“Sayang, kamu sangat hebat. Mama bangga padamu,” puji Edelia pada Makaila untuk kesekian kalinya. Tentu saja Edelia bangga karena Makaila sedikit demi sedikit sudah bisa terlepas dari bayang-bayang trauma yang selama ini membuatnya menutup diri.
Makaila berusaha untuk memasang senyum paling normal yang bisa ia sugguhkan pada ibunya. Hari ini, Edelia tidak akan lagi menemaninya dalam proses belajar, karena Edelia memang sudah tidak lagi memiliki jatah cuti. Jatah cuti Edelia tahun ini sudah habis, dan ke depannya Edelia tidak bisa lagi mendapatkan cuti dari kantornya. Karena itulah, Makaila berusaha untuk tidak membuat Edelia kembali cemas dan malah membuat mamanya itu mendapatkan masalah lagi di tempat kerjanya. Sudah cukup selama ini Makaila membuat mamanya itu repot dan sudah saatnya Makaila berusaha menangani masalahnya sendiri. Walaupun, Makaila sendiri tidak yakin apa dirinya memang bisa menangani masalahnya ini.
Edelia kembali menanamkan sebuah kecupan pada kening Makaila. “Sayang, jangan memaksakan diri. Jika nanti ada sesuatu yang membuatmu tidak nyaman, jangan berpikir dua kali untuk mengatakannya pada gurumu. Ah, jangan sungkan untuk menghubungi Mama atau Yafas,” ucap Edelia. Tentu saja, Edelia sendiri merasa sedikit cemas meninggalkan Makaila sendirian di rumah. Walaupun biasanya Edelia memang meninggalkan Makaila sendiri di apartemen, tetapi hari ini jelas berbeda karena nanti Makaila akan menjalani sesi homeschooling dengan Bara. Bukannya Edelia tidak percaya pada Bara, tetapi lebih kepada jika dirinya cemas bahwa Makaila akan kembali tidak sadarkan diri karena serangan panik.
“Mama tidak perlu cemas, Kaila baik-baik saja,” ucap Makaila sembari mencoba meyakinkan dirinya sendiri jika memang dirinya akan baik-baik saja saat ditinggalkan dengan Bara nantinya. Namun, seberapa pun dirinya berusaha untuk meyakinkan diri, Makaila tidak bisa merasa jika dirinya memang akan baik-baik saja. Entah kenapa, Makaila merasa jika ada hal buruk yang terjadi.
Edelia mengangguk dan kembali menanamkan sebuah kecupan pada kening Makaila. “Ingat nikmati waktumu, tidak perlu cemas mengenai apa pun. Gedung ini aman, tidak akan ada orang asing yang bisa masuk secara sembarangan dan melukaimu. Mama berangkat dulu, ya,” ucap Edelia lalu melenggang pergi meninggalkan Makaila yang mulai bergetar ketakutan. Tentu saja Makaila merasa takut karena beberapa jam ke depan dirinya akan bertemu dengan Bara. Si penjahat yang memiliki akal bulus dan bisa meloloskan diri dari jeratan hukum.
Harus seperti apa dirinya menghadapi Bara nanti? Sudah dipastikan, karena tidak ada ibunya, Bara akan bertindak sesuka hatinya. Jujur saja, Makaila takut jika dirinya dilukai oleh Bara. Rasanya, Makaila ingin sekali melaporkan pada pihak berwajib jika pembunuh yang selama dua tahun mereka cari ada di dekatnya. Namun, Makaila rasa percuma saja. Padahal, sebelumnya lebih tepatnya pada dua tahun yang lalu, Makaila sudah melaporkan kejadian tersebut bahkan membantu untuk membuat sketsa wajah Bara, tetapi sampai saat ini Bara masih bebas berkeliaran tanpa bersusah payah menyembunyikan wajahnya. Bukankah itu sangat janggal? Apa mungkin yang dikatakan oleh Bara memang benar? Mengenai dirinya yang memang memiliki kuasa yang bahkan bisa membuat hukum sekali pun tunduk padanya?
Lalu, apa yang harus Makaila lakukan? Makaila melirik jam dinding. Ini masih jam tujuh lebih lima belas menit, masih ada waktu sekitar dua jam, sebelum Bara datang. Tentu saja Bara datang dengan dalih sebagai guru privat baginya, tapi itu saat ibunya ada di sini dan mengawasi proses belajar mengajar. Namun, ketika ibunya tida ada, Makaila sendiri tidak yakin jika dirinya memang akan mendapatkan seorang guru yang mengajarinya, mungkin Makaila hanya akan bertemu dengan penjahat yang memberikan ancaman demi ancaman serta tekanan yang jelas membuat Makaila sangat ketakutan.
Makaila hampir saja memekik saat tiba-tiba dirinya mendengar suara bel apartemennya. Makaila bangkit dari duduknya dengan kening mengernyit dalam. Ia bertanya, siapa yang bertamu? Biasanya, apartemennya ini sama sekali tidak mendapatkan tamu. Jika pun ada yang datang, biasanya itu adalah kurir barang atau kurir makanan pesan antar. Namun, kali ini Makaila sama sekali tidak merasa sudah memesan barang atau makanan, hingga memungkinkan orang yang menekan bel saat ini adalah kurir barang atau kurir makanan pesan antar. Makaila melangkah menuju pintu apartemennya, berniat untuk mengintip siapa tamu tersebut.
Hanya saja, belum juga dirinya membuka pintu, Makaila dikejutkan dengan bunyi password pintu yang ditekan. Tentunya, Makaila dengan mudah menyimpulkan jika itu adalah ibunya. Siapa lagi yang tahu password pintu apartemen selain dirinya dan ibunya. Namun, Makaila merasakan ada hal yang janggal. Jika benar yang tengah mencoba membuka pintu adalah ibunya, kenapa dirinya malah repot-repot menekan bel? Sayangnya, Makaila sangat terlambat menyadari apa yang hal janggal tersebut. Makaila tersentak dan hampir jatuh terduduk saat melihat sosok yang kini memasuki apartemen tempatnya tinggal.
“Ka-Kamu? Kenapa kamu bisa masuk?” tanya Makaila sembari terus mundur menghindari sosok penuh intimidasi yang kini tengah mengikis jarak antara dirinya dan Makaila. Tentu saja, Makaila merasa gugup sekaligus panic dengan jarak yang terus terkikis meskipun dirinya berusaha untuk mempertahankan jarak agar, demi mempertahankan keamanannya yang sebenarnya perlu dipertanyakan. Sejujurnya, kini Makaila merasakan lututnya agak melemas, di tambah sepanjang kakinya yang bergetar pelan.
“Tentu saja aku bisa masuk dengan mudah karena aku tahu password pintu apartemenmu,” jawab Bara dengan seringai tajam. Ya, sosok yang baru saja memasuki apartemen Makaila dengan mulus adalah Bara. Si pria yang jelas dicap sebagai pria jahat oleh Makaila.
“Ma-Maksudku bukan i—”
Makaila tidak bisa melanjutkan perkataannya saat Bara tiba-tiba sudah berada di hadapannya dan mencengkram rahangnya dengan cukup kuar, cukup untuk membuat Makaila meringis merasakan sakitnya. “Aku rasa, posisimu saat ini sama sekali tidak memungkinkan untuk menanyakan banyak kepadaku. Aku rasa, karena dirimu cerdas, kamu akan mengerti dengan apa yang harus kau kau lakukan saat ini,” ucap Bara tajam lalu melepaskan cengkramannya sebelum melangkah menuju dapur dan duduk di meja makan.
Tentu saja Makalia mengikutinya dengan takut-takut. Bara mengamati Makaila yang tampak anggun dengan gaun rumahan serta rambut hitamnya yang tebal tergerai begitu saja di punggungnya. Wajahnya yang ayu, juga terlihat polos tanpa polesan riasan sedikit pun. Namun, Makaila sama sekali tidak terlihat aneh atau buruk. Makaila malah terlihat cantik dengan pesonanya sendiri. Bara memberikan isyarat memerintahkan Makaila untuk duduk di kursi yang berada di dekatnya. Makaila menurut dan duduk di sana.
“Aku memutuskan untuk memajukan jam belajarmu. Tapi, kau yang harus mengatakan pada ibumu, jika kau yang meminta perubahan jam serta rentang waktu belajar yang diperpanjang,” ucap Bara lancar seakan-akan dirinya memang sudah memikirkan hal tersebut sejak lama.
Makaila tentu saja enggan memperbanyak jam belajar dengan Bara. Karena itu artinya Makaila akan menghabiskan lebih banyak waktu dengan Bara. Tentu saja, Makaila tidak mau itu terjadi. Bahkan, saat ini saja Makaila sudah sangat ingin mengusir Bara dari rumahnya. Namun, Makaila sadar jika dirinya tidak bisa melakukan apa yang ia pikirkan. Ia juga tidak bisa menolak apa yang sudah dikatakan oleh Bara, karena Makaila yakin itu pasti akan menjadi pemantik kemarahan Bara. Makaila pun pada akhirnya mengangguk dan berkata, “I-Iya, aku akan mengatakannya pada Mama.”
Bara mengangguk puas dan mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja makan. Ia menatap tajam pada Makaila dan berkata, “Kalau begitu bagaimana kalau kita mulai jam pelajarannya?”
Mendengar hal itu, Makaila mengangkat pandangannya yang semula tertuju pada kedua tangannya yang terjalin di atas pangkuannya. Namun, seketika tubuh Makaila bergetar hebat saat merasakan aura menyeramkan yang menyeramkan dari Bara. Ditambah dengan seringai yang ditunjukkan oleh Bara. Meskipun masih saja terlihat tampan meskipun memasang seringai semacam itu, tetapi Makaila tetap merasa jika seringai itu terlalu mengeringkan baginya. Akibatnya, saat ini Makaila tidak bisa menahan diri untuk merasakan firasat buruk. Ya, Makaila merasa jika aka nada hal buruk yang terjadi padanya.
Makaila terlihat begitu pucat. Bagaimana mungkin dirinya tidak pucat jika saat ini dirinya tengah duduk di atas pangkuan Bara. Tentu saja, Makaila merasa jika posisinya ini sangat tidak aman. Ya, tidak aman sebagai seorang target pembunuhan, dan tidak aman sebagai seorang gadis. Ayolah, Bara itu adalah pria yang sudah dewasa, dan Makaila yakin jika Bara adalah pria yang normal. Tentu saja, sebagai seorang gadis, Makaila merasa jika posisi ini sangatlah berbahaya. Namun, Makaila sama sekali tidak bisa berutik. Saat ini Makaila berusaha untuk tidak bergerak berlebihan dan memilih untuk fokus dengan pelajaran yang tengah tersaji di hadapannya.
Meskipun sudah dikatakan membaik, tetapi Makaila tetap harus menjalani konsultasi secara berkala. Hanya saja intensitasnya dikurangi daripada sebelumnya. Jika biasanya adalah seminggu sekali, maka sekarang sekitar dua atau tiga minggu sekali, sesuai dengan yang dijadwalkan oleh psikiater yang menangani Makaila. Saat ini, Makaila sendiri tengah digandeng oleh Edelia menyusuri lorong rumah sakit yang tidak terlalu ramai. Lorong tersebut akan membawa keduanya menuju ruangan praktek psikiater Makaila. Ini juga adalah salah satu perubahan yang dialami oleh Makaila.Sebelumnya
“Bara,” bisik Makaila tidak percaya.Suara Makaila tersebut luput dari pendengaran Yafas, saat ini Yafas malah mempersilakan Bara untuk masuk ke dalam ruangannya untuk memeriksa identitasnya. Tentu saja, Yafas harus memastikan jika Bara memang orang yang bisa dipercaya untuk membawa Makaila kembali ke apartemen dengan selamat. Meskipun Edelia sudah mempercayainya, tetapi Yafas tidak bisa percaya begitu saja. Dilihat dari tampilan Bara, Yafas yakin jika dirinya memiliki profesi yang memang memaksanya mengenaka
Yafas meletakkan bolpoin yang ia gunakan untuk mencatat beberapa hal penting mengenai pasien yang akan ia temui esok hari. Pria satu itu menghela napas panjang dan memilih untuk melangkah menuju beranda rumahnya dan menatap taman rumahnya yang tidak begitu luas, karena Yafas memang tidak memiliki waktu untuk merawat taman yang lebih luas daripada tamannya saat ini. Yafas memilih untuk duduk di salah satu kursi yang memang disediakan untuk bersantai di sana. Kening Yafas mengernyit dalam saat dirinya memikirkan sesuatu yang terasa begitu mengganggu.Tak lama, Yafas pun mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang, setelah memastikan jika saat ini
Makaila merasa begitu malu. Bagaimana tidak malu, jika dirinya kini menggunakan seragam sekolah menengah atasnya di sekolah dulu. Seragam tersebut memang masih muat dikenakan oleh Makaila. Hanya saja, rok kotak-kotak yang menjadi bagian seragamnya sudah terlihat pendek untuk Makaila. Karena tentu saja setelah dua tahun Makaila tumbuh lebih tinggi daripada sebelumnya. Selebihnya, tidak ada yang berubah dari bentuk tubuh Makaila, bahkan buah dadanya sepertinya tidak mengalami pertumbuhan berarti daripada sebelumnya.Namun, Bara yang melihat hal itu merasa puas. Saat ini, Makaila terlihat sangat manis. Malahan, Bara menilai jika Makaila masih sangat pa
Makaila menerima kecupan dari Edelia, dan melambaikan tangannya pada Edelia yang terburu-buru untuk berangkat ke kantor. Melihat hal itu, Makaila merasa jika dirinya semakin tidak bisa mengatakan identitas Bara, dan seperti apa perlakuan Bara padanya. Makaila, merasa jika dirinya pasti akan membuat beban yang dipikul oleh ibunya semakin berat saja. sudah cukup selama ini Makaila membuat ibunya repot dan terbebani dengan segala hal yang berkaitan dengannya. Makaila menghela napas dan menutup pintu apartemennya. Makaila memilih masuk ke dalam kamarnya dan berganti pakaian dengan gaun yang sebelumnya sudah ditunjuk oleh Bara untuk digunakan saat sesi homeschooling.
“Wah, ke mana perginya rasa percaya dirimu itu? Kau sudah kalah, maka terima konsekuensinya.”Makaila mengkerut takut saat mendengar apa yang dikatakan oleh Bara. Sudah dipastikan jika kini Bara akan menagih taruhan yang sudah disepakati oleh mereka tadi. “Me-Memangnya, apa yang kamu inginkan?” tanya Makaila gugup. Sejak awal, baik Makaila maupun Bara memang tidak mengatakan apa yang mereka inginkan, jika mereka menang nanti. Karena itulah, Makail
Makaila terbangun saat tengah malam tiba. Sengatan rasa sakit yang menyerang sekujur tubuh Makaila menyentak dirinya untuk sadar dari rasa kantuk yang menggelayut di kedua kelopak matanya. Saat itulah, Makaila sadar jika apa yang ia alami sebelumnya bukanlah khayalan. Rasa sakit yang menyerangnya ini, adalah bukti jika dirinya memang sudah dihancurkan oleh Bara. Memikirkan jika kehidupannya sebagai seorang gadis yang suci sudah direnggut oleh Bara, Makaila sama sekali tidak bisa menahan diri untuk menangis tergugu.Makaila meringkuk dan menarik selimut yang menutupi tubuhnya yang polos. Ah, tidak sepenuhnya polos, tetapi dihiasi oleh berbagai tanda