Chicago, Illinois
Suara jerit kesakitan terdengar dari balik pintu ruang persalinan di salah satu rumah sakit tua. Dua pria yang berjaga di depannya menahan ngilu ketika jeritan itu kembali terdengar.
Dell Rosie yang berdiri tak jauh dari kasur persalinan tampak diam mematung, mengawasi seorang perawat dan dokter paruh baya yang membantu persalinan seorang wanita latin. Sesekali dia melirik rekannya yang juga mengawasi dari sudut ruangan.
Terdengar suara tangis bayi setelah perjuangan panjang. Suaranya nyaring mengisi ketegangan ruangan tersebut.
“Sekali lagi Ma’am,” ucap dokter tersebut dengan suara pelan. “Tarik napas dan hembuskan perlahan.”
“Aku sudah tidak kuat,” desis wanita latin tersebut.
Rosie mendekati kasur bersalin dan mengatakan dengan tegas, “Jika kau memilih untuk mati di sini Cinzia maka bayangkan apa yang akan terjadi pada bayi-bayi ini.”
Wanita itu merintih menahan tangis mendengar ucapan itu.
“Kumohon jangan sakiti mereka,” bisiknya dengan suara serak yang nyaris habis karena lelah menjerit.
Pria itu diam kembali dan mengisyaratkan pada dokter untuk segera menyelesaikan persalinan itu.
Beberapa menit kemudian, kembali terdengar suara tangis nyaring yang mengimbangi tangisan kembarannya.
Rosie menatap kedua bayi perempuan itu dengan tatapan datar. Perhatiannya kembali kepada Cinzia saat wanita itu terisak menahan kesedihan.
“Aku ingin menjaga keduanya tetap bersamaku, Rosie,” ucap Cinzia dengan berurai air mata. Hampir setengah jam lamanya dia membawa kedua malaikat kecil itu ke dunia, namun dia belum diberi kesempatan memeluk keduanya.
Pria yang sejak tadi duduk di sudut ruangan mendengus mendengar permintaan tersebut, seolah itu permintaan yang tidak masuk akal. Luka goresan yang ada di sepanjang lengannya bahkan terasa berkedut saat mendengar hal itu.
“Tutup mulutmu, puta,” desis pria tersebut. “Rosie, bunuh bayi-bayi itu. Bawa Cedro dan Amato bersamamu.” Pria itu berdiri dan meninggalkan ruang persalinan.
Mendengar perintah tersebut Cinzia menjerit histeris dengan sumpah serapah seorang ibu yang terluka. Dia memberontak sekuat tenaga melepaskan diri dari rantai yang terpasang di tempatnya bersalin. Matanya liar menatap kedua bayi yang berada dalam gendongan dua pria yang tadi berjaga di luar pintu.
“Tidaaaaak jangaaaan! Bayiku! Kumohon, berikan bayiku padaku!” jeritnya dengan sisa-sisa tenaga terakhir. Perawat yang sejak tadi membantunya bersalin menyuntikkan sesuatu ke paha Cinzia.
Jeritnya tak lagi nyaring, suaranya tak lagi terdengar ketika obat itu menguasai kesadarannya dan membuatnya terlelap selamanya. Suara terakhir yang dia dengar sebelum bayi-bayi itu keluar melewati pintu adalah tidurlah dengan tenang, kupastikan mereka tumbuh dengan sehat Cinzia.
Sangat disayangkan wajah kakunya tidak bisa mengukir senyuman.
Tepat pukul dua dini hari sebelum musim semi pagi itu terdengar dua tembakan di dalam ruangan bersalin di sebuah rumah sakit tua, dan esok harinya tidak ada satu berita yang mengabarkan kejadian itu. Perawat dan dokter tersebut selamanya masuk dalam daftar orang hilang.
Malam menunjukkan pukul sebelas di Blueberry Hill. Kota kecil yang berada tak jauh dari negara bagian Michigan itu tampak mati tanpa ada aktivitas di atas jam sepuluh. Lampu-lampu jalanan terlihat menerangi sebagian kota, dan hanya terdengar lolongan anjing liar di kota kecil berpenduduk kurang dari lima ribu orang tersebut.Mia yang bekerja di salah satu restoran di Blueberry Hill tampak sibuk membersihkan peralatan dapur dan juga lantai. Dia ingin cepat-cepat pulang, tapi mengerjakan semuanya sendiri membuatnya mengurungkan niat. Biasanya Matt, bosnya ikut membantu, tapi
Mia menghela napas panjang, dia menatap motel yang berdiri kumuh di pinggiran jalan tak jauh dari kota tujuannya, Denver. Setelah debat panjang dengan diri sendiri, akhirnya Mia memutuskan untuk keluar dari truk tua yang diberikan pria paruh baya itu.Kesepakatannya adalah dia memberikan amplop kuning yang tersimpan aman di dalam tas ransel miliknya pada pria bernama Jaxon Bradwood tanpa membuka atau pun merusak amplop tersebut, utuh tersegel seperti pertama kali diberikan, dan setelahnya dia bebas untuk pergi kemana pun.Itu tampak seperti tugas yang mudah, namun ada sesuatu yang mengganjal hati Mia sejak ia pergi meninggalkan Blueberry, seolah ada ses
Suara alarm seperti pemadam kebakaran membangunkan Mia. Pandangannya masih digelayuti kantuk saat menemukan ponsel tersebut di atas meja, di sampingnya. Baginya ini masih terlalu pagi. Beberapa kali dia mengedipkan mata mengusir kabut di kepalanya hingga suara ketukan di pintu mengembalikan kesadarannya.Mengerang pelan, Mia bangkit dari kasur. Dia masih dibalut bajunya yang malam tadi.Tas putih mungilnya berdekatan dengan ponselnya. Kondisi kamar motel yang dia sewa masih sama seperti kali terakhir dia tinggalkan, tetapi keningnya berkerut saat mendapati jas hitam di sisi kasur yang satunya. Dia hendak meraih jas tersebut saat suara ketukan di pintu kamarnya terdengar untuk kedua kalinya.
Keheningan menyelimuti ruangan itu. Mia berdiri gelisah mendapat tatapan menyelidik dari tujuh pasang mata. Dia merasa seperti benda antik dalam museum yang sedang diobservasi. Tidak satupun dari pria-pria tampan dalam ruangan itu bergerak dan membalas sapaannya, kecuali satu orang, pria berambut pirang dan berwajah imut yang berdiri di dekat sofa.Pria itu tersenyum padanya, namun seolah menahan geli. Mia bahkan tidak mengerti dimana letak lucunya.“Namaku, Mia He―.”“Kami sudah mendengar namamu barusan, tidak perlu memperkenalkan diri.”Mia menata
Tidak bisa dipercaya. Batin Mia saat dia dikurung di sebuah ruangan, bahkan ada dua pria bersenjata yang kini berjaga di balik pintu. Rasa marah membuatnya tidak bisa duduk berdiam diri. Lama dia menunggu di ruangan, tapi hingga makan malam diantar, pria yang dia tunggu tidak kunjung menemuinya.“Aku tidak butuh makanan-makanan ini. Bawa semuanya kembali, dan biarkan aku keluar!” serunya kesal pada pemuda yang mengantar troli penuh makanan.Pemuda itu terlihat tenang, seakan tidak ada siapapun yang berbicara di ruangan itu.Merasa diabaikan, Mia mulai berteriak dan tidak menyentuh makanan yang dihidangkan.
Dua pria terkapar tak berdaya di dalam ruang bawah tanah Red Cage. Noda darah mengotori baju keduanya. Pandangan mereka setengah fokus pada sosok yang berdiri di tengah ruangan. Tubuh tinggi menjulang dengan tangan terkepal berbalur darah segar hingga menetes di ujung sepatu kulitnya yang mengilat.“Sudah cukup Jax,” ucap Rey yang sejak tadi mengawasi Jaxon memukuli dua pria di hadapannya yang mulai tak sadarkan diri.Jaxon tidak mendengarkan ucapan Rey. Tangannya cepat meraih senjata api dari balik punggungnya. Sahabatnya itu seolah menutup akses kesadaran pada lingkungan sekitar, tenggelam dalam hasrat membunuh yang menyelimuti tubuhnya.&ldq
Rasa malu menjalari pipi Mia keesokan paginya. Untung saja hari terlalu pagi sehingga meja makan itu sepi dan hanya beberapa pelayan yang bertugas. Dia bahkan berdoa pagi itu Jaxon tidak ada di Kastil Aurelia, karena dia tidak sanggup bertatapan langsung dengan mata gelapnya yang indah.“Apa tidurmu nyenyak?”Dan harapan itu terhempas begitu suara maskulinnya mengisi ruang makan yang sepi.“Ya,” jawab Mia semakin menundukkan kepala tanpa sekalipun menatap ke arah Jaxon yang duduk di kepala meja berjarak satu bangku darinya.
Tinggal di Denver tidak seburuk yang Mia pikirkan sebelumnya, malah sebaliknya. Dia mendapatkan teman baru dalam waktu singkat. Semua pegawai di De La Crush memperlakukannya dengan sangat bersahabat.Biasanya di Blueberry Hill dia selalu menghabiskan waktu kosong dengan mengurung diri di apartemen studionya, tetapi di Denver hampir setiap malam setelah shiftnya berakhir dia diajak keluar. Terkadang teman-teman barunya mengajaknya ke klub atau hanya sekedar nongkrong di cafe terdekat, dan dia merasa senang hari-hari yang dilaluinya tidak lagi sendiri. Hari-harinya memakan roti lapis juga berakhir seiring datangnya kiriman makan siang dari pria misterius yang meni
Halo, Blezzia mengucapkan terima kasih kepada pembaca setia The King Of Denver :) Dan ya, seperti yang kalian baca, kisah ini baru saja berakhir SEASON PERTAMA-nya dan itu artinya akan ada SEASON KE-DUA yang akan Blezzia lanjutkan. Sesuai permintaan beberapa pembaca, yang tidak ingin novel ini berakhir dengan cepat, maka Blezzia mempertimbangkan akan membuat Season KE-DUA kisah Jaxon dan Mia (Bukan Nicko dan Disya) setelah menyelesaikan kisah Danny dan Hilda di Novel Wanita Rahasia CEO, oleh karena itu, Blezzia minta maaf untuk Delay yang terjadi. Karena ini novel kesayangan Blezzia, jadi kisah mereka akan sangat panjang. (Kalau perlu sampai anak cucu) Do'ain saja semoga diberikan izin oleh pihak GN ya ~ Biar nanti Blezzia lebih fokus ke Denver dan bisa update tiap hari nantinya <3Jika tidak ada halangan, maka diperkirakan Juni/Juli 2022 seluruh novel on-going yang sedang Blezzia tulis akan tamat. Lalu, bagaimana dengan kisah Nicko dan Disya? M
Mia terlihat sibuk berbincang dan tertawa bersama Disya di gazebo, saat tiba-tiba keduanya mendengar suara langkah kaki dari arah kanan taman. Serentak, wanita-wanita itupun menoleh bersamaan ke arah sumber suara, yang tak lain adalah Allana. Dengan senyum terkembang di wajah, Mia menyambut kedatangan pelayan terdekatnya itu, lalu meminta wanita tersebut untuk ikut bergabung di meja. Akan tetapi, Allana menolak sembari menoleh sedikit ke arah jalan yang tadi dilaluinya. Hal itu pun membuat Mia dan Disya mengikuti arah pandang pelayan wanita itu. Namun, mereka tidak menemukan apa-apa di sana, membuat Mia bertanya-tanya. “Ada apa?” Allana kembali menoleh pada dua wanita di hadapan, dan dia hanya menjawab dengan gerakan ragu-ragu. “Ada... seseorang yang ingin menemui... anda dan Miss Flontin,” ucapnya, sembari melirik ke arah Disya yang tetap duduk tenang dengan secangkir teh dalam genggaman. Mendengar penjelasan tersebut, sek
Jaxon memasuki ruang tengah kediaman keluarganya, dan tepat di hadapannya telah duduk Jeff Bradwood dengan ditemani ibu tirinya, Ruby. Melihat kehadiran anggota Red Cage dalam ruangan, seketika bahu Jeff tampak tegang, padahal dia sudah mendengar kedatangan mereka sebelum mencapai gerbang. Namun, melihat pria-pria yang parade saat masuk ke dalam ruangan, Jeff pun tak mampu bergerak dari tempatnya duduk di sofa.“Jeff,” sapa Jaxon, dengan kedua tangan berada di saku celana.Bukannya menyahut, Jeff Bradwood hanya berdeham sembari menatap ke segala arah. Sengaja menghindari tatapan bosan puteranya.Pandangan Jaxon pun beralih pada Ruby yang tersenyum dengan sensual. Tetapi dia abaikan. Kini, perhatiannya kembali pada sang ayah yang mencoba memasang wajah poker face.“Aku melihat keadaanmu baik-baik saja,” ucap Jaxon, berbasa-basi sembari duduk di sofa.Dia menatap kedua orang di hadapan dengan pandangan yang sulit dibaca.
Jaxon yang saat itu sedang menyesap batangan rokok di balkon sendirian, tiba-tiba saja dikejutkan dengan kehadiran Nicko dari arah belakang. Kedua pria itu tampak diam ketika berdiri sejajar pada railing. Namun, gestur Jaxon yang hendak berbagi batangan rokok di tangan menunjukkan bahwa apapun di antara mereka sebelumya telah terlupakan.Kini, kedua pria itu terlihat mengepulkan asap bersamaan. Sedangkan pandangan keduanya saling menerawang ke arah langit yang menyuguhkan pemandangan indah dengan taburan milk way di atas mereka.Di pulau ini, keduanya dapat melihat pemandangan langit malam yang jarang didapatkan jika di perkotaan. Bahkan, langit di sana jauh lebih cerah dari apa yang biasanya mereka lihat sebelumnya. Tidak hanya itu, rembulan yang cahayanya kemerahan, tampak tergantung indah di antara pemandangan malam lainnya, seolah tidak mau kalah untuk memanjakan mata para pen
“Apa kau sudah memberitahunya?” kejar Jaxon saat Nicko baru saja keluar dari ruang perawatan.Kepala pria itu menggeleng lemah. Dan, dengan berat dia mengatakan; “Belum. Aku tidak bisa melakukannya.”Melihat ekspresi Nicko yang tercekat, Jaxon pun menarik temannya itu ke dalam pelukan. Satu tangannya menepuk-nepuk punggungnya pelan, sementara dia membisikkan kata-kata penuh dukungan.“Aku bisa melakukannya jika kau mau.”Setelah keduanya memisahkan diri, Nicko yang berwajah sendu pun menatap ragu-ragu. Dia tidak ingin terbawa suasana, seperti saat di salam sana.“Terima kasih, Brother.”Kedua pria itu saling memandang paham.“Baiklah, aku akan kembali ke mansion lebih dahulu,” ucap Nicko, meninggalkan kumpulan teman-temannya yang duduk di kursi tunggu dengan masing-masing memegang chips dan roti yang tadi Gavin bawa.“Bye brother,” kata pria-pria itu serent
Nicko menutup ponselnya ketika dia mendengar laporan dari Henrieta. Beberapa kali dia menarik napas, sebelum membuangnya perlahan. Sekembalinya nanti, dia akan memberikan penjelasan pada kekasihnya yang bisa saja sedang menahan marah di seberang lautan sana.Meskipun dia tidak tahu apa yang akan menantinya, Nicko berharap Disya mau mendengarkan penjelasan.Dia hendak berbalik badan, saat tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara yang memanggil namanya pelan. Seketika bulu romanya berdiri, dan jantungnya berpacu saat suara tua itu menyebutkan namanya dengan nada sedikit bergetar.“Nicko … Anderson?”Perlahan, Nicko pun menoleh ke arah tubuh tua yang tadinya terbaring di ranjang dengan mata terpejam. Kini, mata itu memandang lurus ke arahnya, membuat Nicko tanpa sadar menundukkan kepala. Sebuah gesture penghormatan yang sulit dia tinggalkan.Sejak masih balita, anak-anak yang terlahir di Famiglia telah diajarkan untuk tidak mena
Kehebohan terjadi di Kastil Aurelia. Kedatangan seorang wanita berparas sama seperti Mia membuat semua pelayan berbondong-bondong hendak ke lantai dua, di mana wanita itu saat ini berada. Bahkan, Snow kesulitan untuk menghalau mereka agar kembali bekerja.“Astaga, aku tidak mengira parasnya serupa,” bisik Allana yang pura-pura membersihkan patung singa di bawah tangga.Piper yang juga tidak diperbolehkan naik ke lantai dua mengangguk membenarkan.“Ya, tidak hanya bentuk wajah, tetapi rambut dan ekspresinya tidak jauh berbeda,” timpal Piper yang juga berpura-pura mengelap keramik di dekat Allana.Sementara itu, Emily memilih untuk diam sembari mencuri-curi lihat ke lantai dua. Dia tampak sibuk membersihkan buffet dan pegangan tangga.Melihat ketiga wanita itu, tentu saja Snow hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia sangat yakin bahwa mereka akan langsung terbirit-birit ke dapur saat ditegur, sehingga pria itu pun mengawasi saja
Jaxon yang tidak tahan duduk terlalu lama akhirnya berdiri. Dia berjalan mondar-mandir di hadapan mereka semua. Dengan napas sedikit memburu dan amarah tertahan, pria itu seakan ingin meledak dan mengatakan sesuatu. Namun, Salvador yang menyadari hal itu pun hanya bisa menatap rekannya dengan ekspresi yang sulit dibaca.Seketika saja Salvador mengalihkan perhatian terhadap Fabiana yang saat ini mengkerut di kursi dengan pandangan terluka.“Bibi,” panggilnya pelan, yang membuat Fabiana mengangkat kepala. “Aku bisa pastikan untuk membawa Romero, tetapi aku tidak janji bila dia bebas dari luka.”Tatapan yang Fabiana berikan, membuat Salvador sedikit merasa bersalah. Selama menikah dengan Gioluca, wanita itu selalu berusaha terlihat lebih dominan dan sedikit arogan. Namun, Fabiana yang ada di depannya saat ini sangatlah jauh dari dua kata tersebut.Wanita yang dianggap paling kuat dan berkuasa, ternyata hanyalah seorang ibu yang terluk
Jaxon dan Salvador yang menunggu kedatangan Nicko tampak termangu di atas sofa. Keduanya lebih banyak diam sembari menanti kedatangan rombongan Famiglia yang akan membawa Gioluca ke kediaman Vitielo. Sementara itu, Rey serta yang lainnya duduk di seberang dengan posisi serupa. Mereka tampak menanti penuh antisipasi.Tidak ada satu pun suara, kecuali detak jam dinding serta kicauan burung di pepohonan dekat taman. Atmosfer di sekitar benar-benar sangat tegang dan intens.Di tengah-tengah keheningan, tiba-tiba saja terdengar ketukan pelan dari depan pintu, yang membuat semua kepala menatap ke sumber suara.“Biar aku yang lihat,” ucap Gavin, yang mulai berdiri dari tempat duduk.Dia mengintip dari celah kunci, dan mendapati Fabiana lah yang ada di depan sana. Melihat itu, Gavin menoleh ke balik tubuh, dan menangkap tatapan Rey yang bertanya.“Fabiana yang mengetuk,” ucapnya, menarik perhatian beberapa kepala. “Apa yang ha