Tring!Suara ponselku yang menerima pesan menjadi satu-satunya suara yang ada di antara aku dan Ali. Maksudku, benar-benar di antara kami. Meskipun saat ini kami sedang berada di dalam metro yang ramai, tapi sejak tadi aku dan Ali sama sekali tidak berbicara. Sama sekali.Dan ini aneh. Ali memang pendiam. Namun, hanya pada orang yang tidak dikenal atau orang yang menarik perhatiannya. Jaim, kalau kata orang Indonesia. Mencoba menarik perhatian dengan mencoba menjadi orang yang terlihat cool. Karena aku tahu, Ali tidak mungkin sedang berusaha menarik perhatianku, kediamannya ini membuatku bingung. Untungnya, saat masuk ke metro tadi, kami berdua masih mendapatkan tempat duduk. Karena ini weekend, jsdi metro hari ini tidak terlalu sedak. Hanya beberapa orang saja yang harus berdiri karena tidak kebagian tempat duduk. Aku merogoh saku jaketku dan mengeluarkan ponsel dari sana. Ada nomor asing yang menghubungiku dan mengirimkan gambar. Siapa?Unknown: /Hi, Ra. Ini nomorku. Disimpan ya.
Aku terbangun kala mendengar nyanyian burung di luar jendela kamarku. Musim semi sudah menampakkan ujungnya. Rona musim panas kini sudah mulai terlihat. Silau dan panas.Setelah menunaikan ibadah pagi tadi, aku kembali tertidur, karena aku tak punya kelas hingga nanti pukul sepuluh pagi. Aku menggunakan waktu luangku untuk mengisi kembali energiku, yang mana pada hal ini berarti adalah, tidur. Aku agak kelelahan setelah marathon mengerjakan proyek thesisku hingga tadi jam tiga subuh. Aku memang bekerja amat keras mengerjakannya agar aku bisa kembali ke negaraku tercinta, Indonesia. Tiga tahun adalah waktu yang amat cukup bagiku untuk menjelajah Paris, yang kata orang adalah kota yang paling romantis di duniaHanya saja, ironisnya, aku menjelajahinya sendirian. Tapi sebenarnya, memangnya apa sih, salahnya menjadi single?Aku membereskan tempat tidurku dan kemudian mengambil handuk untuk mandi. Harus cepat. Teman Prancisku bilang padaku untuk mandi hanya sekali di
Papa? Tidak biasanya Papa menelpon. Biasanya, Papa hanya akan menyuruh Mama yang menghubungiku, dan menagih kabarku setelahnya.Ada apa? Kenapa sekarang Papa menelpon?Aku bertanya - tanya saat berjalan menjauh untuk menjawab panggilan Papa."Halo, Pa?""Halo Rara? Kamu sehat di sana?" Suara Papa yang teduh dan dalam menyapa indera pendengaranku."Baik, Pa. Papa, Mama dan keluarga di rumah juga sehat kan?" Jawabku yang langsung disambung dengan pertanyaan lainnya."Baik - baik, kami semua di sini baik - baik saja."Ada keheningan menulikan yang menjadi jeda sebelum akhirnya Papa melanjutkan."Ada yang ingin Papa bicarakan sama Rara, sebenarnya." Okay, ini dia inti dari panggilan telpon Papa. "Sebentar lagi umur Rara dua puluh enam tahun."Hah? Lalu? Jadi Papa melakukan panggilan internasional untuk ini? Karena dua bulan lagi aku akan meninggalkan angka seperempat abad dan berumur dua puluh enam? Seriously? Lalu aku harus menjawab
Aku pulang kembali ke rumah Madame Fatima sekitar pukul delapan malam ini. Seperti biasanya. Aku biasa mengakhiri hariku kira - kira di antara jam segitu. Yang berbeda hanyalah, hari ini badanku terasa sejuta kali terasa lebih lemas, lebih berat dan lebih capek dari biasanya. Yes! Ini semua gara - gara berita pernikahanku. Aku tidak membicarakan tentang hal ini sedikit pun kepada Ai maupun Ali tadi di kampus. Jujur saja, aku bingung, aku harus memulai dari mana untuk memberi tahu mereka. Ini terlalu... berita ini terlalu besar! Dan terlalu tiba - tiba. "Madame?" Bisikku saat memasuki dapur, yang harus kulalui sebelum menemukan tangga untuk naik ke kamarku. Aku tidak menemukan Madame Fatima di bawah, tidak juga mendengar sahutannya atas panggilan pelanku, jai mungkin beliau sudah beristirahat di kamarnya. Sepertinya itu fenomena yang wajar untuk mereka yang sudah mulai senior, mereka cinderung beristirahat lebih cepat dan bangun lebih pagi dari kami yang lebih muda. Selain aku, ada
Aku tidak bisa tidur dengan nyenyak semalam. Kepalaku penuh dengan kemungkinan - kemungkinan. Dan aku harus bertemu dengan Madam Fatima pagi ini. Tidak boleh ditunda lagi atau aku besok malam, aku akan menjadi semakin parah. Dan mungkin lusa paginya aku akan berubah menjadi zombie.Well, tentu saja itu pemikiran ngawur. Zombi tidak terbentuk semudah itu hanya karena orang - orang mengalami gangguan tidur. Tapi penampakannnya memang mirip. Jadi hari itu aku tidak tidur lagi setelah subuh. Tepat jam enam pagi, aku turun menghampiri Madame Fatima yang sudah memulai rutinitas paginya."Bonjour.""Bonjour, Cherie. Tidurmu nyenyak?" Tanyanya.Sayangnya tidak, Madam. Tapi aku hanya mengangguk mengiyakan."Mau Teh?" Tawarnya.Aku mengangguk lagi mengiyakan. Wanita ini sungguh amat baik. Mungkin jika sosok ibu peri itu benar - benar ada, maka akan terlihat seperti Madam Fatima. Rutinitas paginya dimulai seperti ini. Membuat teh, kem
Tatapan mata Ai seperti jenderal perang yang siap menghadapi bahkan seribu pasukan pun, sendirian. Aku melirik Ali yang ada di belakangnya. Dia hanya mengedikkan bahu. Aku yakin, Kami yang dimaksud Ai tadi hanya mengacu pada dirinya. Bukan pada mereka berdua, karena Ali hanya mengangkat bahunya pasrah."Bisakah kita membicarakan hal ini besok? Aku amat lelah." Bujukku."Tidak! Kau harus...""Ai, jangan memaksa." Ali mengingatkan pelan"Tapi..." Gadis itu seperti cacing kepanasan sekarang. Dia tahu Ali benar di satu sisi, tapi di sisi Ai , rasa penasarannya butuh pelampiasan. Dan sekarang dia terbelah di antaranya."Aku yakin saat Kay siap, dia akan menceritakan padamu, oke, pada kita, sedetail mungkin. Tunggu saja, okay? Apa kau tak kasihan melihat wajahnya yang memelas itu? Give her a break. Let's call it a day. Ayo kita semua pulang" Aku memberikan tatapan penuh rasa terimakasih pada Ali. Sungguh. Hari ini, aku merasa amat beruntung karena di
Beberapa hari selanjutnya berlalu biasa saja bagi kami. Kadang, aku mendapati Ai yang masih saja menatapku dengan pandangan prihatin, tapi tak kuhiraukan. Aku tak mau terbelenggu pada pusaran mengasihani diri sendiri. Ini memang bukan seperti yang aku rencanakan, tapi, aku yakin, semua hal di dunia ini bisa di kompromikan, benar, kan? Lagi pula, aku masih menganggap ini semua adalah mimpi, dan setelah akhir bulan berlalu, aku akan tahu kalau Papa tidak setega itu padaku.Dan kalau ternyata benar - benar terjadi... hmm... ya sudahlah. Aku tak berbicara tentang cinta setelah menikah dan sebagainya. Orang tua jaman dulu bilang, cinta datang karena terbiasa, tapi... kalau tidak bagaimana? kalau cinta itu datang, tak masalah, tapi bagaimana kalau tidak? Jadi aku menganggap ini hanya sebagai sesuatu ujian yang sulit saja. Seperti caraku menerima Gee, yang walaupun aku tak terlalu suka, bukan berarti aku tidak mencoba menerimanaya. Yah, begitu saja lah. Dan lebih baik kufokuskan pik
"Rara." Suara Mama akhirnya terdengar lagi setelah jeda yabg cukup lama. Nafasku juga sudah berangsur lega. Untungnya kereta sedang sepi. Hanya ada aku dan dua penumpang lain di gerbong ini dan mereka duduk cukup jauh dariku. "Kami melakukan hal ini bukan karena kami ingin menghukummu." Kata Mama memulai.Aku masih diam. Berdiri dan bersiap untuk keluar dari kereta saat kereta memelan dan sinar lampu stasiun yang terang benderang kini terlihat. Tangan kananku masih memegang ponsel yang tertempel di telinga kanannki, sementara tangan kiriku aman bersembunyi di saku mantelku."Rara, are you there?" Mama bertanya karena tak mendengar suaraku sama sekali."Ya, Mama." Aku menjawab lelah dan agak tersengal karena sekarang aku sedang berjalan menaiki tangga untuk keluar dari stasiun bawah tanah ini."Ada banyak alasan kenapa akhirnya kami menerima calonmu itu. Banyak sekali. Dan salah satunya adalah kami ingin ada yang menjagamu di sana."Aduh, klise seka
Tring!Suara ponselku yang menerima pesan menjadi satu-satunya suara yang ada di antara aku dan Ali. Maksudku, benar-benar di antara kami. Meskipun saat ini kami sedang berada di dalam metro yang ramai, tapi sejak tadi aku dan Ali sama sekali tidak berbicara. Sama sekali.Dan ini aneh. Ali memang pendiam. Namun, hanya pada orang yang tidak dikenal atau orang yang menarik perhatiannya. Jaim, kalau kata orang Indonesia. Mencoba menarik perhatian dengan mencoba menjadi orang yang terlihat cool. Karena aku tahu, Ali tidak mungkin sedang berusaha menarik perhatianku, kediamannya ini membuatku bingung. Untungnya, saat masuk ke metro tadi, kami berdua masih mendapatkan tempat duduk. Karena ini weekend, jsdi metro hari ini tidak terlalu sedak. Hanya beberapa orang saja yang harus berdiri karena tidak kebagian tempat duduk. Aku merogoh saku jaketku dan mengeluarkan ponsel dari sana. Ada nomor asing yang menghubungiku dan mengirimkan gambar. Siapa?Unknown: /Hi, Ra. Ini nomorku. Disimpan ya.
Suara berat dan dalam yang mengucap salam padaku membungkam semua protesku. Membuatku secara otomatis menjawab salamnya dengan suara pelan dan lembut, "Waalaikumsalam."What … the … heck!Suaranya … Tuhan, sekarusnya suara dalam, berat dan seksi seperti itu, haram nggak sih, buat dimiliki cowok? Cowok mana pun? Suara itu tuh, bikin … bahkan aku nggak kepikiran lagi apa yang sebenarnya aku pikirin. Suara salam pria tadi masih terngiang di telingaku dengan jelas, kuputar lagi dan lagi karena menurutku suaranya candu sekali. Bahkan, aku lupa kalau suara itu milik seseorang yang sudah bertitle suamiku!"Salam kenal, Ra. Aku Alif … suamimu."Kesadaranku kembali pulih sejuta persen saat kata 'suami' disebut. Aku memang sudah pasrah menerima perjodohan ini, sudah pasrah menerima pria ini, siapa pun itu sebagai suamiku, tapi bukan berarti aku harus menyukainya, 'kan? Aku masih belum berencana menjadi istri yang berbakti begitu saja pada suami. Lihat nantilah, bagaimana perlakuan dia padaku se
Semalam, chatku dengan Mas Jo tak berlangsung lama. Aku segera mengakhirinya dengan alasan capek. Hal yang amat jarang kulakukan saat bertukar pesan dengan pria yang kutaksir itu.Namun, etah kenapa semalam rasanya berbeda. Aku bete saat Mas Jo malah dengan enteng mengucapkan selamat padaku dan mendoakan kebahagiaanku setelah menyandang status yang baru. Belum lagi fakta bahwa dia lebih tahu tentang kapan 'suamiku' akan datang menemuiku di sini. Semua itu membuat moodku jelek seketika.Ini hari Sabtu. Pada dasarnya, aku tidak ada jadwal kuliah apa pun hari ini. Namun, aku sedang tidak ingin berada di rumah karena mood ku terus tak terkendali. Rasanya aku sudah hampir membanting dan melempar apa pun yang ada di dalam jangkauanku. Ya, sejelek itu. Padahal, semalam kurasakan mood ku sudah baik-baik saja. Aku sudah sangat pasrah menerima nasibku yang menikah muda dengan pria antah berantah yang hingga kini masih asing bagiku.Jadi, daripada aku makin menggila, kuputuskan untuk ke kampus
Lucu sekali saat menyadari bahwa aku sama sekali tidak tahu apa pun tentang suamiku; namanya, wajahnya, apa pekerjaannya, kenapa dia menikah denganku, dan kapan dia akan ke sini menyusulku.Menyadari bahwa moodku bisa berubah jelek dan akan merusak suasana malam ini, Ali hanya mengangguk dan tidak bertanya lagi."Kabari saja dan aku akan membantumu.""Merci, Ali."Percakapan berlanjut lagi dengan hal-hal yang kami lalui sehari-hari. Tentang gadis yang sedang dikejar Ali saat ini dan juga tentang Ai yang masih menunggu pangerannya."Ehm, aku perlu ke toilet. Awas kalau kalian memulai dessert tanpa aku," ancamnya seketika berdiri dan beranjak ke toilet.Aku mengernyitkan alis heran. "Kenapa, dia? Kita ada salah bicara? Kenapa wajahnya begitu?"Ali mengedikkan bahunya sambil lalu, tangan kanannya menyuapkan suapan terakhir di piringnya ke mulut. "Biarkan saja. Sebentar lagi juga dia akan seperti biasa lagi. Sepertinya ayahnya menghubunginya lagi.""Ada masalah?" tanyaku cepat. Ai dan ay
"Lho? Halo? Rasyid? Halo? Yah …."Hanya saja, sinyal dan keadaan sepertinya belum memihakku. Sedetik setelah pria itu berbalik, aku masih belum terbiasa dan belum rela memanggil dia suamiku, entah sinyalku atau sinyal Rasyid menghilang, membuat panggilan video kami akhirnya terputus.Dengan wajah lesu, aku kembali ke mejaku. Sudah ada Ali dan Ai di sana. Ai sedang mengomel sambil membenarkan dasi dan kerah kemeja Ali. Melihat mereka, seperti melihat pasangan suami istri yang sudah hidup bersama lama sekali. "Sudah selesai? Apa kata mereka?" Ali bertanya dengan suara pasrah dan kepala yang tidak digerakkan. Hanya matanya saja yang melirik padaku."Well, apa lagi. Je suis marié. Akadnya udah sah," jawabku.Ai selesai membenarkan dasi dan kemeja Ali, keduanya kini kembali pada posisi duduk mereka berhadapan denganku. "Félicitations, Kay. Selamat atas pernikahanmu. Atau seharusnya kami memanggilmu Madame …."Aku mengangkat bahu, membuat keduanya mengernyit. "Aku tidak tahu siapa nama su
"Ai, ini ….""Ssh! Jangan berisik! Biarkan mereka melakukan pekerjaannya, okay? Terima beres saja." Ai menghentikan aksi protesku dengan lambaian tangannya. Setelah itu, dia berpaling pada Ali dan menariknya keluar. "Ayo, ikut aku. Ada sesuatu yang membutuhkan bantuanmu!"Keduanya lalu pergi meninggalkanku yang kebingungan hanya dengan pegawai salon yang masih menata rambutku setelah wajahku dirias tadi."Pasangan yang serasi!" Wanita yang menata rambutku mendesah penuh haru melihat Ali dan Ai.See? Bukan hanya aku saja yang berpikir kalau mereka berdua adalah pasangan serasi. Orang lain pun berpendapat sama! Ah, seandainya mereka menyadari hal itu."They won't like it if they heard you." Aku meringis."Oh, is he your boyfriend? Pardonne-moi, maafkan kelancanganku!" Wanita itu panik."Non, bukan!" Aku tertawa. "Aku juga berpikir sepertimu. Hanya saja mereka tidak suka jika ada yang berpikir kalau mereka adalah pasangan," terangku yang berangsur-angsur membuat wanita itu rileks.Aku ti
Suasana hatiku masih agak murung meskipun beberapa hari telah berlalu. Alasan terbesar aku tak bersemangat adalah karena pernikahanku.Seolah selama ini keluarga yang di rumah di Indonesia sana benar- benar menganggapku bahagia dengan rencana ini, Mama dan Rasyid terus saja memberikanku update teranyar tentang persiapan pernikahanku. Tempat akad yang sudah didekor cantik dengan warna yang dominan putih, dan bunga-bunga pastel, juga tenda serta kursi untuk para tamu undangan. Kamarku yang akan menjadi kamar pengantin semalam, meskipun tak akan ditempati, yang sudah dihias juga dengan bunga-bunga dan kain satin cantik. Juga pigura berisi foto -foto dan lilin yang ditata apik. Semua hal-hal lazim yang dilakukan menjelang pernikahan. Namun, bagiku di sini, semua kecantikan itu malah seperti taburan bunga menuju tiang gantungan. Lucunya, bahkan sampai sekarang, aku tak tahu bagaimana tampang rupa calon suamiku nanti. Sesemangatnya Mama dan Rasyid meng update pesta pernikahan yang tak akan
Pagi ini aku datang ke kampus selain untuk bertemu dosen untuk menyerahkan hasil revisi thesisku, aku juga punya misi yang amat penting. Menyidang Ai dan juga Ali. Aku akan menyai mereka tentang kebenaran yang dikatakan Mama padaku kemarin lusa.Aku sudah menahannya selama dua hari. Mencoba mengosongkan pikiranku dari segala hal, pernikahanku yang semakin dekat, fakta bahwa Ai dan Ali memata - mataiku dan melaporkanku pada Mama, semuanya. Aku hanya fokus pada Thesisku. Aku benar - benar ingin ini semua segera berakhir. Kuliah di sini, tentu saja menyenangkan. Aku banyak belajar hal baru dan mendapatkan banyak hal menyenangkan juga untuk dikenang. Tapi aku juga tak mau terus menerus di sini hanya untuk kuliah.Aku berderap di koridor kampus saat sekelebat kutemukan bayangan Ai dengan rambut terurai blouse hijau tosca dan jeans tak terlalu ketat sedang mengobrol dengan... sepertinya teman - teman Turkinya. Aku segera berlari kecil menghampiri."Hai, I'm sorry. Can
"Rara." Suara Mama akhirnya terdengar lagi setelah jeda yabg cukup lama. Nafasku juga sudah berangsur lega. Untungnya kereta sedang sepi. Hanya ada aku dan dua penumpang lain di gerbong ini dan mereka duduk cukup jauh dariku. "Kami melakukan hal ini bukan karena kami ingin menghukummu." Kata Mama memulai.Aku masih diam. Berdiri dan bersiap untuk keluar dari kereta saat kereta memelan dan sinar lampu stasiun yang terang benderang kini terlihat. Tangan kananku masih memegang ponsel yang tertempel di telinga kanannki, sementara tangan kiriku aman bersembunyi di saku mantelku."Rara, are you there?" Mama bertanya karena tak mendengar suaraku sama sekali."Ya, Mama." Aku menjawab lelah dan agak tersengal karena sekarang aku sedang berjalan menaiki tangga untuk keluar dari stasiun bawah tanah ini."Ada banyak alasan kenapa akhirnya kami menerima calonmu itu. Banyak sekali. Dan salah satunya adalah kami ingin ada yang menjagamu di sana."Aduh, klise seka