Home / Urban / The Moment Of Us / Three - My Life Change Upside Down

Share

Three - My Life Change Upside Down

Author: Veedrya
last update Last Updated: 2021-10-11 17:58:31

Aku pulang kembali ke rumah Madame Fatima sekitar pukul delapan malam ini. Seperti biasanya. Aku biasa mengakhiri hariku kira - kira di antara jam segitu. Yang berbeda hanyalah, hari ini badanku terasa sejuta kali terasa lebih lemas, lebih berat dan lebih capek dari biasanya.

Yes! Ini semua gara - gara berita pernikahanku.

Aku tidak membicarakan tentang hal ini sedikit pun kepada Ai maupun Ali tadi di kampus. Jujur saja, aku bingung, aku harus memulai dari mana untuk memberi tahu mereka. Ini terlalu... berita ini terlalu besar! Dan terlalu tiba - tiba.

"Madame?" Bisikku saat memasuki dapur, yang harus kulalui sebelum menemukan tangga untuk naik ke kamarku.

Aku tidak menemukan Madame Fatima di bawah, tidak juga mendengar sahutannya atas panggilan pelanku, jai mungkin beliau sudah beristirahat di kamarnya. Sepertinya itu fenomena yang wajar untuk mereka yang sudah mulai senior, mereka cinderung beristirahat lebih cepat dan bangun lebih pagi dari kami yang lebih muda.

Selain aku, ada satu orang mahasiswa lainnya yang juga menyewa kamar di rumah Madame Fatima ini. Namanya Brigitta, Kami memanggilnya Gee. Gee berasal dari Vietnam. Dan berbeda dari aku maupun Madame Fatima, dia bukan seorang muslim. Tapi dia juga sama sepertiku yang ditolak hampir semua boeadring house yang 'layak' di Paris. Tapi jangan tanyakan padaku apa alasannya. Aku tak tahu.

Aku tidak terlalu dekat dengannya sebenarnya, tapi bukan benci juga. Hanya saja, mungkin karena kepribadian kami amat bertolak belakang; dia sering membawa temannya ke sini, kadang hingga amat malam, sedangkan aku lebih memilih bertemu di luar sebelum jam sembilan malam. Dia suka berdandan dan aku tidak. Dia suka sekali dengan musik, dan aku tidak. See, kami amat bertolak belakang, jadi kami tidak terlalu banyak berinteraksi. Karena itulah kami tidak dekat. Kamarnya tepat berada di kamarku. Kami berbagi kamar mandi di ujung lorong. Saat aku melewati kamarnya, lagi - lagi suara musik yang berdentam keras langsung terdengar. Sebenarnya kami, aku dan madame Fatima, sudah berkali - kali mengingatkannya untuk memelankan volumenya, tapi selalu saja diulanginya lagi dan lagi, dan akhirnya kami pun bosan sendiri. Biarlah dia melakukan apa yang dia suka. Aku dan dia hanya ngobrol sesekali saat kebetulan sarapan bersama, atau berpapasan di lorong. Hanya itu saja interaksi kami.

Untuk melindungi gendang telingaku dari dentuman musik di kamarnya, akhirnya aku membeli busa untuk kutempel di celah - celah pintu kamarku sehingga suara bising dentaman musik tak begitu menggangguku. Sepertinya Madame Fatima melakukan hal yang sama untuk mengamankan indera pendengarannya. Saat Ied tahun lalu, aku sempat memberinya hadiah beberapa pieces ear plug, dan dia terlihat luar biasa senang, jelas sekali kalau benda itu bukan hal yang asing untuknya.

"Ya Tuhan, bagaimana ini!!!!" Aku memekik di balik bantal saat sampai di kamarku.

Mendadak banyak sekali hal yang memenuhi pikiranku. Aku butuh tempat berbagi! Bisa meledak kepalaku kalau terus - terusan seperti ini!

Selain Ai dan Ali, dan juga Adikku, aku punya satu lagi teman yang biasa ku kontak saat aku sedang butuh suara ketiga. Hanya saja, sayangnya, dia tidak berada di Prancis, jadi untuk menghubunginya, aku harus benar - benar memberhatikan waktu. Sekarang jam setengah sembilan waktu Prancis. Dengan perbedaan waktu sekitar enam jam, di Indonesia mungkin sekarang jam tiga pagi.

"Mari kita coba saja!" Ucapku gusar menyambar ponselku dan mendial nomornya.

Kalau beruntung, orang itu akan terbangun untuk melaksanakan ibadah malamnya, kalau tidak, aku hanya perlu meninggalkan pesan, dan mungkin satu hingga dua jam lagi, orang tersebut akan menelponku balu. Dia termasuk orang yang rajin beribadah. Benar, tidak sepertiku yang hanya sekedarnya saja.

"Rara?"

Ah! Keberuntungan masih di pihakku ternyata!

"Mas Jo...." Rengekku memanggil nama orang yang sedang kutelepon tersebut.

Bukan, dia bukan kekasihku. Bukan juga orang yang kutaksir. Oke, baiklah, mungkin bagian naksir, hanya sedikit? Dia orang yang kharismatik, dewasa dalam berpikir, tidak panikan dan sangan berwawasan luas. He's my complete opposite. jadi susah untuk tidak terjerat pada pesonanya. Tapi hanya naksir saja, serius. Lagipula, dia juga hanya menganggapku adik. Dia tidak melihatku sebagai seorang perempuan.

"Iya?"

"Temenin Rara bentar ya. Rara pengen curhat." Aduku.

"Curhat apa?" Suaranya yang dalam dan teduh langsung membuatku merasa nyaman dan tenang.

"Rara mau dinikahkan."

"Syukurlah."

Ih, Kok cuma begitu saja reaksinya?

"Mas Jo, Rara mau dinikahkan sama Papa." Ulangku agak emosi.

"Iya, Mas dengar. Lantas dimana masalahnya? Oh," Aku bersorak dalam hati, mengira bahwa dia akhirnya mengerti kegalauanku dan bersiap menghiburku. Aku butuh penghiburan. Ayolah. "Selamat ya, Rara udah mau nikah. Undangannya kapan sampai ke Mas?"

Kok? Jadi begini?

"Rara tidak ingin selamat dari Mas Jo." Jawabku ketus. Merasa agak sebal karena bukannya dihibur dan ditenangkan seperti yang dia inginkan, dia malah diselamati.

"Lalu maunya apa, Ra?"

"Ini terlalu buru - buru nggak sih, Mas? Masa Rara? Nikah?" Aku memancing reaksinya yang lain.

"Emang kenapa? Rara kan sudah amat cukup umur dan dewasa untuk menikah. Kalau sudah ada jodohnya, orang tua juga merestui kalian, kenapa harus menunggu?"

"Bagaimana Rara tau itu jodoh Rara atau bukan kalau ketemu saja tidak pernah? Bagaimana rupa wajahnya saja Rara tidak tahu?" Bantahku cepat, menggebu - gebu.

"Papa yang menerima lamarannya?"

"Hmm."

"Papa kan orang tua Rara. Nggak akan ada orang tua yang memilihkan yang terjelek untuk anaknya. Orang tua yang bertanggung jawab pasti akan selalu mencari dan memilih yang terbaik untuk anaknya. Dan Mas lihat selama ini Papa cukup bertanggung jawab dengan tugasnya."

Ya benar, sih. Tapi mana penghiburanku? Yang aku harapkan adalah reaksi seperti

'Ya Ampun, Ra. Kamu? Nikah? Cepet - cepet banget mau apa? Study kamu gimana?'

Atau yang mirip - mirip seperti itu sehingga dia juga terpancing untuk mengeluarkan keluh kesahnya.

"Terus kalo Rara nikah Rara harus keluar dari rumah Madame Fatima, dong?!"

"Ya, kalau itu, Mas nggak bisa kasih kamu pendapat apapun. Itu hal yang harus Rara diskusikan dengan induk semang Rara di sana. Kalau dia tidak mengijinkan, dengan terpaksa Rara harus pergi dari sana. Bagaimanapun, itu kan sudah keputusan induk semang Rara."

Benar lagi. Aku harus ingat untuk mendiskusikan itu dengan Madame Fatima besok. Atau lusa. Jangan sampai lupa. Akhir bulan hanya tinggal hitungan dua minggu lagi.

"Ya sudah Mas, Rara tutup dulu telponnya. Sudah malam di sini. Bye."

"Bye, Ra."

Panggilan kami pun berakhir. Aku kembali merebahkan diriku di atas ranjang. Memandangi laptop yang terbuka namun tidak menyala tersebut. Seharusnya malam ini dia lanjut lagi untuk mengerjakan Thesis nya. Tapi serius, dia sedang tidak mood menyentuk Thesisnya. Kepalanya penuh hingga hampir meledak.

Hanya dibutuhkan satu panggilan telpon dari Papanya dan dunianya mendadak terbalik tumpang tindih tidak terkendali seperti ini.

Related chapters

  • The Moment Of Us   Four - What Do You Think About Marriage

    Aku tidak bisa tidur dengan nyenyak semalam. Kepalaku penuh dengan kemungkinan - kemungkinan. Dan aku harus bertemu dengan Madam Fatima pagi ini. Tidak boleh ditunda lagi atau aku besok malam, aku akan menjadi semakin parah. Dan mungkin lusa paginya aku akan berubah menjadi zombie.Well, tentu saja itu pemikiran ngawur. Zombi tidak terbentuk semudah itu hanya karena orang - orang mengalami gangguan tidur. Tapi penampakannnya memang mirip. Jadi hari itu aku tidak tidur lagi setelah subuh. Tepat jam enam pagi, aku turun menghampiri Madame Fatima yang sudah memulai rutinitas paginya."Bonjour.""Bonjour, Cherie. Tidurmu nyenyak?" Tanyanya.Sayangnya tidak, Madam. Tapi aku hanya mengangguk mengiyakan."Mau Teh?" Tawarnya.Aku mengangguk lagi mengiyakan. Wanita ini sungguh amat baik. Mungkin jika sosok ibu peri itu benar - benar ada, maka akan terlihat seperti Madam Fatima. Rutinitas paginya dimulai seperti ini. Membuat teh, kem

    Last Updated : 2021-10-11
  • The Moment Of Us   Five - Spill It!

    Tatapan mata Ai seperti jenderal perang yang siap menghadapi bahkan seribu pasukan pun, sendirian. Aku melirik Ali yang ada di belakangnya. Dia hanya mengedikkan bahu. Aku yakin, Kami yang dimaksud Ai tadi hanya mengacu pada dirinya. Bukan pada mereka berdua, karena Ali hanya mengangkat bahunya pasrah."Bisakah kita membicarakan hal ini besok? Aku amat lelah." Bujukku."Tidak! Kau harus...""Ai, jangan memaksa." Ali mengingatkan pelan"Tapi..." Gadis itu seperti cacing kepanasan sekarang. Dia tahu Ali benar di satu sisi, tapi di sisi Ai , rasa penasarannya butuh pelampiasan. Dan sekarang dia terbelah di antaranya."Aku yakin saat Kay siap, dia akan menceritakan padamu, oke, pada kita, sedetail mungkin. Tunggu saja, okay? Apa kau tak kasihan melihat wajahnya yang memelas itu? Give her a break. Let's call it a day. Ayo kita semua pulang" Aku memberikan tatapan penuh rasa terimakasih pada Ali. Sungguh. Hari ini, aku merasa amat beruntung karena di

    Last Updated : 2021-10-11
  • The Moment Of Us   Six - Denial

    Beberapa hari selanjutnya berlalu biasa saja bagi kami. Kadang, aku mendapati Ai yang masih saja menatapku dengan pandangan prihatin, tapi tak kuhiraukan. Aku tak mau terbelenggu pada pusaran mengasihani diri sendiri. Ini memang bukan seperti yang aku rencanakan, tapi, aku yakin, semua hal di dunia ini bisa di kompromikan, benar, kan? Lagi pula, aku masih menganggap ini semua adalah mimpi, dan setelah akhir bulan berlalu, aku akan tahu kalau Papa tidak setega itu padaku.Dan kalau ternyata benar - benar terjadi... hmm... ya sudahlah. Aku tak berbicara tentang cinta setelah menikah dan sebagainya. Orang tua jaman dulu bilang, cinta datang karena terbiasa, tapi... kalau tidak bagaimana? kalau cinta itu datang, tak masalah, tapi bagaimana kalau tidak? Jadi aku menganggap ini hanya sebagai sesuatu ujian yang sulit saja. Seperti caraku menerima Gee, yang walaupun aku tak terlalu suka, bukan berarti aku tidak mencoba menerimanaya. Yah, begitu saja lah. Dan lebih baik kufokuskan pik

    Last Updated : 2021-10-12
  • The Moment Of Us   Seven - Why Me?

    "Rara." Suara Mama akhirnya terdengar lagi setelah jeda yabg cukup lama. Nafasku juga sudah berangsur lega. Untungnya kereta sedang sepi. Hanya ada aku dan dua penumpang lain di gerbong ini dan mereka duduk cukup jauh dariku. "Kami melakukan hal ini bukan karena kami ingin menghukummu." Kata Mama memulai.Aku masih diam. Berdiri dan bersiap untuk keluar dari kereta saat kereta memelan dan sinar lampu stasiun yang terang benderang kini terlihat. Tangan kananku masih memegang ponsel yang tertempel di telinga kanannki, sementara tangan kiriku aman bersembunyi di saku mantelku."Rara, are you there?" Mama bertanya karena tak mendengar suaraku sama sekali."Ya, Mama." Aku menjawab lelah dan agak tersengal karena sekarang aku sedang berjalan menaiki tangga untuk keluar dari stasiun bawah tanah ini."Ada banyak alasan kenapa akhirnya kami menerima calonmu itu. Banyak sekali. Dan salah satunya adalah kami ingin ada yang menjagamu di sana."Aduh, klise seka

    Last Updated : 2021-10-12
  • The Moment Of Us   Seven - Why Me?

    "Rara." Suara Mama akhirnya terdengar lagi setelah jeda yabg cukup lama. Nafasku juga sudah berangsur lega. Untungnya kereta sedang sepi. Hanya ada aku dan dua penumpang lain di gerbong ini dan mereka duduk cukup jauh dariku. "Kami melakukan hal ini bukan karena kami ingin menghukummu." Kata Mama memulai.Aku masih diam. Berdiri dan bersiap untuk keluar dari kereta saat kereta memelan dan sinar lampu stasiun yang terang benderang kini terlihat. Tangan kananku masih memegang ponsel yang tertempel di telinga kanannki, sementara tangan kiriku aman bersembunyi di saku mantelku."Rara, are you there?" Mama bertanya karena tak mendengar suaraku sama sekali."Ya, Mama." Aku menjawab lelah dan agak tersengal karena sekarang aku sedang berjalan menaiki tangga untuk keluar dari stasiun bawah tanah ini."Ada banyak alasan kenapa akhirnya kami menerima calonmu itu. Banyak sekali. Dan salah satunya adalah kami ingin ada yang menjagamu di sana."Aduh, klise seka

    Last Updated : 2022-01-24
  • The Moment Of Us   Eight - I Know What You Did Behind My Back

    Pagi ini aku datang ke kampus selain untuk bertemu dosen untuk menyerahkan hasil revisi thesisku, aku juga punya misi yang amat penting. Menyidang Ai dan juga Ali. Aku akan menyai mereka tentang kebenaran yang dikatakan Mama padaku kemarin lusa.Aku sudah menahannya selama dua hari. Mencoba mengosongkan pikiranku dari segala hal, pernikahanku yang semakin dekat, fakta bahwa Ai dan Ali memata - mataiku dan melaporkanku pada Mama, semuanya. Aku hanya fokus pada Thesisku. Aku benar - benar ingin ini semua segera berakhir. Kuliah di sini, tentu saja menyenangkan. Aku banyak belajar hal baru dan mendapatkan banyak hal menyenangkan juga untuk dikenang. Tapi aku juga tak mau terus menerus di sini hanya untuk kuliah.Aku berderap di koridor kampus saat sekelebat kutemukan bayangan Ai dengan rambut terurai blouse hijau tosca dan jeans tak terlalu ketat sedang mengobrol dengan... sepertinya teman - teman Turkinya. Aku segera berlari kecil menghampiri."Hai, I'm sorry. Can

    Last Updated : 2022-01-24
  • The Moment Of Us   Nine - Reconciliation

    Suasana hatiku masih agak murung meskipun beberapa hari telah berlalu. Alasan terbesar aku tak bersemangat adalah karena pernikahanku.Seolah selama ini keluarga yang di rumah di Indonesia sana benar- benar menganggapku bahagia dengan rencana ini, Mama dan Rasyid terus saja memberikanku update teranyar tentang persiapan pernikahanku. Tempat akad yang sudah didekor cantik dengan warna yang dominan putih, dan bunga-bunga pastel, juga tenda serta kursi untuk para tamu undangan. Kamarku yang akan menjadi kamar pengantin semalam, meskipun tak akan ditempati, yang sudah dihias juga dengan bunga-bunga dan kain satin cantik. Juga pigura berisi foto -foto dan lilin yang ditata apik. Semua hal-hal lazim yang dilakukan menjelang pernikahan. Namun, bagiku di sini, semua kecantikan itu malah seperti taburan bunga menuju tiang gantungan. Lucunya, bahkan sampai sekarang, aku tak tahu bagaimana tampang rupa calon suamiku nanti. Sesemangatnya Mama dan Rasyid meng update pesta pernikahan yang tak akan

    Last Updated : 2023-02-03
  • The Moment Of Us   Ten - The Wedding Day

    "Ai, ini ….""Ssh! Jangan berisik! Biarkan mereka melakukan pekerjaannya, okay? Terima beres saja." Ai menghentikan aksi protesku dengan lambaian tangannya. Setelah itu, dia berpaling pada Ali dan menariknya keluar. "Ayo, ikut aku. Ada sesuatu yang membutuhkan bantuanmu!"Keduanya lalu pergi meninggalkanku yang kebingungan hanya dengan pegawai salon yang masih menata rambutku setelah wajahku dirias tadi."Pasangan yang serasi!" Wanita yang menata rambutku mendesah penuh haru melihat Ali dan Ai.See? Bukan hanya aku saja yang berpikir kalau mereka berdua adalah pasangan serasi. Orang lain pun berpendapat sama! Ah, seandainya mereka menyadari hal itu."They won't like it if they heard you." Aku meringis."Oh, is he your boyfriend? Pardonne-moi, maafkan kelancanganku!" Wanita itu panik."Non, bukan!" Aku tertawa. "Aku juga berpikir sepertimu. Hanya saja mereka tidak suka jika ada yang berpikir kalau mereka adalah pasangan," terangku yang berangsur-angsur membuat wanita itu rileks.Aku ti

    Last Updated : 2023-02-06

Latest chapter

  • The Moment Of Us   Fifteen - Deep Talk

    Tring!Suara ponselku yang menerima pesan menjadi satu-satunya suara yang ada di antara aku dan Ali. Maksudku, benar-benar di antara kami. Meskipun saat ini kami sedang berada di dalam metro yang ramai, tapi sejak tadi aku dan Ali sama sekali tidak berbicara. Sama sekali.Dan ini aneh. Ali memang pendiam. Namun, hanya pada orang yang tidak dikenal atau orang yang menarik perhatiannya. Jaim, kalau kata orang Indonesia. Mencoba menarik perhatian dengan mencoba menjadi orang yang terlihat cool. Karena aku tahu, Ali tidak mungkin sedang berusaha menarik perhatianku, kediamannya ini membuatku bingung. Untungnya, saat masuk ke metro tadi, kami berdua masih mendapatkan tempat duduk. Karena ini weekend, jsdi metro hari ini tidak terlalu sedak. Hanya beberapa orang saja yang harus berdiri karena tidak kebagian tempat duduk. Aku merogoh saku jaketku dan mengeluarkan ponsel dari sana. Ada nomor asing yang menghubungiku dan mengirimkan gambar. Siapa?Unknown: /Hi, Ra. Ini nomorku. Disimpan ya.

  • The Moment Of Us   Fourteen - Alif

    Suara berat dan dalam yang mengucap salam padaku membungkam semua protesku. Membuatku secara otomatis menjawab salamnya dengan suara pelan dan lembut, "Waalaikumsalam."What … the … heck!Suaranya … Tuhan, sekarusnya suara dalam, berat dan seksi seperti itu, haram nggak sih, buat dimiliki cowok? Cowok mana pun? Suara itu tuh, bikin … bahkan aku nggak kepikiran lagi apa yang sebenarnya aku pikirin. Suara salam pria tadi masih terngiang di telingaku dengan jelas, kuputar lagi dan lagi karena menurutku suaranya candu sekali. Bahkan, aku lupa kalau suara itu milik seseorang yang sudah bertitle suamiku!"Salam kenal, Ra. Aku Alif … suamimu."Kesadaranku kembali pulih sejuta persen saat kata 'suami' disebut. Aku memang sudah pasrah menerima perjodohan ini, sudah pasrah menerima pria ini, siapa pun itu sebagai suamiku, tapi bukan berarti aku harus menyukainya, 'kan? Aku masih belum berencana menjadi istri yang berbakti begitu saja pada suami. Lihat nantilah, bagaimana perlakuan dia padaku se

  • The Moment Of Us   Thirteen - I Know Nothing

    Semalam, chatku dengan Mas Jo tak berlangsung lama. Aku segera mengakhirinya dengan alasan capek. Hal yang amat jarang kulakukan saat bertukar pesan dengan pria yang kutaksir itu.Namun, etah kenapa semalam rasanya berbeda. Aku bete saat Mas Jo malah dengan enteng mengucapkan selamat padaku dan mendoakan kebahagiaanku setelah menyandang status yang baru. Belum lagi fakta bahwa dia lebih tahu tentang kapan 'suamiku' akan datang menemuiku di sini. Semua itu membuat moodku jelek seketika.Ini hari Sabtu. Pada dasarnya, aku tidak ada jadwal kuliah apa pun hari ini. Namun, aku sedang tidak ingin berada di rumah karena mood ku terus tak terkendali. Rasanya aku sudah hampir membanting dan melempar apa pun yang ada di dalam jangkauanku. Ya, sejelek itu. Padahal, semalam kurasakan mood ku sudah baik-baik saja. Aku sudah sangat pasrah menerima nasibku yang menikah muda dengan pria antah berantah yang hingga kini masih asing bagiku.Jadi, daripada aku makin menggila, kuputuskan untuk ke kampus

  • The Moment Of Us   Twelve - Ideal Type

    Lucu sekali saat menyadari bahwa aku sama sekali tidak tahu apa pun tentang suamiku; namanya, wajahnya, apa pekerjaannya, kenapa dia menikah denganku, dan kapan dia akan ke sini menyusulku.Menyadari bahwa moodku bisa berubah jelek dan akan merusak suasana malam ini, Ali hanya mengangguk dan tidak bertanya lagi."Kabari saja dan aku akan membantumu.""Merci, Ali."Percakapan berlanjut lagi dengan hal-hal yang kami lalui sehari-hari. Tentang gadis yang sedang dikejar Ali saat ini dan juga tentang Ai yang masih menunggu pangerannya."Ehm, aku perlu ke toilet. Awas kalau kalian memulai dessert tanpa aku," ancamnya seketika berdiri dan beranjak ke toilet.Aku mengernyitkan alis heran. "Kenapa, dia? Kita ada salah bicara? Kenapa wajahnya begitu?"Ali mengedikkan bahunya sambil lalu, tangan kanannya menyuapkan suapan terakhir di piringnya ke mulut. "Biarkan saja. Sebentar lagi juga dia akan seperti biasa lagi. Sepertinya ayahnya menghubunginya lagi.""Ada masalah?" tanyaku cepat. Ai dan ay

  • The Moment Of Us   Eleven - Celebration

    "Lho? Halo? Rasyid? Halo? Yah …."Hanya saja, sinyal dan keadaan sepertinya belum memihakku. Sedetik setelah pria itu berbalik, aku masih belum terbiasa dan belum rela memanggil dia suamiku, entah sinyalku atau sinyal Rasyid menghilang, membuat panggilan video kami akhirnya terputus.Dengan wajah lesu, aku kembali ke mejaku. Sudah ada Ali dan Ai di sana. Ai sedang mengomel sambil membenarkan dasi dan kerah kemeja Ali. Melihat mereka, seperti melihat pasangan suami istri yang sudah hidup bersama lama sekali. "Sudah selesai? Apa kata mereka?" Ali bertanya dengan suara pasrah dan kepala yang tidak digerakkan. Hanya matanya saja yang melirik padaku."Well, apa lagi. Je suis marié. Akadnya udah sah," jawabku.Ai selesai membenarkan dasi dan kemeja Ali, keduanya kini kembali pada posisi duduk mereka berhadapan denganku. "Félicitations, Kay. Selamat atas pernikahanmu. Atau seharusnya kami memanggilmu Madame …."Aku mengangkat bahu, membuat keduanya mengernyit. "Aku tidak tahu siapa nama su

  • The Moment Of Us   Ten - The Wedding Day

    "Ai, ini ….""Ssh! Jangan berisik! Biarkan mereka melakukan pekerjaannya, okay? Terima beres saja." Ai menghentikan aksi protesku dengan lambaian tangannya. Setelah itu, dia berpaling pada Ali dan menariknya keluar. "Ayo, ikut aku. Ada sesuatu yang membutuhkan bantuanmu!"Keduanya lalu pergi meninggalkanku yang kebingungan hanya dengan pegawai salon yang masih menata rambutku setelah wajahku dirias tadi."Pasangan yang serasi!" Wanita yang menata rambutku mendesah penuh haru melihat Ali dan Ai.See? Bukan hanya aku saja yang berpikir kalau mereka berdua adalah pasangan serasi. Orang lain pun berpendapat sama! Ah, seandainya mereka menyadari hal itu."They won't like it if they heard you." Aku meringis."Oh, is he your boyfriend? Pardonne-moi, maafkan kelancanganku!" Wanita itu panik."Non, bukan!" Aku tertawa. "Aku juga berpikir sepertimu. Hanya saja mereka tidak suka jika ada yang berpikir kalau mereka adalah pasangan," terangku yang berangsur-angsur membuat wanita itu rileks.Aku ti

  • The Moment Of Us   Nine - Reconciliation

    Suasana hatiku masih agak murung meskipun beberapa hari telah berlalu. Alasan terbesar aku tak bersemangat adalah karena pernikahanku.Seolah selama ini keluarga yang di rumah di Indonesia sana benar- benar menganggapku bahagia dengan rencana ini, Mama dan Rasyid terus saja memberikanku update teranyar tentang persiapan pernikahanku. Tempat akad yang sudah didekor cantik dengan warna yang dominan putih, dan bunga-bunga pastel, juga tenda serta kursi untuk para tamu undangan. Kamarku yang akan menjadi kamar pengantin semalam, meskipun tak akan ditempati, yang sudah dihias juga dengan bunga-bunga dan kain satin cantik. Juga pigura berisi foto -foto dan lilin yang ditata apik. Semua hal-hal lazim yang dilakukan menjelang pernikahan. Namun, bagiku di sini, semua kecantikan itu malah seperti taburan bunga menuju tiang gantungan. Lucunya, bahkan sampai sekarang, aku tak tahu bagaimana tampang rupa calon suamiku nanti. Sesemangatnya Mama dan Rasyid meng update pesta pernikahan yang tak akan

  • The Moment Of Us   Eight - I Know What You Did Behind My Back

    Pagi ini aku datang ke kampus selain untuk bertemu dosen untuk menyerahkan hasil revisi thesisku, aku juga punya misi yang amat penting. Menyidang Ai dan juga Ali. Aku akan menyai mereka tentang kebenaran yang dikatakan Mama padaku kemarin lusa.Aku sudah menahannya selama dua hari. Mencoba mengosongkan pikiranku dari segala hal, pernikahanku yang semakin dekat, fakta bahwa Ai dan Ali memata - mataiku dan melaporkanku pada Mama, semuanya. Aku hanya fokus pada Thesisku. Aku benar - benar ingin ini semua segera berakhir. Kuliah di sini, tentu saja menyenangkan. Aku banyak belajar hal baru dan mendapatkan banyak hal menyenangkan juga untuk dikenang. Tapi aku juga tak mau terus menerus di sini hanya untuk kuliah.Aku berderap di koridor kampus saat sekelebat kutemukan bayangan Ai dengan rambut terurai blouse hijau tosca dan jeans tak terlalu ketat sedang mengobrol dengan... sepertinya teman - teman Turkinya. Aku segera berlari kecil menghampiri."Hai, I'm sorry. Can

  • The Moment Of Us   Seven - Why Me?

    "Rara." Suara Mama akhirnya terdengar lagi setelah jeda yabg cukup lama. Nafasku juga sudah berangsur lega. Untungnya kereta sedang sepi. Hanya ada aku dan dua penumpang lain di gerbong ini dan mereka duduk cukup jauh dariku. "Kami melakukan hal ini bukan karena kami ingin menghukummu." Kata Mama memulai.Aku masih diam. Berdiri dan bersiap untuk keluar dari kereta saat kereta memelan dan sinar lampu stasiun yang terang benderang kini terlihat. Tangan kananku masih memegang ponsel yang tertempel di telinga kanannki, sementara tangan kiriku aman bersembunyi di saku mantelku."Rara, are you there?" Mama bertanya karena tak mendengar suaraku sama sekali."Ya, Mama." Aku menjawab lelah dan agak tersengal karena sekarang aku sedang berjalan menaiki tangga untuk keluar dari stasiun bawah tanah ini."Ada banyak alasan kenapa akhirnya kami menerima calonmu itu. Banyak sekali. Dan salah satunya adalah kami ingin ada yang menjagamu di sana."Aduh, klise seka

DMCA.com Protection Status