Kayra adalah mahasiswa magister di salah satu universitas ternama di Paris, Prancis. Masa pendidikannya hampir berakhir dan dia sudah berencana untuk pulang ke Indonesia saat tiba - tiba saja Ayahnya mengabarinya bahwa dia telah dinikahkan, dan suaminya akan segera menyusulnya ke sana, sehingga dia bisa terus berada di Prancis tanpa membuat keluarganya khawatir. “You're getting married, Rara.” “Papa?” Ini terlalu tiba - tiba untuknya, karena terlalu terkejut, dan karena waktu yang tak banyak, dia sampai lupa untuk menolak. Saat dia menyadari bahwa Papanya serius, semua sudah terlambat. Pernikahannya sudah terlaksana, dan suaminya sedang terbang ke Prancis untuk menyusulnya. Bagaimanakah kemudian kisah Kayra selanjutnya bersama suami yang belum pernah ditemuinya ini?
view moreAku terbangun kala mendengar nyanyian burung di luar jendela kamarku. Musim semi sudah menampakkan ujungnya. Rona musim panas kini sudah mulai terlihat. Silau dan panas.
Setelah menunaikan ibadah pagi tadi, aku kembali tertidur, karena aku tak punya kelas hingga nanti pukul sepuluh pagi. Aku menggunakan waktu luangku untuk mengisi kembali energiku, yang mana pada hal ini berarti adalah, tidur. Aku agak kelelahan setelah marathon mengerjakan proyek thesisku hingga tadi jam tiga subuh. Aku memang bekerja amat keras mengerjakannya agar aku bisa kembali ke negaraku tercinta, Indonesia. Tiga tahun adalah waktu yang amat cukup bagiku untuk menjelajah Paris, yang kata orang adalah kota yang paling romantis di dunia
Hanya saja, ironisnya, aku menjelajahinya sendirian. Tapi sebenarnya, memangnya apa sih, salahnya menjadi single?
Aku membereskan tempat tidurku dan kemudian mengambil handuk untuk mandi. Harus cepat. Teman Prancisku bilang padaku untuk mandi hanya sekali di musim dingin dan musim gugur, bahkan kadang musim semi sekalipun. Tapi... Tidak! Indonesian's proud. Kami di sana biasa mandi dua kali sehari. Minimal. I could deal with hunger, thirst, and poverty but i gotta say no to odor! Harap dicatat.
Sudah pukul sembilan lebih tiga puluh lima menit saat aku menyelesaikan mandiku. Aku menyambar apa saja yang bisa kupakai hari ini dan kemudian bergegas untuk berangkat ke kampus.
Sarapan? Sarapan itu apa? Kebanyakan pelajar, mahasiswa dan pekerja muda di Indonesia tidak mengenal apa itu sarapan. Mereka yang sudah tinggal di luar negeri pun kebanyakan masih begitu.
"Bonjour Madame Fatima!" Aku menyapa pemilik kamar yang kutempati saat ini. Seorang janda dari timur tengah yang tinggal di sini karena suaka politik. Wanita baik hati yang membiarkanku tinggal di rumahnya untuk menemaninya saat hampir semua asrama di sini menolakku karena alasan entah yang keberapa adalah, aku seorang muslim, dan alasan utamanya adalah, aku juga telat datang ke Prancis karena pesawat yang delay, sehingga aku juga terlambat untuk mengambil kunci kamarku. Kenangan yang tidak terlalu menyenangkan untuk diingat sekarang - sekarang ini. Aku amat beruntung bisa bertemu dengannya. "Maaf, aku ketiduran, jadi tidak bisa membantu anda menyiram tanaman hari ini!"
"C'est pas problem Cherie. Tak masalah, Sayang." Dia melambaikan tangannya, berkata bahwa itu bukanlah suatu masalah. "Hati - hati berangkat ke kampus." Lanjutnya masih dengan bahasa prancis dengan logat selatan yang di seret dan agak kurang jelas bagi telinga non native, apalagi yang masih belajar.
Aku melambai padanya selagi mengayuh sepedaku menjauh.
Aduh, aku harus amat bergegas jika tidak ingin terlambat. Professor yang mengajar kelas pertama hari ini agak sedikit... Galak? Dia tidak membiarkan siapapun yang terlambat di kelasnya memasuki ruangan kelas, walaupun hanya terlambat satu menit saja. terlambat baginya adalah terlambat.***
"Kai! Kamu dari mana saja?!"
Yang barusan itu adalah Aliya. Teman baikku yang berasal dari Turki. Dulu saat pertama kali datang ke Prancis, dia adalah seorang hijabi, tapi karena teror islam phobia di Prancis semakin marak beberapa tahun belakang, untuk beberapa alasan, termasuk keamanan, dia akhirnya memutuskan untuk melepas hijabnya. Oh tidak, aku tidak akan menghakiminya, berhijab atau tidak, itu tetaplah haknya. Dan berhijab atau tidak, dia tetap Aliya, teman baikku.
Teman baik yang saling peduli satu sama lain.
"Aku tadi nyaris terlambat. Dan kelasnya sudah amat penuh, jadi aku duduk di depan." Jawabku.Oh, mari kita berkenalan! Namaku adalah Kayra. teman - temanku di sini memanggilku Kay, tapi sebenarnya nama panggilanku adalah Rara. Nevermind! Dua - duanya tetap namaku, jadi bukan masalah besar. umurku dua puluh lima tahun. Dan aku adalah mahasiswa magister hukum di universitas Srobonnes Paris. Sekarang aku sedang mengerjakan Thesisku. Aku harus lulus tahun ini, atau aku harus membayar sendiri pendidikanku jika lebih dari batas waktu yang telah di tentukan oleh pemberi beasiswa, yaitu tiga tahun. Benar, aku kuliah di sini karena mendapatkan beasiswa.
"Aku kira kamu tidak masuk! Padahal aku sudah siapkan satu tempat buatmu di sebelahku tadi. Tapi sampai kelas mulai, kamu tidak telihat di manapun!" Dia berseru padaku.
"Calm down ma belle amie," Aku menenangkan. Dia memang begini, agak terlalu hobi panik. "Itu nggak akan terjadi. Absensiku selalu sempurna dan aku tidak ingin memulai debutnya absen bolong sekarang. Aku harus lulus tahun ini, Kau tau, kan."
"Aamiin." Dia mendoakan.
Kelas kami sudah berakhir. Kami akan kosong hingga nanti jam tiga sore untuk kuliah selanjutnya. Kami berdua masih terkikik saat berjalan ke luar kelas. Ai masih terus bercerita padaku tentang apapun. Ai, begitu aku memanggil temanku ini. Ajaibnya, aku dan Ai selalu saja memiliki jadwal dan kelas yang bersamaan, sejak semester satu dulu! Bikin merinding, deh. sebenarnya ada satu orang lain, namanya Ali, tapi sekarang kami tak tahu dia ada di mana.
Selain itu, aku juga tidak punya banyak teman di sini. Culture mereka yang individualist membuat aku yang pemalu ini selalu saja tambah malu untuk memulai berteman terlebih dulu.
Karena kami masih punya cukup waktu luang, aku dan Ai memutuskan untuk pergi ke restoran arab yang berada tak jauh dari kampus yang memang merupakan langganan kami selama berkuliah di sini. Alasannya, tentu saja karena pilihan makan kami amat terbatas. Memang ada kantin kampus, dan akan lebih nyaman sebenarnya jika kami makan siang di kampus, tapi masalahnya, terkadang mereka menyajikan babi, yang mana kami tidak bisa makan, jadi kami menilih untuk ke restaurant tersebut saja.
"Itu Ali!" Ai berseru saat melihat sosok teman dekat kami yang lain sedang duduk di beranda restoran kecil yang sedang kami tuju. "Kupikir dia tidur entah di mana. Ali! Ali!"
Laki - laki itu terlonjak di kursinya saat kamu mengagetkannya sambil tertawa - tawa. Hari ini dia terlihat amat serius menatap laptopnya. Dan Ali yang serius itu... hampir tidak pernah terjadi. Jadi, ada apakah ini?
"Kamu kenapa?" Tanyaku sembari duduk di kursi yang ada di depannya.
Bukannya menjawab, dia hanya berdehem. Aku melirik Ai, tapi gadis itu pun hanya mengedikkan bahunya tak tahu.
Dia kenapa, sih?
"Kalian menggangguku saja. Aku sedang mengerjakan essay, nih." Jawabnya tetap dengan mode serius.
Aku dan Ai mengerutkan kening kami. Essay? Tugas apa? Kenapa aku tidak ingat ada tugas apapun yang berhubungan dengan essay hari ini?
"Essay untuk tugas apa?" Ai bertanya sambil menyomot keripik kentang yang dibeli oleh Ali sebelumnya.
"Non, bukan tugas kita." Jawabnya pelan, seperti bergumam.
"Tapi kamu bilang tadi itu tugasmu! Dan kita punya jadwal dan kelas yang sama." Ai memprotes tidak terima.
"Punyanya dia, kok." Katanya pelan menunjuk seseorang dengan dagunya. Petunjuknya sampai pada kerumunan gadis - gadis yang mungkin dalam pendidikan strata satunya di meja yang lain. Wajahnya sedikit memerah, membuatku menyadari sesuatu.
Tapi aku tidak sempat bilang apapun karena teleponku berdering, menandakan panggilan masuk.Papa?
Tring!Suara ponselku yang menerima pesan menjadi satu-satunya suara yang ada di antara aku dan Ali. Maksudku, benar-benar di antara kami. Meskipun saat ini kami sedang berada di dalam metro yang ramai, tapi sejak tadi aku dan Ali sama sekali tidak berbicara. Sama sekali.Dan ini aneh. Ali memang pendiam. Namun, hanya pada orang yang tidak dikenal atau orang yang menarik perhatiannya. Jaim, kalau kata orang Indonesia. Mencoba menarik perhatian dengan mencoba menjadi orang yang terlihat cool. Karena aku tahu, Ali tidak mungkin sedang berusaha menarik perhatianku, kediamannya ini membuatku bingung. Untungnya, saat masuk ke metro tadi, kami berdua masih mendapatkan tempat duduk. Karena ini weekend, jsdi metro hari ini tidak terlalu sedak. Hanya beberapa orang saja yang harus berdiri karena tidak kebagian tempat duduk. Aku merogoh saku jaketku dan mengeluarkan ponsel dari sana. Ada nomor asing yang menghubungiku dan mengirimkan gambar. Siapa?Unknown: /Hi, Ra. Ini nomorku. Disimpan ya.
Suara berat dan dalam yang mengucap salam padaku membungkam semua protesku. Membuatku secara otomatis menjawab salamnya dengan suara pelan dan lembut, "Waalaikumsalam."What … the … heck!Suaranya … Tuhan, sekarusnya suara dalam, berat dan seksi seperti itu, haram nggak sih, buat dimiliki cowok? Cowok mana pun? Suara itu tuh, bikin … bahkan aku nggak kepikiran lagi apa yang sebenarnya aku pikirin. Suara salam pria tadi masih terngiang di telingaku dengan jelas, kuputar lagi dan lagi karena menurutku suaranya candu sekali. Bahkan, aku lupa kalau suara itu milik seseorang yang sudah bertitle suamiku!"Salam kenal, Ra. Aku Alif … suamimu."Kesadaranku kembali pulih sejuta persen saat kata 'suami' disebut. Aku memang sudah pasrah menerima perjodohan ini, sudah pasrah menerima pria ini, siapa pun itu sebagai suamiku, tapi bukan berarti aku harus menyukainya, 'kan? Aku masih belum berencana menjadi istri yang berbakti begitu saja pada suami. Lihat nantilah, bagaimana perlakuan dia padaku se
Semalam, chatku dengan Mas Jo tak berlangsung lama. Aku segera mengakhirinya dengan alasan capek. Hal yang amat jarang kulakukan saat bertukar pesan dengan pria yang kutaksir itu.Namun, etah kenapa semalam rasanya berbeda. Aku bete saat Mas Jo malah dengan enteng mengucapkan selamat padaku dan mendoakan kebahagiaanku setelah menyandang status yang baru. Belum lagi fakta bahwa dia lebih tahu tentang kapan 'suamiku' akan datang menemuiku di sini. Semua itu membuat moodku jelek seketika.Ini hari Sabtu. Pada dasarnya, aku tidak ada jadwal kuliah apa pun hari ini. Namun, aku sedang tidak ingin berada di rumah karena mood ku terus tak terkendali. Rasanya aku sudah hampir membanting dan melempar apa pun yang ada di dalam jangkauanku. Ya, sejelek itu. Padahal, semalam kurasakan mood ku sudah baik-baik saja. Aku sudah sangat pasrah menerima nasibku yang menikah muda dengan pria antah berantah yang hingga kini masih asing bagiku.Jadi, daripada aku makin menggila, kuputuskan untuk ke kampus
Lucu sekali saat menyadari bahwa aku sama sekali tidak tahu apa pun tentang suamiku; namanya, wajahnya, apa pekerjaannya, kenapa dia menikah denganku, dan kapan dia akan ke sini menyusulku.Menyadari bahwa moodku bisa berubah jelek dan akan merusak suasana malam ini, Ali hanya mengangguk dan tidak bertanya lagi."Kabari saja dan aku akan membantumu.""Merci, Ali."Percakapan berlanjut lagi dengan hal-hal yang kami lalui sehari-hari. Tentang gadis yang sedang dikejar Ali saat ini dan juga tentang Ai yang masih menunggu pangerannya."Ehm, aku perlu ke toilet. Awas kalau kalian memulai dessert tanpa aku," ancamnya seketika berdiri dan beranjak ke toilet.Aku mengernyitkan alis heran. "Kenapa, dia? Kita ada salah bicara? Kenapa wajahnya begitu?"Ali mengedikkan bahunya sambil lalu, tangan kanannya menyuapkan suapan terakhir di piringnya ke mulut. "Biarkan saja. Sebentar lagi juga dia akan seperti biasa lagi. Sepertinya ayahnya menghubunginya lagi.""Ada masalah?" tanyaku cepat. Ai dan ay
"Lho? Halo? Rasyid? Halo? Yah …."Hanya saja, sinyal dan keadaan sepertinya belum memihakku. Sedetik setelah pria itu berbalik, aku masih belum terbiasa dan belum rela memanggil dia suamiku, entah sinyalku atau sinyal Rasyid menghilang, membuat panggilan video kami akhirnya terputus.Dengan wajah lesu, aku kembali ke mejaku. Sudah ada Ali dan Ai di sana. Ai sedang mengomel sambil membenarkan dasi dan kerah kemeja Ali. Melihat mereka, seperti melihat pasangan suami istri yang sudah hidup bersama lama sekali. "Sudah selesai? Apa kata mereka?" Ali bertanya dengan suara pasrah dan kepala yang tidak digerakkan. Hanya matanya saja yang melirik padaku."Well, apa lagi. Je suis marié. Akadnya udah sah," jawabku.Ai selesai membenarkan dasi dan kemeja Ali, keduanya kini kembali pada posisi duduk mereka berhadapan denganku. "Félicitations, Kay. Selamat atas pernikahanmu. Atau seharusnya kami memanggilmu Madame …."Aku mengangkat bahu, membuat keduanya mengernyit. "Aku tidak tahu siapa nama su
"Ai, ini ….""Ssh! Jangan berisik! Biarkan mereka melakukan pekerjaannya, okay? Terima beres saja." Ai menghentikan aksi protesku dengan lambaian tangannya. Setelah itu, dia berpaling pada Ali dan menariknya keluar. "Ayo, ikut aku. Ada sesuatu yang membutuhkan bantuanmu!"Keduanya lalu pergi meninggalkanku yang kebingungan hanya dengan pegawai salon yang masih menata rambutku setelah wajahku dirias tadi."Pasangan yang serasi!" Wanita yang menata rambutku mendesah penuh haru melihat Ali dan Ai.See? Bukan hanya aku saja yang berpikir kalau mereka berdua adalah pasangan serasi. Orang lain pun berpendapat sama! Ah, seandainya mereka menyadari hal itu."They won't like it if they heard you." Aku meringis."Oh, is he your boyfriend? Pardonne-moi, maafkan kelancanganku!" Wanita itu panik."Non, bukan!" Aku tertawa. "Aku juga berpikir sepertimu. Hanya saja mereka tidak suka jika ada yang berpikir kalau mereka adalah pasangan," terangku yang berangsur-angsur membuat wanita itu rileks.Aku ti
Suasana hatiku masih agak murung meskipun beberapa hari telah berlalu. Alasan terbesar aku tak bersemangat adalah karena pernikahanku.Seolah selama ini keluarga yang di rumah di Indonesia sana benar- benar menganggapku bahagia dengan rencana ini, Mama dan Rasyid terus saja memberikanku update teranyar tentang persiapan pernikahanku. Tempat akad yang sudah didekor cantik dengan warna yang dominan putih, dan bunga-bunga pastel, juga tenda serta kursi untuk para tamu undangan. Kamarku yang akan menjadi kamar pengantin semalam, meskipun tak akan ditempati, yang sudah dihias juga dengan bunga-bunga dan kain satin cantik. Juga pigura berisi foto -foto dan lilin yang ditata apik. Semua hal-hal lazim yang dilakukan menjelang pernikahan. Namun, bagiku di sini, semua kecantikan itu malah seperti taburan bunga menuju tiang gantungan. Lucunya, bahkan sampai sekarang, aku tak tahu bagaimana tampang rupa calon suamiku nanti. Sesemangatnya Mama dan Rasyid meng update pesta pernikahan yang tak akan
Pagi ini aku datang ke kampus selain untuk bertemu dosen untuk menyerahkan hasil revisi thesisku, aku juga punya misi yang amat penting. Menyidang Ai dan juga Ali. Aku akan menyai mereka tentang kebenaran yang dikatakan Mama padaku kemarin lusa.Aku sudah menahannya selama dua hari. Mencoba mengosongkan pikiranku dari segala hal, pernikahanku yang semakin dekat, fakta bahwa Ai dan Ali memata - mataiku dan melaporkanku pada Mama, semuanya. Aku hanya fokus pada Thesisku. Aku benar - benar ingin ini semua segera berakhir. Kuliah di sini, tentu saja menyenangkan. Aku banyak belajar hal baru dan mendapatkan banyak hal menyenangkan juga untuk dikenang. Tapi aku juga tak mau terus menerus di sini hanya untuk kuliah.Aku berderap di koridor kampus saat sekelebat kutemukan bayangan Ai dengan rambut terurai blouse hijau tosca dan jeans tak terlalu ketat sedang mengobrol dengan... sepertinya teman - teman Turkinya. Aku segera berlari kecil menghampiri."Hai, I'm sorry. Can
"Rara." Suara Mama akhirnya terdengar lagi setelah jeda yabg cukup lama. Nafasku juga sudah berangsur lega. Untungnya kereta sedang sepi. Hanya ada aku dan dua penumpang lain di gerbong ini dan mereka duduk cukup jauh dariku. "Kami melakukan hal ini bukan karena kami ingin menghukummu." Kata Mama memulai.Aku masih diam. Berdiri dan bersiap untuk keluar dari kereta saat kereta memelan dan sinar lampu stasiun yang terang benderang kini terlihat. Tangan kananku masih memegang ponsel yang tertempel di telinga kanannki, sementara tangan kiriku aman bersembunyi di saku mantelku."Rara, are you there?" Mama bertanya karena tak mendengar suaraku sama sekali."Ya, Mama." Aku menjawab lelah dan agak tersengal karena sekarang aku sedang berjalan menaiki tangga untuk keluar dari stasiun bawah tanah ini."Ada banyak alasan kenapa akhirnya kami menerima calonmu itu. Banyak sekali. Dan salah satunya adalah kami ingin ada yang menjagamu di sana."Aduh, klise seka
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments