Makaila menerima kecupan dari Edelia, dan melambaikan tangannya pada Edelia yang terburu-buru untuk berangkat ke kantor. Melihat hal itu, Makaila merasa jika dirinya semakin tidak bisa mengatakan identitas Bara, dan seperti apa perlakuan Bara padanya. Makaila, merasa jika dirinya pasti akan membuat beban yang dipikul oleh ibunya semakin berat saja. sudah cukup selama ini Makaila membuat ibunya repot dan terbebani dengan segala hal yang berkaitan dengannya. Makaila menghela napas dan menutup pintu apartemennya. Makaila memilih masuk ke dalam kamarnya dan berganti pakaian dengan gaun yang sebelumnya sudah ditunjuk oleh Bara untuk digunakan saat sesi homeschooling.
Makaila bercermin dan tidak bisa memungkiri jika dirinya memang cantik. Bukankah semua perempuan memang cantik? Makaila rasa seperti itu. Makaila menoleh dan melihat foto keluarganya, yang terdiri dari dirinya dan ibunya saja. Ya, tidak ada satu pun potret lelaki di apartemen Makaila hal itu terjadi karena Makaila memang tidak memiliki ayah sejak kecil. Menurut mamanya, Makaila kehilangan ayahnya sejak Makaila masih berada dalam kandungan. Karena merasa sangat berat dengan kehilangan itu, Makaila sama sekali tidak bisa mengungkit pembicaraan mengenai ayahnya di hadapan Edelia. Makaila tidak ingin membuat ibunya merasa semakin kehilangan dan tersiksa oleh rasa sedih.
Makaila menghela napas dan memilih untuk duduk di tepi ranjang sembari meraih bingkai foto dirinya dan ibunya. “Papa itu orangnya seperti apa ya? Apa Papa juga sebaik Mama? Pasti, Papa itu orangnya sangat tampan, secara Mama juga orangnya sangat cantik. Mereka pasti terlihat sangat serasi. Hah, setidaknya aku ingin tau nama Papa dan apa pekerjaan Papa,” gumam Makaila sembari mengusap potret ibunya dengan lembut.
Jelas, Makaila ingin menanyakan hal tersebut pada Edelia. Namun, Makaila tidak tega melihat raut sedih yang selalu ditunjukkan oleh Edeli saat Makaila mengangkat topic tersebut. Jadi, Makaila selalu berusaha untuk memendam semua yang ingin ia tahu, dan memilih untuk bungkam dengan semua rasa ingin tahunya ini. Setidaknya, dengan cara itu ibunya tidak akan lagi merasa sedih. Karena saat ini, hanya ibunya yang Makaila miliki, jadi Makaila memilih untuk menjaga apa yang ada saja, daripada memikirkan apa yang tidak ia miliki.
Makaila tersentak saat mendengar suara password pintu. Sudah dipastikan jika itu adalah Bara. Karena rasanya sangat tidak mungkin jika Edelia kembali lagi. Makaila pun bangkit sembari menenangkan detak jantungnya yang terasa lebih hebat daripada biasanya. sejak bangun tadi pagi, Makaila memang merasakan hal yang aneh. Seakan-akan, ada hal besar yang akan terjadi, dan tentu saja hal besar tersebut adalah hal buruk yang tidak menguntungkan baginya. Namun, Makaila tentunya tidak bisa menghindari Bara.
Makaila ke luar dari kamarnya, bertepatan dengan Bara yang masuk ke dalam apartemen. Bara tampak memukau seperti biasanya, dengan setelah formal yang melekat apik membalut tubuhnya yang kekar dan tinggi, khas pria dewasa yang memang sudah matang dalam segala hal. Bara menyeringai saat melihat penampilan manis Makaila pagi ini. Bara melangkah menderap pada Makaila dan memberikan isyarat yang dimengerti oleh Makaila.
Gadis satu itu tampak mati gaya, tetapi tak ayal berjinjit dengan susah payah dan menanamkan sebuah kecupan pada pipi kanan Bara. Hal tersebut memang sudah menjadi kebiasaan bagi Makaila, tentu saja bukan karena inisiatif dirinya sendiri, melainkan karena perintah gila Bara. Pria itu ingin mendapatkan kecupan selamat datang, ketika dirinya datang serta ingin mendapatkan kecupan selamat jalan ketika dirinya akan pulang.
Jangan pikir jika Makaila menerima apa yang dipinta oleh Bara dengan senang hati. Namun, Makaila sama sekali tidak memiliki pilihan lain, selain mengikuti alur yang sudah dibuat oleh Bara. Karena seperti biasanya, Bara selalu menjadikan Edelia sebagai ancaman. Apalagi, sebelumnya Bara sempat menunjukkan bukti jika ada orang yang terus mengintai Edelia dan menunggu perintah yang akan diberikan oleh Bara. Jika Bara memerintahkan untuk membunuh Edelia, maka saat itu pula sudah dipastikan jika akan ada sebuah peluru yang melesat dan bersarang pada kepala Edelia.
Bara yang saat ini tersenyum puas, segera menarik Makaila untuk masuk ke dalam kamar. Ternyata, Makaila sudah menyiapkan beberapa buku yang memang akan dibahas dalam sesi belajar kali ini. Namun, Bara ternyata malah menyisihkan buku tersebut dan membuat Makaila duduk di sisi meja yang berseberangan dengannya. Makaila mengernyitkan keningnya, tetapi tidak mengerti dengan apa yang akan dilakukan oleh Bara. Hanya saja, jantung Makaila tidak bisa berbohong jika saat ini dirinya sangat gugup dengan apa yang akan dilakukan oleh Bara selanjutnya.
“Hari ini, kita tidak akan belajar,” ucap Bara membuat Makaila tidak terkejut.
“Ti-Tidak belajar? Lalu, apa yang akan kita lakukan?” tanya Makaila tidak bisa menahan diri untuk mengutarakan rasa penasarannya.
“Karena akhir-akhir ini, kau bertingkah sangat baik, maka aku akan memberikan sebuah penawaran, yang mungkin akan sangat menguntungkan bagimu,” ucap Bara.
Makaila meremat tangannya. “Pe-Penawaran apa yang kamu maksud?” tanya Makaila.
“Mari memainkan sebuah permainan yang menyenangkan dengan sebuah taruhan sebagai hadiahnya,” jawab Bara tanpa ragu.
Makaila tentu saja mengerti dengan apa yang dimaksud oleh Bara. Dan saat itulah, Makaila merasakan jika dirinya memiliki sebuah peluang untuk melepaskan diri dari Bara. Mau tidak mau, Makaila akan berusaha membuat Bara untuk setuju dengan taruhan yang akan ia buat nantinya. “Ta-Tapi, aku yang akan menentukan taruhannya. Aku yang akan menentukan, apa yang akan aku dapatkan jika aku menang,” ucap Makaila.
Bara yang mendengarnya mengangguk tanpa ragu. “Silakan tentukan apa pun yang kau inginkan. Aku akan memenuhinya, jika kau memang menang dalam permainan yang akan kita mainkan. Tapi, jika aku menang, kau juga harus memenuhi apa pun yang aku inginkan, setuju?” tanya Bara.
“Bagaimana dengan permainannya? Apa yang harus kita mainkan?” tanya Makaila lagi seakan-akan lupa dengan ketakutannya yang begitu besar pada sosok Bara di hadapannya ini.
Bara mengendikkan kedua bahunya seakan tidak peduli dan berkata, “Kau yang menentukan.”
Saat itulah, Makaila merasakan angin segar menerpa dirinya. Jelas ini adalah keuntungan besar bagi Makaila. Jika pemilihan permainan diberikan pada Makaila, maka Makaila tidak akan berpikir dua kali untuk bermain aman dengan memainkan permainan yang sudah dijamin jika dirinya yang akan menang karena Makaila memang sudah sangat menguasai pemainan tersebut. Untuk taruhannya, Makaila akan meminta jika Bara melupakan semua hal yang sudah terjadi di masa lalu. Makaila akan bungkam dengan apa yang ia lihat, karena itulah Bara harus melepaskan Makaila untuk hidup kembali normal. Bara tidak boleh lagi mengganggu kehidupan Makaila dan Edelia.
Makaila menatap kedua netra Bara dan mengangguk tanpa merasa ragu sedikit pun. “Aku mau, dan aku sudah menentukan permainan yang akan kita mainkan kali ini,” ucap Makaila.
“Kalau begitu apa permainan yang kau pilih?” tanya Bara.
Makaila tidak segera menjawab, melainkan bangkit dan melangkah menuju lemari barang dan mengeluarkan dua buah barang yang membuat Bara mengernyitkan keningnya dalam-dalam. “Tunggu, kau memintaku memainkan congkak? Apa kau gila? Kau meminta pria dewasa sepertiku, untuk memainkan permainan anak perempuan seperti itu?” tanya Bara tidak percaya saat Makaila menyusun peralatan main yang khas tersebut.
Makaila sama sekali tidak ragu untuk mengangguk dan tersenyum lebar. “Karena aku percaya diri akan menang jika memainkan permainan ini. Kalau kamu tidak mau memainkan ini, maka kamu akan kalah. Otomatis kamu harus memenuhi apa yang aku inginkan,” ucap Makaila sedikit menekan, dan begitu berharap jika Bara memang akan mengundurkan diri karena enggan memainkan permainan anak perempuan seperti ini.
Hanya saja, Bara sama sekali tidak memiliki karakter seperti itu. Bara malah menyeringai dan berkata, “Sayangnya, aku tidak akan mundur begitu saja. Mari Nona, kita buktikan rasa percaya dirimu itu. Jangan menangis, jika nanti kau kalah dalam permainan ini.”
Makaila menelan ludah dan memulai permainan tersebut. Namun, dewi fortuna sama sekali tidak berada di pihak Makaila. Meskipun sudah berusaha bermain dengan sebaik mungkin, Makaila tetap kalah dengan Bara. Hal tersebut membuat Makaila merasa cemas bukan main. Makaila harus melakukan sesuatu. Sayangnya, sebelum Makaila menemukan ide, Bara sudah lebih dulu mengolok-olok Makaila dengan berkata, “Wah, ke mana perginya rasa percaya dirimu itu? Kau sudah kalah, maka terima konsekuensinya.”
“Wah, ke mana perginya rasa percaya dirimu itu? Kau sudah kalah, maka terima konsekuensinya.”Makaila mengkerut takut saat mendengar apa yang dikatakan oleh Bara. Sudah dipastikan jika kini Bara akan menagih taruhan yang sudah disepakati oleh mereka tadi. “Me-Memangnya, apa yang kamu inginkan?” tanya Makaila gugup. Sejak awal, baik Makaila maupun Bara memang tidak mengatakan apa yang mereka inginkan, jika mereka menang nanti. Karena itulah, Makail
Makaila terbangun saat tengah malam tiba. Sengatan rasa sakit yang menyerang sekujur tubuh Makaila menyentak dirinya untuk sadar dari rasa kantuk yang menggelayut di kedua kelopak matanya. Saat itulah, Makaila sadar jika apa yang ia alami sebelumnya bukanlah khayalan. Rasa sakit yang menyerangnya ini, adalah bukti jika dirinya memang sudah dihancurkan oleh Bara. Memikirkan jika kehidupannya sebagai seorang gadis yang suci sudah direnggut oleh Bara, Makaila sama sekali tidak bisa menahan diri untuk menangis tergugu.Makaila meringkuk dan menarik selimut yang menutupi tubuhnya yang polos. Ah, tidak sepenuhnya polos, tetapi dihiasi oleh berbagai tanda
Makaila menahan rasa malunya saat Bara dengan tidak canggung memeriksa bagian intim Makaila seperti kejadian tadi malam. Setelah mendapatkan ancaman mengenai keselamatan ibunya yang tengah dinas di luar kota, Makaila tidak memiliki kekuatan untuk melawan atau beragumen atas apa yang diinginkan oleh Bara. Makaila tidak ingin sampai ibunya berada dalam bahaya karena dirinya yang tidak bisa menghadapi masalahnya sendiri. Makaila tersentak saat merasakan sesuatu yang dingin di bagian intimnya.Saat mengintip dengan malu-malu, Bara ternyata tengah kembali mengoleskan sebuah obat—yang tidak Makaila ketahui namanya—di bagian intimnya. Namun, ya
Yafas melangkah dengan santai menyusuri lorong yang akan membawanya menuju sebuah pintu apartemen yang ia tuju. Tiba di depan pintu apartemen yang ia tuju, pria tampan tersebut sama sekali tidak membuang waktu untuk menekan bel pintu. Sembari menunggu pintu dibuka, Yafas pun menatap kantung plastik yang berada di tangannya. Di dalamnya, ada beberapa makanan siap masak, seperti nugget dan sosis yang memang mudah untuk dimasak. Yafas kembali mengangkat pandangannya ke pintu, saat tidak mendengar tanda-tanda orang membukakan pintu.Yafas pun kembali menekan bel dan barulah, terdengar suara langkah dan pintu pun terbuka. Yafas menyajikan sebuah senyum t
“Apa yang akan kau laporkan?” tanya Bara pada Fabian yang berada di ujung sambungan telepon. Sementara dirinya sendiri, kini menatap pantulan dirinya sendiri di cermin yang berada di dalam kamar mandi. Ia baru saja selesai mandi, dan tengah bersiap untuk bertemu dengan Makaila yang tadi sudah lebih dulu mandi. Makaila bahkan sudah menerima tamu yang terus menekan bel seakan-akan memaksa Makaila untuk segera membukakan pintu. Untung saja, saat itu Bara sedang tidak mereguk nikmat surga dunia bersama Makaila. Jika sampai hal itu terjadi, Bara tidak akan segan-segan untuk memberikan pelajaran padanya.“Tamu yang diterima Nona Makaila, adalah Yafas. Psikiater Nona Makaila,” jawab Fabian dari ujun
“Mama!” seru Makaila saat melihat Edelia masuk ke dalam apartemen dengan senyuman yang merekah.Perempuan satu anak tersebut tampak repot dengan kedua tangan yang penuh dengan tas belanjaan yang memang berisi oleh-oleh untuk Makaila. Setelah bertugas hampir satu minggu lebih di luar kota, tentu saja Edelia harus kembali dengan setidaknya membawa sebuah buah tangan untuk putrinya yang manis. Namun, Edelia sama sekali tidak berniat untuk berhemat jika itu berkaitan dengan Makaila. Edelia mencari uang demi dirinya, jadi Edelia sama sekali tidak keberatan untuk membuangnya untuk Makaila juga.Edelia berderap cepat dan memeluk gemas putrinya itu. Edelia mencium kening Makaila dengan penuh kasih dan kerinduan yang besar. Setelah memiliki Makaila, Edelia tidak pernah meninggalkan Makaila selama ini. Sepanjang hidup Edelia, paling lama ia meninggalkan Makaila selama satu atau dua hari. Karena itulah, Makaila sama sekali tidak bisa menahan kerinduannya pada putrinya ini. Walaupun, selama Edelia
“Oh, jadi hari ini Makaila libur belajar?” tanya Edelia sembari menatap pantulan dirinya sendiri pada pantulan cermin. Edelia tengah berbincang dengan Bara lewat sambungan telepon, mengenai sesi belajar Makaila.Ternyata, karena memiliki acara keluarga yang harus dihadirinya, Bara tidak bisa datang untuk memberikan pelajaran sesuai jadwal yang sudah ditetapkan. Bara menghubungi Edelia untuk mengatakan hal tersebut. Untungnya, Edelia adalah orang yang pengertian dan tidak merasa keberatan dengan apa yang diminta oleh Bara. “Tapi, ak
“Sayang, tolong potong wortelnya,” ucap Edelia pada Makaila yang kini datang ke dalam dapur dengan rambut yang dicepol rapi, agar tidak membiarkan sehelai pun rambutnya jatuh. Ini adalah etika yang diajarkan oleh Edelia pada Makaila saat di dapur. Edelia memang tidak akan mengizinkan Makaila ikut memasak jika Makaila masih menggerai rambut panjangnya yang indah, karena itulah Makaila harus mencepol rambutnya dengan baik agar bisa masuk ke dalam dapur dan memasak dengan ibunya.“Mama mau membuat omlete sayur?” tanya Makaila saat melihat beberapa bahan yang sudah dikeluarkan oleh Edelia dari dalam lemari pendingin.