Keheningan menyelimuti ruangan itu. Mia berdiri gelisah mendapat tatapan menyelidik dari tujuh pasang mata. Dia merasa seperti benda antik dalam museum yang sedang diobservasi. Tidak satupun dari pria-pria tampan dalam ruangan itu bergerak dan membalas sapaannya, kecuali satu orang, pria berambut pirang dan berwajah imut yang berdiri di dekat sofa.
Pria itu tersenyum padanya, namun seolah menahan geli. Mia bahkan tidak mengerti dimana letak lucunya.
“Namaku, Mia He―.”
“Kami sudah mendengar namamu barusan, tidak perlu memperkenalkan diri.”
Mia menatap pria yang berdiri di hadapannya dengan tajam. Dia mengabaikan ketampanan pria itu karena sikap kasarnya, tapi aroma manis kayu dan sandalwood menyapa penciumannya, mengingatkan Mia akan sesuatu.
Sadar sepenuhnya, Mia mendekati pria itu dan menarik keras jas hitamnya hingga tubuh pria itu condong ke depan. Dia mengabaikan tatapan marah ataupun suara tarikan napasnya yang tajam. Tanpa malu Mia mengendus aroma di jas pria itu, lebih tepatnya dia mencium pada bagian dada pria tampan namun kasar tersebut.
Benar saja, ini aroma yang sama seperti jas di motelnya.
Mata Mia mengamati tubuh pria itu, dari inspeksinya dapat disimpulkan bahwa dia pria tampan yang wangi, dengan dada bidang, berotot karena olahraga, tubuh ramping yang fit, tinggi sekitar seratus delapan puluh lima lebih, berambut hitam pekat bagai tinta dengan mata hitam pekat yang memikat.
Suara deheman dari seberang ruangan menyadarkan Mia bahwa dia sedang adu mata dengan pria itu.
“Puas dengan observasimu, Miss Heart?” tanya pria tersebut dengan wajah datar, namun sekilas sebuah senyum samar menyentuh bibir sensualnya.
“Hay, perkenalkan aku Gavin Caleston.” Pria berambut pirang yang tadi tersenyum padanya mendekat. Dia hendak menyambut uluran tangan itu, saat tiba-tiba si pria kasar menariknya dalam pelukan dan mengangkatnya ke udara, lalu berjalan keluar ruangan.
***
Gavin mengedikkan bahu saat mereka ditinggalkan oleh Jaxon dan Mia. Dia melirik kelima temannya yang tersisa di ruangan, dan benar saja, tatapan tajam menantinya sejak tadi.
“Aku tidak suka bermain petak umpet,” jelas Gavin sembari berjalan ke sofa.
“Itu urusan Jaxon, Gavin. Kau tidak perlu mencampuri keputusannya,” jelas Rey.
“Apa kalian akan terus diam jika ada gadis secantik itu berkeliaran di jalanan dan menjadi target?”
Pertanyaan Gavin barusan dijawab dengan keheningan.
“Jaxon tidak bodoh dengan membiarkan gadis itu berkeliaran sendirian. Ada banyak mata yang mengawasinya,” jelas Rey yang mendapat kedikan bahu dari Gavin.
“Selain itu, aku sangat pensaran dengan alasan mengapa gadis itu datang jauh-jauh dari Michigan ke Colorado,” jelas Gavin yang mendapat anggukan dari Connor. Keduanya memiliki rasa penasaran yang tinggi.
“Apa gadis itu bukan mata-mata?” Dari mereka semua hanya Gideon yang memiliki rasa curiga paling tinggi.
“Tidak ada mata-mata berprilaku seperti itu Gee,” kata Gavin yang menatap Gideon dengan tatapan horror.
“Hey, aku hanya membayangkan alasan yang masuk akal. Lagi pula, tidak mungkin wanita waras datang jauh-jauh hanya untuk berhubungan seks dengan Jaxon.”
Kini, giliran Rey yang menatap Gideon horror.
“Kuharap kepribadian kalian tidak sedang tertukar,” desis Rey pada Gavin dan Gideon yang masih berdiskusi sengit mengenai alasan kedatangan Mia ke Denver.
“Lalu, bagaimana menurutmu?” Semua mata tertuju pada Rey atas pertanyaan Gideon barusan.
Rey menghela napas panjang. Sesungguhnya dia tidak suka mendiskusikan sesuatu tidak berguna.
“Lebih baik kita tunggu Jaxon selesai menginterogasi gadis itu.” Rey berdiri dan mendekati meja bar. Kali ini dia butuh meminum sesuatu. “Nikmati saja pestanya, boys,” dengusnya setengah bergurau akan headline Koran pagi itu. Dan untuk melepas kekesalannya, dia kembali melempar ucapan pedas pada Gavin.
“Lain kali, belajarlah cara menulis yang baik, Gavin. Jangan membuat Red Cage malu dengan redaksi judul headline pagi ini.” Rey menggelengkan kepala sembari tidak percaya seorang billionaire buta literasi.
Lima pria di ruangan itu mendekati meja bar, kecuali Gavin yang tampak sibuk bermain Candy Crush di sofa. Rey yang berada paling dekat dengan tong sampah, melempar Koran tersebut ke dalamnya. Setidaknya mereka sudah mengetahui siapa sasaran pembaca Koran pagi ini.
***
Tatapan Jaxon tidak lepas dari kaki Mia yang sejak tadi berpindah tumpuan dari kiri ke kanan dan sebaliknya. Gadis itu terlihat tidak nyaman berdiri di tengah ruangan kantornya, sedangkan dia duduk di kursi kebesarannya seolah juri yang menyidang gadis di hadapannya.
Entah sudah berapa kali Jaxon menarik napas, rasanya ruangan itu semakin sempit ditempati mereka berdua.
“Bagaimana caramu masuk ke sini?” tanyanya memecah kesunyian.
“Tiga penjaga di gerbang yang memberiku jalan,” jawabnya.
Wajah gadis itu terlihat kesal, dan Jaxon sadar alasannya. Dia mencoba bersikap lembut, namun kemarahannya terhadap Gavin membuatnya hilang kontrol. Dia tidak percaya Gavin melakukan ini padanya hanya karena dia tidak mau melakukan apa-apa pada gadis di depannya.
Mereka kembali tenggelam dalam keheningan.
“Apa yang membawamu ke sini, Miss Heart?” tanya Jaxon dengan nada sedikit kasar, bahkan dia mengernyit mendengar caranya berbicara.
Mia menatap laki-laki di hadapannya dengan kesal, kalau bukan karena misi bodoh ini dia tidak mau berada dalam ruangan berdua dengan Jaxon Bradwood. Pria itu terlalu sempurna untuk iblis yang ada di jiwanya. Bahkan caranya menatap, membuat Mia ingin mencungkil kedua manik mata indah itu dan mengawetkannya untuk koleksi pribadi, tapi tidak, terima kasih.
“Aku ingin menyerahkan sesuatu untukmu, Mr. Bradwood,” ujarnya sembari merogoh ransel butut yang selalu dia bawa.
Sebuah amplop kuning berpindah ke meja Jaxon, tetapi pria itu hanya menatap amplop tersebut dengan wajah tidak terbaca, tetapi jelas sekali ada gumpalan emosi berkejaran di wajahnya yang tidak bisa Mia terjemahkan.
Setelah lebih dari sepuluh menit keheningan yang menyakitkan telinga, akhirnya Jaxon bersuara.
“Kau mencariku … hanya untuk … ini?” tanyanya dengan nada tidak percaya.
Mia semakin mengerutkan keningnya saat Jaxon menanyakan hal yang sama dengan ekspresi sama sebanyak tiga kali.
“Iya, Mr. Bradwood,” jawabnya lebih dari tiga kali. Rasanya percakapan itu seperti kaset rusak yang diulang-ulang.
Hingga akhirnya, hal tak terduga terjadi. Jaxon Bradwood tertawa. Keras. Sembari memukul mejanya hingga dia kesakitan menahan perutnya.
Mia memperhatikan hal itu dengan mulut ternganga dan wajah bingung tidak mengerti.
Setelah stok tawanya habis, Jaxon mengontrol dirinya lagi, walau terkadang dia harus mengulang sikluas yang sama hingga nyaris menghabiskan pasokan oksigen di paru-parunya yang malang.
“Kau tidak sedang mempermainkanku, Mia?” tanya Jaxon, kali ini jejak tawa telah hilang dari wajahnya dan berganti dengan Jaxon Bradwood yang serius dan sedikit menakutkan. Bahkan caranya memanggil namanya menunjukkan seolah dia tidak butuh bersopan-sopan.
Mia menelan salivanya, dan menjawab dengan hati-hati.
“Seorang pria tua memintaku untuk mengantarkan amplop ini padamu, dia tidak memberikan alamat yang jelas dan hanya menginstruksikan untuk memberikan amplop ini langsung.” Selagi Mia berbicara, Jaxon membuka amplop itu dan membaca isinya. “Aku bahkan tidak tahu apa isi dalam amplop tersebut, karena dia melarangku untuk membuka segelnya. Dia bilang jika aku membukanya, maka kau akan tahu.”
Mia menunggu dengan was-was ketika Jaxon fokus membaca isi amplop tersebut, bahkan pria itu seakan lupa dirinya ada di ruangan tersebut.
“Kau bilang, dia seorang pria tua?” tanya Jaxon sembari membaca dokumen di dalamnya satu per satu. “Sebutkan ciri-cirinya,” ucapnya, kali ini dengan nada pelan.
Membuat Mia bingung sesaat, kemudian dia mencoba mengingat kembali wajah pria tua itu.
“Dia berambut putih dengan kepala botak di depan, bertubuh tinggi kurus, menggunakan baju lusuh, seolah dia tinggal di jalanan, tetapi pembawaannya menunjukkan dia seorang veteran militer.”
Jaxon menyimpan dokumen-dokumen itu di laci kerjanya dan ketika matanya kembali pada Mia, ada sesuatu yang berubah, seolah dia menatap Mia dengan pandangan yang baru. Jaxon melihat Mia dengan tatapan lembut yang tanpa sadar memunculkan rona merah di wajah porselin gadis itu.
“Apa dia memiliki tato laba-laba di lengan atau telapak tangannya?”
Jaxon berdiri dan berjalan mendekati Mia hingga mereka sejajar. Matanya mencari-cari sesuatu di wajah Mia, tanpa sadar membuat gadis itu menundukkan kepala, menghindari tatapan menusuk jiwa dari pria di hadapannya.
“Dia memiliki tato laba-laba seukuran jempol di punggung tangannya,” jawab Mia halus sembari menunjukkan jempol kanannya. Entah mengapa pria itu membuatnya gugup.
“Terima kasih, sekarang tunggulah di pavilion. Masih ada yang harus kubicarakan denganmu.”
Mia kembali menatap mata Jaxon dan hendak membantah perintahnya.
“Tugasku sudah selesai Mr. Bradwood. Hari ini aku harus kembali pulang.”
Jaxon menundukkan tubuhnya ke arah Mia hingga tiada batasan antara keduanya yang membuat Mia mundur dua langkah.
“Jangan mendebatku Miss Heart, kau tidak akan kemana-mana, urusan kita belum selesai.”
Mia hendak berargumen, tetapi dua pria yang baru saja masuk ke ruangan membuatnya diam dan kali ini Mia tidak menyembunyikan emosinya. Dia melemparkan tatapan mematikan ke arah Jaxon sebelum meninggalkan ruangan itu.
Mendapat tatapan menantang tersebut membuat Jaxon tersenyum seketika, dia tidak mengira gadis itu berani menatap matanya langsung dengan wajah penuh amarah.
***
Ruangan pertemuan itu hening begitu Jaxon memasukinya. Dokumen dari amplop kuning yang tadinya berada di tangan Jaxon kini dirotasi oleh ketujuh pria di sana. Kesemuanya menatap dokumen itu dengan pandangan tidak percaya.
“Apa yang akan kau lakukan Jax?” tanya Nicko, memecah keheningan.
Lama Jaxon termenung sembari memegangi dua foto di hadapannya. Dia menarik napasnya dalam, melepaskan beban di dadanya.
“Menjaganya, tidak ada pilihan lain.” Dia mengalihkan tatapan ke arah Nicko. “Aku tahu kau sangat dekat dengan Cinzia saat masih anak-anak, setidaknya dokumen ini menjawab pertanyaanmu selama ini.”
Nicko mengambil satu foto yang Jaxon pegang dan mengusap permukaannya dengan lembut.
“Jika diperhatikan baik-baik, ketiganya sangat mirip sekali. Foto ini tidak banyak membantu ingatanku yang samar-samar, rasanya sudah lama sekali.” Dia mengalihkan tatapan ke arah Jaxon, “Apa kau ingin aku mencari gadis ini?” Nicko mengayunkan selembar foto ke udara.
“Ya, lakukan yang terbaik Nick. Kau tahu kita dikejar oleh waktu. Saat ini yang berburu tidak hanya kita.” Keduanya saling tatap, dan mengangguk setuju.
Connor menggeleng tidak percaya dengan apa yang dia baca. Satu siulan panjang, dia membalik akta lahir di tangannya. “Kembar,” katanya masih tidak percaya.
“Baiklah, lalu bagaimana rencananya?” tanya Gideon sembari memasukkan satu per satu dokumen itu kembali ke amplop kuning.
“Pria yang memberi amplop ini bernama Dell Rosie, dia ditemukan mati dengan dua peluru bersarang di kepala dan jantungnnya, tepat sehari setelah Mia Heart meninggalkan Blueberry Hill.”
Gavin membaca laporan dari ponselnya dengan suara monoton pembawa berita, yang membuat pendengarnya memutarkan bola mata. “Dari informasi yang akurat, dia salah satu orang kepercayaan Gioluca, tetapi masih belum jelas mengapa dia mengetahui informasi tentang Mia, menurut dugaan, dia salah satu orang yang mengetahui keberadaan Mia Heart selama ini. Dan anehnya, dia sangat mempercayai pria brengsek seperti Jaxon Bradwood untuk menjaga gadis polos seperti Mia Heart.”
Jaxon mengabaikan sindiran Gavin dan memfokuskan energinya pada masalah di hadapannya.
“Gioluca sudah lama tidak muncul ke publik, kau tahu sesuatu tentang ini Nick?”
“Kesehatannya memburuk, mengharuskannya berada di kursi roda. Dia sudah tua, Jax.”
“Rasanya sudah lama sekali anggota Famiglia yang lain tidak bertemu dengannya,” jelas Rey menambahkan.
Nicko mengangguk membenarkan. Memang sangat aneh, karena Gioluca yang merupakan seorang God Father tidak muncul ke publik dua tahun belakangan ini. Tetapi tidak ada satu pun Famiglia yang menanyakan keberadaannya.
“Kudengar saat ini Fabiana dan Romero-lah yang memegang tampuk kekuasan.”
Ketujuh pria itu saling berpandangan dan mencocokkan kejadian-kejadian yang terjadi di sekitar di benak masing-masing. Tubuh ketujuhnya menegang dan pandangan mereka menajam saat menyadari sesuatu yang besar akan segera terjadi. Dengan informasi yang baru mereka dapatkan, seolah puzzle yang selama ini menjadi mistery terselesaikan dengan sempurna.
“Katakan apa yang kupikirkan ini tidak benar,” erang Gavin sembari menyisir rambut pirangnya.
Rey menepuk bahu Gavin dan mengangguk membenarkan.
“Kau tidak sendiri Gavin, tidak ada yang percaya bahwa Famiglia berada dalam ancaman serius.”
Jaxon menatap Nicko dengan wajah simpaty. Diantara mereka semua, Nicko-lah yang paling berpengaruh masa depannya jika terjadi perpecahan di tubuh Famiglia.
“Kami berada di sisimu Nick,” ucap Danny memberi dukungan.
“Kita tidak bisa lengah, Jax,” kesemuanya sepakat bahwa apa yang Mia bawa jauh lebih serius dari yang mereka kira.
Tidak bisa dipercaya. Batin Mia saat dia dikurung di sebuah ruangan, bahkan ada dua pria bersenjata yang kini berjaga di balik pintu. Rasa marah membuatnya tidak bisa duduk berdiam diri. Lama dia menunggu di ruangan, tapi hingga makan malam diantar, pria yang dia tunggu tidak kunjung menemuinya.“Aku tidak butuh makanan-makanan ini. Bawa semuanya kembali, dan biarkan aku keluar!” serunya kesal pada pemuda yang mengantar troli penuh makanan.Pemuda itu terlihat tenang, seakan tidak ada siapapun yang berbicara di ruangan itu.Merasa diabaikan, Mia mulai berteriak dan tidak menyentuh makanan yang dihidangkan.
Dua pria terkapar tak berdaya di dalam ruang bawah tanah Red Cage. Noda darah mengotori baju keduanya. Pandangan mereka setengah fokus pada sosok yang berdiri di tengah ruangan. Tubuh tinggi menjulang dengan tangan terkepal berbalur darah segar hingga menetes di ujung sepatu kulitnya yang mengilat.“Sudah cukup Jax,” ucap Rey yang sejak tadi mengawasi Jaxon memukuli dua pria di hadapannya yang mulai tak sadarkan diri.Jaxon tidak mendengarkan ucapan Rey. Tangannya cepat meraih senjata api dari balik punggungnya. Sahabatnya itu seolah menutup akses kesadaran pada lingkungan sekitar, tenggelam dalam hasrat membunuh yang menyelimuti tubuhnya.&ldq
Rasa malu menjalari pipi Mia keesokan paginya. Untung saja hari terlalu pagi sehingga meja makan itu sepi dan hanya beberapa pelayan yang bertugas. Dia bahkan berdoa pagi itu Jaxon tidak ada di Kastil Aurelia, karena dia tidak sanggup bertatapan langsung dengan mata gelapnya yang indah.“Apa tidurmu nyenyak?”Dan harapan itu terhempas begitu suara maskulinnya mengisi ruang makan yang sepi.“Ya,” jawab Mia semakin menundukkan kepala tanpa sekalipun menatap ke arah Jaxon yang duduk di kepala meja berjarak satu bangku darinya.
Tinggal di Denver tidak seburuk yang Mia pikirkan sebelumnya, malah sebaliknya. Dia mendapatkan teman baru dalam waktu singkat. Semua pegawai di De La Crush memperlakukannya dengan sangat bersahabat.Biasanya di Blueberry Hill dia selalu menghabiskan waktu kosong dengan mengurung diri di apartemen studionya, tetapi di Denver hampir setiap malam setelah shiftnya berakhir dia diajak keluar. Terkadang teman-teman barunya mengajaknya ke klub atau hanya sekedar nongkrong di cafe terdekat, dan dia merasa senang hari-hari yang dilaluinya tidak lagi sendiri. Hari-harinya memakan roti lapis juga berakhir seiring datangnya kiriman makan siang dari pria misterius yang meni
Suara-suara percakapan membangunkan Mia. Kepalanya bergerak sedikit saat dia mendengar Jaxon mengatakan sesuatu pada seseorang.“Mual,” keluh Mia. Dia meraba-raba sekitar, dan meraih baju kemeja yang Jaxon pakai untuk menarik perhatian pria itu.“Shhh … sebentar lagi, Mia.” Jaxon mengeratkan pelukannya yang membuat Mia sadar bagaimana posisi keduanya di bangku belakang mobil SUV pribadi Jaxon.Tadinya Jaxon terburu-buru keluar dari Sugar Trap tanpa pamit kepada teman-temannya, dan dia tahu keenam sahabatnya pasti menyaksikan adegan tadi dari meja bar, dan Jaxon dapat mendengar tawa mereka saat dirinya kesakitan menahan pukula
Suara langkah kaki yang terdengar dari arah lorong kamar membangunkan Mia. Gadis itu tiba-tiba bangkit dari kasur dan berjalan perlahan menuju pintu untuk mengintip siapa yang berada di balik sana. Jantungnya berdegup kencang saat dia kembali mendengar suara langkah samar-samar mondar-mandir di sepanjang lorong. Mia melirik jam di atas nakas masih menunjukkan pukul satu pagi.Pelan dia membuka pintu dan seketika tertegun saat mendapati Jaxon berdiri di sana.“Apa yang kau lakukan?” tanya Mia tiba-tiba hingga membuat Jaxon yang tidak fokus dengan sekitar nyaris melompat dari kulitnya, namun Mia tidak merasa bersalah sama sekali, bahkan gadis itu mendelik tajam pada Jaxon. Rambut yang biasanya klimis dan rapi terlihat berantak
Mia melihat Jaxon yang berjalan menjauhi mobil mereka. Saat itulah dia menyadari wanita bimbo tersebut berdiri di parkiran depan De La Crush sembari melempar senyum lebar pada Jaxon yang mendekatinya. Mia tidak bisa melihat ekspresi wajah Jaxon yang memunggunginya tapi hatinya dibalut kecemburuan begitu langkah Jaxon semakin dekat dengan wanita tersebut. Tidak sekedip pun Mia mengalihkan pandangan pada sosok keduanya, walau SUV yang Mia tumpangi berjalan begitu saja tanpa menunggu Jaxon yang kini berdiri berhadapan dengan wanita tersebut.“Tu
Ruang bawah tanah Red Cage penuh sesak dengan pengunjung. Orang-orang sangat antusias mengeliling arena pertarungan. Kabar diadakannya hiburan khusus yang jarang terjadi di Arena Sangkar ruang bawah tanah Red Cage tersiar sangat cepat.Para pria berjas hitam pendiri Red Cage berkumpul menyaksikan keramaian di Arena dari lantai dua, terlihat Jaxon yang duduk tenang di kursi kebesarannya. Wajahnya menunjukkan kebosanan, walau matanya tertuju ke Arena tetapi pandangannya seakan kosong.Seorang wanita terlihat berdiri di tengah arena ring berbentuk sangkar tertutup yang dikelilingi jeruji besi bercat merah darah. Tubuh wanita itu tampak lemas dalam posisi tangan dan kaki terikat ke tiang di tengah sangkar. Hanya balutan bra dan G-string yang menutupi tubuh wanita itu dari pandangan menyeringai ribuan pria yang mengelilingi sangkar tersebut.Terdengar siulan dan panggilan merendahkan dari p
Halo, Blezzia mengucapkan terima kasih kepada pembaca setia The King Of Denver :) Dan ya, seperti yang kalian baca, kisah ini baru saja berakhir SEASON PERTAMA-nya dan itu artinya akan ada SEASON KE-DUA yang akan Blezzia lanjutkan. Sesuai permintaan beberapa pembaca, yang tidak ingin novel ini berakhir dengan cepat, maka Blezzia mempertimbangkan akan membuat Season KE-DUA kisah Jaxon dan Mia (Bukan Nicko dan Disya) setelah menyelesaikan kisah Danny dan Hilda di Novel Wanita Rahasia CEO, oleh karena itu, Blezzia minta maaf untuk Delay yang terjadi. Karena ini novel kesayangan Blezzia, jadi kisah mereka akan sangat panjang. (Kalau perlu sampai anak cucu) Do'ain saja semoga diberikan izin oleh pihak GN ya ~ Biar nanti Blezzia lebih fokus ke Denver dan bisa update tiap hari nantinya <3Jika tidak ada halangan, maka diperkirakan Juni/Juli 2022 seluruh novel on-going yang sedang Blezzia tulis akan tamat. Lalu, bagaimana dengan kisah Nicko dan Disya? M
Mia terlihat sibuk berbincang dan tertawa bersama Disya di gazebo, saat tiba-tiba keduanya mendengar suara langkah kaki dari arah kanan taman. Serentak, wanita-wanita itupun menoleh bersamaan ke arah sumber suara, yang tak lain adalah Allana. Dengan senyum terkembang di wajah, Mia menyambut kedatangan pelayan terdekatnya itu, lalu meminta wanita tersebut untuk ikut bergabung di meja. Akan tetapi, Allana menolak sembari menoleh sedikit ke arah jalan yang tadi dilaluinya. Hal itu pun membuat Mia dan Disya mengikuti arah pandang pelayan wanita itu. Namun, mereka tidak menemukan apa-apa di sana, membuat Mia bertanya-tanya. “Ada apa?” Allana kembali menoleh pada dua wanita di hadapan, dan dia hanya menjawab dengan gerakan ragu-ragu. “Ada... seseorang yang ingin menemui... anda dan Miss Flontin,” ucapnya, sembari melirik ke arah Disya yang tetap duduk tenang dengan secangkir teh dalam genggaman. Mendengar penjelasan tersebut, sek
Jaxon memasuki ruang tengah kediaman keluarganya, dan tepat di hadapannya telah duduk Jeff Bradwood dengan ditemani ibu tirinya, Ruby. Melihat kehadiran anggota Red Cage dalam ruangan, seketika bahu Jeff tampak tegang, padahal dia sudah mendengar kedatangan mereka sebelum mencapai gerbang. Namun, melihat pria-pria yang parade saat masuk ke dalam ruangan, Jeff pun tak mampu bergerak dari tempatnya duduk di sofa.“Jeff,” sapa Jaxon, dengan kedua tangan berada di saku celana.Bukannya menyahut, Jeff Bradwood hanya berdeham sembari menatap ke segala arah. Sengaja menghindari tatapan bosan puteranya.Pandangan Jaxon pun beralih pada Ruby yang tersenyum dengan sensual. Tetapi dia abaikan. Kini, perhatiannya kembali pada sang ayah yang mencoba memasang wajah poker face.“Aku melihat keadaanmu baik-baik saja,” ucap Jaxon, berbasa-basi sembari duduk di sofa.Dia menatap kedua orang di hadapan dengan pandangan yang sulit dibaca.
Jaxon yang saat itu sedang menyesap batangan rokok di balkon sendirian, tiba-tiba saja dikejutkan dengan kehadiran Nicko dari arah belakang. Kedua pria itu tampak diam ketika berdiri sejajar pada railing. Namun, gestur Jaxon yang hendak berbagi batangan rokok di tangan menunjukkan bahwa apapun di antara mereka sebelumya telah terlupakan.Kini, kedua pria itu terlihat mengepulkan asap bersamaan. Sedangkan pandangan keduanya saling menerawang ke arah langit yang menyuguhkan pemandangan indah dengan taburan milk way di atas mereka.Di pulau ini, keduanya dapat melihat pemandangan langit malam yang jarang didapatkan jika di perkotaan. Bahkan, langit di sana jauh lebih cerah dari apa yang biasanya mereka lihat sebelumnya. Tidak hanya itu, rembulan yang cahayanya kemerahan, tampak tergantung indah di antara pemandangan malam lainnya, seolah tidak mau kalah untuk memanjakan mata para pen
“Apa kau sudah memberitahunya?” kejar Jaxon saat Nicko baru saja keluar dari ruang perawatan.Kepala pria itu menggeleng lemah. Dan, dengan berat dia mengatakan; “Belum. Aku tidak bisa melakukannya.”Melihat ekspresi Nicko yang tercekat, Jaxon pun menarik temannya itu ke dalam pelukan. Satu tangannya menepuk-nepuk punggungnya pelan, sementara dia membisikkan kata-kata penuh dukungan.“Aku bisa melakukannya jika kau mau.”Setelah keduanya memisahkan diri, Nicko yang berwajah sendu pun menatap ragu-ragu. Dia tidak ingin terbawa suasana, seperti saat di salam sana.“Terima kasih, Brother.”Kedua pria itu saling memandang paham.“Baiklah, aku akan kembali ke mansion lebih dahulu,” ucap Nicko, meninggalkan kumpulan teman-temannya yang duduk di kursi tunggu dengan masing-masing memegang chips dan roti yang tadi Gavin bawa.“Bye brother,” kata pria-pria itu serent
Nicko menutup ponselnya ketika dia mendengar laporan dari Henrieta. Beberapa kali dia menarik napas, sebelum membuangnya perlahan. Sekembalinya nanti, dia akan memberikan penjelasan pada kekasihnya yang bisa saja sedang menahan marah di seberang lautan sana.Meskipun dia tidak tahu apa yang akan menantinya, Nicko berharap Disya mau mendengarkan penjelasan.Dia hendak berbalik badan, saat tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara yang memanggil namanya pelan. Seketika bulu romanya berdiri, dan jantungnya berpacu saat suara tua itu menyebutkan namanya dengan nada sedikit bergetar.“Nicko … Anderson?”Perlahan, Nicko pun menoleh ke arah tubuh tua yang tadinya terbaring di ranjang dengan mata terpejam. Kini, mata itu memandang lurus ke arahnya, membuat Nicko tanpa sadar menundukkan kepala. Sebuah gesture penghormatan yang sulit dia tinggalkan.Sejak masih balita, anak-anak yang terlahir di Famiglia telah diajarkan untuk tidak mena
Kehebohan terjadi di Kastil Aurelia. Kedatangan seorang wanita berparas sama seperti Mia membuat semua pelayan berbondong-bondong hendak ke lantai dua, di mana wanita itu saat ini berada. Bahkan, Snow kesulitan untuk menghalau mereka agar kembali bekerja.“Astaga, aku tidak mengira parasnya serupa,” bisik Allana yang pura-pura membersihkan patung singa di bawah tangga.Piper yang juga tidak diperbolehkan naik ke lantai dua mengangguk membenarkan.“Ya, tidak hanya bentuk wajah, tetapi rambut dan ekspresinya tidak jauh berbeda,” timpal Piper yang juga berpura-pura mengelap keramik di dekat Allana.Sementara itu, Emily memilih untuk diam sembari mencuri-curi lihat ke lantai dua. Dia tampak sibuk membersihkan buffet dan pegangan tangga.Melihat ketiga wanita itu, tentu saja Snow hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia sangat yakin bahwa mereka akan langsung terbirit-birit ke dapur saat ditegur, sehingga pria itu pun mengawasi saja
Jaxon yang tidak tahan duduk terlalu lama akhirnya berdiri. Dia berjalan mondar-mandir di hadapan mereka semua. Dengan napas sedikit memburu dan amarah tertahan, pria itu seakan ingin meledak dan mengatakan sesuatu. Namun, Salvador yang menyadari hal itu pun hanya bisa menatap rekannya dengan ekspresi yang sulit dibaca.Seketika saja Salvador mengalihkan perhatian terhadap Fabiana yang saat ini mengkerut di kursi dengan pandangan terluka.“Bibi,” panggilnya pelan, yang membuat Fabiana mengangkat kepala. “Aku bisa pastikan untuk membawa Romero, tetapi aku tidak janji bila dia bebas dari luka.”Tatapan yang Fabiana berikan, membuat Salvador sedikit merasa bersalah. Selama menikah dengan Gioluca, wanita itu selalu berusaha terlihat lebih dominan dan sedikit arogan. Namun, Fabiana yang ada di depannya saat ini sangatlah jauh dari dua kata tersebut.Wanita yang dianggap paling kuat dan berkuasa, ternyata hanyalah seorang ibu yang terluk
Jaxon dan Salvador yang menunggu kedatangan Nicko tampak termangu di atas sofa. Keduanya lebih banyak diam sembari menanti kedatangan rombongan Famiglia yang akan membawa Gioluca ke kediaman Vitielo. Sementara itu, Rey serta yang lainnya duduk di seberang dengan posisi serupa. Mereka tampak menanti penuh antisipasi.Tidak ada satu pun suara, kecuali detak jam dinding serta kicauan burung di pepohonan dekat taman. Atmosfer di sekitar benar-benar sangat tegang dan intens.Di tengah-tengah keheningan, tiba-tiba saja terdengar ketukan pelan dari depan pintu, yang membuat semua kepala menatap ke sumber suara.“Biar aku yang lihat,” ucap Gavin, yang mulai berdiri dari tempat duduk.Dia mengintip dari celah kunci, dan mendapati Fabiana lah yang ada di depan sana. Melihat itu, Gavin menoleh ke balik tubuh, dan menangkap tatapan Rey yang bertanya.“Fabiana yang mengetuk,” ucapnya, menarik perhatian beberapa kepala. “Apa yang ha