Share

BAB 3

Author: Blezzia
last update Last Updated: 2020-12-23 05:20:11

Suara alarm seperti pemadam kebakaran membangunkan Mia. Pandangannya masih digelayuti kantuk saat menemukan ponsel tersebut di atas meja, di sampingnya. Baginya ini masih terlalu pagi. Beberapa kali dia mengedipkan mata mengusir kabut di kepalanya hingga suara ketukan di pintu mengembalikan kesadarannya.

Mengerang pelan, Mia bangkit dari kasur. Dia masih dibalut bajunya yang malam tadi.

Tas putih mungilnya berdekatan dengan ponselnya. Kondisi kamar motel yang dia sewa masih sama seperti kali terakhir dia tinggalkan, tetapi keningnya berkerut saat mendapati jas hitam di sisi kasur yang satunya. Dia hendak meraih jas tersebut saat suara ketukan di pintu kamarnya terdengar untuk kedua kalinya.  

“Layanan Kamar!” kata siapapun yang ada di balik pintu.   

Mia melupakan jas tersebut dan melihat siapa yang membangunkannya di jam seperti ini.  

Begitu pintu dibuka, aroma roti berbalur mentega menggoda penciumannya.          

“Sepertinya kau salah kamar,” katanya pada gadis pelayan berseragam hitam maroon di hadapannya.       

Gadis itu tersenyum ramah padanya.

“Ini pesanan untuk kamar nomor tiga, dan selama bekerja di sini, yang aku tahu ini adalah kamar nomor tiga,” jawabnya menjelaskan.          

“Ini memang kamar nomor tiga, tetapi aku tidak memesan apa-apa.”           

“Aku hanya mengantarkan pesanan saja, dan di sini tertulis kamar nomor tiga.” Gadis itu menyerahkan struk yang sudah lunas dengan beberapa item pesanan di dalam daftarnya, tapi anehnya tidak ada harga atau total jumlah semua makanan yang dia pesan. Hanya ada tulisan ‘Lunas’ di list paling bawah.   

Benar saja, ada angka tiga di sudut kanan dengan ukuran besar.      

“Apa kau yakin ini pesananku? Bagaimana kalau kita periksa di resepsionis, mungkin saja ada orang yang lupa dengan nomor kamarnya?” tanyanya lagi walau dalam hati dia menahan godaan untuk menerima. Bahkan aroma mentega dan madu kini bersatu untuk membuatnya lapar.    

“Oh tidak perlu, kami sudah mengkonfirmasi,” jawab gadis itu sembari mendorong trolinya masuk tanpa mendengarkan protes Mia.

“Bagaimana kalau pesanannya salah? Apa aku harus mengganti semua ini?” tanya Mia setengah panik setengah menyerah dengan perutnya yang mulai berbunyi mempermalukan dirinya.

“Tenang saja hal seperti itu hanya terjadi beberapa kali, tidak usah khawatir, kami selalu bertanggung jawab penuh,” ucap gadis itu setelah pekerjaannya selesai dan berjalan hendak keluar.       

Mia melirik hidangan sarapan di depannya. Dia bahkan terkejut saat melihat ada dua butir Advil dan segelas air putih diantara makanan lainnya, seolah motel itu tahu bahwa malam tadi dia mabuk.

“Oh.” Mia baru menyadari bahwa tadi malam dia ke klub malam dan tanpa sadar … mabuk? Dia merasa tidak minum banyak. Hanya segelas, itu juga tidak habis. Ingatannya tentang tadi malam juga kabur, dia tidak bisa mengingat dengan jelas berbicara dengan seorang pria. Dia benar-benar lupa, bahkan dia tidak ingat bagaimana caranya bisa kembali ke motel lagi.    

“Baiklah Mia, sekarang kau tahu bahwa minuman keras bukan untukmu,” bisiknya pada diri sendiri.

***

Mia mengunjungi Denver Park entah sudah keberapa kalinya. Dia merasa pencariannya mulai sia-sia. Entah apa yang dipikirkan pak tua itu saat memberinya misi mustahil. Bahkan bebek-bebek di hadapannya memandang kasihan padanya, dia yakin itu. Lihat saja, bebek-bebek itu sudah tidak lagi mau menerima remahan roti darinya.

“Apa kalian pikir ini lucu? Jika disuruh memilih, aku juga tidak suka ke Denver,” sungutnya. “ya tuhan, sekarang aku kehilangan kewarasan berbicara dengan bebek-bebek ini.”

Mia berdiri tiba-tiba yang menyebabkan semua bebek-bebek di sana berterbangan ke segala arah, bahkan menyerangnya hingga Mia merasakan beberapa bulu bebek-bebek itu berada di mulutnya.

Arrggg! Dia menggeram kesal dan meninggalkan tempat itu.           

Pandangannya tertuju pada seorang pria yang duduk di salah satu bangku taman, tampak fokus membaca koran, tetapi wajahnya seakan menahan tawa.         

Great! Sekarang aku menjadi lelucon di tempat ini.  

Mia berpura-pura tidak terjadi apa-apa tadi dan berjalan melewati pria itu, namun langkahnya terhenti saat dia melihat headline pada Koran yang dibaca pria tersebut. Dengan tidak sopannya dia menarik Koran itu dari si pemilik, dan menghiraukan hardikan terkejut pria itu, karena fokusnya hanya pada tulisan bercetak tebal dengan huruf balok di Koran yang  berjudul “JAXON BRADWOOD DAN RED CAGE CLUB MENGADAKAN FRIDAY PARTY DI KASTIL AURELIA, TIDAK ADA YANG DIUNDANG DALAM PESTA INI. HANYA PESTA BIASA!” Mia menatap Koran itu lekat-lekat, tidak percaya dengan nama yang tertera di Koran itu. Ternyata Jaxon Bradwood benar-benar ada, bukan nama samaran, masih hidup dan akan mengadakan pesta tanpa undangan?            

Lucunya, tidak ada artikel di bawah judul tersebut hanya alamat dan jam pesta dimulai dengan tulisan sangat kecil nyaris tidak terbaca, tapi judul kalimat itu sengaja tercetak tebal untuk menarik perhatian orang.   

Mia membaca beberapa kali Koran tersebut untuk meyakinkan dirinya bahwa apa yang tercetak di situ benar-benar apa yang dia baca. Siapa yang membuat judul seperti ini?    

Tetapi dia tidak peduli, karena akhirnya misinya akan berakhir. Dia akan datang ke lokasi itu dan tidak peduli bagaimana caranya, dia harus menyelesaikan semua ini dan kembali ke Blueberry Hill secepatnya.

Mia melirik pemilik Koran itu, dengan senyum malu dia mengembalikan Koran tersebut.  

“Maaf, aku hanya ingin melihat sesuatu,” kata Mia dengan malu dan tulus.

Pria itu hanya menggerutu dan mengangguk sekali. Benar-benar sopan, batin Mia.

“Apa kau mengenal Jaxon Bradwood?” tanya Mia sembari menunjuk judul pada Koran tersebut.

Pria itu berdehem, lalu menggeleng dan kembali membaca korannya. Percakapan selesai.

Mia mencari tahu tentang Kastil Aurelia, tetapi tidak ada satu informasi yang bisa dia dapatkan di internet. Bahkan peta hanya menunjukkan hamparan hutan hijau di alamat tersebut, membuatnya tidak yakin sebuah kastil berdiri di sana. Sekali lagi Mia melirik jam di ponselnya. Pesta itu akan berlangsung kurang dari dua jam lagi, tetapi dia masih tidak menemukan ide bagaimana cara masuk ke tempat itu.

Map kuning yang menjadi misinya tersimpan rapi di dalam ransel, dia meraih ransel itu dan mengabaikan penampilannya. Tujuannya ke tempat itu hanya untuk menyerahkan amplop, bukan berpesta. Benaknya.

Setelah mengendarai truk tuanya beberapa puluh menit kemudian, Mia sampai di depan gerbang hitam berukuran raksasa. Dia bahkan tidak bisa melihat apa yang ada di balik gerbang tersebut. Ada beberapa pria berjas hitam menjaga pintu gerbang, dan salah satunya menggenggam senjata laras panjang.      

Mia terkesiap melihat hal tersebut, bimbang untuk melanjutkan misi bodoh itu dengan pria-pria bersenjata di hadapannya.   

Tanpa sadar dia meremas setir mobilnya kuat hingga jemarinya memutih, keringat dingin membanjiri punggungnya. Pemandangan di depannya seakan membangkitkan ingatan lama yang sudah dia kubur.

“Miss, tempat ini area terlarang, sebaiknya kau putar balik ke arah kau datang tadi.”

Mia terlonjak kaget mendengar suara salah seorang dari pria berjas itu yang kini berdiri di dekat truk tuanya. Mia mencoba tersenyum, walau dia tahu senyumnya tidak setulus yang dia harapkan.

Dari ekspresi pria berjas hitam itu, Mia tahu tebakannya benar.

“Aku salah satu tamu undangan Jaxon Bradwood,” katanya dengan wajah polos dan ekspresi sok manis yang meluluhkan hati siapa saja. Dulu, ekspresi yang dia pakai ini selalu berhasil. Dari reaksi si pria berjas hitam itu Mia yakin dia masih belum kehilangan bakat aktingnya.

“Sebentar Miss, aku butuh untuk mengkonfirmasi beberapa hal,” ucap pria itu sebelum menghilang ke belakang truknya. Mia tidak tahu apa yang pria itu lakukan.

Kurang dari lima menit, pria itu datang kembali dengan ponsel di kupingnya.

“Maaf Miss, siapa namamu?”

Mia menggigit bibir bawahnya, kebiasaan yang selalu menggambarkan suasana hatinya yang tidak nyaman atau ketika dia sedang berpikir dan mengambil keputusan.

“Mia Heart, namaku Mia,” jawabnya jujur.

Pria itu mengulang namanya pada siapapun di seberang sambungan. Wajah pria itu fokus pada wajah Mia selagi mendengarkan teman bicaranya, membuat Mia gelisah.

Tidak lama kemudian, pria itu menggangguk dan mengantongi ponselnya.

“Silahkan masuk Miss Heart, Mr. Snow menunggu kedatangan anda di Lobi,” kata pria itu sembari menekan sensor yang membuka gerbang besar di hadapan mereka.

Mia menatap pria berjas hitam itu tidak percaya, rasanya hal ini terlalu mudah. Matanya kembali tertuju pada senjata laras panjang yang disandang pria satunya. Walau jarak mereka jauh, tetapi pikiran buruk berkeliaran di kepalanya.

Dia tidak mau mati muda dan masuk perangkap buaya saat dia baru saja keluar dari kandang singa.         

Dengan helaan napas, Mia memutuskan untuk membiarkan instingnya bekerja. Setidaknya dia sudah satu langkah untuk menyelesaikan misi bodoh ini.

Dia tersenyum samar pada pria yang memberikannya jalan dan menyetir truk tuanya ke dalam kandang buaya. Berharap di ujung jalan ini tidak menemukan satu buayapun.

***

“Apa ini?!” bentak Jaxon pada Gavin yang tampak bosan memperhatikan kutikula jari-jari di tangan kirinya.

“Oh, aku lupa soal itu,” jawab Gavin polos.

Jaxon hendak melompati meja yang memisahkan keduanya, namun tubuhnya langsung diseret oleh tiga temannya menjauhi meja itu.

Gavin yang menerima kemurkaan Jaxon hanya mengangkat bahu dan menyembunyikan diri di balik tubuh Rey.

Danny Johanson tertawa geli ketika ia membaca Koran yang masih terbentang di atas meja, bahkan Nicko Anderson yang sedang memegangi tubuh Jaxon juga tidak bisa menahan tawa, menambah bara amarah Jaxon semakin berapi-api. Gideon Rose dan Connor Black terpaksa menyeret sahabatnya itu hingga ke sudut ruangan.

Rey menatap tajam pada Gavin yang hanya dibalas wajah tak berdosa. Dia menengadahkan wajahnya, berdoa dirinya menghilang dari tempat itu. Keributan yang Gavin ciptakan membuatnya hilang kesabaran. Dia bahkan memikirkan cara terbaik untuk menyembunyikan tubuh―mayat―Gavin di salah satu gudang tuanya, atau mungkin instalasi pembakar sampah rumah sakit milik dokter Timothy juga cukup.

Rey menggelengkan kepalanya, berpikir terlalu banyak kekacaun bila sahabatnya itu mati. Terlebih lagi siapa yang akan mengurus Blacky―ular peliharaan Gavin. Dia benar-benar menyayangi ular narsis itu, jadi untuk saat ini membunuh Gavin bukan pilihan baik.

“Boleh aku tahu alasan kau membayar Koran Pagi untuk membuat headline konyol ini, Gavin?” tanya Rey sembari mengambil Koran itu dari atas meja dan menghayati makna tulisan cetak tebal yang menjadi Headline pagi itu.

           

Dia memperhatikan ruangan pertemuan mereka yang bebas dari kesan ‘pesta’ dan menghitung dalam hati bahwa jelas sekali tidak ada undangan yang menghadiri ruangan itu, kecuali mereka bertujuh, anggota reguler atau mungkin tuan rumah?

“Aku tidak memiliki maksud apa-apa, memangnya kita tidak boleh mengumumkan pada penduduk Denver kalau di sini ada pesta?” jelas Gavin yang membuat Jaxon semakin mendidih.

“Kau tidak ingat, atau mungkin amnesia, Gavin, kalau ini kastilku?” geramnya.

Gavin dan wajah polosnya seakan terkejut, “Oh, tentu saja bagaimana aku lupa, Jaxon. Apa kau ingat beberapa bulan lalu, kau mengundang seluruh penduduk Denver ke mansionku?”

“Hey! Hari itu adalah ulang tahunmu! Aku hanya ingin memberikan kejutan!”

“Ulang tahun yang kau lupakan sudah lewat lima bulan sebelum acara kejutanmu? Hah! Siapa yang membuat kejutan lima bulan setelah lewat tanggalnya?”

Semua mata tertuju pada Jaxon yang memiliki julukan dengan slogan andalannya, Mister Not Late Yet. Dia selalu mengatakan tidak ada kata terlambat setiap kali dia lupa.

“Apa ini balas dendam Gavin? Karena sepertinya kau mengakui dendammu dengan penjelasan barusan.”

“Apa kau sedang menuduhku Jaxon, karena aku tidak sedang menggiring opinimu.”

Jaxon nyaris menerjang Gavin, jika saja Gideon tidak mengunci kedua lengannya di tubuh sahabatnya, walau pada akhirnya dia ikut terseret setengah jalan. Untungnya Connor membantu memperlambat gerakan Jaxon.

“Lepaskan aku Connor! Aku janji akan menyisakan sebelah wajahnya tetap utuh!” yang artinya sebelah lagi pasti hancur.

Tanpa sadar Gavin menyentuh kedua pipinya seolah itu bisa menghindari murkanya Jaxon.

Rey memutar bola matanya, dan melemparkan Koran di tangannya ke meja.

Mereka menunggu sampai amarah Jaxon mereda sebelum melepaskannya, namun tidak melepaskan pengawasan, karena bisa saja Jaxon menerjang tiba-tiba dan membuldozer Gavin ketika mereka lengah.

Sayang sekali bila wajah Gavin yang tampan harus direkonstruksi ulang oleh tangan Jaxon yang pastinya tidak lembut sama sekali. Akan banyak wanita patah hati di Denver yang menangis sehari tujuh malam dan membanjiri hingga menenggelamkan kota ini.

Danny mengulum senyum dan menonton pertunjukan di hadapannya dengan rasa geli. Sudah lama sekali mereka jarang berkumpul seperti ini. Tadinya dia bertanya-tanya mengapa Gavin mengundang dirinya dan yang lain ke Kastil Aurelia, tempat keramat bagi Jaxon.

Dia tertawa kecil mengingat wajah Jaxon saat membukakan pintu untuk mereka berenam.

“Apa kau sedang menarik perhatian seseorang, Gavin, jelas sekali kau sedang membuat pengumuman di sini.” Gideon menatap Koran itu dengan kening berkerut.

Jaxon yang amarahnya reda, kembali duduk di sofanya semula, walau matanya masih tajam menguliti Gavin yang duduk jauh di seberang. Jika saja Rey tidak menutup jalannya menuju Gavin, dapat dipastikan nama Gavin Caleston tinggal ukiran nisan.

“Tidak ada maksud apa-apa, sungguh!” bela Gavin yang mendapat tatapan meragukan dari enam pasang mata. “Nick, bagaimana kabar proyek barumu?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.

Nicko mengangkat sebelah alisnya mendengar pertanyaan itu, dia benci saat Gavin bermain kotor untuk mengalihkan perhatian kepada dirinya. Sekarang keenam pasang mata itu berpindah fokus.

Dia mengulur waktu semanis mungkin. Menikmati segelas Americano di saat yang lainnya menyesap wiski atau minuman keras lainnya.

“Aku masih harus menyelesaikan beberapa layout arsitektur bangunan yang akan dibangun, timku masih belum memfinalis bangunan apa saja yang kami butuhkan saat ini,” ujarnya menjelaskan proyek pembangunan taman bermain di dekat Blueberry Hill.

“Kau membutuhkan konsep baru? Aku bisa mendiskusikannya dengan timku,” kata Danny menawarkan.

“Nah, aku dan timku masih memakai konsep yang lama. Terima kasih Dan.”

“Lalu, bagaimana denganmu Rey?” tanya Gavin tanpa dosa pada Rey, sengaja menghindar bila ada pertanyaan baru yang dialamatkan padanya.

Nice turn, dude,” desis Rey sembari menepuk pelan kepala Gavin.

Ouch!” ringis Gavin dramatis.

           

“Ya Rey, bagaimana denganmu?” tanya Jaxon sembari menyeringai. Balas dendam karena Rey tadi melindungi Gavin.

Rey menghela napas berat, dan berdoa kesabarannya tetap memaku bokongnya di kursi yang dia duduki.

“Tidak ada yang berubah, dan tidak ada yang perlu dibicarakan,” ucapnya sembari menengguk minuman yang tidak disentuhnya sejak tadi.

Gideon dan Nicko saling tatap dan keduanya menggelengkan kepala. Setiap kali ada pertemuan seperti ini, hanya Rey yang paling sulit diajak bicara. Butuh dorongan kuat untuk membuat kepala batunya mencair dan membuatnya bicara. Bahkan bibirnya akan terus terkunci rapat sedari awal dimulai hingga bubar bila tidak ada yang memaksanya.

“Apa ada masalah yang ingin kau bicarakan?” tanya Jaxon sembari menepuk punggung Rey yang dibalas gelengan kepala.

“Sebaiknya kau menghawatirkan dia, Jaxon,” ujar Nicko sembari menunjuk Gideon yang sejak tadi gelisah memeriksa ponselnya setiap beberapa detik.

Keenam pasang mata kini mengawasi Gideon yang memiliki raut wajah gelap.

“Oh ayolah, apa aku tidak boleh menghawatirkan pekerjaan yang kutinggalkan?” tanya Gideon kesal.

“Kalista bilang hari ini kau tidak ada pekerjaan,” celetuk Gavin yang menyelesaikan pekerjaan rumahnya sebelum mengundang mereka ke Kastil Aurelia.

Kali ini, Nicko dan Jaxon yang bersiap siaga sebelum Gideon melompati meja.

“Gavin!” geram Rey, Jaxon, Nicko, Danny, dan Connor bersamaan.

“Ingatkan aku mengapa dia masuk ke lingkaran ini.” tunjuk Gideon sengit pada Gavin.

Red Cage adalah jaringan yang sengaja mereka bangun untuk membuat mereka kuat dan tidak diremehkan di antara mafia, cartel, kingpin, club motor, hingga pemerintah atau politisi dan pebisnis lainnya.

Anggota asli Red Cage ada sepuluh orang, saat ini hanya tujuh yang aktif sedangkan tiga lagi sedang sibuk dengan urusan pribadi sehingga jarang mengikuti pertemuan, tetapi mereka selalu mengadakan pertemuan dengan anggota lengkap setidaknya sekali setahun.

“Hey Gee, apa aku boleh berkencan dengan Kalista?” tanya Gavin yang membuat Gideon habis kesabaran. Jaxon terpaksa menahan bahu Gideon dan menguncinya di sofa.

“Jangan panggil aku dengan panggilan itu! Demi tuhan, Gavin, kalau kau tidak juga mengunci bibir talam-mu itu, aku pastikan tujuh bagian tubuhmu tersebar di teluk California! Dan menjauh dari Kalista! For God Sake, gadis itu bahkan baru merayakan usianya yang ke delapan belas!”

“Bagus sekali, aku menunggu usianya legal, terima kasih kabar baiknya, Gee.”

Nyaris saja kepalan tangan Gideon menyentuh wajah Gavin andai saja Rey tidak menarik kerah baju Gavin dan memindahkannya ke lantai, jauh dari sofa.

Connor merekam kejadian barusan dengan ponselnya dan mengirimkan video itu ke grup mereka untuk jadi bahan lelucon nantinya.

“Connor!” bentak Gideon mengalihkan perhatiannya, namun Jaxon bergerak cepat dan menenangkan temannya, tetapi kedua sahabatnya tetap saja berakhir di atas lantai. Connor membalas pukulan Gideon sembari menguncinya di lantai. Jaxon bahkan berpikir keras bagaimana cepatnya keadaan berbalik saat ini.

“Hey, Gavin. Kalista bukan topik diskusi yang baik, buddy,” dengus Rey.

Gavin memajukan tubuhnya dan berbisik di telinga Rey, “Kau pikir aku tidak tahu? Hanya dengan mengusik nama gadis itu, dia langsung kehilangan kepala. Saat ini dia butuh sesuatu untuk mengalihkan perhatiannya dari ponsel itu.”

Terkadang Rey tidak mengerti mengapa mereka bisa memahami isi pikiran masing-masing, karena memang inilah yang Gideon butuhkan. Melepaskan energi berlebih dengan perkelahian antar mereka.

Suara gelas Kristal yang mencium lantai menarik perhatian semuanya, pandangan mereka tertuju pada pendatang baru di ruangan. Seorang gadis berambut madu dengan wajah rupawan seperti malaikat berdiri mematung di pintu.

Gadis itu memandang sekitar dengan raut wajah bersalah telah memecahkan vas bunga tanpa sengaja ke lantai.  

Gideon menarik Connor yang kehabisan tenaga di lantai, sedangkan Jaxon yang tadinya berdiri di antara mereka entah bagaimana kini berdiri di hadapan gadis itu.

“Ehem …,” dehem gadis berambut madu tersebut berusaha bersuara. “Perkenalkan, namaku Mia Heart, aku kesini mencari Jaxon Bradwood.”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ria Fella
asiiiikkkk... di hadapanmu itu loh mbaaaak, orangnya...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • The King Of Denver (INDONESIA)   BAB 4

    Keheningan menyelimuti ruangan itu. Mia berdiri gelisah mendapat tatapan menyelidik dari tujuh pasang mata. Dia merasa seperti benda antik dalam museum yang sedang diobservasi. Tidak satupun dari pria-pria tampan dalam ruangan itu bergerak dan membalas sapaannya, kecuali satu orang, pria berambut pirang dan berwajah imut yang berdiri di dekat sofa.Pria itu tersenyum padanya, namun seolah menahan geli. Mia bahkan tidak mengerti dimana letak lucunya.“Namaku, Mia He―.”“Kami sudah mendengar namamu barusan, tidak perlu memperkenalkan diri.”Mia menata

    Last Updated : 2020-12-23
  • The King Of Denver (INDONESIA)   BAB 5

    Tidak bisa dipercaya. Batin Mia saat dia dikurung di sebuah ruangan, bahkan ada dua pria bersenjata yang kini berjaga di balik pintu. Rasa marah membuatnya tidak bisa duduk berdiam diri. Lama dia menunggu di ruangan, tapi hingga makan malam diantar, pria yang dia tunggu tidak kunjung menemuinya.“Aku tidak butuh makanan-makanan ini. Bawa semuanya kembali, dan biarkan aku keluar!” serunya kesal pada pemuda yang mengantar troli penuh makanan.Pemuda itu terlihat tenang, seakan tidak ada siapapun yang berbicara di ruangan itu.Merasa diabaikan, Mia mulai berteriak dan tidak menyentuh makanan yang dihidangkan.

    Last Updated : 2020-12-23
  • The King Of Denver (INDONESIA)   BAB 6

    Dua pria terkapar tak berdaya di dalam ruang bawah tanah Red Cage. Noda darah mengotori baju keduanya. Pandangan mereka setengah fokus pada sosok yang berdiri di tengah ruangan. Tubuh tinggi menjulang dengan tangan terkepal berbalur darah segar hingga menetes di ujung sepatu kulitnya yang mengilat.“Sudah cukup Jax,” ucap Rey yang sejak tadi mengawasi Jaxon memukuli dua pria di hadapannya yang mulai tak sadarkan diri.Jaxon tidak mendengarkan ucapan Rey. Tangannya cepat meraih senjata api dari balik punggungnya. Sahabatnya itu seolah menutup akses kesadaran pada lingkungan sekitar, tenggelam dalam hasrat membunuh yang menyelimuti tubuhnya.&ldq

    Last Updated : 2020-12-23
  • The King Of Denver (INDONESIA)   BAB 7

    Rasa malu menjalari pipi Mia keesokan paginya. Untung saja hari terlalu pagi sehingga meja makan itu sepi dan hanya beberapa pelayan yang bertugas. Dia bahkan berdoa pagi itu Jaxon tidak ada di Kastil Aurelia, karena dia tidak sanggup bertatapan langsung dengan mata gelapnya yang indah.“Apa tidurmu nyenyak?”Dan harapan itu terhempas begitu suara maskulinnya mengisi ruang makan yang sepi.“Ya,” jawab Mia semakin menundukkan kepala tanpa sekalipun menatap ke arah Jaxon yang duduk di kepala meja berjarak satu bangku darinya.

    Last Updated : 2020-12-23
  • The King Of Denver (INDONESIA)   BAB 8

    Tinggal di Denver tidak seburuk yang Mia pikirkan sebelumnya, malah sebaliknya. Dia mendapatkan teman baru dalam waktu singkat. Semua pegawai di De La Crush memperlakukannya dengan sangat bersahabat.Biasanya di Blueberry Hill dia selalu menghabiskan waktu kosong dengan mengurung diri di apartemen studionya, tetapi di Denver hampir setiap malam setelah shiftnya berakhir dia diajak keluar. Terkadang teman-teman barunya mengajaknya ke klub atau hanya sekedar nongkrong di cafe terdekat, dan dia merasa senang hari-hari yang dilaluinya tidak lagi sendiri. Hari-harinya memakan roti lapis juga berakhir seiring datangnya kiriman makan siang dari pria misterius yang meni

    Last Updated : 2020-12-25
  • The King Of Denver (INDONESIA)   BAB 9

    Suara-suara percakapan membangunkan Mia. Kepalanya bergerak sedikit saat dia mendengar Jaxon mengatakan sesuatu pada seseorang.“Mual,” keluh Mia. Dia meraba-raba sekitar, dan meraih baju kemeja yang Jaxon pakai untuk menarik perhatian pria itu.“Shhh … sebentar lagi, Mia.” Jaxon mengeratkan pelukannya yang membuat Mia sadar bagaimana posisi keduanya di bangku belakang mobil SUV pribadi Jaxon.Tadinya Jaxon terburu-buru keluar dari Sugar Trap tanpa pamit kepada teman-temannya, dan dia tahu keenam sahabatnya pasti menyaksikan adegan tadi dari meja bar, dan Jaxon dapat mendengar tawa mereka saat dirinya kesakitan menahan pukula

    Last Updated : 2020-12-27
  • The King Of Denver (INDONESIA)   BAB 10

    Suara langkah kaki yang terdengar dari arah lorong kamar membangunkan Mia. Gadis itu tiba-tiba bangkit dari kasur dan berjalan perlahan menuju pintu untuk mengintip siapa yang berada di balik sana. Jantungnya berdegup kencang saat dia kembali mendengar suara langkah samar-samar mondar-mandir di sepanjang lorong. Mia melirik jam di atas nakas masih menunjukkan pukul satu pagi.Pelan dia membuka pintu dan seketika tertegun saat mendapati Jaxon berdiri di sana.“Apa yang kau lakukan?” tanya Mia tiba-tiba hingga membuat Jaxon yang tidak fokus dengan sekitar nyaris melompat dari kulitnya, namun Mia tidak merasa bersalah sama sekali, bahkan gadis itu mendelik tajam pada Jaxon. Rambut yang biasanya klimis dan rapi terlihat berantak

    Last Updated : 2021-01-01
  • The King Of Denver (INDONESIA)   BAB 11

    Mia melihat Jaxon yang berjalan menjauhi mobil mereka. Saat itulah dia menyadari wanita bimbo tersebut berdiri di parkiran depan De La Crush sembari melempar senyum lebar pada Jaxon yang mendekatinya. Mia tidak bisa melihat ekspresi wajah Jaxon yang memunggunginya tapi hatinya dibalut kecemburuan begitu langkah Jaxon semakin dekat dengan wanita tersebut. Tidak sekedip pun Mia mengalihkan pandangan pada sosok keduanya, walau SUV yang Mia tumpangi berjalan begitu saja tanpa menunggu Jaxon yang kini berdiri berhadapan dengan wanita tersebut.“Tu

    Last Updated : 2021-01-02

Latest chapter

  • The King Of Denver (INDONESIA)   Terima Kasih

    Halo, Blezzia mengucapkan terima kasih kepada pembaca setia The King Of Denver :) Dan ya, seperti yang kalian baca, kisah ini baru saja berakhir SEASON PERTAMA-nya dan itu artinya akan ada SEASON KE-DUA yang akan Blezzia lanjutkan. Sesuai permintaan beberapa pembaca, yang tidak ingin novel ini berakhir dengan cepat, maka Blezzia mempertimbangkan akan membuat Season KE-DUA kisah Jaxon dan Mia (Bukan Nicko dan Disya) setelah menyelesaikan kisah Danny dan Hilda di Novel Wanita Rahasia CEO, oleh karena itu, Blezzia minta maaf untuk Delay yang terjadi. Karena ini novel kesayangan Blezzia, jadi kisah mereka akan sangat panjang. (Kalau perlu sampai anak cucu) Do'ain saja semoga diberikan izin oleh pihak GN ya ~ Biar nanti Blezzia lebih fokus ke Denver dan bisa update tiap hari nantinya <3Jika tidak ada halangan, maka diperkirakan Juni/Juli 2022 seluruh novel on-going yang sedang Blezzia tulis akan tamat. Lalu, bagaimana dengan kisah Nicko dan Disya? M

  • The King Of Denver (INDONESIA)   BERAKHIR

    Mia terlihat sibuk berbincang dan tertawa bersama Disya di gazebo, saat tiba-tiba keduanya mendengar suara langkah kaki dari arah kanan taman. Serentak, wanita-wanita itupun menoleh bersamaan ke arah sumber suara, yang tak lain adalah Allana. Dengan senyum terkembang di wajah, Mia menyambut kedatangan pelayan terdekatnya itu, lalu meminta wanita tersebut untuk ikut bergabung di meja. Akan tetapi, Allana menolak sembari menoleh sedikit ke arah jalan yang tadi dilaluinya. Hal itu pun membuat Mia dan Disya mengikuti arah pandang pelayan wanita itu. Namun, mereka tidak menemukan apa-apa di sana, membuat Mia bertanya-tanya. “Ada apa?” Allana kembali menoleh pada dua wanita di hadapan, dan dia hanya menjawab dengan gerakan ragu-ragu. “Ada... seseorang yang ingin menemui... anda dan Miss Flontin,” ucapnya, sembari melirik ke arah Disya yang tetap duduk tenang dengan secangkir teh dalam genggaman. Mendengar penjelasan tersebut, sek

  • The King Of Denver (INDONESIA)   BAB 127

    Jaxon memasuki ruang tengah kediaman keluarganya, dan tepat di hadapannya telah duduk Jeff Bradwood dengan ditemani ibu tirinya, Ruby. Melihat kehadiran anggota Red Cage dalam ruangan, seketika bahu Jeff tampak tegang, padahal dia sudah mendengar kedatangan mereka sebelum mencapai gerbang. Namun, melihat pria-pria yang parade saat masuk ke dalam ruangan, Jeff pun tak mampu bergerak dari tempatnya duduk di sofa.“Jeff,” sapa Jaxon, dengan kedua tangan berada di saku celana.Bukannya menyahut, Jeff Bradwood hanya berdeham sembari menatap ke segala arah. Sengaja menghindari tatapan bosan puteranya.Pandangan Jaxon pun beralih pada Ruby yang tersenyum dengan sensual. Tetapi dia abaikan. Kini, perhatiannya kembali pada sang ayah yang mencoba memasang wajah poker face.“Aku melihat keadaanmu baik-baik saja,” ucap Jaxon, berbasa-basi sembari duduk di sofa.Dia menatap kedua orang di hadapan dengan pandangan yang sulit dibaca.

  • The King Of Denver (INDONESIA)   BAB 126

    Jaxon yang saat itu sedang menyesap batangan rokok di balkon sendirian, tiba-tiba saja dikejutkan dengan kehadiran Nicko dari arah belakang. Kedua pria itu tampak diam ketika berdiri sejajar pada railing. Namun, gestur Jaxon yang hendak berbagi batangan rokok di tangan menunjukkan bahwa apapun di antara mereka sebelumya telah terlupakan.Kini, kedua pria itu terlihat mengepulkan asap bersamaan. Sedangkan pandangan keduanya saling menerawang ke arah langit yang menyuguhkan pemandangan indah dengan taburan milk way di atas mereka.Di pulau ini, keduanya dapat melihat pemandangan langit malam yang jarang didapatkan jika di perkotaan. Bahkan, langit di sana jauh lebih cerah dari apa yang biasanya mereka lihat sebelumnya. Tidak hanya itu, rembulan yang cahayanya kemerahan, tampak tergantung indah di antara pemandangan malam lainnya, seolah tidak mau kalah untuk memanjakan mata para pen

  • The King Of Denver (INDONESIA)   BAB 125

    “Apa kau sudah memberitahunya?” kejar Jaxon saat Nicko baru saja keluar dari ruang perawatan.Kepala pria itu menggeleng lemah. Dan, dengan berat dia mengatakan; “Belum. Aku tidak bisa melakukannya.”Melihat ekspresi Nicko yang tercekat, Jaxon pun menarik temannya itu ke dalam pelukan. Satu tangannya menepuk-nepuk punggungnya pelan, sementara dia membisikkan kata-kata penuh dukungan.“Aku bisa melakukannya jika kau mau.”Setelah keduanya memisahkan diri, Nicko yang berwajah sendu pun menatap ragu-ragu. Dia tidak ingin terbawa suasana, seperti saat di salam sana.“Terima kasih, Brother.”Kedua pria itu saling memandang paham.“Baiklah, aku akan kembali ke mansion lebih dahulu,” ucap Nicko, meninggalkan kumpulan teman-temannya yang duduk di kursi tunggu dengan masing-masing memegang chips dan roti yang tadi Gavin bawa.“Bye brother,” kata pria-pria itu serent

  • The King Of Denver (INDONESIA)   BAB 124

    Nicko menutup ponselnya ketika dia mendengar laporan dari Henrieta. Beberapa kali dia menarik napas, sebelum membuangnya perlahan. Sekembalinya nanti, dia akan memberikan penjelasan pada kekasihnya yang bisa saja sedang menahan marah di seberang lautan sana.Meskipun dia tidak tahu apa yang akan menantinya, Nicko berharap Disya mau mendengarkan penjelasan.Dia hendak berbalik badan, saat tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara yang memanggil namanya pelan. Seketika bulu romanya berdiri, dan jantungnya berpacu saat suara tua itu menyebutkan namanya dengan nada sedikit bergetar.“Nicko … Anderson?”Perlahan, Nicko pun menoleh ke arah tubuh tua yang tadinya terbaring di ranjang dengan mata terpejam. Kini, mata itu memandang lurus ke arahnya, membuat Nicko tanpa sadar menundukkan kepala. Sebuah gesture penghormatan yang sulit dia tinggalkan.Sejak masih balita, anak-anak yang terlahir di Famiglia telah diajarkan untuk tidak mena

  • The King Of Denver (INDONESIA)   BAB 123

    Kehebohan terjadi di Kastil Aurelia. Kedatangan seorang wanita berparas sama seperti Mia membuat semua pelayan berbondong-bondong hendak ke lantai dua, di mana wanita itu saat ini berada. Bahkan, Snow kesulitan untuk menghalau mereka agar kembali bekerja.“Astaga, aku tidak mengira parasnya serupa,” bisik Allana yang pura-pura membersihkan patung singa di bawah tangga.Piper yang juga tidak diperbolehkan naik ke lantai dua mengangguk membenarkan.“Ya, tidak hanya bentuk wajah, tetapi rambut dan ekspresinya tidak jauh berbeda,” timpal Piper yang juga berpura-pura mengelap keramik di dekat Allana.Sementara itu, Emily memilih untuk diam sembari mencuri-curi lihat ke lantai dua. Dia tampak sibuk membersihkan buffet dan pegangan tangga.Melihat ketiga wanita itu, tentu saja Snow hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia sangat yakin bahwa mereka akan langsung terbirit-birit ke dapur saat ditegur, sehingga pria itu pun mengawasi saja

  • The King Of Denver (INDONESIA)   BAB 122

    Jaxon yang tidak tahan duduk terlalu lama akhirnya berdiri. Dia berjalan mondar-mandir di hadapan mereka semua. Dengan napas sedikit memburu dan amarah tertahan, pria itu seakan ingin meledak dan mengatakan sesuatu. Namun, Salvador yang menyadari hal itu pun hanya bisa menatap rekannya dengan ekspresi yang sulit dibaca.Seketika saja Salvador mengalihkan perhatian terhadap Fabiana yang saat ini mengkerut di kursi dengan pandangan terluka.“Bibi,” panggilnya pelan, yang membuat Fabiana mengangkat kepala. “Aku bisa pastikan untuk membawa Romero, tetapi aku tidak janji bila dia bebas dari luka.”Tatapan yang Fabiana berikan, membuat Salvador sedikit merasa bersalah. Selama menikah dengan Gioluca, wanita itu selalu berusaha terlihat lebih dominan dan sedikit arogan. Namun, Fabiana yang ada di depannya saat ini sangatlah jauh dari dua kata tersebut.Wanita yang dianggap paling kuat dan berkuasa, ternyata hanyalah seorang ibu yang terluk

  • The King Of Denver (INDONESIA)   BAB 121

    Jaxon dan Salvador yang menunggu kedatangan Nicko tampak termangu di atas sofa. Keduanya lebih banyak diam sembari menanti kedatangan rombongan Famiglia yang akan membawa Gioluca ke kediaman Vitielo. Sementara itu, Rey serta yang lainnya duduk di seberang dengan posisi serupa. Mereka tampak menanti penuh antisipasi.Tidak ada satu pun suara, kecuali detak jam dinding serta kicauan burung di pepohonan dekat taman. Atmosfer di sekitar benar-benar sangat tegang dan intens.Di tengah-tengah keheningan, tiba-tiba saja terdengar ketukan pelan dari depan pintu, yang membuat semua kepala menatap ke sumber suara.“Biar aku yang lihat,” ucap Gavin, yang mulai berdiri dari tempat duduk.Dia mengintip dari celah kunci, dan mendapati Fabiana lah yang ada di depan sana. Melihat itu, Gavin menoleh ke balik tubuh, dan menangkap tatapan Rey yang bertanya.“Fabiana yang mengetuk,” ucapnya, menarik perhatian beberapa kepala. “Apa yang ha

DMCA.com Protection Status