Mia menghela napas panjang, dia menatap motel yang berdiri kumuh di pinggiran jalan tak jauh dari kota tujuannya, Denver. Setelah debat panjang dengan diri sendiri, akhirnya Mia memutuskan untuk keluar dari truk tua yang diberikan pria paruh baya itu.
Kesepakatannya adalah dia memberikan amplop kuning yang tersimpan aman di dalam tas ransel miliknya pada pria bernama Jaxon Bradwood tanpa membuka atau pun merusak amplop tersebut, utuh tersegel seperti pertama kali diberikan, dan setelahnya dia bebas untuk pergi kemana pun.
Itu tampak seperti tugas yang mudah, namun ada sesuatu yang mengganjal hati Mia sejak ia pergi meninggalkan Blueberry, seolah ada sesuatu yang menunggunya di Denver.
Berdebat cukup lama dengan pikirannya sendiri, Mia memutuskan untuk menginap di motel tua itu, dia tidak memiliki pilihan. Dengan uang dua ribu dollar, dia sadar tidak akan bisa bertahan lama di Denver. Biaya penginapan yang murah bisa menyimpan beberapa dollar untuk kebutuhan lainnya.
Keesokan paginya, Mia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, dua jam setelahnya dia sampai di Denver dan memilih berhenti di restauran sebelum mencari penginapan. Ia merasa lapar dan lelah, namun Mia tahu bahwa restauran adalah tempat yang pas untuk bertanya dan tentu saja untuk mengisi perut.
Ia baru saja duduk ketika seorang wanita seusianya mendekat dan menanyakan pesanan.
"Pie Apple dan kopi saja," pesannya.
Restauran itu tampak sudah tua, namun terawat dengan baik. Ada beberapa pengunjung yang menikmati kopi hangat di jam sepagi ini. Suasana di sana begitu tenang, membuat Mia merasa nyaman setelah perjalanan berjam-jam.
Pelayan itu membawakan pesanan Mia sembari memberi senyum sopan. Sebelum pelayan itu pergi, Mia memberanikan diri untuk bertanya seperti yang pria paruh baya itu sarankan.
"Apakah kau tahu pria bernama Jaxon Bradwood?" tanya Mia tanpa basa-basi lebih dulu.
Wajah tersenyum pelayan itu hilang seketika. Tatapannya begitu tajam seakan menguliti Mia. Gerakan tubuhnya yang tadi bersahabat berubah waspada. Melihat itu, Mia merasa tidak nyaman.
"Tidak, aku tidak mengenal pria yang kau sebut."
Pelayan itu beranjak pergi begitu saja dengan sikap tidak sopan.
Mia merasa kecewa dan menatap makanan di hadapannya tidak selera. Kalau bukan karena ancaman pria paruh baya itu, dia tidak akan mau jauh-jauh ke Denver hanya untuk menjadi kurir. Dengan kesal, Mia memotong pie di piringnya seolah ia sedang memutilasi seseorang
.
***
Hiruk pikuk teriakan menggema dalam ruang bawah tanah. Mereka meneriakkan kata-kata kasar memberi semangat pada dua pria yang bertarung di atas ring seperti dalam sangkar berwarna merah yang dikenal dengan Red Cage. Kedua pria itu seolah bertarung antara hidup dan mati dengan saling memukul keras tanpa ampun satu sama lain.
Gavin Caleston menonton pertarungan itu sembari mengawasi penonton lainnya dari lantai dua yang langsung menyuguhkan pemandangan di bawah. Dari tempat ia duduk, Gavin mendapat akses paling strategis yang menunjukkan status sosialnya dalam dunia bawah tanah. Tidak ada satu orang pun yang mau berurusan dengan pria sepertinya, tapi beda halnya dengan pria yang duduk di sebelahnya, Jaxon Bradwood, mereka menjulukinya 'The King of Underground'. Semua orang di Denver sangat mengenal Jaxon dan takut pada sosoknya yang tidak berbelas kasih.
"Aku bertaruh, pertarungan kali ini dimenangkan oleh Fritz," kata Gavin di antara teriakan pemberi semangat penonton lainnya.
Jaxon melirik Gavin sembari menggeleng tidak setuju, "Aku bertaruh pada Joe."
Gavin menaikkan sebelah alisnya, ragu.
"Taruhannya?"
Jaxon mengangkat bahu, "Apartemen di Upper Side."
"Hanya itu?" tanya Gavin dengan nada meremehkan. Dia merasa yakin bahwa Fritz-lah yang menang.
Melihat Jaxon yang diam dan seakan tidak peduli, akhirnya Gavin mengikuti permainan pria itu.
"Baiklah, Aku akan memberimu gedung apartemen itu. Berikan padaku Kastil Aurelia."
Jaxon tersenyum tipis seakan dia tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Aku tahu kau akan bermain kotor, Gavin," katanya sembari menggelengkan kepala. Tidak mungkin dia menukar kastil berharganya dengan satu buah gedung berisikan dua puluh delapan lantai. Sangat tidak sepadan.
Berpura-pura merasa tidak bersalah Gavin menatap tepat ke mata Jaxon dengan polosnya.
"Kau bicara apa, Jax? Aku tidak mengerti maksudmu."
Rey Fredrik yang sejak tadi mendengar percakapan kedua sahabatnya hanya menggelengkan kepala. Mereka bertiga sudah berteman sejak kecil dan pembicaraan seperti ini adalah hal biasa, namun terkadang Rey merasa persahabatan mereka tidak memiliki batasan jika salah satu dari mereka menginginkan sesuatu.
Semua orang tahu bahwa Kastil Aurelia dibangun di atas bukit emas. Jaxon seolah sengaja membangun 'Istananya' di atas tanah yang penuh sumber emas seakan-akan dia mendeklarasikan bahwa dia tidak butuh istana yang penuh emas ketika tanah di bawahnya adalah sumber emas itu sendiri.
"Deal," ujar Jaxon yang memberi jawaban mengejutkan bagi Gavin dan Rey. Kedua pria itu menatap Jaxon tidak percaya.
Belum sempat Gavin bertanya, lonceng kemenangan pertanda pertarungan berakhir berbunyi keras diiringi teriakan penuh kemenangan dari penonton dan si pemenang itu sendiri.
Kepala Gavin berputar cepat ke arah ring yang menggambarkan keadaan dimana Fritz terkapar di lantai sedangkan Joe mengayunkan kedua tangannya di udara mengisyaratkan pada suporternya untuk terus meneriakkan namanya penuh kemenangan.
Tertegun, Gavin melihat pemandangat di hadapannya dengan tubuh membeku sedang mulutnya sedikit terbuka, dia bahkan tidak menyadari tepukan yang diberikan Jaxon di pundak.
"Besok pengacaraku akan menemuimu, jangan lupa untuk menyiapkan semua dokumennya, Gavin. Aku berterimakasih atas ... kemurahan hatimu, kawan."
Suara tawa Rey tertelan oleh teriakan dua ribu orang lainnya yang meneriakkan nama Joe.
***
Sudah hampir delapan hari Mia bertanya kesana-kesini tentang pria bernama Jaxon Bradwood, tapi tidak ada satu orang pun yang mengenalnya. Bahkan reaksi mereka semua sama, tampak tidak senang ketika ia bertanya, dan gestur mereka berubah total, yang tadinya bersahabat dan ramah menjadi dingin dan kasar.
Kini Mia meragukan perkataan pria paruh baya itu.
"Apa dia mempermainkanku?" dengusnya kesal.
Mia memilih kembali ke motel tempatnya menginap.
Setiap kali melewati loby, Mia selalu mendapat tatapan penuh selidik dari resepsionis. Gadis yang bekerja di bagian frontdesk itu akan berpura-pura sibuk dengan komputer di hadapannya ketika mendapat tatapan balasan dari Mia. Merasa diawasi, Mia memutuskan untuk cepat-cepat menuju ke kamarnya. Dia sangat muak dicurigai dan dianggap seperti seorang kriminal hanya karena mencari pria asing yang hingga saat ini tidak diketahui existensinya.
Begitu memasuki kamar, Mia mendapat telepon dari Matt. Ini sudah keempat kali bossnya menelepon sejak Mia meninggalkan Blueberry. Ponsel pemberian pria tua itu sedikit banyak membantunya untuk tetap terhubung dengan bossnya.
"Matt," sapanya dengan intonasi lelah bercampur frustrasi.
"Kau tidak juga kembali ke Blueberry?"
Mia berjalan menuju kasur dan melempar tas ransel di atasnya, lalu duduk di ujung kasur queen size itu.
"Sudah kukatakan padamu, Matt, aku akan kembali secepatnya."
"Baiklah, tapi kabari aku jika kau sudah menemukan pria bernama Jaxon ini, ya?"
Mendengar suara Matt yang penuh kekhawatiran membuat hati Mia menghangat. Matt selalu menjadi sosok ayah bagi Mia. Dia memperlakukan Mia seperti gadis itu adalah anaknya sendiri. Entah sudah berapa kali Matt memberi bantuan pada Mia hingga gadis itu tidak bisa menghitung kebaikannya.
"Ya, aku akan menghubungimu lagi, Matt," kata Mia mengakhiri sambungan.
Mia berjalan menuju jendela dan menatap pemandangan di luar. Dari tempatnya berdiri, Mia hanya disuguhkan pemandangan jalanan Denver yang padat. Lalu-lalang mobil di luar sana membuat Mia sakit kepala hingga gadis itu memutuskan untuk berbaring.
***
Dua pria di balik monitor dalam ruang keamanan mengawasi seorang pria yang sejak tadi menggoda wanita yang duduk tak jauh dari lantai dansa. Keduanya tampak sedang berbicara, namun ada sesuatu yang ganjil dengan pria itu.
"Sir," panggil salah satu dari petugas keamanan pada alat komunikasi yang berada di telinganya.
"Ada apa?" jawab Fritz yang berjaga di depan pintu bertuliskan Head Office.
Sebagai kepala Security di GC Club, sudah menjadi tugas Fritz untuk mengontrol keamanan di klub itu.
"Kami melihat Max berada di dekat lantai dansa."
"Panggil Bouncer dan keluarkan dia dari sini, cari tahu bagaimana dia bisa masuk ke klub."
"Baik, Sir."
Fritz mengetuk pintu Office sebelum memasuki ruangan. Dia mendapat tatapan bertanya dari Jaxon dan Gavin yang tengah duduk bermain kartu di dalam ruangan itu.
"Max berada di lantai dansa," kata Fritz yang membuat otot wajah Jaxon mengetat dan air mukanya keruh.
***
Awalnya Mia mengira klub Malam adalah ide yang bagus untuk mencari pria asing bernama Jaxon Bradwood. Di benaknya, pria seperti Jaxon Bradwood pastilah mengunjungi klub malam, meski sedikit ragu tapi Mia setidaknya ingin mencoba mencari pria itu di tempat-tempat seperti ini, namun entah mengapa ide itu berubah menjadi tidak menyenangkan saat seorang pria narsis mendekatinya dan membual padanya hanya untuk membawanya ke tempat tidur. Mia sama sekali tidak terkesan dengan cara pria itu yang mengagung-agungkan diri dan memamerkan kekayaan dan kemampuannya di atas ranjang.
"Kau tidak akan menyesal, Babe, aku bisa memberimu surga malam ini." Pria itu selalu mengulang kalimat yang sama hingga Mia merasa bosan.
Heaven my ass, umpatnya.
Dia ingin keluar dari klub itu sebelum kehilangan kewarasan. Bahkan pusing yang sejak siang dia rasakan tidak juga reda dan bertambah parah setelah dia menyisip margarita yang Mia yakini berjumlah sedikit.
Ocehan pria di depannya menambah parah suasana hatinya, rasanya Mia ingin menangis dengan situasinya saat ini.
"Aku yakin kau bisa mendapatkan wanita lain Mathew, karena untuk ke dua puluh tiga kalinya aku menolak," kata Mia sembari memberi senyuman palsu. Dia yakin itu sudah ke dua puluh tiga kali.
"Sweetheart, tidak ada yang bisa menggantikanmu. Percayalah padaku, tidak ada pria yang mau menukarmu dengan wanita manapun. Aku akan memberikan apapun padamu. Dan tolong panggil aku Max bukan Mathew, kau salah lagi memanggil namaku. Aku tidak ingin kau memanggil nama pria lain saat bersamaku."
Mia merasa mual saat mendengar suara Max yang berubah berbisik saat mengatakan kalimat terakhir.
"Dengar Math—"
"Max."
"Yah, maksudku Max. Aku tidak tertarik dengan tawaranmu. Please, tinggalkan aku sendiri." Mia hendak berdiri saat ia merasakan sekitarnya berputar dan dengan cepat tangannya meraih meja.
"Shhh ... aku akan membantumu Sweetheart."
Mia merasakan tangan dingin Max melingkar di lengannya. Dia menepis genggaman itu dan berusaha menjauh.
"Aku bisa sendiri." Perasaan kesal membuat Mia ingin membentak Max untuk menjauh. Dia tidak suka tangan pria itu menggerayangi tubuhnya. Mia yakin ada sesuatu dalam minumannya, dan satu-satunya pelaku yang Mia yakini hanyalah Max.
Seolah tidak menghiraukan protes dari Mia, Max tetap saja meletakkan tangannya di tubuh gadis itu.
“Biarkan aku membantu Sweetheart, kau sangat mabuk. Aku tidak ingin kau terjatuh dan mencium lantai di depan mataku.”
Genggaman Max berubah agresif ketika Mia menolak bantuannya. Gadis itu meringis kesakitan saat genggaman tangan Max mengetat di pergelangan tangannya.
"Jangan menyentuhku!" Mia yakin bahwa dia barusan menjerit, namun suara yang keluar terdengar seperti orang mabuk dimana lidah dan bibirnya tidak singkron sehingga menghasilkan suara aneh dan tidak jelas.
Tawa Max seolah mengejek keadaannya yang mabuk membuat Mia gusar hingga gadis itu mengayunkan tangannya tanpa arah yang hanya mengenai udara. Matanya terasa berat dan tubuhnya mulai lemas, dia tidak yakin akan tetap sadar dalam beberapa menit ke depan.
“Aku tidak mengira kau bisa lebih imut lagi, Sweetheart. Sikapmu yang seperti ini benar-benar menghibur.”
Kepalan tangan Mia hanya menyentuh pelan permukaan dada pria itu tanpa menyakiti targetnya. Dia benar-benar kehilangan kontrol tubuhnya.
“Hey, Max!”
Dari sudut mata Mia melihat dua pria bertubuh tinggi besar mendekati mereka. Wajah keduanya datar tanpa emosi, tetapi perasaan Mia mengatakan tidak ada hal baik bila mereka didatangi Bouncer. Tidak hanya satu, melainkan dua sekaligus.
Mia hendak berteriak meminta tolong pada pria-pria itu, tetapi Max sepertinya tahu apa yang Mia pikirkan. Dengan kasar Max menutup mulut Mia yang hendak berteriak dengan tangannya yang bebas. Dengusan keras Max mengejutkan Mia hingga jantungnya berdegup kencang.
Kedua Bouncer itu berdiri sangat dekat dengan mereka, hingga tidak lagi ada jarak. Mata Mia menangkap perhatian salah satu dari Bouncer itu. Tolong aku, please. Dia berharap tatapannya dapat berkomunikasi dengan Bouncer tersebut.
“Kau menyakiti gadis itu Max.”
“Aku tidak menyakiti siapapun Thomas. Jadi pergilah, aku bisa mengurus diriku sendiri.”
Tubuh Mia merinding mendengar nada Max yang berubah dingin penuh emosi. Jauh berbeda dengan suara manis madunya saat mereka tadi berbicara.
“Miss, apa kau baik-baik saja?”
Hati Mia menghangat mendengar kekhawatiran Bouncer bernama Thomas itu. Dia hendak mengangguk saat tiba-tiba pandangannya kabur dan dirinya hilang kesadaran. Tubuhnya mencium lantai begitu Max ditarik oleh kedua Bouncer itu dengan paksa. Max berteriak kencang membuat keributan di tengah musik DJ yang keras. Sumpah serapah mewarnai pemberontakannya. Kedua Bouncer itu melumpuhkannya hingga dia tengkurap di lantai dengan kedua tangan dikunci mati oleh Thomas yang bersimpuh di sampingnya.
Mata Max melirik dengan liar ke sekitar. Lingkaran kecil yang mereka ciptakan kini menjadi besar lima kali lipatnya. Saat itulah dia melihat satu sosok yang sangat dia benci berdiri tidak jauh darinya, dan Mia yang sempat dia lupakan kini berada dalam pelukannya. Gadis itu tampak tertidur dengan balutan jas yang menutupi seluruh tubuhnya.
“Jaxon!” teriak Max frustrasi. Semua orang dapat melihat tatapannya yang penuh kebencian saat menatap Jaxon. Ditambah lagi Mia berada dalam gendongannya. “How dare you! Kau pikir aku akan diam saja!” ucapnya penuh ancaman.
Jaxon hanya diam memandangi saudara laki-laki yang tidak pernah dia anggap itu. Meskipun tubuhnya tampak santai dan tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekitar, tetapi matanya tidak bisa membohongi. Rasa bencinya mungkin lebih besar dibanding apa yang Max rasakan terhadap dirinya.
“Berapa kali aku memberimu peringatan untuk tidak menginjakkan kaki di propertiku?” kata Jaxon dengan nada dingin.
Max tertawa keras seolah Jaxon baru saja mengatakan lelucon lucu. Thomas harus memukul punggungnya tiga kali untuk membuatnya berhenti tertawa.
“Aku tidak ingat kalau tempat ini adalah propertimu Jaxon, yang kuketahui adalah kau menggunakan uangku untuk membangun tempat ini!” umpat Max diikuti beberapa kata-kata kotor.
Alis kiri Jaxon naik sedikit mendengar kalimat Max barusan.
“Jika ada sesuatu yang kau tidak suka mengenai kepemilikan hartaku, silahkan hubungi pengacaraku Maxon. Jangan lupakan etika yang kau pelajari dalam lingkungan elit sosial yang kau agung-agungkan di hadapanku dulu.” sindir Jaxon dengan nada merendahkan.
Jaxon mengalihkan perhatiannya ke Thomas. Dia mengisyaratkan dengan satu anggukan pada bawahnnya itu. Isyarat yang dengan jelas mengatakan untuk mengeluarkan Max dari klub dan seluruh klub yang ada di Denver. Dipastikan, tidak sampai lima menit setelah Max keluar dari klub ini, berita pemblokiran Maxon Bradwood di seluruh hiburan malam Denver akan menyebar dengan cepat.
Jaxon berbalik badan meninggalkan lokasi keributan, mempercayakan bawahannya untuk mengatasi semua, tanpa menghiraukan umpatan sumpah serapah Max yang menginginkan perkelahian dengannya saat dia berjalan kembali ke lantai dua.
Perhatiannya teralihkan pada wanita yang kini berada di atas kedua lengannya. Saat itulah dia menyadari tengah menggendong wanita tersebut. Saat keributan tadi terjadi, dia langsung menyelamatkan wanita itu. Instingnya bekerja cepat untuk melindunginya.
“Apa yang akan kau lakukan pada wanita itu, Jax?”
Jaxon baru menyadari kehadiran Gavin. Fokusnya hanya pada Max selama keributan terjadi.
Lagi-lagi Jaxon menatap wanita dalam gendongannya. Dia juga tidak tahu apa yang akan dia lakukan pada wanita itu. Dengan sadar dia memperhatikan wajah pulas wanita itu. Hidungnya yang mungil membuat sudut bibir Jaxon melengkung sedikit. Button Nose, bisiknya. Alis dan bulu matanya asli, tidak ada make up berlebihan kecuali lipstik merah muda yang menambah daya tarik bibir penuhnya. Wajah porselinnya terlihat … sempurna.
Jaxon menghelas napas beberapa kali untuk membersihkan kepalanya dari bayangan yang tidak seharusnya.
“Kau mau aku yang mengurus wanita itu, Jax? Kau tidak harus bersusah payah memikirkan wani―”
Tatapan tajam yang Jaxon lontarkan cukup untuk menutup mulut Gavin. Sahabatnya itu hanya tersenyum menahan tawa melihat reaksinya barusan. Jaxon mengumpat pelan, dia tahu Gavin hanya mempermainkannya.
“Tapi kau benar-benar tidak akan melakukan apa-apa pada gadis itukan?”
Jaxon menghela napas dan menatap sahabatnya itu.
“Kau pikir apa yang akan aku lakukan pada wanita ini Gavin?”
Gavin mengedikkan bahunya.
“Aku tidak akan melakukan apa-apa. Dia hanya wanita yang tidak berbahaya. Kau lihat sendiri bagaimana mudahnya membuat wanita ini percaya pada orang asing hingga minumannya diberikan obat.”
“Yah, yah, kau benar. Tetapi wanita ini punya nama Jaxon, dan jangan berpura-pura kau tidak tahu. Kau bahkan lebih mengenal kota ini dibanding sesepuh yang hidup ratusan tahun di Denver. Tidak ada satu bisik-bisikpun yang luput dari pendengaranmu.” Gavin menggelengkan kepalanya. Dia mengenal Jaxon sejak mereka masih bocah ingusan yang hobinya mendayung sepeda mengelilingi kota ini untuk mengantarkan beberapa ‘barang’ pada cartel―mafia― yang membutuhkan ‘jasa’ mereka. Katakanlah sejak kecil mereka adalah partner kriminal karena bayarannya cukup untuk membeli mainan baru.
Jaxon mengabaikan ocehan Gavin hingga mereka memasuki ruang office. Dia membaringkan wanita dalam balutan jas hitamnya di atas sofa.
“Apa kau tidak penasaran apa yang gadis ini inginkan di Denver dan berkeliaran mencarimu?”
Entah mengapa Jaxon tidak bisa melepaskan pandangannya pada wajah gadis yang tampak tertidur pulas bagaikan malaikat di atas sofa maroonnya. Rambut kuning madunya menjuntai hingga menyentuh lantai.
Jaxon memaksakan tubuhnya untuk meninggalkan wanita itu. Dia berjalan menuju kabinet yang berisi minuman keras dan menuangkan wiski ke gelas kristalnya.
“Kita lihat saja, berapa lama wanita ini menyerah mencariku.”
“Tapi tidak begitu caramu bermain, Jaxon.”
“Bagaimana caraku bermain, Gavin?” Jaxon menengguk minumannya dan tanpa sadar beberapa kali dia menarik dasi yang terasa mulai mencekik.
“Setiap hari kau mengikuti pergerakan gadis itu, bahkan kau terlihat … tertarik saat mendengar seorang wanita cantik berparas malaikat mencarimu sendirian di jalanan Denver dan kau tahu itu berbahaya untuk dirinya, dia bisa saja menjadi target musuh-musuhmu.”
Jaxon membelakangi Gavin, dia tidak ingin sahabatnya itu melihat ekspresi wajahnya saat ini.
Sejak awal gadis itu menginjakkan kakinya di Denver, Jaxon sudah mendengar tentangnya. Dia bahkan menaruh beberapa mata-mata untuk mengawasi pergerakan gadis itu. Jaxon ingat dengan jelas di hari pertama kedatangan gadis itu.
Saat itu dia baru saja menyelesaikan meeting dengan beberapa orang kepercayaannya ketika Fritz tiba-tiba memberitahunya ada wanita asing berkeliaran mencarinya. Setiap hari dia menanyakan perkembangan tentang wanita itu. Jaxon meringis saat mengingat satu kejadian saat sedang menikmati makan siang di De La Crush tempat dimana gadis itu selalu singgah untuk makan siang.
Ketika itu dia sengaja mendatangi De La Crush tempat gadis itu biasanya makan siang.
“Prez!” Saat itu pemilik restaurant De La Crush bernama Grant mendatanginya begitu dia memasuki restauran.
“Grant,” jawabnya seperti biasa. Dia hendak mengoreksi Grant untuk tidak lagi memanggilnya Prez karena sudah lama dia melepas jabatan Presiden di Klub Motor yang saat ini masih exist bernama Hades, tetapi mengurungkan niatnya. Karena beberapa orang yang sangat dekat dengannya mengenalnya sebagai Prez―singkatan dari Presiden.
Jaxon meringis mengingat julukan yang dia dapat. Bahkan beberapa waktu lalu, sebuah surat kabar menjulukinya Kingpin―Gembong.
“Jika aku tahu kau akan datang, pasti kusiapkan makanan favoritmu. Tidak bisanya kau datang tanpa memberitahuku lebih dulu.”
Jaxon hanya memberi senyum simpul. Entah mengapa akhir-akhir ini dia melakukan sesuatu diluar kebiasaan.
“Aku tidak akan lama. Masih ada urusan yang menunggu,” jawabnya tanpa memberi penjelasan.
Grant membawanya ke meja yang biasa dia tempati setiap kali berkunjung. Meskipun makanannya sudah terhidang di meja kurang dari lima menit kemudian, dia tidak menyentuhnya. Pandangannya fokus pada pintu. Bahunya menegang antisipasi begitu pintu itu terbuka dan seorang wanita masuk, jantungnya berdegub kencang tetapi rasa kecewa mencubit ulu hatinya karena wanita itu bukan yang dia tunggu.
Sepuluh menit berlalu, wanita itu tidak kunjung datang. Dia mulai kesal. Bahkan Grant yang berdiri di seberang ruangan menatapnya bingung karena sejak tadi dia tidak menyentuh hidangan di meja. Dia memutuskan untuk menunggu lima menit lagi, tetapi hingga batas waktu lima menit berlalu wanita itu tidak juga menunjukkan batang hidungnya.
Jaxon mengeluarkan ponselnya dengan setengah kesal menelepon salah satu orang kepercayaannya.
“Kau mengikuti wanita itu?” tanyanya begitu telepon diangkat, tanpa sapaan, to the point.
“Yes, sir,” jawaban dari seberang.
“Dimana dia?” tanyanya lagi masih dengan nada kesal.
Sambungan di seberang hening, dan terdengar deheman.
“Fritz?” Panggilnya sedikit meninggikan suara menunggu jawaban dengan tidak sabar.
“Sir, sepertinya gadis itu tidak akan ke De La Crush. Sejak tadi dia hanya duduk di Denver Park. Dan … memberi makan bebek.”
Keduanya terdiam cukup lama, hanya terdengar suara statis tanda jaringan masih tersambung.
“Memberi makan … bebek?” tanya Jaxon akhirnya, tertegun.
“Yah, ehem … sekarang dia berpindah tempat dan memberi makan … merpati.”
Jaxon bisa mendengar nada geli yang Fritz sembunyikan.
Dan benar saja, wanita itu tidak menunjukkan batang hidungnya di De La Crush seharian itu. Dia memastikan informasi tersebut akurat.
Demi menghargai Grant, Jaxon menghabiskan makanan di hadapannya walau dengan susah payah menelan dalam waktu kurang dari sepuluh menit, sebelum akhirnya berpamitan kembali ke kastil.
Di hari berikutnya, dia memastikan gadis itu ke De La Crush lebih dahulu sebelum menyusul belakangan, dengan begitu dia tidak terlihat seperti anak SMA yang menanti antisipasi pujaan hati di kencan pertama.
Jaxon masih ingat dengan jelas saat pertama kali melihat wanita itu secara langsung.
Wanita itu duduk sendiri di sudut ruangan, seolah menyembunyikan diri, tetapi hampir semua pria di ruangan itu menatapnya tanpa henti. Jaxon memutuskan untuk memilih meja yang lain, karena meja biasa yang dia tempati bersebelahan dengan meja wanita itu.
Lagi-lagi Grant menatapnya bingung saat dia memilih meja di tengah-tengah ruangan. Posisi yang selalu dia hindari.
Lama Jaxon memperhatikan. Tidak hanya cantik, pembawaan wanita itu tampak anggun, seperti wanita-wanita yang berasal dari keluarga elit yang biasa dia temui. Mulai dari cara makan dan gerak tubuhnya, jelas menunjukkan wanita itu bukan dari kalangan biasa. Tetapi pakainnya berbanding terbalik. Jika tebakannya benar, jeans dan kaos yang dipakai wanita itu harganya hanya 3 dollar di Goodwill.
Di hari kedua wanita itu berada di Denver, Jaxon mendapat informasi dari salah satu sumber terpercaya. Wanita itu bernama Mia Heart, berusia 22 tahun. Nama Mia Heart exist sejak empat tahun lalu. Lalu, dimana keberadaan Mia Heart delapan belas tahun sebelumnya?
Dari sudut matanya, Jaxon bisa melihat kepala Grant seperti bola pimpong saat memperhatikan dirinya yang memperhatikan Mia Heart. Bahkan semua orang di De La Crush menatap dirinya waspada ketika Mia menanyakan pria bernama Jaxon Bradwood tepat di depan wajahnya.
“Apa kau tahu pria bernama Jaxon Bradwood?” tanya Mia dengan nada pelan, namun nama Jaxon Bradwood membuat semua percakapan terhenti. Seluruh mata tertuju pada Jaxon yang duduk di tengah ruangan. Perfect. Batin Jaxon sambil terus mengunyah salmon di mulutnya sedangkan matanya fokus ke piring..
Gadis pelayan yang Jaxon kenal bernama Vero melirik ke arahnya dengan alis bertaut bingung menghadapi situasi itu. Jaxon mengangkat gelas di hadapannya dan menyesap minuman itu seakan dia tidak mendengar apa-apa.
Vero berdehem dan menjawab Mia dengan senyum dipaksakan.
“Aku tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya, maafkan aku,” jawabnya terlihat setulus mungkin. Mia mengatakan sesuatu tentang take away untuk makan malam. Vero mengangguk sekali. “Nanti kuantarkan pesananmu, panggil saja jika kau mau yang lain,” ucapnya sebelum beranjak pergi.
Vero menatap Jaxon penuh tanda tanya saat melewati mejanya. Gadis itu tampak ingin tertawa. Jaxon dengan polosnya menikmati makanan di hadapannya.
Jaxon menunggu setidaknya setengah jam setelah Mia Heart keluar dari De La Crush sebelum dia beranjak dari kursi. Grant hanya menepuk pundaknya pelan saat dia hendak keluar. Seolah mengisyaratkan dia memberi dukungan pada Jaxon.
Setidaknya itulah yang Jaxon lakukan selama seminggu ini, mengawasi, mengikuti, mencari informasi, dan memajukan jadwal makan siangnya yang sebelumnya jam tiga sore menjadi jam satu di De La Crush.
Saat ini wanita itu tertidur pulas di dalam kantornya, di atas sofa tanpa menyadari kehadirannya. Jaxon melirik kearah Mia Heart. Berpikir keras untuk langkah selanjutnya, namun keningnya berkerut begitu dia mendengar suara Candy Crush dari sudut ruangan. Bahkan Gavin mulai bosan dan mengisi kesunyian dengan permainan di ponselnya.
Suara alarm seperti pemadam kebakaran membangunkan Mia. Pandangannya masih digelayuti kantuk saat menemukan ponsel tersebut di atas meja, di sampingnya. Baginya ini masih terlalu pagi. Beberapa kali dia mengedipkan mata mengusir kabut di kepalanya hingga suara ketukan di pintu mengembalikan kesadarannya.Mengerang pelan, Mia bangkit dari kasur. Dia masih dibalut bajunya yang malam tadi.Tas putih mungilnya berdekatan dengan ponselnya. Kondisi kamar motel yang dia sewa masih sama seperti kali terakhir dia tinggalkan, tetapi keningnya berkerut saat mendapati jas hitam di sisi kasur yang satunya. Dia hendak meraih jas tersebut saat suara ketukan di pintu kamarnya terdengar untuk kedua kalinya.
Keheningan menyelimuti ruangan itu. Mia berdiri gelisah mendapat tatapan menyelidik dari tujuh pasang mata. Dia merasa seperti benda antik dalam museum yang sedang diobservasi. Tidak satupun dari pria-pria tampan dalam ruangan itu bergerak dan membalas sapaannya, kecuali satu orang, pria berambut pirang dan berwajah imut yang berdiri di dekat sofa.Pria itu tersenyum padanya, namun seolah menahan geli. Mia bahkan tidak mengerti dimana letak lucunya.“Namaku, Mia He―.”“Kami sudah mendengar namamu barusan, tidak perlu memperkenalkan diri.”Mia menata
Tidak bisa dipercaya. Batin Mia saat dia dikurung di sebuah ruangan, bahkan ada dua pria bersenjata yang kini berjaga di balik pintu. Rasa marah membuatnya tidak bisa duduk berdiam diri. Lama dia menunggu di ruangan, tapi hingga makan malam diantar, pria yang dia tunggu tidak kunjung menemuinya.“Aku tidak butuh makanan-makanan ini. Bawa semuanya kembali, dan biarkan aku keluar!” serunya kesal pada pemuda yang mengantar troli penuh makanan.Pemuda itu terlihat tenang, seakan tidak ada siapapun yang berbicara di ruangan itu.Merasa diabaikan, Mia mulai berteriak dan tidak menyentuh makanan yang dihidangkan.
Dua pria terkapar tak berdaya di dalam ruang bawah tanah Red Cage. Noda darah mengotori baju keduanya. Pandangan mereka setengah fokus pada sosok yang berdiri di tengah ruangan. Tubuh tinggi menjulang dengan tangan terkepal berbalur darah segar hingga menetes di ujung sepatu kulitnya yang mengilat.“Sudah cukup Jax,” ucap Rey yang sejak tadi mengawasi Jaxon memukuli dua pria di hadapannya yang mulai tak sadarkan diri.Jaxon tidak mendengarkan ucapan Rey. Tangannya cepat meraih senjata api dari balik punggungnya. Sahabatnya itu seolah menutup akses kesadaran pada lingkungan sekitar, tenggelam dalam hasrat membunuh yang menyelimuti tubuhnya.&ldq
Rasa malu menjalari pipi Mia keesokan paginya. Untung saja hari terlalu pagi sehingga meja makan itu sepi dan hanya beberapa pelayan yang bertugas. Dia bahkan berdoa pagi itu Jaxon tidak ada di Kastil Aurelia, karena dia tidak sanggup bertatapan langsung dengan mata gelapnya yang indah.“Apa tidurmu nyenyak?”Dan harapan itu terhempas begitu suara maskulinnya mengisi ruang makan yang sepi.“Ya,” jawab Mia semakin menundukkan kepala tanpa sekalipun menatap ke arah Jaxon yang duduk di kepala meja berjarak satu bangku darinya.
Tinggal di Denver tidak seburuk yang Mia pikirkan sebelumnya, malah sebaliknya. Dia mendapatkan teman baru dalam waktu singkat. Semua pegawai di De La Crush memperlakukannya dengan sangat bersahabat.Biasanya di Blueberry Hill dia selalu menghabiskan waktu kosong dengan mengurung diri di apartemen studionya, tetapi di Denver hampir setiap malam setelah shiftnya berakhir dia diajak keluar. Terkadang teman-teman barunya mengajaknya ke klub atau hanya sekedar nongkrong di cafe terdekat, dan dia merasa senang hari-hari yang dilaluinya tidak lagi sendiri. Hari-harinya memakan roti lapis juga berakhir seiring datangnya kiriman makan siang dari pria misterius yang meni
Suara-suara percakapan membangunkan Mia. Kepalanya bergerak sedikit saat dia mendengar Jaxon mengatakan sesuatu pada seseorang.“Mual,” keluh Mia. Dia meraba-raba sekitar, dan meraih baju kemeja yang Jaxon pakai untuk menarik perhatian pria itu.“Shhh … sebentar lagi, Mia.” Jaxon mengeratkan pelukannya yang membuat Mia sadar bagaimana posisi keduanya di bangku belakang mobil SUV pribadi Jaxon.Tadinya Jaxon terburu-buru keluar dari Sugar Trap tanpa pamit kepada teman-temannya, dan dia tahu keenam sahabatnya pasti menyaksikan adegan tadi dari meja bar, dan Jaxon dapat mendengar tawa mereka saat dirinya kesakitan menahan pukula
Suara langkah kaki yang terdengar dari arah lorong kamar membangunkan Mia. Gadis itu tiba-tiba bangkit dari kasur dan berjalan perlahan menuju pintu untuk mengintip siapa yang berada di balik sana. Jantungnya berdegup kencang saat dia kembali mendengar suara langkah samar-samar mondar-mandir di sepanjang lorong. Mia melirik jam di atas nakas masih menunjukkan pukul satu pagi.Pelan dia membuka pintu dan seketika tertegun saat mendapati Jaxon berdiri di sana.“Apa yang kau lakukan?” tanya Mia tiba-tiba hingga membuat Jaxon yang tidak fokus dengan sekitar nyaris melompat dari kulitnya, namun Mia tidak merasa bersalah sama sekali, bahkan gadis itu mendelik tajam pada Jaxon. Rambut yang biasanya klimis dan rapi terlihat berantak
Halo, Blezzia mengucapkan terima kasih kepada pembaca setia The King Of Denver :) Dan ya, seperti yang kalian baca, kisah ini baru saja berakhir SEASON PERTAMA-nya dan itu artinya akan ada SEASON KE-DUA yang akan Blezzia lanjutkan. Sesuai permintaan beberapa pembaca, yang tidak ingin novel ini berakhir dengan cepat, maka Blezzia mempertimbangkan akan membuat Season KE-DUA kisah Jaxon dan Mia (Bukan Nicko dan Disya) setelah menyelesaikan kisah Danny dan Hilda di Novel Wanita Rahasia CEO, oleh karena itu, Blezzia minta maaf untuk Delay yang terjadi. Karena ini novel kesayangan Blezzia, jadi kisah mereka akan sangat panjang. (Kalau perlu sampai anak cucu) Do'ain saja semoga diberikan izin oleh pihak GN ya ~ Biar nanti Blezzia lebih fokus ke Denver dan bisa update tiap hari nantinya <3Jika tidak ada halangan, maka diperkirakan Juni/Juli 2022 seluruh novel on-going yang sedang Blezzia tulis akan tamat. Lalu, bagaimana dengan kisah Nicko dan Disya? M
Mia terlihat sibuk berbincang dan tertawa bersama Disya di gazebo, saat tiba-tiba keduanya mendengar suara langkah kaki dari arah kanan taman. Serentak, wanita-wanita itupun menoleh bersamaan ke arah sumber suara, yang tak lain adalah Allana. Dengan senyum terkembang di wajah, Mia menyambut kedatangan pelayan terdekatnya itu, lalu meminta wanita tersebut untuk ikut bergabung di meja. Akan tetapi, Allana menolak sembari menoleh sedikit ke arah jalan yang tadi dilaluinya. Hal itu pun membuat Mia dan Disya mengikuti arah pandang pelayan wanita itu. Namun, mereka tidak menemukan apa-apa di sana, membuat Mia bertanya-tanya. “Ada apa?” Allana kembali menoleh pada dua wanita di hadapan, dan dia hanya menjawab dengan gerakan ragu-ragu. “Ada... seseorang yang ingin menemui... anda dan Miss Flontin,” ucapnya, sembari melirik ke arah Disya yang tetap duduk tenang dengan secangkir teh dalam genggaman. Mendengar penjelasan tersebut, sek
Jaxon memasuki ruang tengah kediaman keluarganya, dan tepat di hadapannya telah duduk Jeff Bradwood dengan ditemani ibu tirinya, Ruby. Melihat kehadiran anggota Red Cage dalam ruangan, seketika bahu Jeff tampak tegang, padahal dia sudah mendengar kedatangan mereka sebelum mencapai gerbang. Namun, melihat pria-pria yang parade saat masuk ke dalam ruangan, Jeff pun tak mampu bergerak dari tempatnya duduk di sofa.“Jeff,” sapa Jaxon, dengan kedua tangan berada di saku celana.Bukannya menyahut, Jeff Bradwood hanya berdeham sembari menatap ke segala arah. Sengaja menghindari tatapan bosan puteranya.Pandangan Jaxon pun beralih pada Ruby yang tersenyum dengan sensual. Tetapi dia abaikan. Kini, perhatiannya kembali pada sang ayah yang mencoba memasang wajah poker face.“Aku melihat keadaanmu baik-baik saja,” ucap Jaxon, berbasa-basi sembari duduk di sofa.Dia menatap kedua orang di hadapan dengan pandangan yang sulit dibaca.
Jaxon yang saat itu sedang menyesap batangan rokok di balkon sendirian, tiba-tiba saja dikejutkan dengan kehadiran Nicko dari arah belakang. Kedua pria itu tampak diam ketika berdiri sejajar pada railing. Namun, gestur Jaxon yang hendak berbagi batangan rokok di tangan menunjukkan bahwa apapun di antara mereka sebelumya telah terlupakan.Kini, kedua pria itu terlihat mengepulkan asap bersamaan. Sedangkan pandangan keduanya saling menerawang ke arah langit yang menyuguhkan pemandangan indah dengan taburan milk way di atas mereka.Di pulau ini, keduanya dapat melihat pemandangan langit malam yang jarang didapatkan jika di perkotaan. Bahkan, langit di sana jauh lebih cerah dari apa yang biasanya mereka lihat sebelumnya. Tidak hanya itu, rembulan yang cahayanya kemerahan, tampak tergantung indah di antara pemandangan malam lainnya, seolah tidak mau kalah untuk memanjakan mata para pen
“Apa kau sudah memberitahunya?” kejar Jaxon saat Nicko baru saja keluar dari ruang perawatan.Kepala pria itu menggeleng lemah. Dan, dengan berat dia mengatakan; “Belum. Aku tidak bisa melakukannya.”Melihat ekspresi Nicko yang tercekat, Jaxon pun menarik temannya itu ke dalam pelukan. Satu tangannya menepuk-nepuk punggungnya pelan, sementara dia membisikkan kata-kata penuh dukungan.“Aku bisa melakukannya jika kau mau.”Setelah keduanya memisahkan diri, Nicko yang berwajah sendu pun menatap ragu-ragu. Dia tidak ingin terbawa suasana, seperti saat di salam sana.“Terima kasih, Brother.”Kedua pria itu saling memandang paham.“Baiklah, aku akan kembali ke mansion lebih dahulu,” ucap Nicko, meninggalkan kumpulan teman-temannya yang duduk di kursi tunggu dengan masing-masing memegang chips dan roti yang tadi Gavin bawa.“Bye brother,” kata pria-pria itu serent
Nicko menutup ponselnya ketika dia mendengar laporan dari Henrieta. Beberapa kali dia menarik napas, sebelum membuangnya perlahan. Sekembalinya nanti, dia akan memberikan penjelasan pada kekasihnya yang bisa saja sedang menahan marah di seberang lautan sana.Meskipun dia tidak tahu apa yang akan menantinya, Nicko berharap Disya mau mendengarkan penjelasan.Dia hendak berbalik badan, saat tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara yang memanggil namanya pelan. Seketika bulu romanya berdiri, dan jantungnya berpacu saat suara tua itu menyebutkan namanya dengan nada sedikit bergetar.“Nicko … Anderson?”Perlahan, Nicko pun menoleh ke arah tubuh tua yang tadinya terbaring di ranjang dengan mata terpejam. Kini, mata itu memandang lurus ke arahnya, membuat Nicko tanpa sadar menundukkan kepala. Sebuah gesture penghormatan yang sulit dia tinggalkan.Sejak masih balita, anak-anak yang terlahir di Famiglia telah diajarkan untuk tidak mena
Kehebohan terjadi di Kastil Aurelia. Kedatangan seorang wanita berparas sama seperti Mia membuat semua pelayan berbondong-bondong hendak ke lantai dua, di mana wanita itu saat ini berada. Bahkan, Snow kesulitan untuk menghalau mereka agar kembali bekerja.“Astaga, aku tidak mengira parasnya serupa,” bisik Allana yang pura-pura membersihkan patung singa di bawah tangga.Piper yang juga tidak diperbolehkan naik ke lantai dua mengangguk membenarkan.“Ya, tidak hanya bentuk wajah, tetapi rambut dan ekspresinya tidak jauh berbeda,” timpal Piper yang juga berpura-pura mengelap keramik di dekat Allana.Sementara itu, Emily memilih untuk diam sembari mencuri-curi lihat ke lantai dua. Dia tampak sibuk membersihkan buffet dan pegangan tangga.Melihat ketiga wanita itu, tentu saja Snow hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia sangat yakin bahwa mereka akan langsung terbirit-birit ke dapur saat ditegur, sehingga pria itu pun mengawasi saja
Jaxon yang tidak tahan duduk terlalu lama akhirnya berdiri. Dia berjalan mondar-mandir di hadapan mereka semua. Dengan napas sedikit memburu dan amarah tertahan, pria itu seakan ingin meledak dan mengatakan sesuatu. Namun, Salvador yang menyadari hal itu pun hanya bisa menatap rekannya dengan ekspresi yang sulit dibaca.Seketika saja Salvador mengalihkan perhatian terhadap Fabiana yang saat ini mengkerut di kursi dengan pandangan terluka.“Bibi,” panggilnya pelan, yang membuat Fabiana mengangkat kepala. “Aku bisa pastikan untuk membawa Romero, tetapi aku tidak janji bila dia bebas dari luka.”Tatapan yang Fabiana berikan, membuat Salvador sedikit merasa bersalah. Selama menikah dengan Gioluca, wanita itu selalu berusaha terlihat lebih dominan dan sedikit arogan. Namun, Fabiana yang ada di depannya saat ini sangatlah jauh dari dua kata tersebut.Wanita yang dianggap paling kuat dan berkuasa, ternyata hanyalah seorang ibu yang terluk
Jaxon dan Salvador yang menunggu kedatangan Nicko tampak termangu di atas sofa. Keduanya lebih banyak diam sembari menanti kedatangan rombongan Famiglia yang akan membawa Gioluca ke kediaman Vitielo. Sementara itu, Rey serta yang lainnya duduk di seberang dengan posisi serupa. Mereka tampak menanti penuh antisipasi.Tidak ada satu pun suara, kecuali detak jam dinding serta kicauan burung di pepohonan dekat taman. Atmosfer di sekitar benar-benar sangat tegang dan intens.Di tengah-tengah keheningan, tiba-tiba saja terdengar ketukan pelan dari depan pintu, yang membuat semua kepala menatap ke sumber suara.“Biar aku yang lihat,” ucap Gavin, yang mulai berdiri dari tempat duduk.Dia mengintip dari celah kunci, dan mendapati Fabiana lah yang ada di depan sana. Melihat itu, Gavin menoleh ke balik tubuh, dan menangkap tatapan Rey yang bertanya.“Fabiana yang mengetuk,” ucapnya, menarik perhatian beberapa kepala. “Apa yang ha