Pagi ini aku datang ke kampus selain untuk bertemu dosen untuk menyerahkan hasil revisi thesisku, aku juga punya misi yang amat penting. Menyidang Ai dan juga Ali. Aku akan menyai mereka tentang kebenaran yang dikatakan Mama padaku kemarin lusa.
Aku sudah menahannya selama dua hari. Mencoba mengosongkan pikiranku dari segala hal, pernikahanku yang semakin dekat, fakta bahwa Ai dan Ali memata - mataiku dan melaporkanku pada Mama, semuanya. Aku hanya fokus pada Thesisku. Aku benar - benar ingin ini semua segera berakhir. Kuliah di sini, tentu saja menyenangkan. Aku banyak belajar hal baru dan mendapatkan banyak hal menyenangkan juga untuk dikenang. Tapi aku juga tak mau terus menerus di sini hanya untuk kuliah.
Aku berderap di koridor kampus saat sekelebat kutemukan bayangan Ai dengan rambut terurai blouse hijau tosca dan jeans tak terlalu ketat sedang mengobrol dengan... sepertinya teman - teman Turkinya. Aku segera berlari kecil menghampiri.
"Hai, I'm sorry. Can i borrow her for a while? Hahaha Merci."
"Kay?" Hah! Aku sudah tau kedokmu wahai nona muda, tak usah lagi kau berlagak kaget saat melihatku! Aku terus menyeretnya ke arah taman biasanya kita mengobrol. Agak jauh di depan, tapi tak apa. Aku tahu dia tak memiliki kelas lain selain menemui dosen pembinginh untuk keperluan tugas akhir.
"What?" Tanyanya saat aku tak bertanya apa - apa dan hanya bersidekap dengan mata memicing di depannya.
"Spill it." Kataku datar.
Dia menelengkan kepalanya. Mungkin dia benar bingung karena aku begini tiba - tiba tanpa pembukaan yang jelas.
"You spying me!" Semburku akhirnya dengan nada kesal yang tak dibuat - buat. Dia memata - mataiku untuk Mama dan bisa - bisanya dia datang padaku dengan wajah tak terima dan terkhianati saat aku bilang padanya aku akan menikah?!
Hah! Kemampuan aktingnya yang sungguh luar biasa!
Ai berkedip beberapa kali sebelum matanya menjadi sayu. Aku mundur saat dia mencoba mendekat padaku. "Kay..."
"Don't! You acted so good sampai - sampai aku merasa benar - benar bersalah saat tak menceritakan apapun padamu. Bahkan tentang rencana pernikahanku yang pasti kau sudah amat tau detailnya!" Air mataku tak tarasa mengalir di kedua pipiku. Rasanya sakit sekali.
Mungkin jika Ai bukan orang terdekatku, aku tak akan merasa begini. Tapi dia sudah kuanggap sebagai saudariku sendiri. Kepadanyalah aku bercerita tentang segala hal yang tak mampu kuceritakan pada Mama dan Rasyid. Dan ternyata dia memata - mataiku! Dia menceritakan segalanya yang dia dengar dan lihat tentangku pada Mama.
Bukan aku tak ingin Mama tahu tentang apapun yang aku lakukan di sini. Hanya saja, aku juga seorang gadis yang beranjak dewasa yang sedang mencari jati diri. tentu saja ada hal- hal yang aku lakukan hanya karena rasa spontanitas dan karena rasa ingin tahuku lebih besar daripada rasa tanggung jawabku. Seperti saat aku setuju untuk van camping ke perbatasan Mediteranea yang mana itu hanya terdiri dari satu camp saja dan tentu saja antara laki - laki dan perempuan tak ada tempat khusus, semua campur adukmenjadi satu.
Bersyukur tak ada yang terjadi saat itu. Tapi aku menyadari bahwa itu sesuatu yang kurang bertanggung jawab setelah lewat beberapa saat. Semua teman - temanku mabuk. Bahkan Ali pun ikut mencicip sedikit dari apa yang mereka bawa sebagai 'bekal'. Mereka menawari dan membujukku, berkata bahwa tak apa untuk mencoba sesekali. Tapi untungnya, aku masih bisa menolak.
Jika Mama mengetahui hal itu, aku tak bisa membayangkan sehancur apa hatinya...
"Apa yang kalian dapatkan sebagai gantinya?"
"Kay, bukan begitu...."
"Jawab saja! Aku sudah tau semuanya! Jangan mengelak lagi!"
Ai berjengit kaget mendengarku berteriak kencang begitu. Ini adalah pertama kalinya. Bahkan saat berdebat dengan orang asing yang meragukan identitas kami, aku selalu menjawabinya dengan tenang dan dengan alasan yang logis.
"Hei, Less filles, ca va? All good, girls?" Ali yang baru datang bergabung dengan kami. Dia memperhatikan ekspresiku dan Ai berganti - ganti. Lalu bertanya lagi. "Kalian bertengkar? Kenapa?"
Aku dan Ai nyaris tak pernah bertengkar. Saat aku emosi, Ai menenangkanku. Begitupun sebaliknya. Saat aku diganggu, Ai melindungiku. Sebaliknya, aku pun akan melindunginya saat dia diganggu. Kami bahkan tak pernah berselisih pendapat. Jadi pemandangan ini memang benar - benar baru.
Ali sedikit tersentak saat aku berpaling padanya dengan mata masih menyala marah. " Kau juga. Apa hal ini akan kalian adukan juga pada Mamaku?! Bahwa anaknya hari ini marah - marah tanpa alasan yang jelas di kampus pada dua sahabat baiknya?!"
"Ap..."
"Ali, she knew." Ai berbisik sambil menarik lengan Ali. Membuat langkah Ali yang hendak menghampiriku langsung terhenti. "Kay, would you please listen to us for a second?"
"You betrayed me." Aku tak tahu apa yang kulakukan saat ini. Yang kurasakan hanya kecewa dan marah karena merasa telah dikhianati oleh orang - orang paling aku percaya selama ini di sini.
Aku berjongkok, memeluk kedua lututku dan tersedu keras. Mungkin orang lain mengira aku terlalu mendramatisir keadaan. Tapi untukku, rasanya seakan tercampur aduk tak karuan. Dalam hitungan kurang dari seratus jam lagi, aku akan menikah dengan orang yang tak kutahu siapa, dengan alasan orang tuaku ingin agar ada yang menjagaku di sini, dan mereka tahu di sini aku tak baik - baik saja dari kedua sahabatku sendiri yang paling aku percayai di seantero Perancis.
"Kay, ini bukan seperti yang kamu bayangkan." Aku merasakan Ai mendekat dan memeluk bahuku. Mengelusnya pelan untuk menenangkanku. "Ya kami kadang menerima telepon dari Mamamu yang menanyakan tentang keadaanmu di sini, tapi kami tak lantas menceritakan semua yang terjadi padamu. Kami akan menyalahgunakan kepercayanmu jika seperti itu. Dan kami sama sekali tak tahu bahwa akhirnya mereka akan begini. Kami tak tahu apa pun tentang perjodohan dan pernikahanmu. Aku masih Ai mu. Percayalah."
Suasana hatiku masih agak murung meskipun beberapa hari telah berlalu. Alasan terbesar aku tak bersemangat adalah karena pernikahanku.Seolah selama ini keluarga yang di rumah di Indonesia sana benar- benar menganggapku bahagia dengan rencana ini, Mama dan Rasyid terus saja memberikanku update teranyar tentang persiapan pernikahanku. Tempat akad yang sudah didekor cantik dengan warna yang dominan putih, dan bunga-bunga pastel, juga tenda serta kursi untuk para tamu undangan. Kamarku yang akan menjadi kamar pengantin semalam, meskipun tak akan ditempati, yang sudah dihias juga dengan bunga-bunga dan kain satin cantik. Juga pigura berisi foto -foto dan lilin yang ditata apik. Semua hal-hal lazim yang dilakukan menjelang pernikahan. Namun, bagiku di sini, semua kecantikan itu malah seperti taburan bunga menuju tiang gantungan. Lucunya, bahkan sampai sekarang, aku tak tahu bagaimana tampang rupa calon suamiku nanti. Sesemangatnya Mama dan Rasyid meng update pesta pernikahan yang tak akan
"Ai, ini ….""Ssh! Jangan berisik! Biarkan mereka melakukan pekerjaannya, okay? Terima beres saja." Ai menghentikan aksi protesku dengan lambaian tangannya. Setelah itu, dia berpaling pada Ali dan menariknya keluar. "Ayo, ikut aku. Ada sesuatu yang membutuhkan bantuanmu!"Keduanya lalu pergi meninggalkanku yang kebingungan hanya dengan pegawai salon yang masih menata rambutku setelah wajahku dirias tadi."Pasangan yang serasi!" Wanita yang menata rambutku mendesah penuh haru melihat Ali dan Ai.See? Bukan hanya aku saja yang berpikir kalau mereka berdua adalah pasangan serasi. Orang lain pun berpendapat sama! Ah, seandainya mereka menyadari hal itu."They won't like it if they heard you." Aku meringis."Oh, is he your boyfriend? Pardonne-moi, maafkan kelancanganku!" Wanita itu panik."Non, bukan!" Aku tertawa. "Aku juga berpikir sepertimu. Hanya saja mereka tidak suka jika ada yang berpikir kalau mereka adalah pasangan," terangku yang berangsur-angsur membuat wanita itu rileks.Aku ti
"Lho? Halo? Rasyid? Halo? Yah …."Hanya saja, sinyal dan keadaan sepertinya belum memihakku. Sedetik setelah pria itu berbalik, aku masih belum terbiasa dan belum rela memanggil dia suamiku, entah sinyalku atau sinyal Rasyid menghilang, membuat panggilan video kami akhirnya terputus.Dengan wajah lesu, aku kembali ke mejaku. Sudah ada Ali dan Ai di sana. Ai sedang mengomel sambil membenarkan dasi dan kerah kemeja Ali. Melihat mereka, seperti melihat pasangan suami istri yang sudah hidup bersama lama sekali. "Sudah selesai? Apa kata mereka?" Ali bertanya dengan suara pasrah dan kepala yang tidak digerakkan. Hanya matanya saja yang melirik padaku."Well, apa lagi. Je suis marié. Akadnya udah sah," jawabku.Ai selesai membenarkan dasi dan kemeja Ali, keduanya kini kembali pada posisi duduk mereka berhadapan denganku. "Félicitations, Kay. Selamat atas pernikahanmu. Atau seharusnya kami memanggilmu Madame …."Aku mengangkat bahu, membuat keduanya mengernyit. "Aku tidak tahu siapa nama su
Lucu sekali saat menyadari bahwa aku sama sekali tidak tahu apa pun tentang suamiku; namanya, wajahnya, apa pekerjaannya, kenapa dia menikah denganku, dan kapan dia akan ke sini menyusulku.Menyadari bahwa moodku bisa berubah jelek dan akan merusak suasana malam ini, Ali hanya mengangguk dan tidak bertanya lagi."Kabari saja dan aku akan membantumu.""Merci, Ali."Percakapan berlanjut lagi dengan hal-hal yang kami lalui sehari-hari. Tentang gadis yang sedang dikejar Ali saat ini dan juga tentang Ai yang masih menunggu pangerannya."Ehm, aku perlu ke toilet. Awas kalau kalian memulai dessert tanpa aku," ancamnya seketika berdiri dan beranjak ke toilet.Aku mengernyitkan alis heran. "Kenapa, dia? Kita ada salah bicara? Kenapa wajahnya begitu?"Ali mengedikkan bahunya sambil lalu, tangan kanannya menyuapkan suapan terakhir di piringnya ke mulut. "Biarkan saja. Sebentar lagi juga dia akan seperti biasa lagi. Sepertinya ayahnya menghubunginya lagi.""Ada masalah?" tanyaku cepat. Ai dan ay
Semalam, chatku dengan Mas Jo tak berlangsung lama. Aku segera mengakhirinya dengan alasan capek. Hal yang amat jarang kulakukan saat bertukar pesan dengan pria yang kutaksir itu.Namun, etah kenapa semalam rasanya berbeda. Aku bete saat Mas Jo malah dengan enteng mengucapkan selamat padaku dan mendoakan kebahagiaanku setelah menyandang status yang baru. Belum lagi fakta bahwa dia lebih tahu tentang kapan 'suamiku' akan datang menemuiku di sini. Semua itu membuat moodku jelek seketika.Ini hari Sabtu. Pada dasarnya, aku tidak ada jadwal kuliah apa pun hari ini. Namun, aku sedang tidak ingin berada di rumah karena mood ku terus tak terkendali. Rasanya aku sudah hampir membanting dan melempar apa pun yang ada di dalam jangkauanku. Ya, sejelek itu. Padahal, semalam kurasakan mood ku sudah baik-baik saja. Aku sudah sangat pasrah menerima nasibku yang menikah muda dengan pria antah berantah yang hingga kini masih asing bagiku.Jadi, daripada aku makin menggila, kuputuskan untuk ke kampus
Suara berat dan dalam yang mengucap salam padaku membungkam semua protesku. Membuatku secara otomatis menjawab salamnya dengan suara pelan dan lembut, "Waalaikumsalam."What … the … heck!Suaranya … Tuhan, sekarusnya suara dalam, berat dan seksi seperti itu, haram nggak sih, buat dimiliki cowok? Cowok mana pun? Suara itu tuh, bikin … bahkan aku nggak kepikiran lagi apa yang sebenarnya aku pikirin. Suara salam pria tadi masih terngiang di telingaku dengan jelas, kuputar lagi dan lagi karena menurutku suaranya candu sekali. Bahkan, aku lupa kalau suara itu milik seseorang yang sudah bertitle suamiku!"Salam kenal, Ra. Aku Alif … suamimu."Kesadaranku kembali pulih sejuta persen saat kata 'suami' disebut. Aku memang sudah pasrah menerima perjodohan ini, sudah pasrah menerima pria ini, siapa pun itu sebagai suamiku, tapi bukan berarti aku harus menyukainya, 'kan? Aku masih belum berencana menjadi istri yang berbakti begitu saja pada suami. Lihat nantilah, bagaimana perlakuan dia padaku se
Tring!Suara ponselku yang menerima pesan menjadi satu-satunya suara yang ada di antara aku dan Ali. Maksudku, benar-benar di antara kami. Meskipun saat ini kami sedang berada di dalam metro yang ramai, tapi sejak tadi aku dan Ali sama sekali tidak berbicara. Sama sekali.Dan ini aneh. Ali memang pendiam. Namun, hanya pada orang yang tidak dikenal atau orang yang menarik perhatiannya. Jaim, kalau kata orang Indonesia. Mencoba menarik perhatian dengan mencoba menjadi orang yang terlihat cool. Karena aku tahu, Ali tidak mungkin sedang berusaha menarik perhatianku, kediamannya ini membuatku bingung. Untungnya, saat masuk ke metro tadi, kami berdua masih mendapatkan tempat duduk. Karena ini weekend, jsdi metro hari ini tidak terlalu sedak. Hanya beberapa orang saja yang harus berdiri karena tidak kebagian tempat duduk. Aku merogoh saku jaketku dan mengeluarkan ponsel dari sana. Ada nomor asing yang menghubungiku dan mengirimkan gambar. Siapa?Unknown: /Hi, Ra. Ini nomorku. Disimpan ya.
Aku terbangun kala mendengar nyanyian burung di luar jendela kamarku. Musim semi sudah menampakkan ujungnya. Rona musim panas kini sudah mulai terlihat. Silau dan panas.Setelah menunaikan ibadah pagi tadi, aku kembali tertidur, karena aku tak punya kelas hingga nanti pukul sepuluh pagi. Aku menggunakan waktu luangku untuk mengisi kembali energiku, yang mana pada hal ini berarti adalah, tidur. Aku agak kelelahan setelah marathon mengerjakan proyek thesisku hingga tadi jam tiga subuh. Aku memang bekerja amat keras mengerjakannya agar aku bisa kembali ke negaraku tercinta, Indonesia. Tiga tahun adalah waktu yang amat cukup bagiku untuk menjelajah Paris, yang kata orang adalah kota yang paling romantis di duniaHanya saja, ironisnya, aku menjelajahinya sendirian. Tapi sebenarnya, memangnya apa sih, salahnya menjadi single?Aku membereskan tempat tidurku dan kemudian mengambil handuk untuk mandi. Harus cepat. Teman Prancisku bilang padaku untuk mandi hanya sekali di
Tring!Suara ponselku yang menerima pesan menjadi satu-satunya suara yang ada di antara aku dan Ali. Maksudku, benar-benar di antara kami. Meskipun saat ini kami sedang berada di dalam metro yang ramai, tapi sejak tadi aku dan Ali sama sekali tidak berbicara. Sama sekali.Dan ini aneh. Ali memang pendiam. Namun, hanya pada orang yang tidak dikenal atau orang yang menarik perhatiannya. Jaim, kalau kata orang Indonesia. Mencoba menarik perhatian dengan mencoba menjadi orang yang terlihat cool. Karena aku tahu, Ali tidak mungkin sedang berusaha menarik perhatianku, kediamannya ini membuatku bingung. Untungnya, saat masuk ke metro tadi, kami berdua masih mendapatkan tempat duduk. Karena ini weekend, jsdi metro hari ini tidak terlalu sedak. Hanya beberapa orang saja yang harus berdiri karena tidak kebagian tempat duduk. Aku merogoh saku jaketku dan mengeluarkan ponsel dari sana. Ada nomor asing yang menghubungiku dan mengirimkan gambar. Siapa?Unknown: /Hi, Ra. Ini nomorku. Disimpan ya.
Suara berat dan dalam yang mengucap salam padaku membungkam semua protesku. Membuatku secara otomatis menjawab salamnya dengan suara pelan dan lembut, "Waalaikumsalam."What … the … heck!Suaranya … Tuhan, sekarusnya suara dalam, berat dan seksi seperti itu, haram nggak sih, buat dimiliki cowok? Cowok mana pun? Suara itu tuh, bikin … bahkan aku nggak kepikiran lagi apa yang sebenarnya aku pikirin. Suara salam pria tadi masih terngiang di telingaku dengan jelas, kuputar lagi dan lagi karena menurutku suaranya candu sekali. Bahkan, aku lupa kalau suara itu milik seseorang yang sudah bertitle suamiku!"Salam kenal, Ra. Aku Alif … suamimu."Kesadaranku kembali pulih sejuta persen saat kata 'suami' disebut. Aku memang sudah pasrah menerima perjodohan ini, sudah pasrah menerima pria ini, siapa pun itu sebagai suamiku, tapi bukan berarti aku harus menyukainya, 'kan? Aku masih belum berencana menjadi istri yang berbakti begitu saja pada suami. Lihat nantilah, bagaimana perlakuan dia padaku se
Semalam, chatku dengan Mas Jo tak berlangsung lama. Aku segera mengakhirinya dengan alasan capek. Hal yang amat jarang kulakukan saat bertukar pesan dengan pria yang kutaksir itu.Namun, etah kenapa semalam rasanya berbeda. Aku bete saat Mas Jo malah dengan enteng mengucapkan selamat padaku dan mendoakan kebahagiaanku setelah menyandang status yang baru. Belum lagi fakta bahwa dia lebih tahu tentang kapan 'suamiku' akan datang menemuiku di sini. Semua itu membuat moodku jelek seketika.Ini hari Sabtu. Pada dasarnya, aku tidak ada jadwal kuliah apa pun hari ini. Namun, aku sedang tidak ingin berada di rumah karena mood ku terus tak terkendali. Rasanya aku sudah hampir membanting dan melempar apa pun yang ada di dalam jangkauanku. Ya, sejelek itu. Padahal, semalam kurasakan mood ku sudah baik-baik saja. Aku sudah sangat pasrah menerima nasibku yang menikah muda dengan pria antah berantah yang hingga kini masih asing bagiku.Jadi, daripada aku makin menggila, kuputuskan untuk ke kampus
Lucu sekali saat menyadari bahwa aku sama sekali tidak tahu apa pun tentang suamiku; namanya, wajahnya, apa pekerjaannya, kenapa dia menikah denganku, dan kapan dia akan ke sini menyusulku.Menyadari bahwa moodku bisa berubah jelek dan akan merusak suasana malam ini, Ali hanya mengangguk dan tidak bertanya lagi."Kabari saja dan aku akan membantumu.""Merci, Ali."Percakapan berlanjut lagi dengan hal-hal yang kami lalui sehari-hari. Tentang gadis yang sedang dikejar Ali saat ini dan juga tentang Ai yang masih menunggu pangerannya."Ehm, aku perlu ke toilet. Awas kalau kalian memulai dessert tanpa aku," ancamnya seketika berdiri dan beranjak ke toilet.Aku mengernyitkan alis heran. "Kenapa, dia? Kita ada salah bicara? Kenapa wajahnya begitu?"Ali mengedikkan bahunya sambil lalu, tangan kanannya menyuapkan suapan terakhir di piringnya ke mulut. "Biarkan saja. Sebentar lagi juga dia akan seperti biasa lagi. Sepertinya ayahnya menghubunginya lagi.""Ada masalah?" tanyaku cepat. Ai dan ay
"Lho? Halo? Rasyid? Halo? Yah …."Hanya saja, sinyal dan keadaan sepertinya belum memihakku. Sedetik setelah pria itu berbalik, aku masih belum terbiasa dan belum rela memanggil dia suamiku, entah sinyalku atau sinyal Rasyid menghilang, membuat panggilan video kami akhirnya terputus.Dengan wajah lesu, aku kembali ke mejaku. Sudah ada Ali dan Ai di sana. Ai sedang mengomel sambil membenarkan dasi dan kerah kemeja Ali. Melihat mereka, seperti melihat pasangan suami istri yang sudah hidup bersama lama sekali. "Sudah selesai? Apa kata mereka?" Ali bertanya dengan suara pasrah dan kepala yang tidak digerakkan. Hanya matanya saja yang melirik padaku."Well, apa lagi. Je suis marié. Akadnya udah sah," jawabku.Ai selesai membenarkan dasi dan kemeja Ali, keduanya kini kembali pada posisi duduk mereka berhadapan denganku. "Félicitations, Kay. Selamat atas pernikahanmu. Atau seharusnya kami memanggilmu Madame …."Aku mengangkat bahu, membuat keduanya mengernyit. "Aku tidak tahu siapa nama su
"Ai, ini ….""Ssh! Jangan berisik! Biarkan mereka melakukan pekerjaannya, okay? Terima beres saja." Ai menghentikan aksi protesku dengan lambaian tangannya. Setelah itu, dia berpaling pada Ali dan menariknya keluar. "Ayo, ikut aku. Ada sesuatu yang membutuhkan bantuanmu!"Keduanya lalu pergi meninggalkanku yang kebingungan hanya dengan pegawai salon yang masih menata rambutku setelah wajahku dirias tadi."Pasangan yang serasi!" Wanita yang menata rambutku mendesah penuh haru melihat Ali dan Ai.See? Bukan hanya aku saja yang berpikir kalau mereka berdua adalah pasangan serasi. Orang lain pun berpendapat sama! Ah, seandainya mereka menyadari hal itu."They won't like it if they heard you." Aku meringis."Oh, is he your boyfriend? Pardonne-moi, maafkan kelancanganku!" Wanita itu panik."Non, bukan!" Aku tertawa. "Aku juga berpikir sepertimu. Hanya saja mereka tidak suka jika ada yang berpikir kalau mereka adalah pasangan," terangku yang berangsur-angsur membuat wanita itu rileks.Aku ti
Suasana hatiku masih agak murung meskipun beberapa hari telah berlalu. Alasan terbesar aku tak bersemangat adalah karena pernikahanku.Seolah selama ini keluarga yang di rumah di Indonesia sana benar- benar menganggapku bahagia dengan rencana ini, Mama dan Rasyid terus saja memberikanku update teranyar tentang persiapan pernikahanku. Tempat akad yang sudah didekor cantik dengan warna yang dominan putih, dan bunga-bunga pastel, juga tenda serta kursi untuk para tamu undangan. Kamarku yang akan menjadi kamar pengantin semalam, meskipun tak akan ditempati, yang sudah dihias juga dengan bunga-bunga dan kain satin cantik. Juga pigura berisi foto -foto dan lilin yang ditata apik. Semua hal-hal lazim yang dilakukan menjelang pernikahan. Namun, bagiku di sini, semua kecantikan itu malah seperti taburan bunga menuju tiang gantungan. Lucunya, bahkan sampai sekarang, aku tak tahu bagaimana tampang rupa calon suamiku nanti. Sesemangatnya Mama dan Rasyid meng update pesta pernikahan yang tak akan
Pagi ini aku datang ke kampus selain untuk bertemu dosen untuk menyerahkan hasil revisi thesisku, aku juga punya misi yang amat penting. Menyidang Ai dan juga Ali. Aku akan menyai mereka tentang kebenaran yang dikatakan Mama padaku kemarin lusa.Aku sudah menahannya selama dua hari. Mencoba mengosongkan pikiranku dari segala hal, pernikahanku yang semakin dekat, fakta bahwa Ai dan Ali memata - mataiku dan melaporkanku pada Mama, semuanya. Aku hanya fokus pada Thesisku. Aku benar - benar ingin ini semua segera berakhir. Kuliah di sini, tentu saja menyenangkan. Aku banyak belajar hal baru dan mendapatkan banyak hal menyenangkan juga untuk dikenang. Tapi aku juga tak mau terus menerus di sini hanya untuk kuliah.Aku berderap di koridor kampus saat sekelebat kutemukan bayangan Ai dengan rambut terurai blouse hijau tosca dan jeans tak terlalu ketat sedang mengobrol dengan... sepertinya teman - teman Turkinya. Aku segera berlari kecil menghampiri."Hai, I'm sorry. Can
"Rara." Suara Mama akhirnya terdengar lagi setelah jeda yabg cukup lama. Nafasku juga sudah berangsur lega. Untungnya kereta sedang sepi. Hanya ada aku dan dua penumpang lain di gerbong ini dan mereka duduk cukup jauh dariku. "Kami melakukan hal ini bukan karena kami ingin menghukummu." Kata Mama memulai.Aku masih diam. Berdiri dan bersiap untuk keluar dari kereta saat kereta memelan dan sinar lampu stasiun yang terang benderang kini terlihat. Tangan kananku masih memegang ponsel yang tertempel di telinga kanannki, sementara tangan kiriku aman bersembunyi di saku mantelku."Rara, are you there?" Mama bertanya karena tak mendengar suaraku sama sekali."Ya, Mama." Aku menjawab lelah dan agak tersengal karena sekarang aku sedang berjalan menaiki tangga untuk keluar dari stasiun bawah tanah ini."Ada banyak alasan kenapa akhirnya kami menerima calonmu itu. Banyak sekali. Dan salah satunya adalah kami ingin ada yang menjagamu di sana."Aduh, klise seka