Dua pria terkapar tak berdaya di dalam ruang bawah tanah Red Cage. Noda darah mengotori baju keduanya. Pandangan mereka setengah fokus pada sosok yang berdiri di tengah ruangan. Tubuh tinggi menjulang dengan tangan terkepal berbalur darah segar hingga menetes di ujung sepatu kulitnya yang mengilat.
“Sudah cukup Jax,” ucap Rey yang sejak tadi mengawasi Jaxon memukuli dua pria di hadapannya yang mulai tak sadarkan diri.
Jaxon tidak mendengarkan ucapan Rey. Tangannya cepat meraih senjata api dari balik punggungnya. Sahabatnya itu seolah menutup akses kesadaran pada lingkungan sekitar, tenggelam dalam hasrat membunuh yang menyelimuti tubuhnya.
“Jax!” Rey bergegas ke arah Jaxon dan menarik senjata api yang Jaxon arahkan kepada dua pria itu. “Mereka sudah tidak berdaya, brother,” bisiknya sembari menepuk pundak Jaxon, menyadarkannya.
Akhir-akhir ini mood Jaxon memburuk. Dia tidak ingin Jaxon kembali menjadi monster yang dulu menguasainya.
“Kau tahu cara kerjaku, Rey. Kedua pria ini jelas-jelas melanggarnya.”
Kemarin mereka menemukan lebih dari dua puluh lima kilogram bubuk putih siap edar. Dan kedua pria yang terkapar di lantai adalah orang-orang yang bertanggungjawab.
Kedua pria itu tidak memiliki izin sama sekali berjualan di daerah mereka, dan kedua idiot itu seharusnya mengetahui permainan di Denver dan wilayah sekitarnya. Mereka terlalu bodoh memasuki wilayah ini. Dan seperti misi bunuh diri, keduanya pasrah dibawa menuju tiang gantungan. Andai saja dirinya tidak ada dalam ruangan itu, Jaxon pasti sudah sejak tadi menghabisi keduanya dengan peluru bersarang di dahi masing-masing.
Pria-pria itu pasti terlalu mabuk bila mengira bisa mengelabuhi Jaxon dan bawahannya untuk bermain kucing-kucingan di wilayah Denver.
Dari tahun ketahun, banyak yang mencoba dewi fortuna dapat menyelamatkan mereka saat berjualan sembunyi-sembunyi di Denver, tetapi tak satupun lolos dari radar Jaxon yang tajam. Setiap dinding dan jendela memiliki telinga. Seperti menara mercusuar, tak satupun yang luput dari pengawasan.
“Ayo brother, sepertinya kita butuh meregangkan ototmu yang tegang,” ucapnya sembari menyeret Jaxon keluar dari ruangan itu.
“Fritz, selesaikan ini dan bersihkan sesudahnya,” tambah Rey sebelum melewati pintu yang dijaga oleh Fritz dan Thomas.
Rey membawa Jaxon ke GC. Setengah botol wiski habis dikonsumsi keduanya, tetapi Rey tetap menjaga dirinya sadar. Berjaga-jaga jika Jaxon kembali memblokir kewarasannya.
“Dimana Gavin?” tanya Jaxon yang Rey yakini hanya basa-basi.
“Apa kau benar-benar ingin tahu jawabannya?”
Jaxon mengedikkan bahu acuh.
“Akhir-akhir ini banyak pendatang baru ke kawasan kita, aku yakin ini ada hubungannya dengan organisasi laba-laba,” ujar Rey sembari mengawasi pengunjung di GC.
Mereka tidak sedang membicarakan orang lokal, melainkan organisasi kriminal lainnya yang mulai berkeliaran di Denver. Banyak diantaranya datang dari fraksi yang berbeda-beda. Bahkan beberapa Klub Motor juga ikut ambil bagian. Dan mereka berdua tahu alasan pergerakan itu.
Kedatangan Mia bagaiakan api yang mengundang ngengat.
“Aku akan dengan sabar menunggu hiburan dari mereka,” ucap Jaxon sarkas.
Keduanya saling melempar seringai.
“Jaxon, Baby.”
Rey dan Jaxon menoleh bersamaan ke arah suara lembut yang terdengar seperti dibuat-buat.
Sosok tubuh ramping berambut blonde, wajah kecil, mata bulat biru mendekati mereka dengan gestur menggoda yang kentara.
Rey berdehem dan berpaling dari wanita cantik yang kini mendekati Jaxon dengan pandangan mengundang. Bibir sensualnya menyentuh sisi dagu Jaxon.
“Lama sekali tidak melihatmu, Jax. I miss you,” bisiknya pelan yang hanya bisa didengar oleh Jaxon.
“Hey Roxane,” jawab Jaxon setengah hati sembari melepaskan cengkraman Roxane yang kini melingkari lehernya. Wanita itu bergelayut manja padanya tanpa peduli tatapan tidak setuju Rey.
Jaxon menarik napasnya keras, dia tidak ada waktu untuk menghibur wanita manapun. Kehadiran Roxane memperparah moodnya.
“Menyingkir dari hadapanku, Roxy,” kata Jaxon dengan nada dingin tanpa bantahan.
Roxane yang sangat mengenal tempramen Jaxon menarik diri seketika. Dia benci sisi Jaxon yang ini.
Menelan rasa malu dan marah, Roxane berkata dengan suara lembutnya, “bila kau membutuhkan teman, aku selalu sedia, Jaxon.”
Tatapan tajam yang Jaxon berikan cukup membungkam Roxane. Dia tidak akan pernah menang menghadapi Jaxon. Bila pria itu bilang tidak, maka itulah yang dia dapatkan.
Begitu Roxane menghilang ditelan kerumunan lantai dansa, barulah Rey melepaskan tawanya.
“Wanita itu selalu berpikir suatu saat nanti kau akan bertekuk lutut di hadapannya sembari mempersembahkan cincin diamond sebesar telur angsa.”
Jaxon menatap kesal pada Rey yang menganggap pertunjukan tadi adalah hiburan.
“Aku hanya pernah bersamanya sekali, dia pikir dirinya berbeda dari wanita lain dan paginya dia bersikap seolah kami memiliki hubungan lebih. Satu kesalahan yang sangat kusesali karena lepas kontrol malam itu,” jelas Jaxon sembari menenggak sisa minumannya.
Padahal kejadian itu sudah sangat lama sekali. Dan sejak saat itu pula Roxane selalu mengejar-ngejarnya tanpa menyerah. Baginya sex bukan kebutuhan primer, tidak seperti Gavin yang selalu berganti pasangan setiap malam. Dalam setahun Jaxon dapat menghitung dengan lima jarinya berapa kali dia melakukan sex. Bukan karena dia impoten, tetapi dia lebih bisa mengontrol diri dibandingkan spesies laki-laki lainnya.
“Berbicara tentang wanita, bagaimana denganmu, Rey? Lama sekali kulihat kau tidak menyentuh wanita manapun.” Tatapan menyelidik Jaxon membuat Rey kesal.
“Seolah kau memiliki cerita saja Jaxon, kita berdua memiliki record yang sama.”
Ya, rasanya lama sekali mereka dalam keadaan celibate. Jika Jaxon memiliki alasan kontrol diri, maka alasan Rey lebih tidak masuk akal.
“Kau sudah menemukan gadis itu?” tanya Jaxon hati-hati sembari memperhatikan perubahan emosi dari wajah sahabatnya.
Lama Rey terdiam, hanyut dalam pikiran sendiri.
“Aku tidak menemukan sesuatu akhir-akhir ini, pencarianku mandek di tengah jalan.”
Hanya tepukan pelan yang Jaxon berikan sebagai respon. Tidak ada kata-kata yang cocok untuk situasi seperti ini. Rey sudah terlalu muak dengan ucapan semangat.
Setelah menghabiskan botol yang terakhir, Jaxon memutuskan untuk menyudahi hari ini dengan kembali ke Kastil Aurelia.
Ingatannya pada Mia yang kini tertidur pulas di ruangan sebelah kamarnya, membuat Jaxon menggeram. Dia tidak siap kembali berada satu atap dengan gadis itu. Entah mengapa dirinya begitu sulit mengontrol diri di sekitar gadis itu. Rasanya dia lelah selalu melarikan diri dari kastilnya sendiri.
“Aku kembali ke kastil, besok aku ingin membicarakan tentang apartemen di down town. Temui aku di Red Cage brother,” kata Jaxon sebelum beranjak.
***
Sejak pagi Mia menjelajahi ruangan di Kastil Aurelia. Dia terpukau dengan bangunan ini, meskipun kastil ini adalah banguan baru tetapi semua yang ada di kastil itu menggambarkan gaya abad pertengahan. Megah namun klasik dan menganggumkan.
Kini dia tidak bisa tidur setelah menyelesaikan makan malam. Pikirannya selalu berkelana ke Blueberry. Hingga saat ini dia masih tidak mendapat izin untuk mengambil barang-barang pribadinya, termasuk ponsel. Dirinya memikirkan Matt yang pasti khawatir. Tidak mau larut dalam pikiran buruk, Mia memutuskan untuk keluar kamar dan mungkin dengan berkeliling kastil dia bisa mengalihkan pikirannya.
Mia teringat dengan perpustakaan yang ditunjukkan oleh seorang butler bernama Snow, melihat kumpulan buku tersusun rapi ber rak-rak dalam ruangan besar membuat Mia semakin kagum dengan kastil itu.
Mia membawa dirinya menuju perpustakaan dengan langkah pelan dan hati-hati untuk tidak membangunkan siapapun di jam selarut ini. Langkahnya terhenti ketika dia mendapati sosok maskulin yang berdiri menghadap keluar jendela, memunggunginya. Dengan satu tangan di saku sedang satunya menggenggam gelas kristal, Jaxon Bradwood tak ubahnya seperti model majalah pria terseksi di dunia.
Jika kebanyakan wanita tertarik pada pria yang memiliki perut six pack dan otot di lengan, maka bagian punggung pria adalah bagian favorit Mia. Dia sangat terobsesi dengan bagian belakang makhluk maskulin itu. Pria pemiliki punggung lebar yang solid dan bokong yang bulat, sangat seksi baginya. Lekukan tubuh bagian belakang pria sangat indah di mata Mia. Terutama punggung milik Jaxon Bradwood. Sangat sempurna.
Susah payah Mia menelan Saliva dan memasuki ruangan bercahaya redup dengan langkah tanpa suara. Ruangan itu terasa hangat, beraroma kayu pinus bercampur lemon. Hanya satu lampu meja berpendar kuning yang menerangi ruangan luas itu. Untungnya taman di balik jendela lebar yang di hadapan Jaxon memiliki lampu terang benderang. Lampu-lampu itu turut membagi cahayanya ke ruangan.
Ekor mata Jaxon mengikuti pergerakan Mia yang duduk di sofa tempatnya tadi. Gadis itu mengambil sebuah buku dari atas sofa sebelahnya yang sejak tadi terbuka di halaman tiga puluh.
Keduanya membisu, memilih mendiamkan satu dan yang lain. Susana di ruangan itu cukup damai hingga rugi rasanya bila bersuara.
Jaxon menatap keluar jendela untuk terakhir kali sebelum bergabung dengan Mia di sofa. Tampaknya tidak lama lagi badai akan turun. Kumpulan awan gelap berarak cepat di langit Kastil Aurelia. Kilatan cahaya mengikuti pergerakan awan.
Jaxon sibuk memutar gelas kristal di tangannya, sedang matanya mengikuti pergerakan jemari feminim Mia yang lentik ketika membuka halaman demi halaman buku yang dibaca.
“Besok kau bisa pindah dari kastil ini.” Akhirnya Jaxon tidak tahan dengan keheningan itu. Suasana hikmat malah membuatnya hilang kontrol perlahan-lahan.
Mia mendongak, menatap Jaxon dengan pembawaan tenang namun penasaran.
“Kau punya pilihan untuk bekerja di GC bila kau mau,” katanya hati-hati.
Ada banyak bisnis yang Jaxon miliki, tetapi dia tidak mau menawarkannya pada Mia. Semakin sedikit yang gadis itu tahu mengenai bisnis dan kehidupan pribadinya, maka semakin baik untuk masa depan keduanya. Benaknya.
“Aku ingin memilih sendiri pekerjaanku, Mr. Bradwood,” jawab Mia sama hati-hatinya. Kini dia mengabaikan buku di tangannya dan memfokuskan diri pada pria di hadapannya.
“Pekerjaan apa yang ingin kau lakukan?”
“Di tempatku yang lama, pekerjaanku adalah waitress, dan hanya itu pekerjaan yang aku kuasai.”
Alis Jaxon bertaut, sepertinya dia tidak suka mendengar yang barusan.
“Kau bisa berkuliah jika mau, aku akan membantumu.”
“Tidak, terima kasih. Bergantung pada orang lain bukanlah diriku. Untuk saat ini menjadi pelayan sudah cukup.”
“Baiklah, tetapi apartemen yang kuberikan padamu adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar.”
Jaxon dapat melihat kemarahan yang ditahan oleh gadis di hadapannya. Dia sedikit kagum dengan cara Mia yang begitu hati-hati menyembunyikan rasa marah. Gadis itu bersikap seolah dia setuju pada setiap argumen, tetapi dibalik kepatuhannya tersimpan sikap berontak yang tersembunyi di matanya yang indah.
Mia mulai beranjak dari sofa, dia tidak tahan berlama-lama di bawah tatapan intens Jaxon. Pria itu membuatnya grogi, namun upayanya melarikan diri gagal saat pria itu menariknya ke atas pangkuan dan menahan tubuhnya dengan melingkarkan lengan besarnya yang kokoh di sekitar tubuhnya.
“Apa kau takut padaku, Mia,” bisiknya dengan suara berat baritonnya yang maskulin.
Bibir mereka nyaris bersentuhan, tatapan keduanya berada di level yang sama. Dari jarak sedekat ini, Mia dapat mencium aroma tubuhnya.
“Aku tidak takut denganmu, Mr. Bradwood,” jawab Mia serak sembari menelan saliva.
Keduanya tahu bahwa Mia tidak jujur.
“Tidak bisakah kau memanggil namaku? Ada tiga Bradwood di Denver, dan rasanya tidak menyenangkan saat kau memanggil nama itu, seolah kau memanggil nama pria lain.”
Mia tertegun. Dia bisa merasakan nada posesif dari setiap katanya, tetapi tidak mau berpikir sejauh itu.
“Baiklah … Jaxon,” jawabnya dengan berat hati. Menyebut namanya terasa sangat personal.
Tatapan Jaxon berubah lembut, membuat Mia sadar bahwa pria di hadapannya berada dalam pengaruh alkohol. Dari hembusan napasnya yang hangat tercium bau wiski. Jaxon menyentuh pipinya halus dengan punggung tangannya. Ketika itulah dia melihat luka di buku-buku jarinya.
Mia mengelus bekas luka-luka itu dengan jemarinya yang lembut. Jemari yang sejak tadi mencuri perhatian Jaxon ketika membuka halaman buku.
“Sepertinya aku tidak mau tahu dengan luka di tanganmu kan?”
Sudut bibir Jaxon menunjukkan ia tersenyum samar. Pertanyaan itu lebih ke arah meyakinkan diri daripada mencari jawaban sehingga Jaxon memilih diam.
“Mengapa kau menahanku berada di Denver?”
“Karena hanya itu caraku agar bisa melindungimu.” Jaxon mengelus bagian sensitive di balik telinga Mia dengan hidungnya.
Tubuh Mia bergetar mendapat sentuhan sensual itu.
“Apa kau tahu apa yang akan kau hadapi bila aku berada di sini?”
Kali ini keduanya saling tatap dengan pandangan intens. Jaxon mendekatkan wajah mereka berdua hingga Mia dapat merasakan hembusan hangat di pipinya ketika Jaxon berbicara.
“Katakan apa yang kau takuti Mia? Apakah kau lari dari sesuatu?”
Mia memilih diam. Gadis itu memalingkan wajahnya dari Jaxon yang tak henti memandanginya. Ujung jemari Jaxon menyentuh lembut di bawah dagu Mia.
“Jangan mengalihkan pandangan dariku. Kau tidak perlu mengatakan semua hal padaku. Aku bertanya karena ini menyangkut keamanamu. Sekarang kau berada dalam perlindunganku, Mia. Datanglah padaku bila kau sudah memercayaiku sepenuhnya.”
Dari sinar matanya, Jaxon dapat membaca kegelisahan yang Mia simpan rapat-rapat.
Dari siapa kau bersembunyi, Mia. Apa yang membuatmu merubah identitasmu?
Rasanya Jaxon tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya, namun semua butuh waktu. Mia bukanlah wanita yang dengan mudahnya bercerita. Dan Jaxon akan menunggu dengan sabar, selama apapun waktu yang dibutuhkan gadis itu untuk membuka diri.
Jaxon mendekatkan wajahnya, hendak mengecup kuncup hidung gadis itu, namun suara gemuruh keras yang datang tiba-tiba membuat Mia menjerit seketika. Kilat mulai menyambar di sekitar Kastil Aurelia hingga menggetarkan seluruh bangunan kastil, menyebabkan beberapa kaca mengeluarkan bunyi beradu.
Mia menyembunyikan kepalanya di leher Jaxon. Tubuh gadis itu bergetar ketakutan. Mendapati reaksi yang tidak biasa itu, membuat Jaxon semakin mengeratkan pelukannya. Dia mengusap punggung Mia pelan sembari membisikkan kata-kata lembut menenangkan.
“I got you,” bisiknya ke telinga Mia.
Aroma mawar memenuhi penciuman Jaxon. Rambut madunya begitu halus di antara telapak tangannya yang kasar.
Tubuh Mia meleleh seketika. Suara Jaxon yang melembut dan pelan membuatnya merasa nyaman dan terlindungi. Meski kilat menyambar dengan suara guruhnya yang hebat, suara Jaxon mampu menghalau suara-suara mengerikan itu. Tanpa henti Jaxon mengelus punggung Mia sembari berbisik, hingga Mia merasa kelopak matanya berat dan tanpa sadar tertutup rapat.
Tampaknya badai berlalu cukup lama hingga keduanya enggan saling melepas diri dan berbagi kehangatan di tengah hujan lebat.
Rasa malu menjalari pipi Mia keesokan paginya. Untung saja hari terlalu pagi sehingga meja makan itu sepi dan hanya beberapa pelayan yang bertugas. Dia bahkan berdoa pagi itu Jaxon tidak ada di Kastil Aurelia, karena dia tidak sanggup bertatapan langsung dengan mata gelapnya yang indah.“Apa tidurmu nyenyak?”Dan harapan itu terhempas begitu suara maskulinnya mengisi ruang makan yang sepi.“Ya,” jawab Mia semakin menundukkan kepala tanpa sekalipun menatap ke arah Jaxon yang duduk di kepala meja berjarak satu bangku darinya.
Tinggal di Denver tidak seburuk yang Mia pikirkan sebelumnya, malah sebaliknya. Dia mendapatkan teman baru dalam waktu singkat. Semua pegawai di De La Crush memperlakukannya dengan sangat bersahabat.Biasanya di Blueberry Hill dia selalu menghabiskan waktu kosong dengan mengurung diri di apartemen studionya, tetapi di Denver hampir setiap malam setelah shiftnya berakhir dia diajak keluar. Terkadang teman-teman barunya mengajaknya ke klub atau hanya sekedar nongkrong di cafe terdekat, dan dia merasa senang hari-hari yang dilaluinya tidak lagi sendiri. Hari-harinya memakan roti lapis juga berakhir seiring datangnya kiriman makan siang dari pria misterius yang meni
Suara-suara percakapan membangunkan Mia. Kepalanya bergerak sedikit saat dia mendengar Jaxon mengatakan sesuatu pada seseorang.“Mual,” keluh Mia. Dia meraba-raba sekitar, dan meraih baju kemeja yang Jaxon pakai untuk menarik perhatian pria itu.“Shhh … sebentar lagi, Mia.” Jaxon mengeratkan pelukannya yang membuat Mia sadar bagaimana posisi keduanya di bangku belakang mobil SUV pribadi Jaxon.Tadinya Jaxon terburu-buru keluar dari Sugar Trap tanpa pamit kepada teman-temannya, dan dia tahu keenam sahabatnya pasti menyaksikan adegan tadi dari meja bar, dan Jaxon dapat mendengar tawa mereka saat dirinya kesakitan menahan pukula
Suara langkah kaki yang terdengar dari arah lorong kamar membangunkan Mia. Gadis itu tiba-tiba bangkit dari kasur dan berjalan perlahan menuju pintu untuk mengintip siapa yang berada di balik sana. Jantungnya berdegup kencang saat dia kembali mendengar suara langkah samar-samar mondar-mandir di sepanjang lorong. Mia melirik jam di atas nakas masih menunjukkan pukul satu pagi.Pelan dia membuka pintu dan seketika tertegun saat mendapati Jaxon berdiri di sana.“Apa yang kau lakukan?” tanya Mia tiba-tiba hingga membuat Jaxon yang tidak fokus dengan sekitar nyaris melompat dari kulitnya, namun Mia tidak merasa bersalah sama sekali, bahkan gadis itu mendelik tajam pada Jaxon. Rambut yang biasanya klimis dan rapi terlihat berantak
Mia melihat Jaxon yang berjalan menjauhi mobil mereka. Saat itulah dia menyadari wanita bimbo tersebut berdiri di parkiran depan De La Crush sembari melempar senyum lebar pada Jaxon yang mendekatinya. Mia tidak bisa melihat ekspresi wajah Jaxon yang memunggunginya tapi hatinya dibalut kecemburuan begitu langkah Jaxon semakin dekat dengan wanita tersebut. Tidak sekedip pun Mia mengalihkan pandangan pada sosok keduanya, walau SUV yang Mia tumpangi berjalan begitu saja tanpa menunggu Jaxon yang kini berdiri berhadapan dengan wanita tersebut.“Tu
Ruang bawah tanah Red Cage penuh sesak dengan pengunjung. Orang-orang sangat antusias mengeliling arena pertarungan. Kabar diadakannya hiburan khusus yang jarang terjadi di Arena Sangkar ruang bawah tanah Red Cage tersiar sangat cepat.Para pria berjas hitam pendiri Red Cage berkumpul menyaksikan keramaian di Arena dari lantai dua, terlihat Jaxon yang duduk tenang di kursi kebesarannya. Wajahnya menunjukkan kebosanan, walau matanya tertuju ke Arena tetapi pandangannya seakan kosong.Seorang wanita terlihat berdiri di tengah arena ring berbentuk sangkar tertutup yang dikelilingi jeruji besi bercat merah darah. Tubuh wanita itu tampak lemas dalam posisi tangan dan kaki terikat ke tiang di tengah sangkar. Hanya balutan bra dan G-string yang menutupi tubuh wanita itu dari pandangan menyeringai ribuan pria yang mengelilingi sangkar tersebut.Terdengar siulan dan panggilan merendahkan dari p
Mia baru saja tiba di apartemennya saat Joe mendapat panggilan dari Jaxon yang menyuruhnya untuk segera menemui pria itu di klub pribadi mereka.“Kau mau ke mana?” tanya Mia yang sejak tadi mencuri dengar.“Mr. Bradwood memanggilku, Miss,” jawab Joe yang sibuk memberi instruksi pada dua pria di lobby.“Tapi aku mau keluar, ke supermarket.”“Alex yang akan menemanimu.” Joe hendak menginstruksikan pada pria di lobby saat Mia membantah dengan tegas.“Tidak, aku bisa sendiri. Lebih baik mereka berjaga di sini, supermarket h
Memasuki apartemen Mia meletakkan pelastik belanjaan dan menyusunnya ke dalam kulkas. Dia menatap pintu pendingin itu lamat-lamat sebelum akhirnya menghela napas dan meninggalkan dapur. Baru saja dia berbalik badan hendak menuju kamar saat dilihatnya Jaxon memasuki ruangan. Keduanya saling pandang dan terdiam. Mia memperhatikan pria di hadapannya dengan pandangan baru. Kali ini dia meyakini ada banyak hal yang pria itu sembunyikan, betapa naifnya dia selama ini menganggap Jaxon tidak seburuk reputasinya di luar sana.“Kau baru pulang?” tanya
Halo, Blezzia mengucapkan terima kasih kepada pembaca setia The King Of Denver :) Dan ya, seperti yang kalian baca, kisah ini baru saja berakhir SEASON PERTAMA-nya dan itu artinya akan ada SEASON KE-DUA yang akan Blezzia lanjutkan. Sesuai permintaan beberapa pembaca, yang tidak ingin novel ini berakhir dengan cepat, maka Blezzia mempertimbangkan akan membuat Season KE-DUA kisah Jaxon dan Mia (Bukan Nicko dan Disya) setelah menyelesaikan kisah Danny dan Hilda di Novel Wanita Rahasia CEO, oleh karena itu, Blezzia minta maaf untuk Delay yang terjadi. Karena ini novel kesayangan Blezzia, jadi kisah mereka akan sangat panjang. (Kalau perlu sampai anak cucu) Do'ain saja semoga diberikan izin oleh pihak GN ya ~ Biar nanti Blezzia lebih fokus ke Denver dan bisa update tiap hari nantinya <3Jika tidak ada halangan, maka diperkirakan Juni/Juli 2022 seluruh novel on-going yang sedang Blezzia tulis akan tamat. Lalu, bagaimana dengan kisah Nicko dan Disya? M
Mia terlihat sibuk berbincang dan tertawa bersama Disya di gazebo, saat tiba-tiba keduanya mendengar suara langkah kaki dari arah kanan taman. Serentak, wanita-wanita itupun menoleh bersamaan ke arah sumber suara, yang tak lain adalah Allana. Dengan senyum terkembang di wajah, Mia menyambut kedatangan pelayan terdekatnya itu, lalu meminta wanita tersebut untuk ikut bergabung di meja. Akan tetapi, Allana menolak sembari menoleh sedikit ke arah jalan yang tadi dilaluinya. Hal itu pun membuat Mia dan Disya mengikuti arah pandang pelayan wanita itu. Namun, mereka tidak menemukan apa-apa di sana, membuat Mia bertanya-tanya. “Ada apa?” Allana kembali menoleh pada dua wanita di hadapan, dan dia hanya menjawab dengan gerakan ragu-ragu. “Ada... seseorang yang ingin menemui... anda dan Miss Flontin,” ucapnya, sembari melirik ke arah Disya yang tetap duduk tenang dengan secangkir teh dalam genggaman. Mendengar penjelasan tersebut, sek
Jaxon memasuki ruang tengah kediaman keluarganya, dan tepat di hadapannya telah duduk Jeff Bradwood dengan ditemani ibu tirinya, Ruby. Melihat kehadiran anggota Red Cage dalam ruangan, seketika bahu Jeff tampak tegang, padahal dia sudah mendengar kedatangan mereka sebelum mencapai gerbang. Namun, melihat pria-pria yang parade saat masuk ke dalam ruangan, Jeff pun tak mampu bergerak dari tempatnya duduk di sofa.“Jeff,” sapa Jaxon, dengan kedua tangan berada di saku celana.Bukannya menyahut, Jeff Bradwood hanya berdeham sembari menatap ke segala arah. Sengaja menghindari tatapan bosan puteranya.Pandangan Jaxon pun beralih pada Ruby yang tersenyum dengan sensual. Tetapi dia abaikan. Kini, perhatiannya kembali pada sang ayah yang mencoba memasang wajah poker face.“Aku melihat keadaanmu baik-baik saja,” ucap Jaxon, berbasa-basi sembari duduk di sofa.Dia menatap kedua orang di hadapan dengan pandangan yang sulit dibaca.
Jaxon yang saat itu sedang menyesap batangan rokok di balkon sendirian, tiba-tiba saja dikejutkan dengan kehadiran Nicko dari arah belakang. Kedua pria itu tampak diam ketika berdiri sejajar pada railing. Namun, gestur Jaxon yang hendak berbagi batangan rokok di tangan menunjukkan bahwa apapun di antara mereka sebelumya telah terlupakan.Kini, kedua pria itu terlihat mengepulkan asap bersamaan. Sedangkan pandangan keduanya saling menerawang ke arah langit yang menyuguhkan pemandangan indah dengan taburan milk way di atas mereka.Di pulau ini, keduanya dapat melihat pemandangan langit malam yang jarang didapatkan jika di perkotaan. Bahkan, langit di sana jauh lebih cerah dari apa yang biasanya mereka lihat sebelumnya. Tidak hanya itu, rembulan yang cahayanya kemerahan, tampak tergantung indah di antara pemandangan malam lainnya, seolah tidak mau kalah untuk memanjakan mata para pen
“Apa kau sudah memberitahunya?” kejar Jaxon saat Nicko baru saja keluar dari ruang perawatan.Kepala pria itu menggeleng lemah. Dan, dengan berat dia mengatakan; “Belum. Aku tidak bisa melakukannya.”Melihat ekspresi Nicko yang tercekat, Jaxon pun menarik temannya itu ke dalam pelukan. Satu tangannya menepuk-nepuk punggungnya pelan, sementara dia membisikkan kata-kata penuh dukungan.“Aku bisa melakukannya jika kau mau.”Setelah keduanya memisahkan diri, Nicko yang berwajah sendu pun menatap ragu-ragu. Dia tidak ingin terbawa suasana, seperti saat di salam sana.“Terima kasih, Brother.”Kedua pria itu saling memandang paham.“Baiklah, aku akan kembali ke mansion lebih dahulu,” ucap Nicko, meninggalkan kumpulan teman-temannya yang duduk di kursi tunggu dengan masing-masing memegang chips dan roti yang tadi Gavin bawa.“Bye brother,” kata pria-pria itu serent
Nicko menutup ponselnya ketika dia mendengar laporan dari Henrieta. Beberapa kali dia menarik napas, sebelum membuangnya perlahan. Sekembalinya nanti, dia akan memberikan penjelasan pada kekasihnya yang bisa saja sedang menahan marah di seberang lautan sana.Meskipun dia tidak tahu apa yang akan menantinya, Nicko berharap Disya mau mendengarkan penjelasan.Dia hendak berbalik badan, saat tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara yang memanggil namanya pelan. Seketika bulu romanya berdiri, dan jantungnya berpacu saat suara tua itu menyebutkan namanya dengan nada sedikit bergetar.“Nicko … Anderson?”Perlahan, Nicko pun menoleh ke arah tubuh tua yang tadinya terbaring di ranjang dengan mata terpejam. Kini, mata itu memandang lurus ke arahnya, membuat Nicko tanpa sadar menundukkan kepala. Sebuah gesture penghormatan yang sulit dia tinggalkan.Sejak masih balita, anak-anak yang terlahir di Famiglia telah diajarkan untuk tidak mena
Kehebohan terjadi di Kastil Aurelia. Kedatangan seorang wanita berparas sama seperti Mia membuat semua pelayan berbondong-bondong hendak ke lantai dua, di mana wanita itu saat ini berada. Bahkan, Snow kesulitan untuk menghalau mereka agar kembali bekerja.“Astaga, aku tidak mengira parasnya serupa,” bisik Allana yang pura-pura membersihkan patung singa di bawah tangga.Piper yang juga tidak diperbolehkan naik ke lantai dua mengangguk membenarkan.“Ya, tidak hanya bentuk wajah, tetapi rambut dan ekspresinya tidak jauh berbeda,” timpal Piper yang juga berpura-pura mengelap keramik di dekat Allana.Sementara itu, Emily memilih untuk diam sembari mencuri-curi lihat ke lantai dua. Dia tampak sibuk membersihkan buffet dan pegangan tangga.Melihat ketiga wanita itu, tentu saja Snow hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia sangat yakin bahwa mereka akan langsung terbirit-birit ke dapur saat ditegur, sehingga pria itu pun mengawasi saja
Jaxon yang tidak tahan duduk terlalu lama akhirnya berdiri. Dia berjalan mondar-mandir di hadapan mereka semua. Dengan napas sedikit memburu dan amarah tertahan, pria itu seakan ingin meledak dan mengatakan sesuatu. Namun, Salvador yang menyadari hal itu pun hanya bisa menatap rekannya dengan ekspresi yang sulit dibaca.Seketika saja Salvador mengalihkan perhatian terhadap Fabiana yang saat ini mengkerut di kursi dengan pandangan terluka.“Bibi,” panggilnya pelan, yang membuat Fabiana mengangkat kepala. “Aku bisa pastikan untuk membawa Romero, tetapi aku tidak janji bila dia bebas dari luka.”Tatapan yang Fabiana berikan, membuat Salvador sedikit merasa bersalah. Selama menikah dengan Gioluca, wanita itu selalu berusaha terlihat lebih dominan dan sedikit arogan. Namun, Fabiana yang ada di depannya saat ini sangatlah jauh dari dua kata tersebut.Wanita yang dianggap paling kuat dan berkuasa, ternyata hanyalah seorang ibu yang terluk
Jaxon dan Salvador yang menunggu kedatangan Nicko tampak termangu di atas sofa. Keduanya lebih banyak diam sembari menanti kedatangan rombongan Famiglia yang akan membawa Gioluca ke kediaman Vitielo. Sementara itu, Rey serta yang lainnya duduk di seberang dengan posisi serupa. Mereka tampak menanti penuh antisipasi.Tidak ada satu pun suara, kecuali detak jam dinding serta kicauan burung di pepohonan dekat taman. Atmosfer di sekitar benar-benar sangat tegang dan intens.Di tengah-tengah keheningan, tiba-tiba saja terdengar ketukan pelan dari depan pintu, yang membuat semua kepala menatap ke sumber suara.“Biar aku yang lihat,” ucap Gavin, yang mulai berdiri dari tempat duduk.Dia mengintip dari celah kunci, dan mendapati Fabiana lah yang ada di depan sana. Melihat itu, Gavin menoleh ke balik tubuh, dan menangkap tatapan Rey yang bertanya.“Fabiana yang mengetuk,” ucapnya, menarik perhatian beberapa kepala. “Apa yang ha