemarin, kini Alan kembali masuk. Menyambut hari Senin yang kebanyakan menjadi hari yang paling tidak di sukai oleh pelajar, banyak yang bilang karena mata pelajarannya cukup padat untuk memulai hari awal saat bersekolah. Tapi tidak bagi Alan, lima hari waktu bersekolah seperti tidak ada bedanya. Semua sama, tanpa terkecuali.Sekarang sedang berlangsung dilaksanakannya upacara, sudah menjadi kebiasaan lama bahwa hari Senin akan menjadi hari di adakannya upacara bendera. Bukan hanya di sekolahnya, tapi hampir semua sekolah di Indonesia memiliki kebiasaan tersebut. Biasanya murid yang terlambat akan mendapat hukuman yang lebih memalukan daripada hari-hari lainnya. Mereka di minta untuk berdiri di depan barisan, dilihat oleh semua warga sekolah. Salah satu sederet siswa yang dihukum itu ada Alan. Tidak, dia sudah mematuhi peraturan sekolah. Ia bahkan berangkat dengan seragam lengkap. Dasi yang melingkar di lehernya, sepatu hitam yang membungkus kedua
Matahari menyembul malu dari ufuk timur, ia membawa hangat dari sinar yang di bawa olehnya. Menghalau dingin malam yang sempat menyelimuti daerah bumi. Tetes-tetes embun juga nampak masih memilih tinggal di dedaunan pohon pada sekitaran kawasan pemakaman umum ini. Di salah satu pusaran, seseorang dengan perlahan menabur bunga di susul dengan tangan yang berdoa. Di sampingnya lagi, seseorang lain terduduk di kursi roda mengikuti gerakan yang ia lakukan. Itu Alan dan Mira, tengah berkunjung pada malam sang kepala keluarga yang sesungguhnya.Sudah belasan tahun pergi, namun keduanya tidak pernah lupa dengan kenangan bersama suami sekaligus ayah dalam keluarga mereka. Seharusnya jika Herdan masih bernapas, dia pasti akan senang melihat bagaimana putra kecil yang sering merengek ingin digendong olehnya dulu sudah menjadi remaja tampan sekarang. Dia pasti juga bangga melihat bagaimana toko kue yang di bangun bersama istrinya itu kini telah sukses dengan banyak pelanggan yang silih
Beralih pada Sekolah yang menjadi tempat menyakitkan untuk Alan, di sini Alan merasa menemukan damai. Bukan dengan barang mewah yang bisa membuat mata Alan terbelalak tidak percaya, bukan juga dengan banyak lembar uang yang bisa membuatnya membeli berbagai barang dengan mudahnya. Di sini, dengan rambut kepala yang di elus pelan penuh ketulusan, berbaring menjadikan paha seseorang sebagai bantal kepalanya. Di iringi nyanyian merdu dari sosok yang ia sebut Ibu."Ibu suka lihat kamu bermanja-manja seperti ini." kata wanita 42 tahun itu. Mira namanya.Alan tersenyum, ia bergerak mencari kenyamanan yang lebih baik. Alan menatap netra milik Ibunya, sembab di sana masih terlihat jelas untuk Alan meski Mira sudah berusaha sebaik mungkin membagi senyumnya. Berapa lama ia menangis sendirian? Bagaimana seandainya tadi Alan tidak bergegas pulang setelah usai sekolah? Apa ibunya akan menjadi lebih kacau daripada saat ia membuka pintu dan menampilkan Ibunya tengah menangis, te
Sekolah, sebuah gedung yang dikenal mempunyai banyak ruang yang berbeda-beda. Menjadi salah satu tempat utama untuk menuntut ilmu bagi sebagian besar manusia sebagai bekal masa depan. Gedung dengan berbagai tingkatan kelas dan pengajaran yang bertahap itu seakan tidak pernah kehilangan ramai suasana oleh warga sekolah. Ya, kecuali hari libur, sih. Orang bilang Sekolah ibarat tempat kedua yang kita singgahi setelah Rumah tempat tinggal. Di sana, seseorang akan menemukan dan berbaur dengan manusia yang beragam sifat, saling berdiskusi dan bekerja sama meraih yang terbaik. Koridor kelas tidak pernah kehilangan tapak dari derap langkah murid dan guru, atau bahkan penjaga sekolah.Bila dijabarkan lebih lanjut, mungkin bagian pertama ini tidaklah cukup. Maka untuk itu, izinkan aku membawamu menikmati kisah yang ku suguhkan hari ini. Izinkan aku untuk memperkenalkan mereka dalam tiap lembar cerita nanti. Aku berharap, kamu akan bersedia.Katanya Sekolah adalah tempat sederhan