Taman belakang sekolah menjadi tempat pelarian Mita dan Darel. Tangan mereka masih saling bertaut erat meski keduanya sudah duduk pada salah satu bangku panjang yang di sediakan. Beberapa detik setelahnya, Darel baru tersadar. Dia melepas genggaman Mita dengan cepat, hal itu membuat Mita sedikit kaget. Lantas, suasana di antara mereka menjadi canggung. Mita memilih mengatur fokusnya pada air mancur yang berada di tengah-tengah kolam di depan sana dan Darel lebih memilih mengusap paha kakinya dengan tangan dengan pelan namun berulang.
"Terima kasih." ujar Darel pada akhirnya, dia masih dalam posisi yang sama. Bedanya kali ini dia sedikit menunduk, menatap tangannya yang memerah.
Di samping Darel, Mita tampak sedikit kelabakan sebelum akhirnya mengangguk dengan senyum kikuk. Salah satu tangan Mita sesekali membenarkan rok seragam tanpa maksud yang jelas.
"Kamu ke---"
Mita memotong percakapannnya sendiri saat melihat Darel hendak beranjak pergi. Lantas dengan cepat, Mita ikut berdiri menyusul beberapa langkah yang sudah Darel terlewati. Dia menghadang Darel dengan kedua tangan, sikap yang tiba-tiba itu refleks membuat Darel berhenti atau dia akan menubruk gadis di depannya saat ini.
Darel menaikkan sebelah alisnya, seolah memberi kode 'apa' kepada Mita. Mita yang paham pun lantas berujar."Kamu belum membalas perkenalanku tadi. Jadi siapa namamu?"
Darel mundur setidaknya dua langkah.
"Darel." jawabnya singkat dan berjalan kembali dengan arah di samping kanan berdirinya Mita.
Mita berdiri tegap, ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan mengumamkan kata Darel berulang kali sebelum akhirnya dia memilih kembali ke kelas,
•••
"Habis darimana, Ta?" tanya Deyna. Dia sempat di buat bingung saat Deyna kembali ke Meja Kantin tetapi tidak menemukan Mita. Alhasil, dia memberikan semangkok soto itu kepada salah satu teman yang berada di Kantin dan mulai pergi mencari Mita.
Saat Deyna mencari di kelas, dia tidak menemukan keberadaan Mita. Hal tersebut membuat dia bertanya kepada teman sekelas mengenai keberadaan Mita. Banyak yang bilang bahwa Mita sedari jam istirahat di mulai belum kembali ke kelas. Saat hendak keluar dari kelas, Deyna secara kebetulan perpapasan dengan orang yang di cari.
"Aku? Ahh tadi aku pengin ke toilet. Seorang siswi memberiku arah, dan ternyata toilet berada tidak jauh dari Perpustakaan. Kamu tau? Di sana tadi sempat terjadi keributan." ungkap Mita. Dia berjalan menuju meja kelas diikuti Deyna di belakang.
"Lalu apa yang kamu lakukan di sana? Dan siapa mereka?"
"Aku pikir itu pembullyan, namanya Da--darel? Ahh itu lah namanya!" jawab Mita sedikit kesal sebab tidak yakin dengan jawabannya.
Deyna yang mengerti maksud temannya itu hanya terdiam, berpikir apakah hendak memberitahu atau tidak. Suara bel penanda habisnya waktu istirahat membuat beberapa murid bergumam kesal. Berpikir bahwa jam istirahat baru saja di mulai, dan kini mereka harus bertarung dengan mata pelajaran yang akan datang.
Pelajaran sejarah sebagai penutup berakhirnya kelas kali ini terasa membosankan, Guru di depan sana seperti sedang memberikan dongeng kepada para murid. Papan tulis yang terpajang bahkan tidak di berikan noda kapur segaris pun. Mita terus mencoret-coret halaman terakhir bukunya dengan asal. Menulis sembarangan yang dia sendiri tidak mengetahui maksud tulisannya. Dia mengembuskan napas, memangku tangannya. Netranya menatap kaca jendela kelas yang terbuka dengan bosan.
"Kapan bel sekolah berbunyi?" gumamnya yang lagi-lagi di iringi dengan embusan napas.
Mita mengalihkan pandangan ke teman sebangkunya, Deyna. Dia tampak antusias mendengarkan pembicara Guru di depan sana. Mita berpikir, mungkin sejarah adalah mata pelajaran kesukaan Deyna. Lihatlah, bahkan sesekali Deyna mencatat beberapa poin yang dirasa penting. Perlahan tulisan tangan Deyna mulai menari mengisi lembar kosong pada buku tulis miliknya sendiri, berbeda dengan Mita yang hanya terisi coretan abstrak. Menyebalkan.Kini, Mita memperhatikan temannya yang lain. Sedikit dari murid kelas yang benar-benar memperhatikan Guru, tapi berbeda dengan Darel. Duduk pada 2 baris dari belakang, sendirian. Di sana dia tampak sibuk menulis, entah menulis penjelasan Guru seperti yang di lakukan Deyna atau menulis hal lain yang tidak Kita ketahui. Fokus Mita berhenti pada tangan Darel yang masih memerah dan di paksakan untuk menulis. Mita di buat ngilu dengan hal tersebut. Sesekali, masih dalam pandangan Mita, Darel berhenti menulis untuk sebentar mengelus pelan tangannya.
"Apa sesakit itu?" kata Mita dengan dirinya sendiri.
Satu detik...dua detik...tiga detik..
Suara bel pulang sekolah menggema, membuat Mita hampir jatuh dari kursi yang di duduki. Kaget tentu, bahkan tanpa di sengaja Mita mengumpat pada pelantang suara yang terpasang di sudut atas kelasnya.
"Kamu kenapa?" tanya Deyna yang ternyata menyadari terkejutnya Mita.
Mita gelagapan, dia melihat ke belakang. Darel tengah memasukan satu persatu buku ke dalam Tas tanpa memperdulikan sekitar.
"Oke, baik. Pelajaran saya cukupkan sampai sini, sekian dan berhati-hatilah dalam perjalanan pulang." ujar Guru di depan dengan suara lantang.
Para murid mengangguk, bahkan beberapa sudah ada yang bersiap keluar.
"Tidak ada, ayo pulang bersama!" jawab Mita. Sekali lagi, dia menengok ke belakang. Sudah tidak ada, Darel sudah pergi lewat pintu yang berada di sisi samping belakang kelas.
Mita mengangguk, bergegas keduanya membereskan meja yang di penuhi buku dan beberapa alat tulis lain. Lantas, menarik diri keluar kelas menuju gerbang depan.
"Mau makan kue? Aku tau tempat jual tidak jauh dari sekolah kita. Bagaimana?" Deyna menatap Mita penuh permohonan. Berpikir beberapa detik sebelum anggukan antusias menjawab tawaran Deyna. Membuat Deyna memekik girang dan mendahului langkah jalan Mita dengan semangat. Mita terkekeh di buatnya, lalu menyusul mengejar Deyna yang berlari kecil dengan tawa yang tertinggal.
Di sinilah mereka, di sebuah toko kue yang tidak terlalu besar, namun suasana di dalam toko cukup membuat nyaman. Berada di pinggir jalan raya, membuat toko ini ramai pengunjung. Deyna dan Mita, mereka mengambil meja yang berada di pinggir dan menyuguhkan suasana jalan yang terhalang kaca toko.
"Permisi---"
Mereka terkejut dengan kedatangan seorang pelayan yang ternyata adalah teman kelas mereka sendiri, Darel. Begitu sebaliknya dengan Darel, dia bahkan diam untuk beberapa detik sebelum akhirnya berdeham memperbaiki suasana aneh di sekitar mereka.
"Kalian mau pesan apa?" tanya Darel. Dia memakai kemeja yang tertutup kain celemek di tubuhnya. Sepatu berwarna hitam membungkus kaki Darel di padukan dengan celana katun berwarna cokelat tua. Tangan kiri Darel membawa nota kecil dengan sebuah pena di tangan kanannya.
"Wah? Apa ini? Si bodoh dari kelas kita bekerja paruh waktu di sini?" Deyna terkekeh, Mita menatap Deyna dengan heran. Bagaimana bisa Deyna mengatakan itu dengan mudah?
"Na... Apa maksud perkataanmu?" Mita menatap Darel yang sama sekali tidak memberikan respon kaget atau tidak terima. Dia tampak biasa saja dengan nota dan pena yang di bawanya.
"Ahh, aku lupa memberitahu satu hal kepadamu, Mita. Dia..." Deyna menatap Darel.
"Dia adalah si bodoh dari kelas kita, kamu tau itu? Bahkan semua sekolah enggan berteman dengannya karena kebodohannya itu. Dia--"
"Aku tidak paham, tapi jangan berbicara seperti itu di hadapan umum. Lihatlah, beberapa orang mulai melirik ke kita." Mita memotong ucapan Deyna. Membuat Deyna tersadar dan mengatur posisi tempatnya. Menyisir rambut panjangnya dengan tangan, dan mengambil buku menu.
Deyna menunjuk beberapa gambar menu yang dengan segera Darel catat sebelum akhirnya dia permisi untuk mengambil pesanan Deyna dan Mita. Pergi tanpa senyum.
"Apa maksud ucapanmu?"
"Kamu tidak menyadari kenapa dia duduk di bangku belakang sendiri? Biar aku beri tau, dengarkan dengan baik, oke?"
"Jadi dia---"
Mita terdiam. Ucapan Deyna tentang Darel di toko kue sepulang sekolah tadi membuatnya tidak fokus belajar malam hari ini. Mita mengambil ponsel yang dia simpan di salah satu rak yang berada di meja belajar. Mengetik nama yang baru dia tambahkan ke dalam kontak beberapa waktu lalu. Dia membuka percakapan pesan, berniat mengetik sesuatu di sana.
"Selamat malam."
Mita menghapus dua kata itu, mengetik lagi.
"Hai?"
Dan lagi, dia menghapus ketikannya. Sial, dia kebingungan setelah banyak kata pembuka yang tidak yakin ia kirimkan. Pada akhirnya, dia lebih memilih untuk mengumpulkan fokus belajarnya, tanpa menyadari bahwa pesan terakhir yang dia ketik telah terkirim kepada penerima.
"Apa maksud ucapanmu?""Kamu tidak menyadari kenapa dia duduk di bangku belakang sendiri? Biar aku beri tau, dengarkan dengan baik, oke?""Jadi dia---"Suatu hari di mana perkenalan murid baru di adakan di lapangan sekolah. Murid yang akan menempati kelas 10 itu menjalani masa orientasi, di depan barisan, kepala sekolah berpidato singkat memberikan penyambutan kepada para murid. Suara tepukan tangan menggema setelah kepala sekolah mengucapkan selamat datang di SMA ini dan pamit untuk menutup sesi pidato darinya. Barisan di ambil alih oleh Kakak kelas yang masuk dalam organisasi OSIS, mereka dengan cepat mengatur barisan yang sempat hendak membubarkan diri dengan tegas. Bahkan mereka tidak segan untuk berteriak memanggil adik kelas yang mulai bandel.Di barisan belakang, Alan berdiri. Posisi tempatnya cukup mendapat banyak sinar matahari yang perlahan mulai naik dan hangat yang di bawa mulai bertambah panas. Sebentar lagi, mereka akan di berikan jam
"Alan pulang."Mira menggerakkan laju kursi rodanya dengan semangat, dia menghampiri anaknya. Senyum di wajah Mira tidak pernah luntur saat menyambut Alan kembali ke Rumah. Daun pintu menggerakkan laju pintu untuk terbuka, menampilkan Alan lengkap dengan seragam sekolah serta senyum hangat di wajahnya."Halo Nyonya besar!! Tuan mudamu telah kembali." Alan terkekeh, dia menyempatkan waktu untuk memeluk Mira yang dengan senang hati Mira terima, Mira turut membalas pelukan dari anaknya."Dasar!" ujar Mira sembari tertawa kecil.Mira memundurkan kursi rodanya, melaju kembali ke arah dapur, dia tengah memasak sup sayur hari ini. Belum selesai, sebab Mira baru mengupas dan membersihkan sayuran tadi sebelum Alan pulang."Masakan Ibu belum selesai, kamu bersihkan badanmu dulu, Ibu akan selesaikan ini secepatnya." Mira mulai mengambil pisau dan kembali berkutat dengan tugasnya. Bahan yang sudah dia iris, di masukkan ke dalam mangkuk besar untuk di cuc
Sekolah, sebuah gedung yang dikenal mempunyai banyak ruang yang berbeda-beda. Menjadi salah satu tempat utama untuk menuntut ilmu bagi sebagian besar manusia sebagai bekal masa depan. Gedung dengan berbagai tingkatan kelas dan pengajaran yang bertahap itu seakan tidak pernah kehilangan ramai suasana oleh warga sekolah. Ya, kecuali hari libur, sih. Orang bilang Sekolah ibarat tempat kedua yang kita singgahi setelah Rumah tempat tinggal. Di sana, seseorang akan menemukan dan berbaur dengan manusia yang beragam sifat, saling berdiskusi dan bekerja sama meraih yang terbaik. Koridor kelas tidak pernah kehilangan tapak dari derap langkah murid dan guru, atau bahkan penjaga sekolah.Bila dijabarkan lebih lanjut, mungkin bagian pertama ini tidaklah cukup. Maka untuk itu, izinkan aku membawamu menikmati kisah yang ku suguhkan hari ini. Izinkan aku untuk memperkenalkan mereka dalam tiap lembar cerita nanti. Aku berharap, kamu akan bersedia.Katanya Sekolah adalah tempat sederhan
Beralih pada Sekolah yang menjadi tempat menyakitkan untuk Alan, di sini Alan merasa menemukan damai. Bukan dengan barang mewah yang bisa membuat mata Alan terbelalak tidak percaya, bukan juga dengan banyak lembar uang yang bisa membuatnya membeli berbagai barang dengan mudahnya. Di sini, dengan rambut kepala yang di elus pelan penuh ketulusan, berbaring menjadikan paha seseorang sebagai bantal kepalanya. Di iringi nyanyian merdu dari sosok yang ia sebut Ibu."Ibu suka lihat kamu bermanja-manja seperti ini." kata wanita 42 tahun itu. Mira namanya.Alan tersenyum, ia bergerak mencari kenyamanan yang lebih baik. Alan menatap netra milik Ibunya, sembab di sana masih terlihat jelas untuk Alan meski Mira sudah berusaha sebaik mungkin membagi senyumnya. Berapa lama ia menangis sendirian? Bagaimana seandainya tadi Alan tidak bergegas pulang setelah usai sekolah? Apa ibunya akan menjadi lebih kacau daripada saat ia membuka pintu dan menampilkan Ibunya tengah menangis, te
Matahari menyembul malu dari ufuk timur, ia membawa hangat dari sinar yang di bawa olehnya. Menghalau dingin malam yang sempat menyelimuti daerah bumi. Tetes-tetes embun juga nampak masih memilih tinggal di dedaunan pohon pada sekitaran kawasan pemakaman umum ini. Di salah satu pusaran, seseorang dengan perlahan menabur bunga di susul dengan tangan yang berdoa. Di sampingnya lagi, seseorang lain terduduk di kursi roda mengikuti gerakan yang ia lakukan. Itu Alan dan Mira, tengah berkunjung pada malam sang kepala keluarga yang sesungguhnya.Sudah belasan tahun pergi, namun keduanya tidak pernah lupa dengan kenangan bersama suami sekaligus ayah dalam keluarga mereka. Seharusnya jika Herdan masih bernapas, dia pasti akan senang melihat bagaimana putra kecil yang sering merengek ingin digendong olehnya dulu sudah menjadi remaja tampan sekarang. Dia pasti juga bangga melihat bagaimana toko kue yang di bangun bersama istrinya itu kini telah sukses dengan banyak pelanggan yang silih
Selepas libur Sekolah kemarin, kini Alan kembali masuk. Menyambut hari Senin yang kebanyakan menjadi hari yang paling tidak di sukai oleh pelajar, banyak yang bilang karena mata pelajarannya cukup padat untuk memulai hari awal saat bersekolah. Tapi tidak bagi Alan, lima hari waktu bersekolah seperti tidak ada bedanya. Semua sama, tanpa terkecuali.Sekarang sedang berlangsung dilaksanakannya upacara, sudah menjadi kebiasaan lama bahwa hari Senin akan menjadi hari di adakannya upacara bendera. Bukan hanya di sekolahnya, tapi hampir semua sekolah di Indonesia memiliki kebiasaan tersebut. Biasanya murid yang terlambat akan mendapat hukuman yang lebih memalukan daripada hari-hari lainnya. Mereka di minta untuk berdiri di depan barisan, dilihat oleh semua warga sekolah. Salah satu sederet siswa yang dihukum itu ada Alan. Tidak, dia sudah mematuhi peraturan sekolah. Ia bahkan berangkat dengan seragam lengkap. Dasi yang melingkar di lehernya, sepatu hitam yang membungkus kedua
Setelah setengah jam berhasil membuat Mita bergelut di dalam ruang guru dan menjawab berbagai pertanyaan, akhirnya ia diputuskan untuk masuk di kelas Darel. Ia ditemani salah satu guru yang kebetulan akan mengajar di kelas Darel pun berjalan bersama melewati koridor kelas. Sesekali keduanya saling melempar pertanyaan dan jawaban sekadar untuk berkenalan."Selamat pagi anak-anak. Hari ini kita kedatangan teman baru, mari kenalkan dirimu, Nak." ujar Guru itu mempersilakan Mita memperkenalkan dirinya secara singkat."Halo semuanya! Namaku Mita Mizuki, kalian bisa memanggilku Mita. Seperti yang sudah kalian ketahui, aku murid pindahan dari Jepang. Kini, aku dan keluargaku memilih untuk kembali ke Indonesia dan menetap di sini. Aku harap kalian bisa menerimaku di sini, terima kasih." ucap Mita di iringi dengan membungkukan badannya. Sepertinya kebiasaan khas orang Jepang tersebut sudah mengental dalam dirinya. Hidup belasan tahun di Jepang tentu tidak semudah itu sega
"Alan pulang."Mira menggerakkan laju kursi rodanya dengan semangat, dia menghampiri anaknya. Senyum di wajah Mira tidak pernah luntur saat menyambut Alan kembali ke Rumah. Daun pintu menggerakkan laju pintu untuk terbuka, menampilkan Alan lengkap dengan seragam sekolah serta senyum hangat di wajahnya."Halo Nyonya besar!! Tuan mudamu telah kembali." Alan terkekeh, dia menyempatkan waktu untuk memeluk Mira yang dengan senang hati Mira terima, Mira turut membalas pelukan dari anaknya."Dasar!" ujar Mira sembari tertawa kecil.Mira memundurkan kursi rodanya, melaju kembali ke arah dapur, dia tengah memasak sup sayur hari ini. Belum selesai, sebab Mira baru mengupas dan membersihkan sayuran tadi sebelum Alan pulang."Masakan Ibu belum selesai, kamu bersihkan badanmu dulu, Ibu akan selesaikan ini secepatnya." Mira mulai mengambil pisau dan kembali berkutat dengan tugasnya. Bahan yang sudah dia iris, di masukkan ke dalam mangkuk besar untuk di cuc
"Apa maksud ucapanmu?""Kamu tidak menyadari kenapa dia duduk di bangku belakang sendiri? Biar aku beri tau, dengarkan dengan baik, oke?""Jadi dia---"Suatu hari di mana perkenalan murid baru di adakan di lapangan sekolah. Murid yang akan menempati kelas 10 itu menjalani masa orientasi, di depan barisan, kepala sekolah berpidato singkat memberikan penyambutan kepada para murid. Suara tepukan tangan menggema setelah kepala sekolah mengucapkan selamat datang di SMA ini dan pamit untuk menutup sesi pidato darinya. Barisan di ambil alih oleh Kakak kelas yang masuk dalam organisasi OSIS, mereka dengan cepat mengatur barisan yang sempat hendak membubarkan diri dengan tegas. Bahkan mereka tidak segan untuk berteriak memanggil adik kelas yang mulai bandel.Di barisan belakang, Alan berdiri. Posisi tempatnya cukup mendapat banyak sinar matahari yang perlahan mulai naik dan hangat yang di bawa mulai bertambah panas. Sebentar lagi, mereka akan di berikan jam
Taman belakang sekolah menjadi tempat pelarian Mita dan Darel. Tangan mereka masih saling bertaut erat meski keduanya sudah duduk pada salah satu bangku panjang yang di sediakan. Beberapa detik setelahnya, Darel baru tersadar. Dia melepas genggaman Mita dengan cepat, hal itu membuat Mita sedikit kaget. Lantas, suasana di antara mereka menjadi canggung. Mita memilih mengatur fokusnya pada air mancur yang berada di tengah-tengah kolam di depan sana dan Darel lebih memilih mengusap paha kakinya dengan tangan dengan pelan namun berulang."Terima kasih." ujar Darel pada akhirnya, dia masih dalam posisi yang sama. Bedanya kali ini dia sedikit menunduk, menatap tangannya yang memerah.Di samping Darel, Mita tampak sedikit kelabakan sebelum akhirnya mengangguk dengan senyum kikuk. Salah satu tangan Mita sesekali membenarkan rok seragam tanpa maksud yang jelas."Kamu ke---"Mita memotong percakapannnya sendiri saat melihat Darel hendak beranjak pergi. Lantas
Setelah setengah jam berhasil membuat Mita bergelut di dalam ruang guru dan menjawab berbagai pertanyaan, akhirnya ia diputuskan untuk masuk di kelas Darel. Ia ditemani salah satu guru yang kebetulan akan mengajar di kelas Darel pun berjalan bersama melewati koridor kelas. Sesekali keduanya saling melempar pertanyaan dan jawaban sekadar untuk berkenalan."Selamat pagi anak-anak. Hari ini kita kedatangan teman baru, mari kenalkan dirimu, Nak." ujar Guru itu mempersilakan Mita memperkenalkan dirinya secara singkat."Halo semuanya! Namaku Mita Mizuki, kalian bisa memanggilku Mita. Seperti yang sudah kalian ketahui, aku murid pindahan dari Jepang. Kini, aku dan keluargaku memilih untuk kembali ke Indonesia dan menetap di sini. Aku harap kalian bisa menerimaku di sini, terima kasih." ucap Mita di iringi dengan membungkukan badannya. Sepertinya kebiasaan khas orang Jepang tersebut sudah mengental dalam dirinya. Hidup belasan tahun di Jepang tentu tidak semudah itu sega
Selepas libur Sekolah kemarin, kini Alan kembali masuk. Menyambut hari Senin yang kebanyakan menjadi hari yang paling tidak di sukai oleh pelajar, banyak yang bilang karena mata pelajarannya cukup padat untuk memulai hari awal saat bersekolah. Tapi tidak bagi Alan, lima hari waktu bersekolah seperti tidak ada bedanya. Semua sama, tanpa terkecuali.Sekarang sedang berlangsung dilaksanakannya upacara, sudah menjadi kebiasaan lama bahwa hari Senin akan menjadi hari di adakannya upacara bendera. Bukan hanya di sekolahnya, tapi hampir semua sekolah di Indonesia memiliki kebiasaan tersebut. Biasanya murid yang terlambat akan mendapat hukuman yang lebih memalukan daripada hari-hari lainnya. Mereka di minta untuk berdiri di depan barisan, dilihat oleh semua warga sekolah. Salah satu sederet siswa yang dihukum itu ada Alan. Tidak, dia sudah mematuhi peraturan sekolah. Ia bahkan berangkat dengan seragam lengkap. Dasi yang melingkar di lehernya, sepatu hitam yang membungkus kedua
Matahari menyembul malu dari ufuk timur, ia membawa hangat dari sinar yang di bawa olehnya. Menghalau dingin malam yang sempat menyelimuti daerah bumi. Tetes-tetes embun juga nampak masih memilih tinggal di dedaunan pohon pada sekitaran kawasan pemakaman umum ini. Di salah satu pusaran, seseorang dengan perlahan menabur bunga di susul dengan tangan yang berdoa. Di sampingnya lagi, seseorang lain terduduk di kursi roda mengikuti gerakan yang ia lakukan. Itu Alan dan Mira, tengah berkunjung pada malam sang kepala keluarga yang sesungguhnya.Sudah belasan tahun pergi, namun keduanya tidak pernah lupa dengan kenangan bersama suami sekaligus ayah dalam keluarga mereka. Seharusnya jika Herdan masih bernapas, dia pasti akan senang melihat bagaimana putra kecil yang sering merengek ingin digendong olehnya dulu sudah menjadi remaja tampan sekarang. Dia pasti juga bangga melihat bagaimana toko kue yang di bangun bersama istrinya itu kini telah sukses dengan banyak pelanggan yang silih
Beralih pada Sekolah yang menjadi tempat menyakitkan untuk Alan, di sini Alan merasa menemukan damai. Bukan dengan barang mewah yang bisa membuat mata Alan terbelalak tidak percaya, bukan juga dengan banyak lembar uang yang bisa membuatnya membeli berbagai barang dengan mudahnya. Di sini, dengan rambut kepala yang di elus pelan penuh ketulusan, berbaring menjadikan paha seseorang sebagai bantal kepalanya. Di iringi nyanyian merdu dari sosok yang ia sebut Ibu."Ibu suka lihat kamu bermanja-manja seperti ini." kata wanita 42 tahun itu. Mira namanya.Alan tersenyum, ia bergerak mencari kenyamanan yang lebih baik. Alan menatap netra milik Ibunya, sembab di sana masih terlihat jelas untuk Alan meski Mira sudah berusaha sebaik mungkin membagi senyumnya. Berapa lama ia menangis sendirian? Bagaimana seandainya tadi Alan tidak bergegas pulang setelah usai sekolah? Apa ibunya akan menjadi lebih kacau daripada saat ia membuka pintu dan menampilkan Ibunya tengah menangis, te
Sekolah, sebuah gedung yang dikenal mempunyai banyak ruang yang berbeda-beda. Menjadi salah satu tempat utama untuk menuntut ilmu bagi sebagian besar manusia sebagai bekal masa depan. Gedung dengan berbagai tingkatan kelas dan pengajaran yang bertahap itu seakan tidak pernah kehilangan ramai suasana oleh warga sekolah. Ya, kecuali hari libur, sih. Orang bilang Sekolah ibarat tempat kedua yang kita singgahi setelah Rumah tempat tinggal. Di sana, seseorang akan menemukan dan berbaur dengan manusia yang beragam sifat, saling berdiskusi dan bekerja sama meraih yang terbaik. Koridor kelas tidak pernah kehilangan tapak dari derap langkah murid dan guru, atau bahkan penjaga sekolah.Bila dijabarkan lebih lanjut, mungkin bagian pertama ini tidaklah cukup. Maka untuk itu, izinkan aku membawamu menikmati kisah yang ku suguhkan hari ini. Izinkan aku untuk memperkenalkan mereka dalam tiap lembar cerita nanti. Aku berharap, kamu akan bersedia.Katanya Sekolah adalah tempat sederhan