Aku tidak bisa tidur dengan nyenyak semalam. Kepalaku penuh dengan kemungkinan - kemungkinan. Dan aku harus bertemu dengan Madam Fatima pagi ini. Tidak boleh ditunda lagi atau aku besok malam, aku akan menjadi semakin parah. Dan mungkin lusa paginya aku akan berubah menjadi zombie.
Well, tentu saja itu pemikiran ngawur. Zombi tidak terbentuk semudah itu hanya karena orang - orang mengalami gangguan tidur. Tapi penampakannnya memang mirip. Jadi hari itu aku tidak tidur lagi setelah subuh. Tepat jam enam pagi, aku turun menghampiri Madame Fatima yang sudah memulai rutinitas paginya.
"Bonjour."
"Bonjour, Cherie. Tidurmu nyenyak?" Tanyanya.
Sayangnya tidak, Madam. Tapi aku hanya mengangguk mengiyakan.
"Mau Teh?" Tawarnya.
Aku mengangguk lagi mengiyakan. Wanita ini sungguh amat baik. Mungkin jika sosok ibu peri itu benar - benar ada, maka akan terlihat seperti Madam Fatima. Rutinitas paginya dimulai seperti ini. Membuat teh, kemudian membuat adonan roti yang biasa dia siapkan untukku dan Gee. Untuk makan siang dan makan malam, kami boleh menggunakan dapurnya, dan untuk sarapan, beliau dengan sukarela membagi kami roti. Baru setiap harinya.
"Madam, bolehkan aku bertanya?" Aku memulai saat dia memberikan cangkir teh bagianku.
"Biensur, Cherie." Dia mempersilakan.
"Bagaimana menurut anda tentang pernikahan?"
Madam Fatima tidak langsung menjawab. Dia mengambil waktunya untuk menyesap tehnya dan membenarkan duduknya sebelum menghela nafas dalam dan menoleh padaku sambil tersenyum.
"Aku punya dua pernikahan. Yang pertama amat buruk. Buruk sekali. Dan yang kedua, Amat menyenangkan. Sampai sekarang, saat dia sudah tak bersamaku lagi, kebahagiaan yang dia tinggalkan untukku masih saja dapat kurasakan. Kau ingin mendengar yang mana?"
Em... "Yang mana saja? Yang anda tidak keberatan menceritakannya kepadaku."
"Baiklah, aku akan menceritakan keduanya." Dia tersenyum lembut padaku. "Aku pertama kali menikah saat umurku masih tujuh belas tahun." Wah! Muda sekali! Rasanya seperti aku kembali ke jaman Siti Nurbaya! Aku bahkan lupa kalau Madame Fatima pastinya sudah tak muda lagi. "Dia adalah teman bermainku. Awalnya Ayahku menjodohkanku dengan orang lain, tapi aku menolaknya. Aku sudah terlanjur tergila - gila pada pemuda ini. Pemuda nakal, ceria, namun dimataku dia bersinat lebih terang dari bintang kejora." Wah... ada yang bucin.
Tapi aku diam saja. Tidak memberikan komentar apapun, hanya tersenyum, menyemangatinya untuk melanjutkan.
"Tapi pernikahan yang kami kira dilandasi dengan cinta itu, tidak berlangsung lama dan bahagia. Awalnya tentu saja, karena masih baru menikah. Tapi lambat laun, ego mulai menguasai kami dan tak ada yang ingin mengalah. Saling menyalahkan, hingga rasanya rumah bukan lagi tempat berlindung, tapi berubah menjadi medan perang yang mengerikan."
Kulihat matanya berkaca - kaca penuh kesedihan mengingatnya. Aku jadi merasa tak enak sendiri. Aku sudah akan menghentikannya saat dia kembali melanjutkan, membuatku kembali terdiam dan menyimak.
"Sampai akhirnya kami berdua merasa tak sanggup lagi melanjutkan pernikahan itu. Dan akhirnya kami pun berpisah. Rupanya, kami sama - sama belum siap dan belum dewasa untuk menjalani pernikahan impian kami. Dunianya masih ingin bermain, sedangkan aku ingin menjadi pusat dunianya. Begitulah, Cherie, bagaimana pernikahan pertamaku berakhir."
"Maaf Madam, Aku tak bermaksud membuat anda sedih."
Dia menggeleng. "Tidak. Tidak sama sekali. Bagaimanapun, aku punya banyak sekali pelajaran dari sana. Jadi aku tak seharusnya merasa bersedih. Kesalahan ada untuk dijadikan pelajaran, bukan untuk terus - terusan disesali." Katanya bijak. "Aku melanjutkan pendidikanku seletah berpisah. Dan akhirnya setelah tiga tahun, menjelang akhir pendidikanku, aku menikah kembali. Dengan orang yang dulu dijodohkan oleh Ayahku."Waw. "Dia masih menunggu anda?!"
"Tidak tepat begitu. Hanya saja, dia belum menikah sejak lamarannya kutolak terakhir kali. Dia jauh lebih dewasa dariku. Dia banyak mengalah. memanjakan tapi juga membimbing. Dengannya, aku merasa menjadi wanita seutuhnya."
"Apakah anda mengenalnya sebelumnya?"
"Tidak. Bahkan kami pertama kali bertemu setelah janji pernikahan terucap."
Aku ternganga. "Apa... anda tidak takut? Bagaimana kalau...?"
"Tentu saja. tentu saja. Itu manusiawi. Tapi aku berusaha yakin. Aku sudah pernah mengalami pernikahan yang buruk. Hal buruk apalagi yang tak bisa kuhadapi? Dan ternyata Tuhan tak tak setega itu padaku." Dia terkekeh. Giginya yang sudah tak utuh lagi menyembul dari sela - sela bibirnya.
"Madam..." Ini dia. Akhirnya datang juga waktuku untuk memberitahunya.
"Oui."
"Jika aku menikah... apakah aku masih boleh tinggal di sini? Bersama suamiku?"
"Kau akan menikah?"
Dia bertanya dengan lembut sambil menatapku, membuat wajahku perlahan memerah malu. "Akhir bulan ini. Setelah itu suamiku akan menyusulku ke sini. A-aku pikir, akan sangat mepet kalau aku mencari apartemen sekarang, jadi aku ingin tahu apakah aku boleh..."
"Tentu saja boleh. Aku juga tahu mencari apartement di sini juga tidak mudah. harus menyiapkan deposit dan segala macamnya. Kalian boleh di sini dulu. Katakan pada suamimu untuk jangan sungkan."
"Suami?! Kau akan menikah?!"
Kami berdua menoleh ke arah tangga.
Briggita!!
***
"Selamat Pagi! Lesu sekali! Kenapa? Revisi?"
Panggilan berisik itu... tentu saja, tak lain dan tak bukan adalah milik temanku, Ai. Tadi pagi karena Briggita, kami harus membubarkan diri. Aku mengikuti Madam Fatima untuk menyiram dan menyiangi rumput di taman sebelum akhirnya bersiap ke kampus.
Tentang Briggita, belum. Aku belum ingin memberitahu apapun padanya. Ya biar saja dia mengira sesukanya. lebih baik nanti kalau suamiku datang, aku langsung mengenalkannya saja biar tidak dikira membual.
Tunggu!
Berarti.. Aku mengakui kalau aku benar - benar akan menikah? Aku sudah menerima kenyataan itu?
Semudah itu?
Setelah berbicara dengan Madam Fatima, memang sedikit bebanku terangkat. Setidaknya, aku tak harus ke sana ke mari lagi untuk mencari tempat tinggal. Tapi mengingat dari mana semua kekacauan dalam hidupnya ini berasal, aku jadi kembali tak bersemangat!
"Pagi Ai. Aku sedang tidak bersemangat hari ini. Hibur aku."
Dia malah tertawa. "Tidak mungkin! Aku sudah di sini dan kau masih tidak bersemangat? Kau mengejek eksistensiku!"
Dia bicara apa, sih! Kenapa sampai pada eksistensi segala? Apa hubungannya?
"Tegakkan badanmu. Monsieur Colin sudah masuk."
Dengan tak bersemangat aku menurutinya. Mengikuti kuliahku dengan tak bersemangat. Ai menyenggol sikuku saat aku terus saja menunduk sambil menyangga daguku dengan tangan kanan.
"Kau kenapa, sih." Tanyanya penasaran.
"Nanti saja."
"Non non. Aku bisa mati penasaran kalau kau menundanya. Kenapa, sih?"
Aku lupa sedang berbicara dengan Ai. Orang yang tak akan menanti kata nanti dengan sabar. Apapun yang mengganggu pikirannya, harus dia dapatkan jawabannya dengan segera, atau dia bisa meledak seperti botol cola yang dibuka setelah sebelumnya dikocok hebat.
"Benar revisi?"
"Bukan tentang kuliah."
Mungkin kami sedang beruntung, karena walaupun kami berbisik - bisik sendiri tidak memperhatikan depan, Monsieur Colin selaku dosen tidak menegur kami. Atau mungkin karena kelas sudah berakhir dan kami tak menyadarinya? Kami terlalu asyik sendiri hingga Ali mendekat.
"Ayo, masih ada kelas selanjutnya." Ajaknya.
Dia tadi duduk di barisan lebih belakang lagi dari kami.
"Nanti dulu. Dia mau mengatakan sesuatu tadi. Jadi apa?"
Aku menghela nafas panjang. Putus asa. "Aku akan menikah."
"C'est un blague ou quoi?! Jangan bercanda!"
"Sayangnya, sepertinya dia tidak bercanda."
***
Beruntungnya, hari ini jadwal kuliah kami padat sekali, jadi Ai tidak sempat menodongku dengan penjelasan dan jawaban dari pertanyaan - pertanyaannya yang aku yakin tak ada habisnya itu.
Nanti Ai, nanti. Aku pun masih bingung. Banyak hal yang belum kupunya jawabannya. Jadi bagaimana aku bisa memberikannya jawaban?Aku sudah bersiap untuk pulang saat Ai menghadangku.
"Kayra. Kau mau kemana? Tidakkan menurutmu kau berhutang penjelasan pada kami?"Tatapan mata Ai seperti jenderal perang yang siap menghadapi bahkan seribu pasukan pun, sendirian. Aku melirik Ali yang ada di belakangnya. Dia hanya mengedikkan bahu. Aku yakin, Kami yang dimaksud Ai tadi hanya mengacu pada dirinya. Bukan pada mereka berdua, karena Ali hanya mengangkat bahunya pasrah."Bisakah kita membicarakan hal ini besok? Aku amat lelah." Bujukku."Tidak! Kau harus...""Ai, jangan memaksa." Ali mengingatkan pelan"Tapi..." Gadis itu seperti cacing kepanasan sekarang. Dia tahu Ali benar di satu sisi, tapi di sisi Ai , rasa penasarannya butuh pelampiasan. Dan sekarang dia terbelah di antaranya."Aku yakin saat Kay siap, dia akan menceritakan padamu, oke, pada kita, sedetail mungkin. Tunggu saja, okay? Apa kau tak kasihan melihat wajahnya yang memelas itu? Give her a break. Let's call it a day. Ayo kita semua pulang" Aku memberikan tatapan penuh rasa terimakasih pada Ali. Sungguh. Hari ini, aku merasa amat beruntung karena di
Beberapa hari selanjutnya berlalu biasa saja bagi kami. Kadang, aku mendapati Ai yang masih saja menatapku dengan pandangan prihatin, tapi tak kuhiraukan. Aku tak mau terbelenggu pada pusaran mengasihani diri sendiri. Ini memang bukan seperti yang aku rencanakan, tapi, aku yakin, semua hal di dunia ini bisa di kompromikan, benar, kan? Lagi pula, aku masih menganggap ini semua adalah mimpi, dan setelah akhir bulan berlalu, aku akan tahu kalau Papa tidak setega itu padaku.Dan kalau ternyata benar - benar terjadi... hmm... ya sudahlah. Aku tak berbicara tentang cinta setelah menikah dan sebagainya. Orang tua jaman dulu bilang, cinta datang karena terbiasa, tapi... kalau tidak bagaimana? kalau cinta itu datang, tak masalah, tapi bagaimana kalau tidak? Jadi aku menganggap ini hanya sebagai sesuatu ujian yang sulit saja. Seperti caraku menerima Gee, yang walaupun aku tak terlalu suka, bukan berarti aku tidak mencoba menerimanaya. Yah, begitu saja lah. Dan lebih baik kufokuskan pik
"Rara." Suara Mama akhirnya terdengar lagi setelah jeda yabg cukup lama. Nafasku juga sudah berangsur lega. Untungnya kereta sedang sepi. Hanya ada aku dan dua penumpang lain di gerbong ini dan mereka duduk cukup jauh dariku. "Kami melakukan hal ini bukan karena kami ingin menghukummu." Kata Mama memulai.Aku masih diam. Berdiri dan bersiap untuk keluar dari kereta saat kereta memelan dan sinar lampu stasiun yang terang benderang kini terlihat. Tangan kananku masih memegang ponsel yang tertempel di telinga kanannki, sementara tangan kiriku aman bersembunyi di saku mantelku."Rara, are you there?" Mama bertanya karena tak mendengar suaraku sama sekali."Ya, Mama." Aku menjawab lelah dan agak tersengal karena sekarang aku sedang berjalan menaiki tangga untuk keluar dari stasiun bawah tanah ini."Ada banyak alasan kenapa akhirnya kami menerima calonmu itu. Banyak sekali. Dan salah satunya adalah kami ingin ada yang menjagamu di sana."Aduh, klise seka
"Rara." Suara Mama akhirnya terdengar lagi setelah jeda yabg cukup lama. Nafasku juga sudah berangsur lega. Untungnya kereta sedang sepi. Hanya ada aku dan dua penumpang lain di gerbong ini dan mereka duduk cukup jauh dariku. "Kami melakukan hal ini bukan karena kami ingin menghukummu." Kata Mama memulai.Aku masih diam. Berdiri dan bersiap untuk keluar dari kereta saat kereta memelan dan sinar lampu stasiun yang terang benderang kini terlihat. Tangan kananku masih memegang ponsel yang tertempel di telinga kanannki, sementara tangan kiriku aman bersembunyi di saku mantelku."Rara, are you there?" Mama bertanya karena tak mendengar suaraku sama sekali."Ya, Mama." Aku menjawab lelah dan agak tersengal karena sekarang aku sedang berjalan menaiki tangga untuk keluar dari stasiun bawah tanah ini."Ada banyak alasan kenapa akhirnya kami menerima calonmu itu. Banyak sekali. Dan salah satunya adalah kami ingin ada yang menjagamu di sana."Aduh, klise seka
Pagi ini aku datang ke kampus selain untuk bertemu dosen untuk menyerahkan hasil revisi thesisku, aku juga punya misi yang amat penting. Menyidang Ai dan juga Ali. Aku akan menyai mereka tentang kebenaran yang dikatakan Mama padaku kemarin lusa.Aku sudah menahannya selama dua hari. Mencoba mengosongkan pikiranku dari segala hal, pernikahanku yang semakin dekat, fakta bahwa Ai dan Ali memata - mataiku dan melaporkanku pada Mama, semuanya. Aku hanya fokus pada Thesisku. Aku benar - benar ingin ini semua segera berakhir. Kuliah di sini, tentu saja menyenangkan. Aku banyak belajar hal baru dan mendapatkan banyak hal menyenangkan juga untuk dikenang. Tapi aku juga tak mau terus menerus di sini hanya untuk kuliah.Aku berderap di koridor kampus saat sekelebat kutemukan bayangan Ai dengan rambut terurai blouse hijau tosca dan jeans tak terlalu ketat sedang mengobrol dengan... sepertinya teman - teman Turkinya. Aku segera berlari kecil menghampiri."Hai, I'm sorry. Can
Suasana hatiku masih agak murung meskipun beberapa hari telah berlalu. Alasan terbesar aku tak bersemangat adalah karena pernikahanku.Seolah selama ini keluarga yang di rumah di Indonesia sana benar- benar menganggapku bahagia dengan rencana ini, Mama dan Rasyid terus saja memberikanku update teranyar tentang persiapan pernikahanku. Tempat akad yang sudah didekor cantik dengan warna yang dominan putih, dan bunga-bunga pastel, juga tenda serta kursi untuk para tamu undangan. Kamarku yang akan menjadi kamar pengantin semalam, meskipun tak akan ditempati, yang sudah dihias juga dengan bunga-bunga dan kain satin cantik. Juga pigura berisi foto -foto dan lilin yang ditata apik. Semua hal-hal lazim yang dilakukan menjelang pernikahan. Namun, bagiku di sini, semua kecantikan itu malah seperti taburan bunga menuju tiang gantungan. Lucunya, bahkan sampai sekarang, aku tak tahu bagaimana tampang rupa calon suamiku nanti. Sesemangatnya Mama dan Rasyid meng update pesta pernikahan yang tak akan
"Ai, ini ….""Ssh! Jangan berisik! Biarkan mereka melakukan pekerjaannya, okay? Terima beres saja." Ai menghentikan aksi protesku dengan lambaian tangannya. Setelah itu, dia berpaling pada Ali dan menariknya keluar. "Ayo, ikut aku. Ada sesuatu yang membutuhkan bantuanmu!"Keduanya lalu pergi meninggalkanku yang kebingungan hanya dengan pegawai salon yang masih menata rambutku setelah wajahku dirias tadi."Pasangan yang serasi!" Wanita yang menata rambutku mendesah penuh haru melihat Ali dan Ai.See? Bukan hanya aku saja yang berpikir kalau mereka berdua adalah pasangan serasi. Orang lain pun berpendapat sama! Ah, seandainya mereka menyadari hal itu."They won't like it if they heard you." Aku meringis."Oh, is he your boyfriend? Pardonne-moi, maafkan kelancanganku!" Wanita itu panik."Non, bukan!" Aku tertawa. "Aku juga berpikir sepertimu. Hanya saja mereka tidak suka jika ada yang berpikir kalau mereka adalah pasangan," terangku yang berangsur-angsur membuat wanita itu rileks.Aku ti
"Lho? Halo? Rasyid? Halo? Yah …."Hanya saja, sinyal dan keadaan sepertinya belum memihakku. Sedetik setelah pria itu berbalik, aku masih belum terbiasa dan belum rela memanggil dia suamiku, entah sinyalku atau sinyal Rasyid menghilang, membuat panggilan video kami akhirnya terputus.Dengan wajah lesu, aku kembali ke mejaku. Sudah ada Ali dan Ai di sana. Ai sedang mengomel sambil membenarkan dasi dan kerah kemeja Ali. Melihat mereka, seperti melihat pasangan suami istri yang sudah hidup bersama lama sekali. "Sudah selesai? Apa kata mereka?" Ali bertanya dengan suara pasrah dan kepala yang tidak digerakkan. Hanya matanya saja yang melirik padaku."Well, apa lagi. Je suis marié. Akadnya udah sah," jawabku.Ai selesai membenarkan dasi dan kemeja Ali, keduanya kini kembali pada posisi duduk mereka berhadapan denganku. "Félicitations, Kay. Selamat atas pernikahanmu. Atau seharusnya kami memanggilmu Madame …."Aku mengangkat bahu, membuat keduanya mengernyit. "Aku tidak tahu siapa nama su
Tring!Suara ponselku yang menerima pesan menjadi satu-satunya suara yang ada di antara aku dan Ali. Maksudku, benar-benar di antara kami. Meskipun saat ini kami sedang berada di dalam metro yang ramai, tapi sejak tadi aku dan Ali sama sekali tidak berbicara. Sama sekali.Dan ini aneh. Ali memang pendiam. Namun, hanya pada orang yang tidak dikenal atau orang yang menarik perhatiannya. Jaim, kalau kata orang Indonesia. Mencoba menarik perhatian dengan mencoba menjadi orang yang terlihat cool. Karena aku tahu, Ali tidak mungkin sedang berusaha menarik perhatianku, kediamannya ini membuatku bingung. Untungnya, saat masuk ke metro tadi, kami berdua masih mendapatkan tempat duduk. Karena ini weekend, jsdi metro hari ini tidak terlalu sedak. Hanya beberapa orang saja yang harus berdiri karena tidak kebagian tempat duduk. Aku merogoh saku jaketku dan mengeluarkan ponsel dari sana. Ada nomor asing yang menghubungiku dan mengirimkan gambar. Siapa?Unknown: /Hi, Ra. Ini nomorku. Disimpan ya.
Suara berat dan dalam yang mengucap salam padaku membungkam semua protesku. Membuatku secara otomatis menjawab salamnya dengan suara pelan dan lembut, "Waalaikumsalam."What … the … heck!Suaranya … Tuhan, sekarusnya suara dalam, berat dan seksi seperti itu, haram nggak sih, buat dimiliki cowok? Cowok mana pun? Suara itu tuh, bikin … bahkan aku nggak kepikiran lagi apa yang sebenarnya aku pikirin. Suara salam pria tadi masih terngiang di telingaku dengan jelas, kuputar lagi dan lagi karena menurutku suaranya candu sekali. Bahkan, aku lupa kalau suara itu milik seseorang yang sudah bertitle suamiku!"Salam kenal, Ra. Aku Alif … suamimu."Kesadaranku kembali pulih sejuta persen saat kata 'suami' disebut. Aku memang sudah pasrah menerima perjodohan ini, sudah pasrah menerima pria ini, siapa pun itu sebagai suamiku, tapi bukan berarti aku harus menyukainya, 'kan? Aku masih belum berencana menjadi istri yang berbakti begitu saja pada suami. Lihat nantilah, bagaimana perlakuan dia padaku se
Semalam, chatku dengan Mas Jo tak berlangsung lama. Aku segera mengakhirinya dengan alasan capek. Hal yang amat jarang kulakukan saat bertukar pesan dengan pria yang kutaksir itu.Namun, etah kenapa semalam rasanya berbeda. Aku bete saat Mas Jo malah dengan enteng mengucapkan selamat padaku dan mendoakan kebahagiaanku setelah menyandang status yang baru. Belum lagi fakta bahwa dia lebih tahu tentang kapan 'suamiku' akan datang menemuiku di sini. Semua itu membuat moodku jelek seketika.Ini hari Sabtu. Pada dasarnya, aku tidak ada jadwal kuliah apa pun hari ini. Namun, aku sedang tidak ingin berada di rumah karena mood ku terus tak terkendali. Rasanya aku sudah hampir membanting dan melempar apa pun yang ada di dalam jangkauanku. Ya, sejelek itu. Padahal, semalam kurasakan mood ku sudah baik-baik saja. Aku sudah sangat pasrah menerima nasibku yang menikah muda dengan pria antah berantah yang hingga kini masih asing bagiku.Jadi, daripada aku makin menggila, kuputuskan untuk ke kampus
Lucu sekali saat menyadari bahwa aku sama sekali tidak tahu apa pun tentang suamiku; namanya, wajahnya, apa pekerjaannya, kenapa dia menikah denganku, dan kapan dia akan ke sini menyusulku.Menyadari bahwa moodku bisa berubah jelek dan akan merusak suasana malam ini, Ali hanya mengangguk dan tidak bertanya lagi."Kabari saja dan aku akan membantumu.""Merci, Ali."Percakapan berlanjut lagi dengan hal-hal yang kami lalui sehari-hari. Tentang gadis yang sedang dikejar Ali saat ini dan juga tentang Ai yang masih menunggu pangerannya."Ehm, aku perlu ke toilet. Awas kalau kalian memulai dessert tanpa aku," ancamnya seketika berdiri dan beranjak ke toilet.Aku mengernyitkan alis heran. "Kenapa, dia? Kita ada salah bicara? Kenapa wajahnya begitu?"Ali mengedikkan bahunya sambil lalu, tangan kanannya menyuapkan suapan terakhir di piringnya ke mulut. "Biarkan saja. Sebentar lagi juga dia akan seperti biasa lagi. Sepertinya ayahnya menghubunginya lagi.""Ada masalah?" tanyaku cepat. Ai dan ay
"Lho? Halo? Rasyid? Halo? Yah …."Hanya saja, sinyal dan keadaan sepertinya belum memihakku. Sedetik setelah pria itu berbalik, aku masih belum terbiasa dan belum rela memanggil dia suamiku, entah sinyalku atau sinyal Rasyid menghilang, membuat panggilan video kami akhirnya terputus.Dengan wajah lesu, aku kembali ke mejaku. Sudah ada Ali dan Ai di sana. Ai sedang mengomel sambil membenarkan dasi dan kerah kemeja Ali. Melihat mereka, seperti melihat pasangan suami istri yang sudah hidup bersama lama sekali. "Sudah selesai? Apa kata mereka?" Ali bertanya dengan suara pasrah dan kepala yang tidak digerakkan. Hanya matanya saja yang melirik padaku."Well, apa lagi. Je suis marié. Akadnya udah sah," jawabku.Ai selesai membenarkan dasi dan kemeja Ali, keduanya kini kembali pada posisi duduk mereka berhadapan denganku. "Félicitations, Kay. Selamat atas pernikahanmu. Atau seharusnya kami memanggilmu Madame …."Aku mengangkat bahu, membuat keduanya mengernyit. "Aku tidak tahu siapa nama su
"Ai, ini ….""Ssh! Jangan berisik! Biarkan mereka melakukan pekerjaannya, okay? Terima beres saja." Ai menghentikan aksi protesku dengan lambaian tangannya. Setelah itu, dia berpaling pada Ali dan menariknya keluar. "Ayo, ikut aku. Ada sesuatu yang membutuhkan bantuanmu!"Keduanya lalu pergi meninggalkanku yang kebingungan hanya dengan pegawai salon yang masih menata rambutku setelah wajahku dirias tadi."Pasangan yang serasi!" Wanita yang menata rambutku mendesah penuh haru melihat Ali dan Ai.See? Bukan hanya aku saja yang berpikir kalau mereka berdua adalah pasangan serasi. Orang lain pun berpendapat sama! Ah, seandainya mereka menyadari hal itu."They won't like it if they heard you." Aku meringis."Oh, is he your boyfriend? Pardonne-moi, maafkan kelancanganku!" Wanita itu panik."Non, bukan!" Aku tertawa. "Aku juga berpikir sepertimu. Hanya saja mereka tidak suka jika ada yang berpikir kalau mereka adalah pasangan," terangku yang berangsur-angsur membuat wanita itu rileks.Aku ti
Suasana hatiku masih agak murung meskipun beberapa hari telah berlalu. Alasan terbesar aku tak bersemangat adalah karena pernikahanku.Seolah selama ini keluarga yang di rumah di Indonesia sana benar- benar menganggapku bahagia dengan rencana ini, Mama dan Rasyid terus saja memberikanku update teranyar tentang persiapan pernikahanku. Tempat akad yang sudah didekor cantik dengan warna yang dominan putih, dan bunga-bunga pastel, juga tenda serta kursi untuk para tamu undangan. Kamarku yang akan menjadi kamar pengantin semalam, meskipun tak akan ditempati, yang sudah dihias juga dengan bunga-bunga dan kain satin cantik. Juga pigura berisi foto -foto dan lilin yang ditata apik. Semua hal-hal lazim yang dilakukan menjelang pernikahan. Namun, bagiku di sini, semua kecantikan itu malah seperti taburan bunga menuju tiang gantungan. Lucunya, bahkan sampai sekarang, aku tak tahu bagaimana tampang rupa calon suamiku nanti. Sesemangatnya Mama dan Rasyid meng update pesta pernikahan yang tak akan
Pagi ini aku datang ke kampus selain untuk bertemu dosen untuk menyerahkan hasil revisi thesisku, aku juga punya misi yang amat penting. Menyidang Ai dan juga Ali. Aku akan menyai mereka tentang kebenaran yang dikatakan Mama padaku kemarin lusa.Aku sudah menahannya selama dua hari. Mencoba mengosongkan pikiranku dari segala hal, pernikahanku yang semakin dekat, fakta bahwa Ai dan Ali memata - mataiku dan melaporkanku pada Mama, semuanya. Aku hanya fokus pada Thesisku. Aku benar - benar ingin ini semua segera berakhir. Kuliah di sini, tentu saja menyenangkan. Aku banyak belajar hal baru dan mendapatkan banyak hal menyenangkan juga untuk dikenang. Tapi aku juga tak mau terus menerus di sini hanya untuk kuliah.Aku berderap di koridor kampus saat sekelebat kutemukan bayangan Ai dengan rambut terurai blouse hijau tosca dan jeans tak terlalu ketat sedang mengobrol dengan... sepertinya teman - teman Turkinya. Aku segera berlari kecil menghampiri."Hai, I'm sorry. Can
"Rara." Suara Mama akhirnya terdengar lagi setelah jeda yabg cukup lama. Nafasku juga sudah berangsur lega. Untungnya kereta sedang sepi. Hanya ada aku dan dua penumpang lain di gerbong ini dan mereka duduk cukup jauh dariku. "Kami melakukan hal ini bukan karena kami ingin menghukummu." Kata Mama memulai.Aku masih diam. Berdiri dan bersiap untuk keluar dari kereta saat kereta memelan dan sinar lampu stasiun yang terang benderang kini terlihat. Tangan kananku masih memegang ponsel yang tertempel di telinga kanannki, sementara tangan kiriku aman bersembunyi di saku mantelku."Rara, are you there?" Mama bertanya karena tak mendengar suaraku sama sekali."Ya, Mama." Aku menjawab lelah dan agak tersengal karena sekarang aku sedang berjalan menaiki tangga untuk keluar dari stasiun bawah tanah ini."Ada banyak alasan kenapa akhirnya kami menerima calonmu itu. Banyak sekali. Dan salah satunya adalah kami ingin ada yang menjagamu di sana."Aduh, klise seka