Tidak bisa dipercaya. Batin Mia saat dia dikurung di sebuah ruangan, bahkan ada dua pria bersenjata yang kini berjaga di balik pintu. Rasa marah membuatnya tidak bisa duduk berdiam diri. Lama dia menunggu di ruangan, tapi hingga makan malam diantar, pria yang dia tunggu tidak kunjung menemuinya.
“Aku tidak butuh makanan-makanan ini. Bawa semuanya kembali, dan biarkan aku keluar!” serunya kesal pada pemuda yang mengantar troli penuh makanan.
Pemuda itu terlihat tenang, seakan tidak ada siapapun yang berbicara di ruangan itu.
Merasa diabaikan, Mia mulai berteriak dan tidak menyentuh makanan yang dihidangkan.
“Setidaknya beritahu aku dimana Jaxon Bradwood. Aku tidak mau berada di tempat ini, dan aku butuh untuk berbicara dengannya!” Kali ini Mia menahan lengan pemuda itu saat dia hendak keluar.
Pemuda tersebut melepaskan genggaman Mia tanpa berkata apa-apa dan meninggalkannya terkunci di sana. Setidaknya satu jam kemudian pria yang dia tunggu mendatanginya. Mia menunggu antisipasi ketika mendengar suara kunci dan sosoknya memenuhi pintu.
Awalnya mereka hanya diam saling tatap. Tatapan Jaxon penuh penilain. Matanya memandang Mia dengan tatapan intens yang tidak biasa, seolah Jaxon hendak memeta tubuhnya dari kepala hingga kaki. Mia yang merasa gelisah tanpa sadar bergerak mundur ke sudut ruangan.
“Aku ingin keluar dari sini,” ucap Mia setelah dia mengumpulkan keberanian dan menemukan suaranya kembali.
“Sayang sekali Miss Heart, aku tidak bisa membiarkanmu pergi,” ucap Jaxon dengan suara berat nan maskulin.
“Tetapi pria tua itu menjamin kebebasanku setelah misiku selesai!” serunya sedikit panik.
“Itu urusanmu dengannya, sedangkan urusanku denganmu belum selesai.”
Mia berjalan mundur saat Jaxon mendekat, tetapi langkahnya terhenti oleh dinding di balik punggungnya.
“Apa yang kau inginkan?” Mia menelan salivanya dan menghindari tatapan mata Jaxon.
Melihat ketakutan di mata gadis itu menghentikan langkah Jaxon.
“Saat pertama kali melihatku, tanpa malu kau mengendus aroma tubuhku, dimana gadis pemberani tadi, Mia?”
Mia melihat sekilas seringai Jaxon, untuk sesaat dia ingin memukul wajah mengesalkan penuh keangkuhan itu.
“Katakan apa yang kau inginkan dariku?”
Jaxon kembali memasang wajah datar tanpa emosi, dia tidak mengerti apa yang merubah sikap Mia yang pemberani tadi dengan sikapnya yang sekarang. Lama keduanya terdiam, hingga menciptakan keheningan di ruangan itu.
“Tinggallah di Denver,” ucap Jaxon akhirnya.
“Aku harus kembali pulang Mr. Bradwood!” tolak Mia tegas.
Jaxon bisa melihat kekeraskepalaan gadis itu.
“Aku sedang tidak berdiskusi denganmu, yang barusan adalah perintah.” Ucapan datar Jaxon membuat Mia terfokus padanya. Gadis itu menilai nada bicara dan raut wajahnya.
“Jika aku tidak mematuhimu, apa yang akan kau lakukan padaku?” tanya Mia dengan nada penasaran.
Bulu roma Mia bergidik mendapati seringain Jaxon yang kali ini jauh dari kata normal.
“Percayalah, kau tidak akan suka jawabanku,” bisiknya di telinga gadis itu sebelum berjalan menuju pintu.
Bulu roma Mia bergidik mendengar suaranya yang berat dan membuatnya mematung di tempat sedang matanya terpaku pada punggung Jaxon yang perlahan menjauh.
“Apakah kau yang mengantarku, Ke motel malam itu?”
Langkah Jaxon terhenti, dia berbalik menatap Mia yang dengan keras kepala menatap Jaxon berani.
Jaxon memperhatikan Mia cukup lama. Keduanya seakan berbagi rahasia meski hanya Jaxon yang sadar sepenuhnya pada peristiwa di GC waktu itu. Tetapi dia cukup terkejut Mia mengingat malam itu.
“Bagaimana…?”
“Kau meninggalkan jasmu di motel, aromamu ….” Mia mengalihkan pandangan dan menundukkan wajahnya dalam, dia tidak kuasa beradu pandang dengan manik mata hitamnya yang intens. Semburat rona merah menjalar dari leher hingga ke pipi.
Jaxon menahan senyum mendapati kepolosan gadis di hadapannya. Dirinya terpukau dengan perubahan rona wajahnya yang indah ketika memerah.
Tanpa mempermalukan tamunya lebih jauh lagi, Jaxon memilih diam dan meninggalkannya. Terkadang sesuatu lebih baik untuk tidak dikatakan.
***
Setelah kepergian Jaxon, Mia memutuskan untuk berbaring. Dia mengulang kembali percakapan barusan. Meskipun tidak ingat sepenuhnya kejadian di GC, tetapi Mia yakin Jaxonlah yang berada di balik insiden sarapan pagi itu. Bahkan Jas hitam tersebut memiliki aroma yang sama dengan pemiliknya.
Kini, dia tidak tahu harus bagaimana, karena sepertinya Jaxon dengan sengaja tidak ingin ditemukan oleh dirinya. Mengingat perjuangannya selama beberapa minggu ini menyulut amarahnya. Mia yakin Jaxon Bradwood berada di balik kesulitannya mencari pria itu selama ini.
Jika saja bukan karena Headline aneh pagi ini, dia pasti masih berputar tanpa arah di Denver seperti orang bodoh.
Sekarang Mia harus mencari cara untuk keluar dari kastil dan kembali ke Blueberry Hill, melanjutkan kehidupannya yang membosankan. Setidaknya di Blueberry, dia adalah gadis mandiri yang bebas.
Melihat bagaimana penduduk Denver begitu melindungi Jaxon Bradwood, Mia sadar bahwa Jaxon bukanlah seseorang yang dia anggap sepele. Pria itu menguasai Denver dan melihat bagaimana Kastil Aurelia saat dia memasuki tempat ini, membuktikan pria itu memiliki kekayaan, kekuasaan, dan sesuatu yang lebih besar lagi.
Mia tidak bodoh, dan dia juga tidak buta. Jaxon Bradwood cukup ditakuti di Denver dan Mia sangat mengenal bagaimana kekuasaan bermain.
***
Dua hari berlalu setelah kedatangan Mia ke Kastil Aurelia, selama itu pula Jaxon tidak kembali ke sana. Dia lebih memilih menempati kamar pribadinya di gedung Klub Red Cage.
“Pagi,” sapanya pada Rey yang tengah menyeduh kopi dan hanya dibalas gerutuan.
Jaxon dan Rey terbiasa bangun lebih dulu dibanding yang lainnya, tetapi biasanya Rey lebih suka dibiarkan sendiri saat menikmati sarapan. Ritual yang tidak boleh diganggu bahkan Gavin yang tidak sensitif sangat mengerti hal itu.
Kedua pria tampan tersebut larut dalam keheningan sembari menikmati kopi di kursi masing-masing.
“Kau tidak kembali ke kastilmu?” tanya Rey yang tampaknya selesai dengan ritual paginya.
Jaxon memilih untuk tidak menjawab.
“Beberapa bawahanku mengatakan ada pergerakan aneh di bagian selatan Denver,” ucap Rey yang mendapat perhatian Jaxon sepenuhnya.
“Tidak ada apa-apa di selatan.” Jaxon menyingkirkan cangkir kopinya dan menatap Rey.
Tapi sepertinya Rey tidak setuju akan hal itu, karena dia belum selesai memberikan sebuah informasi.
“Beberapa hari yang lalu mereka melihat dua motor harley terparkir di depan rumah kosong. Awalnya mereka mengira itu milik orang lokal, tetapi salah satu pemilik motor itu keluar dan dia memakai seragam klub motor milik Predator.”
Postur tubuh Jaxon menjadi serius. Mereka berdua tahu bahwa Predator bukanlah Klub Motor kelas teri, dan tidak bisa dianggap remeh. Setiap Klub memiliki daerah kekuasan masing-masing dan mereka tidak bisa seenaknya masuk ke daerah orang lain tanpa izin lebih dulu jika tidak ingin menambah daftar musuh.
“Apa bawahanmu menginterogasi mereka?”
“Ya, mereka bilang hanya sedang lewat dan rumah kosong itu dulunya milik salah satu paman dari keduanya.”
Jaxon mengendus, menunjukkan ketidak percayaannya, begitu pula Rey yang menggelengkan kepala.
“Kita lihat saja beberapa hari kedepan, aku yakin mereka pasti akan kembali.” Jaxon berdiri dari kursi dan meninggalkan dapur itu.
Gavin yang datang dari arah sebaliknya menghentikan langkah Jaxon. Hatinya mengumpat ketika mendapati ekspresi Gavin yang menyebalkan.
“Ah, Jaxon. Aku tidak mengira bisa menemukanmu di sini,” ucapnya seraya menyeringai.
“Seingatku kamar yang saat ini kau tempati sudah lama beralih fungsi menjadi rumah bagi sarang laba-laba sejak kastil kecintaanmu selesai dibangun.”
Jaxon menahan diri untuk tidak memutar bola matanya. Gavin memang payah dalam berhiperbola.
“Apa kau kabur dari sana hanya karena seorang wanita polos menginvasi kastilmu, Jaxon?” Gavin menepuk bahu Jaxon dengan gestur pura-pura simpati. “Kau tidak seharusnya takut pada makhluk lembut itu, Jaxon, tapi aku bisa memahami perasaanmu karena memang sulit menahan diri dari godaan yang tuhan ciptakan sebagai kelemahan makhluk seperti kita.”
Jaxon menepis lengan Gavin yang mulai mencengkram bahunya. Hatinya benar-benar mengumpat kesal, terkadang Gavin senang mengatakan sesuatu yang penuh kode tanpa makna. Jaxon bahkan tidak pernah mengerti keseluruhan perkataan yang Gavin ucapkan.
“Rey, lebih baik kau mengamankan peliharaanmu sebelum aku habis kesabaran,” ucap Jaxon dengan tatapan siap membunuh.
Gavin mengangkat kedua tangannya ke udara dengan gestur meminta perdamaian dan memberikan Jaxon jalan.
Tubuh Jaxon menghilang dibalik pintu ruangan lainnya. Saat itulah tatapan tajam Rey mendarat ke Gavin yang memutuskan duduk di hadapannya.
“Sekarang bukan saat yang tepat untuk bercanda Gavin, ada banyak hal di kepala Jaxon saat ini.”
Dan seperti yang sudah-sudah, Gavin hanya mengangkat bahu seolah peringatan tersebut tidak ada artinya.
Rey menghela napas sembari memijit pelipisnya. Pikirannya juga penuh saat ini, ada banyak hal yang terjadi belakangan dan kedatangan Mia Heart hanya menambah masalah baru. Terkadang dia berpikir mengambil waktu untuk berlibur, karena dia benar-benar membutuhkannya akhir-akhir ini.
***
Empat hari. Umpat Mia sembari mondar-mandir di ruangannya yang terkunci. Dia tidak mengira bahwa Jaxon menjadikannya tahanan selama empat hari di kastil itu. Bahkan dia tidak pernah melihat Jaxon sejak empat hari yang lalu. Rasanya dia ingin menjerit frustrasi.
“Hey! Aku tahu ada seseorang di balik pintu ini. Jangan pura-pura tidak mendengarku! Aku butuh matahari, dan udara segar!” Entah sudah berapa kali dia menggedor pintu di hadapannya, namun tidak ada respon sama sekali. Dia benar-benar benci dengan perasaan tidak berdaya seperti ini.
Beberapa kali Mia menggedor pintu itu lagi hingga akhirnya dia merasa lelah lalu meninggalkan pintu itu dan berbaring di kasur. Begitulah posisinya saat Jaxon masuk ke ruangan itu beberapa jam setelahnya.
“Empat hari, Mr. Bradwood. Kau menjadikanku tawanan selama empat hari!” Perlahan Mia bangkit dan duduk berhadapan dengan Jaxon yang berdiri di sisi satunya.
“Aku tidak menawanmu Miss Heart, ini hanya perlakuan khusus yang jarang kuberikan pada tamuku.”
Mia hendak mengatakan sesuatu, namun Jaxon memberi isyarat diam dengan satu tangannya terangkat.
“Sebelum kau mengatakan sesuatu yang hanya akan membuatmu dalam masalah, lebih baik kau dengarkanku lebih dulu. Apa kau mengerti, Mia?”
Pandangan Jaxon menunjukkan bahwa dia sedang tidak main-main. Ada sesuatu dibalik manik matanya yang hitam pekat, membuat Mia menelan saliva dan mengangguk pelan.
“Mulai saat ini Denver adalah tempatmu, kau tidak boleh meninggalkan Denver tanpa izin dariku, aku tidak akan mengurungmu seperti beberapa hari ini. Tenang saja, aku tidak sekejam itu. Kau memiliki kebebasan untuk melakukan apapun selama di Denver, aku tidak membatasimu. Jika kau ingin bekerja, lakukanlah, kau bebas memilih pekerjaan di sini. Aku juga akan memberimu tempat untuk tinggal serta fasilitas lainnya, kau tinggal sebutkan saja, nanti akan aku urus semua. Tetapi kau tidak boleh keluar dari Denver.”
Mia menatap Jaxon penuh teror, dia merasa panik mendengar perkataan Jaxon.
Melihat raut wajah gadis itu melembutkan ekspresi Jaxon yang keras.
“Apa aku berada dalam masalah?” tanya Mia dengan suara rendah berbisik.
“Tidak ada yang perlu kau khawatirkan.”
“Bagaimana aku tidak kahwatir jika kau menyuruhku tinggal di Denver dan melarangku pergi!”
Mia menahan lidah untuk tidak mengatakan lebih banyak lagi, dia takut kehilangan kontrol pada ucapannya yang akan merugikan diri.
“Pria tua itu, yang memberimu misi ini ditemukan mati dengan dua peluru bersarang di tubuhnya setelah kepergianmu menuju Denver.”
Ucapan Jaxon barusan sukses melepaskan rasa panik yang sejak tadi membayangi Mia, tanpa sadar tubuhnya bergetar hebat dan membuat pandangannya mengabur. Mia mengerti apa arti dari perkataan Jaxon. Seseorang mengincarnya.
“Berapa lama aku harus tinggal di Denver?” Suaranya serak sedikit bergetar.
Jaxon dapat merasakan kepanikan Mia, sebuah rasa yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya perlahan memasuki hatinya. Iba. Bagian dari rasa simpati yang dia pikir telah hilang seiring waktu.
“Aku tidak bisa memperkirakannya. Tidak ada yang bisa kujanjikan padamu.”
Tanpa sadar Mia memeluk tubuhnya sendiri. Lengannya melingkar di sekitar perutnya.
Dengan berat Jaxon memaksakan diri mengalihkan pandangan dari gadis tak berdaya di hadapannya. Perkataan Gavin tentang makhluk yang lembut terngiang di telinganya.
Pandangannya fokus pada makanan yang berada di troli, utuh tidak tersentuh.
“Apa kau sudah makan?” tanya Jaxon sembari mendekati troli dan mengambil piring berisi roti.
Mia menggeleng lemah. Dia masih tenggelam dalam pikirannya. Kalut dengan situasinya saat ini. Rasanya dia lelah selalu bermain petak umpet dengan masa lalu. Kali ini Mia yakin masa lalunya kembali mengejarnya dan bila informasi dari Jaxon benar, maka dia tidak mungkin bisa kembali ke Blueberry Hill.
“Apa kau tahu siapa yang … membunuh pria itu?” Rasanya Mia tak sanggup mengatakan kata membunuh. Meskipun Jaxon tidak mengatakan penyebab kematian pria itu, tetapi Mia tidak naif. Mia pernah berada dalam situasi seperti ini. Dulu, dia melihat salah satu pengawalnya mati dengan tubuh setengah utuh.
“Khawatirkan saja dirimu, biar aku yang menyelesaikan hal seperti ini, Mia.”
Mia tidak menjawab, dia tidak tahu harus mengatakan apa. Berterimakasih bukanlah hal yang tepat.
Sebuah piring disodorkan ke hadapannya. Walau enggan menerima, Mia sadar bahwa dirinya lapar. Tubuh Jaxon yang besar memaksanya untuk bergeser memberikan ruang pada pria itu untuk duduk bersamanya di atas kasur.
“Tinggal di Denver tidak seburuk itu.”
Perkataan Jaxon membawa pandangan Mia ke wajah pria itu. Lama dia memperhatikan setiap lekuk wajahnya. Jika Gavin berwajah tampan mengarah ke cantik, maka Jaxon lebih ke arah rupawan yang maskulin.
“Aku lebih suka suasana pedesaan.” Mia menundukkan pandangan saat Jaxon menatapnya. Kini berbalik Jaxon yang memperhatikan Mia. Keduanya seakan bergantian mencuri-curi pandang.
“Apapun yang mengejarmu Miss Heart, aku tetap akan memaksamu untuk berada di Denver.”
“Kenapa?”
“Karena misimu belum selesai. Amplop itu hanya permulaan.”
Sejak awal diberikan tugas menjadi kurir, Mia selalu penasaran dengan isi amplop itu, tetapi rasa takut mengalahkan rasa penasarannya. Entah sudah beberapa kali dia tergoda membuka amplop kuning itu selama perjalanan ke Denver.
“Apa isi…,”
“Percayalah kau tidak akan mendapat jawaban itu dariku. Jangan coba-coba mendiskusikan amplop itu dalam sesi percakapan kita.”
Suara Jaxon yang menyela membungkam Mia. Dari nada Jaxon berbicara, Mia juga tidak ingin tahu mengenai isi amplop tersebut. Layaknya pandora, lebih baik dia tidak penasaran sama sekali dengan isi di dalamnya, mengingat hasilnya pasti tidak akan baik. Apa lagi sesuatu yang berurusan dengan Jaxon Bradwood pastilah bukan sesuatu yang manis, melainkan gelap penuh misteri.
Lagi-lagi Jaxon menyodorkan sebuah piring dengan makanan lainnya. Tanpa terasa Mia sudah menghabiskan empat piring yang disodorkan. Alisnya bertaut mendapati Jaxon yang menyeringai, pria itu sengaja mengalihkan fokusnya dengan terus mengajaknya berbicara.
“Beristirahatlah Miss Heart, ada begitu banyak hal yang menanti kedepannya,” ujar Jaxon sembari meninggalkan ruangan. “Kamar ini tidak lagi dikunci, kau bebas keluar. Kita bisa berdiskusi lagi besok. Sekarang sudah terlalu larut.”
Mia menatap pintu yang baru saja ditutup. Kali ini dia tidak mendengar suara kunci seperti biasanya, membuatnya percaya pada apa yang Jaxon katakan. Meskipun gelisah dengan apa yang baru saja dia pelajari, tetapi rasa hangat sedikitnya menyentuh hatinya dan perut yang kenyang membuat perasaannya lebih stabil.
Dua pria terkapar tak berdaya di dalam ruang bawah tanah Red Cage. Noda darah mengotori baju keduanya. Pandangan mereka setengah fokus pada sosok yang berdiri di tengah ruangan. Tubuh tinggi menjulang dengan tangan terkepal berbalur darah segar hingga menetes di ujung sepatu kulitnya yang mengilat.“Sudah cukup Jax,” ucap Rey yang sejak tadi mengawasi Jaxon memukuli dua pria di hadapannya yang mulai tak sadarkan diri.Jaxon tidak mendengarkan ucapan Rey. Tangannya cepat meraih senjata api dari balik punggungnya. Sahabatnya itu seolah menutup akses kesadaran pada lingkungan sekitar, tenggelam dalam hasrat membunuh yang menyelimuti tubuhnya.&ldq
Rasa malu menjalari pipi Mia keesokan paginya. Untung saja hari terlalu pagi sehingga meja makan itu sepi dan hanya beberapa pelayan yang bertugas. Dia bahkan berdoa pagi itu Jaxon tidak ada di Kastil Aurelia, karena dia tidak sanggup bertatapan langsung dengan mata gelapnya yang indah.“Apa tidurmu nyenyak?”Dan harapan itu terhempas begitu suara maskulinnya mengisi ruang makan yang sepi.“Ya,” jawab Mia semakin menundukkan kepala tanpa sekalipun menatap ke arah Jaxon yang duduk di kepala meja berjarak satu bangku darinya.
Tinggal di Denver tidak seburuk yang Mia pikirkan sebelumnya, malah sebaliknya. Dia mendapatkan teman baru dalam waktu singkat. Semua pegawai di De La Crush memperlakukannya dengan sangat bersahabat.Biasanya di Blueberry Hill dia selalu menghabiskan waktu kosong dengan mengurung diri di apartemen studionya, tetapi di Denver hampir setiap malam setelah shiftnya berakhir dia diajak keluar. Terkadang teman-teman barunya mengajaknya ke klub atau hanya sekedar nongkrong di cafe terdekat, dan dia merasa senang hari-hari yang dilaluinya tidak lagi sendiri. Hari-harinya memakan roti lapis juga berakhir seiring datangnya kiriman makan siang dari pria misterius yang meni
Suara-suara percakapan membangunkan Mia. Kepalanya bergerak sedikit saat dia mendengar Jaxon mengatakan sesuatu pada seseorang.“Mual,” keluh Mia. Dia meraba-raba sekitar, dan meraih baju kemeja yang Jaxon pakai untuk menarik perhatian pria itu.“Shhh … sebentar lagi, Mia.” Jaxon mengeratkan pelukannya yang membuat Mia sadar bagaimana posisi keduanya di bangku belakang mobil SUV pribadi Jaxon.Tadinya Jaxon terburu-buru keluar dari Sugar Trap tanpa pamit kepada teman-temannya, dan dia tahu keenam sahabatnya pasti menyaksikan adegan tadi dari meja bar, dan Jaxon dapat mendengar tawa mereka saat dirinya kesakitan menahan pukula
Suara langkah kaki yang terdengar dari arah lorong kamar membangunkan Mia. Gadis itu tiba-tiba bangkit dari kasur dan berjalan perlahan menuju pintu untuk mengintip siapa yang berada di balik sana. Jantungnya berdegup kencang saat dia kembali mendengar suara langkah samar-samar mondar-mandir di sepanjang lorong. Mia melirik jam di atas nakas masih menunjukkan pukul satu pagi.Pelan dia membuka pintu dan seketika tertegun saat mendapati Jaxon berdiri di sana.“Apa yang kau lakukan?” tanya Mia tiba-tiba hingga membuat Jaxon yang tidak fokus dengan sekitar nyaris melompat dari kulitnya, namun Mia tidak merasa bersalah sama sekali, bahkan gadis itu mendelik tajam pada Jaxon. Rambut yang biasanya klimis dan rapi terlihat berantak
Mia melihat Jaxon yang berjalan menjauhi mobil mereka. Saat itulah dia menyadari wanita bimbo tersebut berdiri di parkiran depan De La Crush sembari melempar senyum lebar pada Jaxon yang mendekatinya. Mia tidak bisa melihat ekspresi wajah Jaxon yang memunggunginya tapi hatinya dibalut kecemburuan begitu langkah Jaxon semakin dekat dengan wanita tersebut. Tidak sekedip pun Mia mengalihkan pandangan pada sosok keduanya, walau SUV yang Mia tumpangi berjalan begitu saja tanpa menunggu Jaxon yang kini berdiri berhadapan dengan wanita tersebut.“Tu
Ruang bawah tanah Red Cage penuh sesak dengan pengunjung. Orang-orang sangat antusias mengeliling arena pertarungan. Kabar diadakannya hiburan khusus yang jarang terjadi di Arena Sangkar ruang bawah tanah Red Cage tersiar sangat cepat.Para pria berjas hitam pendiri Red Cage berkumpul menyaksikan keramaian di Arena dari lantai dua, terlihat Jaxon yang duduk tenang di kursi kebesarannya. Wajahnya menunjukkan kebosanan, walau matanya tertuju ke Arena tetapi pandangannya seakan kosong.Seorang wanita terlihat berdiri di tengah arena ring berbentuk sangkar tertutup yang dikelilingi jeruji besi bercat merah darah. Tubuh wanita itu tampak lemas dalam posisi tangan dan kaki terikat ke tiang di tengah sangkar. Hanya balutan bra dan G-string yang menutupi tubuh wanita itu dari pandangan menyeringai ribuan pria yang mengelilingi sangkar tersebut.Terdengar siulan dan panggilan merendahkan dari p
Mia baru saja tiba di apartemennya saat Joe mendapat panggilan dari Jaxon yang menyuruhnya untuk segera menemui pria itu di klub pribadi mereka.“Kau mau ke mana?” tanya Mia yang sejak tadi mencuri dengar.“Mr. Bradwood memanggilku, Miss,” jawab Joe yang sibuk memberi instruksi pada dua pria di lobby.“Tapi aku mau keluar, ke supermarket.”“Alex yang akan menemanimu.” Joe hendak menginstruksikan pada pria di lobby saat Mia membantah dengan tegas.“Tidak, aku bisa sendiri. Lebih baik mereka berjaga di sini, supermarket h
Halo, Blezzia mengucapkan terima kasih kepada pembaca setia The King Of Denver :) Dan ya, seperti yang kalian baca, kisah ini baru saja berakhir SEASON PERTAMA-nya dan itu artinya akan ada SEASON KE-DUA yang akan Blezzia lanjutkan. Sesuai permintaan beberapa pembaca, yang tidak ingin novel ini berakhir dengan cepat, maka Blezzia mempertimbangkan akan membuat Season KE-DUA kisah Jaxon dan Mia (Bukan Nicko dan Disya) setelah menyelesaikan kisah Danny dan Hilda di Novel Wanita Rahasia CEO, oleh karena itu, Blezzia minta maaf untuk Delay yang terjadi. Karena ini novel kesayangan Blezzia, jadi kisah mereka akan sangat panjang. (Kalau perlu sampai anak cucu) Do'ain saja semoga diberikan izin oleh pihak GN ya ~ Biar nanti Blezzia lebih fokus ke Denver dan bisa update tiap hari nantinya <3Jika tidak ada halangan, maka diperkirakan Juni/Juli 2022 seluruh novel on-going yang sedang Blezzia tulis akan tamat. Lalu, bagaimana dengan kisah Nicko dan Disya? M
Mia terlihat sibuk berbincang dan tertawa bersama Disya di gazebo, saat tiba-tiba keduanya mendengar suara langkah kaki dari arah kanan taman. Serentak, wanita-wanita itupun menoleh bersamaan ke arah sumber suara, yang tak lain adalah Allana. Dengan senyum terkembang di wajah, Mia menyambut kedatangan pelayan terdekatnya itu, lalu meminta wanita tersebut untuk ikut bergabung di meja. Akan tetapi, Allana menolak sembari menoleh sedikit ke arah jalan yang tadi dilaluinya. Hal itu pun membuat Mia dan Disya mengikuti arah pandang pelayan wanita itu. Namun, mereka tidak menemukan apa-apa di sana, membuat Mia bertanya-tanya. “Ada apa?” Allana kembali menoleh pada dua wanita di hadapan, dan dia hanya menjawab dengan gerakan ragu-ragu. “Ada... seseorang yang ingin menemui... anda dan Miss Flontin,” ucapnya, sembari melirik ke arah Disya yang tetap duduk tenang dengan secangkir teh dalam genggaman. Mendengar penjelasan tersebut, sek
Jaxon memasuki ruang tengah kediaman keluarganya, dan tepat di hadapannya telah duduk Jeff Bradwood dengan ditemani ibu tirinya, Ruby. Melihat kehadiran anggota Red Cage dalam ruangan, seketika bahu Jeff tampak tegang, padahal dia sudah mendengar kedatangan mereka sebelum mencapai gerbang. Namun, melihat pria-pria yang parade saat masuk ke dalam ruangan, Jeff pun tak mampu bergerak dari tempatnya duduk di sofa.“Jeff,” sapa Jaxon, dengan kedua tangan berada di saku celana.Bukannya menyahut, Jeff Bradwood hanya berdeham sembari menatap ke segala arah. Sengaja menghindari tatapan bosan puteranya.Pandangan Jaxon pun beralih pada Ruby yang tersenyum dengan sensual. Tetapi dia abaikan. Kini, perhatiannya kembali pada sang ayah yang mencoba memasang wajah poker face.“Aku melihat keadaanmu baik-baik saja,” ucap Jaxon, berbasa-basi sembari duduk di sofa.Dia menatap kedua orang di hadapan dengan pandangan yang sulit dibaca.
Jaxon yang saat itu sedang menyesap batangan rokok di balkon sendirian, tiba-tiba saja dikejutkan dengan kehadiran Nicko dari arah belakang. Kedua pria itu tampak diam ketika berdiri sejajar pada railing. Namun, gestur Jaxon yang hendak berbagi batangan rokok di tangan menunjukkan bahwa apapun di antara mereka sebelumya telah terlupakan.Kini, kedua pria itu terlihat mengepulkan asap bersamaan. Sedangkan pandangan keduanya saling menerawang ke arah langit yang menyuguhkan pemandangan indah dengan taburan milk way di atas mereka.Di pulau ini, keduanya dapat melihat pemandangan langit malam yang jarang didapatkan jika di perkotaan. Bahkan, langit di sana jauh lebih cerah dari apa yang biasanya mereka lihat sebelumnya. Tidak hanya itu, rembulan yang cahayanya kemerahan, tampak tergantung indah di antara pemandangan malam lainnya, seolah tidak mau kalah untuk memanjakan mata para pen
“Apa kau sudah memberitahunya?” kejar Jaxon saat Nicko baru saja keluar dari ruang perawatan.Kepala pria itu menggeleng lemah. Dan, dengan berat dia mengatakan; “Belum. Aku tidak bisa melakukannya.”Melihat ekspresi Nicko yang tercekat, Jaxon pun menarik temannya itu ke dalam pelukan. Satu tangannya menepuk-nepuk punggungnya pelan, sementara dia membisikkan kata-kata penuh dukungan.“Aku bisa melakukannya jika kau mau.”Setelah keduanya memisahkan diri, Nicko yang berwajah sendu pun menatap ragu-ragu. Dia tidak ingin terbawa suasana, seperti saat di salam sana.“Terima kasih, Brother.”Kedua pria itu saling memandang paham.“Baiklah, aku akan kembali ke mansion lebih dahulu,” ucap Nicko, meninggalkan kumpulan teman-temannya yang duduk di kursi tunggu dengan masing-masing memegang chips dan roti yang tadi Gavin bawa.“Bye brother,” kata pria-pria itu serent
Nicko menutup ponselnya ketika dia mendengar laporan dari Henrieta. Beberapa kali dia menarik napas, sebelum membuangnya perlahan. Sekembalinya nanti, dia akan memberikan penjelasan pada kekasihnya yang bisa saja sedang menahan marah di seberang lautan sana.Meskipun dia tidak tahu apa yang akan menantinya, Nicko berharap Disya mau mendengarkan penjelasan.Dia hendak berbalik badan, saat tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara yang memanggil namanya pelan. Seketika bulu romanya berdiri, dan jantungnya berpacu saat suara tua itu menyebutkan namanya dengan nada sedikit bergetar.“Nicko … Anderson?”Perlahan, Nicko pun menoleh ke arah tubuh tua yang tadinya terbaring di ranjang dengan mata terpejam. Kini, mata itu memandang lurus ke arahnya, membuat Nicko tanpa sadar menundukkan kepala. Sebuah gesture penghormatan yang sulit dia tinggalkan.Sejak masih balita, anak-anak yang terlahir di Famiglia telah diajarkan untuk tidak mena
Kehebohan terjadi di Kastil Aurelia. Kedatangan seorang wanita berparas sama seperti Mia membuat semua pelayan berbondong-bondong hendak ke lantai dua, di mana wanita itu saat ini berada. Bahkan, Snow kesulitan untuk menghalau mereka agar kembali bekerja.“Astaga, aku tidak mengira parasnya serupa,” bisik Allana yang pura-pura membersihkan patung singa di bawah tangga.Piper yang juga tidak diperbolehkan naik ke lantai dua mengangguk membenarkan.“Ya, tidak hanya bentuk wajah, tetapi rambut dan ekspresinya tidak jauh berbeda,” timpal Piper yang juga berpura-pura mengelap keramik di dekat Allana.Sementara itu, Emily memilih untuk diam sembari mencuri-curi lihat ke lantai dua. Dia tampak sibuk membersihkan buffet dan pegangan tangga.Melihat ketiga wanita itu, tentu saja Snow hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia sangat yakin bahwa mereka akan langsung terbirit-birit ke dapur saat ditegur, sehingga pria itu pun mengawasi saja
Jaxon yang tidak tahan duduk terlalu lama akhirnya berdiri. Dia berjalan mondar-mandir di hadapan mereka semua. Dengan napas sedikit memburu dan amarah tertahan, pria itu seakan ingin meledak dan mengatakan sesuatu. Namun, Salvador yang menyadari hal itu pun hanya bisa menatap rekannya dengan ekspresi yang sulit dibaca.Seketika saja Salvador mengalihkan perhatian terhadap Fabiana yang saat ini mengkerut di kursi dengan pandangan terluka.“Bibi,” panggilnya pelan, yang membuat Fabiana mengangkat kepala. “Aku bisa pastikan untuk membawa Romero, tetapi aku tidak janji bila dia bebas dari luka.”Tatapan yang Fabiana berikan, membuat Salvador sedikit merasa bersalah. Selama menikah dengan Gioluca, wanita itu selalu berusaha terlihat lebih dominan dan sedikit arogan. Namun, Fabiana yang ada di depannya saat ini sangatlah jauh dari dua kata tersebut.Wanita yang dianggap paling kuat dan berkuasa, ternyata hanyalah seorang ibu yang terluk
Jaxon dan Salvador yang menunggu kedatangan Nicko tampak termangu di atas sofa. Keduanya lebih banyak diam sembari menanti kedatangan rombongan Famiglia yang akan membawa Gioluca ke kediaman Vitielo. Sementara itu, Rey serta yang lainnya duduk di seberang dengan posisi serupa. Mereka tampak menanti penuh antisipasi.Tidak ada satu pun suara, kecuali detak jam dinding serta kicauan burung di pepohonan dekat taman. Atmosfer di sekitar benar-benar sangat tegang dan intens.Di tengah-tengah keheningan, tiba-tiba saja terdengar ketukan pelan dari depan pintu, yang membuat semua kepala menatap ke sumber suara.“Biar aku yang lihat,” ucap Gavin, yang mulai berdiri dari tempat duduk.Dia mengintip dari celah kunci, dan mendapati Fabiana lah yang ada di depan sana. Melihat itu, Gavin menoleh ke balik tubuh, dan menangkap tatapan Rey yang bertanya.“Fabiana yang mengetuk,” ucapnya, menarik perhatian beberapa kepala. “Apa yang ha