“Bara,” bisik Makaila tidak percaya.
Suara Makaila tersebut luput dari pendengaran Yafas, saat ini Yafas malah mempersilakan Bara untuk masuk ke dalam ruangannya untuk memeriksa identitasnya. Tentu saja, Yafas harus memastikan jika Bara memang orang yang bisa dipercaya untuk membawa Makaila kembali ke apartemen dengan selamat. Meskipun Edelia sudah mempercayainya, tetapi Yafas tidak bisa percaya begitu saja. Dilihat dari tampilan Bara, Yafas yakin jika dirinya memiliki profesi yang memang memaksanya mengenakan pakaian formal.
Bara mengulurkan tangannya dan menerima jabatan tangan Yafas. Bara pun memperkenalkan diri, “Perkenalkan, saya Bara. Saya adalah guru privat Makaila selama homeschooling.”
Yafas pun mengingat nama Bara. Sebelumnya, Edelia memang sudah bercerita jika sosok guru kompeten yang ia temukan untuk mengajar Makaila, bernama Bara. Karena itulah Yafas mengangguk dan memasang senyum ramah. “Saya sempat mendengar nama Anda dari ibu Makaila, tetapi maaf saya tetap harus memeriksa identitas Anda demi kenyamanan bersama. Jadi, bolehkah saya melihat kartu identitas Anda?” tanya Yafas.
“Tentu saja. Saya bukan orang aneh, yang merasa terganggu hanya karena diminta untuk menunjukkan kartu identitas,” jawab Bara sembari mengeluarkan kartu identitas miliknya dari dompet. Yafas menerimanya lalu sibuk untuk mencatat nama dan alamat Bara, sementara saat itulah Bara memberikan tatapan penuh peringatan pada Makaila. Entah kenapa, saat itulah Makaila merasa jika Bara mengetahui apa yang akan dikatakannya pada Yafas. Dan jujur saja, itu sungguh mengerikan bagi Makaila.
Hawa dingin yang mencekam seketika merambati tulang belakang Makaila dan membuat gadis satu itu menggigil begitu saja. Ya, Makaila tahu jika Bara tengah memberikan peringatan untuk berhati-hati dengan apa yang ia katakan, dan apa yang akan ia lakukan. Makaila merasakan telapak tangannya berubah dingin, saat dirinya melihat Bara memberikan isyarat jika dirinya menyimpan sesuatu di balik jas formal yang ia kenakan saat ini. Sudah dipastikan jika hal tersebut tak lain adalah sebuah senjata api yang kemarin sempat Bara gunakan untuk mengancam Makaila.
“Terima kasih,” ucap Yafas kepada Bara yang sudah kembali berdiri dengan normal. Bara menerima kartu identitas yang dikembalikan oleh Yafas dengan senang hati.
“Kalau begitu, lebih baik Anda menunggu di luar saja. Karena sesi konsultasi Makaila belum selesai,” ucap Yafas. Ia memang berniat untuk kembali melanjutkan sesi konsultasi dengan Makaila.
Hanya saja, Makaila sudah lebih dulu bangkit dari duduknya dan berkata, “Ya-Yafas, mari kita sudahi konsultasinya. Aku tidak mau lagi melanjutkan konsultasinya. Rasanya, aku sudah terlalu lelah untuk konsultasi. Aku ingin pulang dan beristirahat sebelum kembali melanjutkan acara belajarku dengan Bara.”
Jelas, Yafas merasa jika apa yang diminta oleh Makaila terasa sangat aneh dan berat untuk disanggupi oleh Yafas. Sebelumnya, Makaila memang sering meminta sesi konsultasi dihetikan di tengah jalan. Namun, Yafas merasa jika kali ini permintaan Makaila terasa sangat janggal. Karena akhir-akhir ini, Makaila sangat jarang meminta untuk menghentikan konsultasi, apalagi dengan alasan lelah seperti yang barusan ia katakan. Rasanya, Yafas ingin sekali menghentikan Makaila, dan tidak membiarkan Bara membawa Makaila pergi. Namun, Yafas tidak bisa melakukan hal itu. Bara sudah memberikan bukti dan identitas yang jelas.
Selain Bara memang sudah dipercaya oleh Edelia untuk menjemput dan membawa Makaila kembali ke apartemen, Makaila secara pribadi sudah meminta untuk menghentikan sesi konsultasi hari ini. Karena itulah, pada akhirnya Yafas menyunggingkan senyum kecil dan mengangguk. “Baiklah, aku tidak akan memaksamu melanjutkan sesi konseling ini jika kamu merasa lelah. Lebih baik, kamu segera pulang. Tapi, jangan lupa istirahat dan minum obat yang akan aku resepkan,” ucap Yafas lalu kembali ke mejanya untuk membuat resep obat yang harus Makaila tebus nantinya.
Makaila mengangguk dengan cepat dan segera mendekat pada meja Yafas untuk menerima resep yang sudah dibuat oleh Yafas khusus untuknya. Makaila berusaha untuk menutupi rasa gugup dan perasaan takut yang ia rasakan saat ini dari Yafas. Karena Makaila tahu, jika Yafas ini adalah pria yang sangat peka, bahkan lebih peka daripada ibunya sendiri. Makaila menyunggingkan senyumnya dan berkata, “Terima kasih untuk sesi konseling hari ini, Yafas. Aku pulang dulu, permisi.”
Yafas mengangguk dan mempersilakan Makaila untuk melangkah pergi. Bara tampak gentle dengan membukakan pintu bagi Makaila. Sebelum mengikuti langkah Makaila, Bara pun menyempatkan diri untuk tersenyum dan memberikan anggukan sopan sebelum pamit undur diri. Yafas pun membalasnya dengan senyuman khas miliknya. Namun setelah keduanya pergi, Yafas tidak bisa menahan diri untuk mengernyitkan keningnya dalam-dalam. Yafas merasa ada sesuatu yang aneh di sini, tetapi Yafas belum bisa meraba apa hal yang terasa aneh ini.
***
Tiba di apartemen, Makaila tidak diberi kesempatan untuk mengatakan apa pun oleh Bara, dan kini tubuh gadis mungil tersebut sudah dihimpit ke dinding. Bara yang bertubuh tinggi dan kekar, dengan sigap menahan tubuh Makaila untuk tidak bergerak sedikit pun dari sana. Sebelum mengatakan apa pun, bibir Makaila sudah lebih dulu dibungkam oleh ciuman panas yang dilakukan oleh Bara. Makaila tentu saja bergetar penuh rasa takut. Ia bahkan menangis deras, dan berusaha berontak dengan segala cara. Kedua tangannya ia gunakan untuk mendorong tubuh Bara agar menjauh darinya. Namun, keduanya segera di tahan oleh salah satu tangan Bara.
Makaila semakin menangis keras saat merasakan kedua buah dadanya tengah disentuh dan diremas dengan gerakan sensual. Makaila berusaha untuk mempertahankan kesadarannya. Jika saat ini dirinya jatuh tak sadarkan diri, Makaila tidak bisa membayangkan apa yang dilakukan oleh Bara yang terlihat tengah sangat marah saat ini. Napas Makaila mulai terasa sesak saat Bara masih saja mengulum bibirnya dengan sensual. Bara yang menyadari hal itu melepaskan ciumannya dan menatap tajam Makaila menggunakan kedua netranya yang kelam serta menyorot dingin.
“Apa kau pikir aku ini orang bodoh? Kau berniat untuk mengungkapkan identitasku pada Psikiater itu, bukan?” tanya Bara tajam membuat Makaila semakin tidak bisa menghentikan isak tangisnya.
Bara menunduk dan mencium jejak air mata yang mengalir di kedua pipi Makaila. Ciuman tersebut tentu saja meninggakan jejak panas di kedua pipi Makaila yang jelas memucat karena merasa begitu takut dengan apa yang saat ini tengah terjadi padanya. “Bukankah aku sudah lebih dari cukup memperingatkanmu untuk berhati-hati dan tidak mengungkapkan jati diriku pada siapa pun? Kenapa kau masih saja tidak mau mendengarkan apa yang aku katakan? Jika sudah seperti ini, aku sama sekali tidak memiliki pilihan lain selain memberikan hukuman padamu,” ucap Bara sembari menjauhkan wajahnya dari Makaila, tetapi masih dengan tubuhnya yang menghimpit tubuh Makaila di dinding.
“Maaf, tolong maafkan a—kyaa!” jerit Makaila histeris, saat Bara tanpa berkedip merobek gaun yang dikenakan oleh Makaila menjadi dua bagian. Saat ini, bagian depan tubuh Makaila terlihat dengan jelas.
Sepasang pakaian dalam manis berwarna biru muda menyapa penglihatan Bara saat itu juga. Tentu saja Makaila histeris dan segera berontak dengan ganasnya. Hanya saja, Bara semakin menghimpit tubuh Makaila ke dinding agar Makaila tidak bisa bergerak sama sekali. Salah satu tangan Bara yang memang bebas, ia ulurkan untuk merambati perut datar Makaila lalu berakhir pada buah dada Makaila yang masih tertutupi cup bra yang tidak terlalu besar bagi gadis seusia Makaila. Namun, Bara rupanya tidak merasa kecewa dengan bentuk dan ukuran tersebut. Bara malah memuji, “Menggemaskan.”
Bara pun berusaha untuk menyusupkan tangannya pada cup bra tersebut, dan saat itulah Makaila yang menyadari hal tersebut tidak bisa menahan diri untuk menangis begitu histeris serta berontak dengan gila-gilaan. Bara yang menghadapinya bahkan kesulitan untuk membuat Makaila tenang. Bara melepaskan tangannya dari dada Makaila dan mencoba menahan bahu gadis satu itu, Bara jelas kesal dan menggeram. Baru saja Bara akan menyemburkan kata-kata penuh ancaman pada Makaila, gadis berparas ayu tersebut sudah kembali lunglai dalam pelukan Bara.
Kali ini, Bara menatap tajam wajah Makaila yang ia cengkram rahangnya. Tentu saja Bara kesal karena Makaila sudah jatuh tak sadarkan diri, bahkan saat dirinya belum memulai acara utama. Namun, Bara pun menyeringai dan berbisik, “Aku akan melepaskanmu untuk saat ini. Aku akan membuatmu terbiasa dengan hal ini, dan terbiasa dengan bermain gairah. Saat kau sudah terbiasa, saat itu pula aku akan menarikmu tenggelam dalam permainan ini.”
Yafas meletakkan bolpoin yang ia gunakan untuk mencatat beberapa hal penting mengenai pasien yang akan ia temui esok hari. Pria satu itu menghela napas panjang dan memilih untuk melangkah menuju beranda rumahnya dan menatap taman rumahnya yang tidak begitu luas, karena Yafas memang tidak memiliki waktu untuk merawat taman yang lebih luas daripada tamannya saat ini. Yafas memilih untuk duduk di salah satu kursi yang memang disediakan untuk bersantai di sana. Kening Yafas mengernyit dalam saat dirinya memikirkan sesuatu yang terasa begitu mengganggu.Tak lama, Yafas pun mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang, setelah memastikan jika saat ini
Makaila merasa begitu malu. Bagaimana tidak malu, jika dirinya kini menggunakan seragam sekolah menengah atasnya di sekolah dulu. Seragam tersebut memang masih muat dikenakan oleh Makaila. Hanya saja, rok kotak-kotak yang menjadi bagian seragamnya sudah terlihat pendek untuk Makaila. Karena tentu saja setelah dua tahun Makaila tumbuh lebih tinggi daripada sebelumnya. Selebihnya, tidak ada yang berubah dari bentuk tubuh Makaila, bahkan buah dadanya sepertinya tidak mengalami pertumbuhan berarti daripada sebelumnya.Namun, Bara yang melihat hal itu merasa puas. Saat ini, Makaila terlihat sangat manis. Malahan, Bara menilai jika Makaila masih sangat pa
Makaila menerima kecupan dari Edelia, dan melambaikan tangannya pada Edelia yang terburu-buru untuk berangkat ke kantor. Melihat hal itu, Makaila merasa jika dirinya semakin tidak bisa mengatakan identitas Bara, dan seperti apa perlakuan Bara padanya. Makaila, merasa jika dirinya pasti akan membuat beban yang dipikul oleh ibunya semakin berat saja. sudah cukup selama ini Makaila membuat ibunya repot dan terbebani dengan segala hal yang berkaitan dengannya. Makaila menghela napas dan menutup pintu apartemennya. Makaila memilih masuk ke dalam kamarnya dan berganti pakaian dengan gaun yang sebelumnya sudah ditunjuk oleh Bara untuk digunakan saat sesi homeschooling.
“Wah, ke mana perginya rasa percaya dirimu itu? Kau sudah kalah, maka terima konsekuensinya.”Makaila mengkerut takut saat mendengar apa yang dikatakan oleh Bara. Sudah dipastikan jika kini Bara akan menagih taruhan yang sudah disepakati oleh mereka tadi. “Me-Memangnya, apa yang kamu inginkan?” tanya Makaila gugup. Sejak awal, baik Makaila maupun Bara memang tidak mengatakan apa yang mereka inginkan, jika mereka menang nanti. Karena itulah, Makail
Makaila terbangun saat tengah malam tiba. Sengatan rasa sakit yang menyerang sekujur tubuh Makaila menyentak dirinya untuk sadar dari rasa kantuk yang menggelayut di kedua kelopak matanya. Saat itulah, Makaila sadar jika apa yang ia alami sebelumnya bukanlah khayalan. Rasa sakit yang menyerangnya ini, adalah bukti jika dirinya memang sudah dihancurkan oleh Bara. Memikirkan jika kehidupannya sebagai seorang gadis yang suci sudah direnggut oleh Bara, Makaila sama sekali tidak bisa menahan diri untuk menangis tergugu.Makaila meringkuk dan menarik selimut yang menutupi tubuhnya yang polos. Ah, tidak sepenuhnya polos, tetapi dihiasi oleh berbagai tanda
Makaila menahan rasa malunya saat Bara dengan tidak canggung memeriksa bagian intim Makaila seperti kejadian tadi malam. Setelah mendapatkan ancaman mengenai keselamatan ibunya yang tengah dinas di luar kota, Makaila tidak memiliki kekuatan untuk melawan atau beragumen atas apa yang diinginkan oleh Bara. Makaila tidak ingin sampai ibunya berada dalam bahaya karena dirinya yang tidak bisa menghadapi masalahnya sendiri. Makaila tersentak saat merasakan sesuatu yang dingin di bagian intimnya.Saat mengintip dengan malu-malu, Bara ternyata tengah kembali mengoleskan sebuah obat—yang tidak Makaila ketahui namanya—di bagian intimnya. Namun, ya
Yafas melangkah dengan santai menyusuri lorong yang akan membawanya menuju sebuah pintu apartemen yang ia tuju. Tiba di depan pintu apartemen yang ia tuju, pria tampan tersebut sama sekali tidak membuang waktu untuk menekan bel pintu. Sembari menunggu pintu dibuka, Yafas pun menatap kantung plastik yang berada di tangannya. Di dalamnya, ada beberapa makanan siap masak, seperti nugget dan sosis yang memang mudah untuk dimasak. Yafas kembali mengangkat pandangannya ke pintu, saat tidak mendengar tanda-tanda orang membukakan pintu.Yafas pun kembali menekan bel dan barulah, terdengar suara langkah dan pintu pun terbuka. Yafas menyajikan sebuah senyum t
“Apa yang akan kau laporkan?” tanya Bara pada Fabian yang berada di ujung sambungan telepon. Sementara dirinya sendiri, kini menatap pantulan dirinya sendiri di cermin yang berada di dalam kamar mandi. Ia baru saja selesai mandi, dan tengah bersiap untuk bertemu dengan Makaila yang tadi sudah lebih dulu mandi. Makaila bahkan sudah menerima tamu yang terus menekan bel seakan-akan memaksa Makaila untuk segera membukakan pintu. Untung saja, saat itu Bara sedang tidak mereguk nikmat surga dunia bersama Makaila. Jika sampai hal itu terjadi, Bara tidak akan segan-segan untuk memberikan pelajaran padanya.“Tamu yang diterima Nona Makaila, adalah Yafas. Psikiater Nona Makaila,” jawab Fabian dari ujun