Home / Fantasi / The New Man (Manusia Baru) / Bab 3 : Ruang Laboratorium

Share

Bab 3 : Ruang Laboratorium

Sati terbangun kedua kalinya setelah dia melakukan kewajibannya kepada Tuhan,  tidur yang sangat lelap hingga tidak menyadari kepergian Hans dari subuh tadi, Perlahan matahari merangkat menyinari bumi, burung berkicau dengan riangnya seolah tanpa beban. Udara pagi yang segar menghiasi dunia tanpa aktivitas manusia yang biasanya pagi-pagi sudah bergemalut dengan mesin. Sati sangat terkejut karena tidak melihat Hans di dekat pintu masuk ruang ICU. Mata Sati menjelajah ke seluruh ruangan dengan cepat tapi tetap saja tidak menemukan apa yang sedang dicari. Mengamati dengan teliti kamar mandi yang ada di ruangan dalam fikir Sati mungkin Hans sedang mandi atau melakukan hal lain yang berkaitan dengan membersihkan diri, tapi ketika teliti dalam penglihatan tidak ada pergerakan di dalam kamar mandi. Karena sangat cemas Sati tidak sadar kalau tidak bisa berjalan. Dia terjatuh dari tempat tidur dengan wajah khawatir, rasa sakit akibat terjatuh tidak diperdulikan. Terus menuju kursi roda, mencoba naik ke kursi roda yang ada di samping tempat tidur pasien dengan cara merayap. Tapi sangat sulit untuk naik ke atas kursi roda karena kaki yang mati rasa dan masih belum bisa digerakkan. Sati memukul kursi roda dengan kuat karena kesal dengan kondisi tubuh.

"Kenapa di saat seperti ini, kaki saya mesti dipasang pen dan tidak dapat berjalan. Akhhhh.......!!!!!!" Tanpa sadar teriakan Sati menggema ke luar ruangan dan ke seluruh lorong rumah sakit. Manusia terinfeksi yang peka terhadap suara langsung berlari beramai-ramai  menuju pusat suara. Sungguh sambutan pagi yang sangat mencengkamkan. Hans yang sedang berada di depan manusia terinfeksi yang berhasil dibunuh tadi, untuk mengambil sampel menggunakan jarum merasa sangat terkejut karena suara teriakan tiba-tiba menggema keseluruh penjuru lorong rumah sakit. Berfikir sejenak suara siapa sepagi ini berteriak dengan sangat kencang, apakah mungkin orang lain yang terdesak dan telah menjadi makanan oleh manusia terinfeksi.  Tidak suaranya seepeti sangat dikenal, tidak terasa asing. Hans mengingat...

"Sati!!!" Hans menduga itu adalah suara Sati, sangat yakin langsung berlari untuk memastikan.

Karena sangat merasa yakin merupakan suara Sati, Hans tidak perlu lagi berfikir panjang, langsung berlari sampai terpeleset, tapi tidak menghentikan langkah menuju ke ruang ICU. Tidak ada manusia terinfeksi yang mengganggu dalam melangkah, tidak tahu pada kemana semua. Hingga ketika sampai pada jarak enam meter dari ruang ICU langkah Hans terhenti menyaksikan pemandangan yang telah lama  tidak pernah disaksikan, manusia terinfeksi sudah berebut untuk masuk ke dalam ruangan ICU dengan jumlah puluhan orang. Mereka berusaha masuk dan mendobrak pintu yang belum terbuka seutuhnya, bagaikan kerumunan srigala yang memperebutkan seekor kelinci. Sati berusaha keras menahan pintu dengan tubuhnya. Melihat situasi yang tidak terkendali, Hans bingung harus melakukan apa. Hingga melihat besi statif yang digunakan untuk menggantung infus.

"Saya harus menyelamatkan Sati, pokoknya harus!" Dengan semangat yang membara terus melangkah, dan memukul kepala manusia terinfeksi dengan sangat keras hingga mati.

"Aaaakkkhhh.....!!!" Dengan teriakan dari diri sendiri mencoba menyemangati diri sendiri.

Manusia terinfeksi mati terbunuh satu persatu dengan cara memecahkan kepala dengan statif, Hans tidak lagi memperdulikan norma dan moral apalagi kemanusiaan, yang terpenting adalah keselamatan yang masih hidup dan berusaha keras bertahan hidup. Karena kemanusiaan tidak lagi dipandang untuk mereka yang telah terinfeksi, yang setengah hidup atau bahkan sudah tidak hidup lagi. Darah berwarna merah menggenang di mana-mana. Lebih cepat mengayunkan statif ditangan, karena melihat Sati sudah tidak mampu lagi menahan pintu. Keringat mulai keluar deras di dahi karena aktivitas luar biasa yang telah dilakukan, menguras energi pada tubuh membuat sangat lelah. Ketika semua benar-benar mati dan tidak ada yang dapat bangkit kembali, Hans membuka pintu ICU perlahan.

"Sati." Dengan nada rendah akibat rasa lelah yang mengusai.

"Dok,,,,,, Dokter,,,,,," Sati merasa sangat tenang dengan ekspresi senang dan meneteskan air mata akibat rasa takut yang diderita, merasa legah melihat Hans ada di depannya.

Tanpa sadar Hans memeluk Sati, melepaskan rasa khawatir dan rasa legah karena berhasil menyelamatkan Sati. Hans memberikan tas ranselnya kepada Sati lalu memberikan isyarat untuk naik ke punggungnya. 

"Dok, bolehkah saya membawa selimut?"

"Boleh." mengambil selimut di atas ranjang dan memberikan kepada Sati.

Hans menggendong Sati keluar dari ruangan ICU dan menuju tangga darurat. Satu persatu tangga dinaiki untuk menuju lantai lima di tempat terdapatnya laboratorium rumah sakit. Dengan perlahan dan tanpa bunyi yang menarik perhatian langkah kaki selalu diperhitungkan demi keselamatan. Beberapa kali langkah kaki goyah, dan ingin terjatuh. Tapi bukan saatnya menjadi lemah dan menyerah pada keadaan. Di rumah Dicky sedang menunggu, begitulah fikiran membayang hingga menjadi semangat lebih untuk bertahan hidup. Karena hanya punya misi untuk bertemu dengan Dicky, anak laki-laki satu-satunya yang dimiliki. Sampai di tangga terakhir lantai lima, Hans meletakkan Sati di lantai dengan dia juga duduk di lantai di pintu tangga darurat. Menghela nafas yang panjang dan harus beristirahat sejenak   untuk mengembalikan energi yang benar-benar telah terkuras. Sati ingin berbicara untuk memecah suasana yang hening, tapi ketika suara akan melewati pita suara, Hans mengisyaratkan untuk diam dengan meletakkan satu jari dibibir Sati. Sati hanya bisa diam sambil mengangguk menyatakan kesetujuannya untuk tetap diam. Manusia terinpeksi sangat peka terhadap suara dan cahaya itu kesimpulan yang ada sedang menggerogoti fikiran Hans. Di rungan yang sedikit gelap fikiran Hans terganjal pada bagaimana mungkin yang mati masih memiliki darah berwarna merah? Hal kedua yang juga menggerogoti fikiran. Hans berdiri dan membuka pintu tangga darurat lantai lima dengan perlahan. Mengintip dari celah-celah pintu yang dibuka, mengamati lorong koridor yang sunyi tidak ada satu manusia terinfeksi melintasi lorong koridor, apalagi berdiam diri. Pintu dibuka lebar dan Sati di gendong kembali menuju Laboratorium yang jaraknya lima meter dari pintu tangga darurat. Lorong lebih rapi dari pada di lantai dasar yang berserakan oleh benda-benda rumah sakit. Keadaan yang suram mencengkam tidak menghentikan langkah untuk pergi ketakutan dengan suasana yang ada. Nyatanya ketika Hans dan Sati melewati lorong, mereke dikejutkan oleh satu wanita manusia terinfeksi yang tepat di hadapan mereka dan berjarak hanya dua meter menatap dengan tatapan tajam seakan menerjang mangsa untuk dimakan. Hans dengan cepat berlari melewati manusia  terinfeksi, sedangkan manusia terinfeksi terus mengejar dengan cepat. Ternyata mereka memiliki kecepatan mengejar seperti manusia normal pada umumnya. Sati hanya mampu berdoa dalam hati dan menutup matanya dengan rapat, karena tidak ingin menyusahkan Hans yang sedang berlari sambil menggedongnya. Mendobrak pintu dan meletakkan Sati dengan cepat di lantai, menutup pintu dan menguncinya kemudian mengganjal dengan lemari agar manusia terinfeksi tidak dapat masuk ke ruangan. Nafas tidak teratur dan detak jantung berdetak sangat cepat, terduduk dan bersandar di lemari yang mengganjal pintu. Sedangkan di baliknya manusia terinfeksi mencakar-cakar pintu berusaha masuk ke dalam ruangan laboratorium. Sepuluh menit kemudian suasana menjadi sunyi tidak ada lagi suara mendesak pintu, mungkin manusia terinfeksi sudah pergi dari depan pintu. Hans kini mulai bernafas normal dan melihat Sati yang duduk di lantai, pandangan mereka bertemu kemudian Hans membuang pandangannya. Sati yang dari tadi hanya mampu melihat tanpa bisa membantu merasa bersalah.

"Maafkan saya dok."

"Tidak apa-apa, kondisi kamu belum baik. Pen penyanggah tulang kamu belum bisa di lepas selama dua bulan kedepan. tulang kamu masih retak jadi bersabarlah. Satu lagi kamu belum bisa berjalan normal karena efek kecelakaan dan koma dalam waktu yang lama."

"Saya menyusahkan dokter."  Sati merasa sangat bersalah.

"Kamu tidak menyusahkan saya, yang lebih penting kamu tidak kenapa-kenapa bukan?" Meyakinkan Sati bukan beban melainkan teman bertahan hidup yang bisa diajak komunikasi satu sama lain.

"Saya baik-baik saja dok."

"Syukurlah."

Hans bangkit berkeliling ruangan, melihat keamanan ruangan yang akan untuk ditempati sementara waktu. Di sudut ruangan penelitian ada kursi roda yang bisa dipakai oleh Sati untuk melakukan aktivitas di Laboratorium.  Sati di gendong dan di letakkan di atas kursi roda kembali, kini dia bebas berjalan tanpa harus menyusahkan Hans.

"Sepertinya ruangan ini aman, mungkin karena kejadian di waktu berakhirnya istirahat jam makan siang, sehingga petugas belum kembali ke laboratorium." Menyimpulkan keadaan rungan yang tidak terdapat bahaya dan bersih rapi. 

"Iya dok, mungkin saja."

"Kamu haus? Tunggu disini saya akan mengambil minum, saya tadi melihat ada air minum di dispenser ruang kantor kepala laboratorium." 

Hans bergegas mengambil minum, meminum beberapa teguk lalu memberikan sisanya kepada Sati. Mendekati jendela dan membuka tirai  besar yang menutupi, dia melihat manusia terinfeksi bergarak tidak teratur, kadang menabrak benda, kadang menabrak sesamanya, berjalan terus tanpa henti. Ternyata ada yang diam seperti patung dalam keadaan mode tidur dengan posisi berdiri wajah menghadap ke bawah. Sati mendekati Hans karena penasaran apa yang sedang dilihatnya dengan asik, pemandangan yang sangat hancur dan menyesakkan dada. Semua berantakan dalam waktu sekejap, bercak darah dimana-mana. Mayat bergelimpangan di mana-mana yang merupakan korban dari manusia terinfeksi karena organ tubuh yang dimakan habis. Kebakaran akibat tabrakan mobil memperindah keadaan kota yang sudah hancur lebur. Sati memandang langit, dia terkejut karena langit masih berwarna merah seperti senja padahal waktu tidak menunjukkan sore hari. Memandang lebih luas kesegalah arah dan hasilnya semua langit berwarna merah seperti senja bukan lagi berwarna biru dengan putih atau abu-abu ketika badai turun. Seperti hidup di dalam dunia tersendiri yang terpisah dengan manusia di luar sana. Hati merasa miris melihat keadaan kota saat ini, merasa bingung harus melakukan apa terhadap kota yang hancur dan manusia terinfeksi yang memnuhi kota.

"Jam berapa sekarang dok." Sati bertanya waktu yang tidak diketahui.

"Sekarang jam delapan pagi." Melihat jam tangan yang masih selalu di pakai dipergelangan tangan kanan.

"Iya dok."

"Ini makanlah, saya dapat banyak roti dari tokoh roti di lantai satu saat mengambil sampel." menyerahkan roti bertabur kismis dengan selai coklat di dalamnya.

"Terima kasih dok."

Sati dan Hans memakan roti dengan hikmat, ruangan terasa sangat sunyi. Tidak ada lagi suara teriakan atau suara minta tolong dari berbagai lorong di rumah sakit. Mungkin mereka semua sudah terinfeksi atau mereka bersembunyi secara diam untuk bertahan hidup. Sambil memakan roti, bukan hanya lambung mencerna makanan tapi otak juga mencoba mencerna kembali apa yang sedang terjadi. Semua bergerak secara bersamaan pada satu tubuh. Ketenangan terpecah ketika diri dikejutkan dengan padamnya listrik di rumah sakit, bahkan di berbagai tempat juga mengalami padam. Kemungkinan terbesar dari pemadaman terjadi dari kantor pusat pembangkit listrik tidak ada lagi yang memfungsikan secara baik.

"Dunia mencekam sepertinya sudah dimulai." Sati berkata sangat tidak bersemangat melihat listrik padam total.

"Tapi kita tidak tahu, infeksi menyebar sampai wilayah mana saja." Hans masih berharap tidak seluruh dunia mengalami infeksi.

"Benar dok."

"Hahahaha,,,, Sati berhentilah memanggil saya dokter, kini saya bukan lagi seorang dokter. Saya hanya seorang manusia yang mencoba bertahan hidup. Dan sekarang kita harus mencari tahu penyebab ini semua dan mengakhiri semuanya. Saya yakin kita bisa melakukan sesuatu." Hans tertawa lepas, merupakan cara agar Sati tidak memanggil secara formal agar tidak terkesan kaku satu sama lain.

"Benar dok, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini selama kita berusaha dengan keras." Kata-kata inspiratip ketika Sati mengalami kesedihan yang menjadi semangat untuk terus maju tanpa menyerah.

"Itu berarti semua hal menjadi mungkin, bukan?" 

"Iya dok."

"Ok, panggil saya Hans."

"Baiklah dok, maaf maksud saya Hans."

"Ok" Berjabat tangan merupakan awal perkenalan kembali untuk saling mengenal dan lebih akrab.

"Salam kenal Sati, nama saya adalah Hans." Memulai perkenalan kembali dengan cara berjabat tangan. 

"Sati." Melepaskan jabat tangan dengan segera karena merasa sangat janggal.

"Lihat apa yang saya temukan." Mengambil sampel dari kantong celana. Jarum suntik berisikan darah DNA manusia terinfeksi yang diambil tadi pagi.

"Itu..!!" Terkejut dan tidak bisa berkata-kata.

"Iya ini sampel DNA manusia terinfeksi, dengan ini kita bisa mengamati sebenarnya penyebabnya virus atau bakteri." Hans memandang sampel yang ada di tangannya.

"Kapan kamu mengambilnya."

"Tadi pagi sebelum kamu berteriak keras menggemparkan seluruh rumah sakit ini. Saya tadi sudah bilang saya mengambil sampel dan beberapa makanan yang saya temukan di tokoh roti." Mencoba menjelaskan lebih detail kepada Sati.

Sati menunduk malu atas perbuatan yang telah dilakukannya, karena dia tidak mendengarkan perkataan Hans saat memberikan roti kepadanya.

"Maafkan saya, saya menciptakan keributan yang membahayakan diri sendiri. Saya benar-benar panik karena tidak ada kamu disana, saya fikir kamu akan meninggalkan saya di ruang ICU sendirian, atau saya takut kamu berubah menjadi seperti mereka." Sati secara blak-blakkan mengutarakan rasa kawatir yang berada di fikirannya.

"Tidak apa, saya mengerti kekhawatiran kamu."

"Kamu ingin menelitikan? Mari kita gunakan sampel ini dan mungkin kamu benar kita bisa menemukan vaksin untuk pencegahan diri jika suatu saat nanti terinfeksi. Walau kita tidak mampu mengobati seluruh manusia terinfeksi tapi bisa untuk diri sendiri."

"Benar." Mata Sati berbinar kembali bersemangat. 

"Tapi ada yang janggal." Ada hal-hal yang mengganggu fikiran Hans menjadi tanda tanya besar.

"Apa itu?" Sati bertanya penasaran.

"Untuk sementara saya mendapatkan data. Pertama kamu ingat saat kamu berteriak, saya membunuh mereka dengan cara memukul kepala tapi yang anehnya kenapa ada darah merah yang mengalir seperti manusia normal, padahal mereka seperti sudah mati. Kenapa saya bilang mereka mati? Karena saat saya mengambil sampel saya sempat menahan manusia terinfeksi dan mengikatnya, saya cek seluruh tubuh tidak ada detak jantung dan denyut nadi. Tapi kenapa ada darah keluar seakan masih mengalir keseluruh tubuh. Kedua saat kita dikejar menuju ruang laboratorium dan saat saya di kejar untuk kembali ke ruang ICU, mereka memiliki energi seperti manusia normal. Mereka memiliki kemampuan lari seperti manusia normal. Bukan itu saja manusia terinfeksi yang mengejar saat kita menuju ruang laboratorium memiliki tatapan tajam seperti manusia normal yang menyimpan dendam. Ketiga mereka peka dan sangat agresif terhadap cahaya dan suara. Cahaya dan suara seperti sensor pemandu mereka. Pertanyaan saya mereka masih hidup atau tidak? Ini sangat membingungkan saya." Hipotesis sementara Hans membuat Sati ikut berfikir dengan keras.

"Kesimpulan sementara kamu perlu diperhitungkan, mereka tidak sama seperti Zombie yang ada di dalam film. Mereka juga bisa tidur dan makan saat lapar. Buktinya mereka memakan  organ manusia dengan lahapnya ketika lapar, dan saat tidak lapar mereka hanya menularkan menjadi seperti mereka saja dengan gigitan." Menambahkan hipotesis sementara Hans.

"Kamu benar Sati, kita harus menemukan jawaban dari pertanyaan kita."

"Iya."

"Jika memang mereka masih hidup, kita harus berusaha menyelamatkan mereka dengan semua cara yang kita bisa." Hans bersemangat dengan jiwa kemanusiaan yang dimiliki.

"Kasihan mereka." Nada suara Sati yang tadinya bersemangat menjadi lemah.

"Semangatlah Sati, dunia belum berakhir. Saya yakin ada titik terang dari semua permasalahn ini." Keyakinan Hans menyentuh hati Sati.

"Baik Hans." Sati mencoba tersenyum untuk meyakinkan Hans bahwa dirinya baik-baik saja.

"Bagaimana dengan anak kamu?" Sati merasa tidak enak karena keegoisannya yang meminta pada Hans untuk meneliti.

"Hmmm..... Dicky, dia anak yang cerdas, dia mampu mengatasi semuanya sendiri. Di rumah juga ada kedua orang kepercayaan saya yang akan membantu menjaga Dicky. Setelah selesai meneliti kita bisa langsung ke rumah saya." Hans menjelaskan dengan penuh keyakinan bahwa semua dalam keadaan baik.

"Baiklah."  Sati tersenyum tipis.

Sati terus memandang langit yang kemerahan seperti senja. Tidak ada ruang kosong yang memperlihatkan langit berwarna biru. Seperti langit pembawa wabah yang menaungi virus untuk bergenerasi.

"Mungkin ini merupakan proyek yang dilakukan mereka negara nomor satu di dunia. Tapi kenapa selalu negara Mayapada yang mengalami dan menjadikan tempat uji coba? Dan sekarang giliran wilayah tempat tinggal saya menjadi uji coba, ya Tuhan lindungi kami dari keegoisan manusia yang tidak henti membuat teknologi lebih maju yang ingin melampai kuasa Mu." Sati berbicara dalam hati sendiri, karena yakin dengan ulah yang terjadi. Tidak ada yang mampu membuat semua berjalan dengan lancar dan terasa alami kecuali mereka.

"Sati, sekarang kita istirahat dulu, setelah beberapa jam istirahat kita akan melakukan penelitian." Hans merasa sangat lelah dan energi terkuras karena kegiatan yang dilakukannya tadi.

"Baik Hans." Sati sependapat dengan Hans.

Hanya mampu terdiam memandang tempat pada waktu yang sama tanpa melihat cahaya matahari bersinar terang sebagai wujud keberadaan bahwa akan selesai. Banyak fikir yang bergemelayut di otak Sati yang tidak mampu diungkapkan satu persatu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status