Makaila merasa begitu malu. Bagaimana tidak malu, jika dirinya kini menggunakan seragam sekolah menengah atasnya di sekolah dulu. Seragam tersebut memang masih muat dikenakan oleh Makaila. Hanya saja, rok kotak-kotak yang menjadi bagian seragamnya sudah terlihat pendek untuk Makaila. Karena tentu saja setelah dua tahun Makaila tumbuh lebih tinggi daripada sebelumnya. Selebihnya, tidak ada yang berubah dari bentuk tubuh Makaila, bahkan buah dadanya sepertinya tidak mengalami pertumbuhan berarti daripada sebelumnya.
Namun, Bara yang melihat hal itu merasa puas. Saat ini, Makaila terlihat sangat manis. Malahan, Bara menilai jika Makaila masih sangat pantas menjadi anak sekolah menengah atas. Walaupun dirinya sudah berusia dua puluh tahun, Makaila masih memiliki wajah manis yang Bara yakin, siapa pun yang tidak mengetahui usianya, akan mengira jika Makaila masih berusia belasan tahun. Ditambah dengan tubuhnya yang mungil, semakin mendukung saja jika Makaila menyebut dirinya sendiri masih berusia belasan.
“Ba-Bara, aku tidak nyaman menggunakan pakaian seperti ini, apalagi untuk belajar. Bisakah aku berganti pakaian saat ini? Lagi pula, kamu sudah melihat aku menggunakannya,” ucap Makaila memohon dengan sangat.
Tentu saja, Makaila mengenakan pakaian seperti ini bukan karena keinginan dirinya sendiri, melainkan atas perintah Bara. Makaila yang masih merasa sangat takut mengingat kejadian terakhir di mana Bara merobek gaun yang ia kenakan, serta melecehkan dirinya dengan sedemikian rupa, tentu saja tidak mau hal tersebut kembali terulang. Karena itulah, Makaila berusaha untuk mematuhi dan memenuhi semua perintah yang diberikan oleh Bara. Termasuk untuk menggunakan seragam lamanya ini. Untung saja, Edelia memang masih menyimpan seragam Makaila dengan rapi di kotak pakaian di atas lemari. Jadi, Makaila tidak perlu repot-repot mencari seragam yang ia butuhkan secara mendadak ini.
Makaila kini terus saja berusaha untuk menutupi bagian pahanya yang terlihat jelas oleh Bara, karena panjang rok Makaila yang memang hanya mencapai setengah paha. Ini rok terpendek yang pernah Makaila kenakan. Paling pendek, Makaila mengenakan rok setinggi lima sentimeter di atas lutut. Itu pun, biasanya Makaila tidak menggunakannya terlalu lama, karena kurang nyaman dan tidak bisa bergerak dengan leluasa, sebab harus ekstra hati-hati dengan panjang rok yang ia kenakan.
“Kenapa tidak nyaman? Bukankah itu seragam milikmu sendiri?” tanya Bara balik sembari bersandar pada sisi ranjang milik Makaila. Saat ini, dirinya dan Makaila memang tengah berada di kamar Makaila.
Bara tampak santai dengan posisi duduknya yang lesehan di atas karpet bulu yang terasa lembut. Rasanya, Bara sangat tidak cocok berada di sana, mengingat bagaimana Bara yang berpakaian formal dan terlihat dewasa serta menguarkan aura gentlemen, terlihat di tengah kamar feminim yang manis. Namun, Bara sama sekali tidak peduli dengan hal itu dan tetap duduk di sana dengan begitu nyamannya. Bara malah sibuk mengamati penampilan Makaila. Sejak dulu, Bara merasa jika Makaila ini memiliki pesona tersendiri. Pesona yang sama sekali tidak bisa ditemukan pada gadis mana pun. Padahal, selama ini Bara sudah bertemu dengan ribuan gadis dari sepenjuru dunia, tetapi kenapa hanya pada Makaila dirinya merasakan gejolak yang membara ini?
“Rok ini terlalu pendek, aku tidak nyaman menggunakannya,” jawab Makaila jujur dan mencoba untuk menarik ujung rok yang ia kenakan agar bisa sedikit lebih banyak menutupi bagian paha putihnya. Sayangnya, usaha Makaila tersebut tentu saja sangatlah sia-sia.
Bara jelas saja mengetahui rasa tidak nyaman yang dirasakan oleh Makaila. Rasanya sangat tidak mungkin Bara tidak mengetahui hal tersebut, sementara saat ini Makaila tengah menunjukkan ekspresi tidak nyaman yang ia rasakan secara terang-terangan. Bara sendiri merasa geli dengan sifat gadis satu ini. Karena jujur saja, Makaila seperti sebuah buku yang terbuka. Siapa pun akan mudah mengerti mengenai apa yang ia rasakan dan apa yang ia pikirkan. “Kau sama sekali tidak berubah,” gumam Bara dan hanya bisa ia dengar sendiri.
Bara mengangkat pandangannya dan menatap Makaila yang masih berdiri sekitar lima langkah darinya. Makaila masih saja terlihat tidak nyaman dengan apa yang ia kenakan. “Baiklah, ganti pakaian tidak nyaman tersebut. Ganti dengan set bikini yang aku bawa,” ucap Bara sembari melirik paper bag yang memang ia bawa dan berisi bikini yang khusus ia beli untuk Makaila.
Mendengar hal itu, Makaila menggeleng panik dan memilih untuk segera duduk di tempatnya. Namun, Bara menahannya dan berkata, “Duduk di pangkuanku.”
Meskipun enggan, Makaila pun duduk di atas pangkuan Bara yang duduk bersila di atas karpet bulu. Pipi Makaila agak merona saat melihat pahanya semakin terlihat saja. Bara mendengkus karena Makaila terus bergerak tidak nyaman di atas pangkuannya, dan otomatit bokongnya yang sekal tengah menggesek-gesek sesuatu yang tentu saja akan segera terbangun saat apa yang dilakukan Makaila ini terus berlangsung. “Lanjutkan saja tingkahmu ini, Kaila. Saat adikku terbangun, maka aku sama sekali tidak akan berpikir dua kali untuk mengikatmu di atas ranjang,” bisik Bara sama sekali tidak main-main dengan apa yang ia katakan.
Makaila yang mendengar hal tersebut segera diam dan duduk dengan punggung kaku. Bara yang melihat tingkah Makaila tidak bisa menahan diri untuk menyeringai. “Sekarang, kita lanjutkan belajarnya,” ucap Bara dan Makaila pun mulai membuka buku pelajarannya.
Bara benar-benar mengajarkan Makaila pelajaran sekolah menengah atas dengan jelas, dan membuat Makaila dengan mudah mengerti. Semakin yakinlah Makaila jika sebenarnya Bara ini adalah seorang guru, yang memang andal megajar. Namun, apa alasan Bara dua tahun yang lalu membunuh? Tangan Makaila sempat bergetar pelan sebelum kembali normal saat dirinya mengingat sepenggal ingatan mengenai kejadian dua tahun yang lalu. Saat itu, Bara benar-benar menyeramkan, berbeda dengan saat ini. Meskipun saat ini Bara juga masih terasa sangat menyeramkan, tetapi rasa seram yang Makaila rasakan berbeda dengan sebelumnya. Ah, Makaila sulit menjelaskannya. Ia lebih memilih fokus untuk belajar dan memahami apa yang dijelaskan oleh Bara.
“Sekarang, kerjakan soal ini sesuai dengan contoh yang aku berikan. Seperti kemarin, akan ada imbalan untuk setiap hasil kerjamu. Ada hadiah, jika kerjamu baik. Serta ada hukuman, jika kerjamu buruk,” ucap Bara sembari menuliskan soal yang perlu dikerjakan oleh Makaila.
Makaila tentu saja tidak mau kembali mendapatkan ciuman dari Bara. Karena itulah, meskipun dirinya tahu bagaimana cara mengerjakan soal itu dengan baik, Makaila memilih untuk menuliskan jawaban yang salah pada akhirnya. Makaila yakin, jika dirinya akan berhasil mengelabui Bara. Namun, Makaila salah besar. Sejak awal, Bara sudah mengetahui jika Makaila memang berusaha untuk menjawab dengan salah, walaupun Makaila sudah tahu jawaban yang benar. Bara yang tentu saja dipunggungi oleh Makaila yang duduk di pangkuannya, kini menyeringai dengan tajam.
“To-Tolong diperiksa, aku sudah selesai mengerjakannya,” ucap Makaila dengan nada terbata-bata.
Bara tidak berkomentar dan memilih untuk menarik buku Makaila untuk memeriksa hasil kerja Makaila yang sejak tadi sudah diperhatikan olehnya. Bara menggunakan bolpoin merah dan mencoret hasil kerja Makaila yang jelas salah. Bara tidak mengubah posisi duduknya, tetapi karena tubuh Bara yang tinggi, ia bisa dengan mudah memiringkan tubuhnya dan menyangganya di tepi meja. “Apa kau tengah bermain-main?” tanya Bara dingin.
Makaila menelan ludahnya kelu, dan bertanya seolah-olah tidak mengerti, “Me-memangnya kenapa?”
Bara tidak mengubah ekspresi wajahnya yang dingin. “Kau salah mengerjakannya. Benar-benar salah, hingga aku penasaran, apa kau sama sekali tidak memperhatikan semua yang sudah aku jelaskan?” tanya balik Bara.
Dalam hati, Makaila bersorak karena mengira jika Bara memang tidak menyadari aksinya yang sengaja untuk menjawab dengan salah soal yang diberikan olehnya. Kalau sudah seperti ini, Makaila yakin jika dirinya akan mendapatkan hukuman dari Bara. Makaila berpikir, jika menerima hukuman rasanya lebih baik daripada mendapatkan hadiah yang terasa sangat melecehkannya. Makaila benar-benar tidak senang saat Bara mencium atau menyentuh tubuhnya secara sembarangan. Makaila membenci hal tersebut. Karena sangat tidak mungkin untuk menolak perlakuan Bara tersebut, maka tersisa cara menghindarinya. Bara akan berusaha untuk menghindari semua hal tersebut.
“Karena kau tidak bekerja dengan baik, maka aku akan memberikan hukuman padamu,” ucap Bara sembari kembali pada posisinya di mana ia kembali menatap punggung Makaila yang tampak kaku.
“Hu-Hukuman apa yang perlu aku terima?” tanya Makaila gugup.
Bara menyeringai dan mengulurkan tangannya untuk menarik kerah kemeja seragam Makaila dan menggigit kecil dan menjilat pangkal leher Makaila. Tentu saja Makaila menjerit terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Bara. Seketika Makaila yang berniat untuk berontak, tetapi Bara sudah lebih dulu memeluk Makaila dengan erat dan berbisik, “Inilah hukumanmu. Kissmark, is your punishment.”
Makaila menerima kecupan dari Edelia, dan melambaikan tangannya pada Edelia yang terburu-buru untuk berangkat ke kantor. Melihat hal itu, Makaila merasa jika dirinya semakin tidak bisa mengatakan identitas Bara, dan seperti apa perlakuan Bara padanya. Makaila, merasa jika dirinya pasti akan membuat beban yang dipikul oleh ibunya semakin berat saja. sudah cukup selama ini Makaila membuat ibunya repot dan terbebani dengan segala hal yang berkaitan dengannya. Makaila menghela napas dan menutup pintu apartemennya. Makaila memilih masuk ke dalam kamarnya dan berganti pakaian dengan gaun yang sebelumnya sudah ditunjuk oleh Bara untuk digunakan saat sesi homeschooling.
“Wah, ke mana perginya rasa percaya dirimu itu? Kau sudah kalah, maka terima konsekuensinya.”Makaila mengkerut takut saat mendengar apa yang dikatakan oleh Bara. Sudah dipastikan jika kini Bara akan menagih taruhan yang sudah disepakati oleh mereka tadi. “Me-Memangnya, apa yang kamu inginkan?” tanya Makaila gugup. Sejak awal, baik Makaila maupun Bara memang tidak mengatakan apa yang mereka inginkan, jika mereka menang nanti. Karena itulah, Makail
Makaila terbangun saat tengah malam tiba. Sengatan rasa sakit yang menyerang sekujur tubuh Makaila menyentak dirinya untuk sadar dari rasa kantuk yang menggelayut di kedua kelopak matanya. Saat itulah, Makaila sadar jika apa yang ia alami sebelumnya bukanlah khayalan. Rasa sakit yang menyerangnya ini, adalah bukti jika dirinya memang sudah dihancurkan oleh Bara. Memikirkan jika kehidupannya sebagai seorang gadis yang suci sudah direnggut oleh Bara, Makaila sama sekali tidak bisa menahan diri untuk menangis tergugu.Makaila meringkuk dan menarik selimut yang menutupi tubuhnya yang polos. Ah, tidak sepenuhnya polos, tetapi dihiasi oleh berbagai tanda
Makaila menahan rasa malunya saat Bara dengan tidak canggung memeriksa bagian intim Makaila seperti kejadian tadi malam. Setelah mendapatkan ancaman mengenai keselamatan ibunya yang tengah dinas di luar kota, Makaila tidak memiliki kekuatan untuk melawan atau beragumen atas apa yang diinginkan oleh Bara. Makaila tidak ingin sampai ibunya berada dalam bahaya karena dirinya yang tidak bisa menghadapi masalahnya sendiri. Makaila tersentak saat merasakan sesuatu yang dingin di bagian intimnya.Saat mengintip dengan malu-malu, Bara ternyata tengah kembali mengoleskan sebuah obat—yang tidak Makaila ketahui namanya—di bagian intimnya. Namun, ya
Yafas melangkah dengan santai menyusuri lorong yang akan membawanya menuju sebuah pintu apartemen yang ia tuju. Tiba di depan pintu apartemen yang ia tuju, pria tampan tersebut sama sekali tidak membuang waktu untuk menekan bel pintu. Sembari menunggu pintu dibuka, Yafas pun menatap kantung plastik yang berada di tangannya. Di dalamnya, ada beberapa makanan siap masak, seperti nugget dan sosis yang memang mudah untuk dimasak. Yafas kembali mengangkat pandangannya ke pintu, saat tidak mendengar tanda-tanda orang membukakan pintu.Yafas pun kembali menekan bel dan barulah, terdengar suara langkah dan pintu pun terbuka. Yafas menyajikan sebuah senyum t
“Apa yang akan kau laporkan?” tanya Bara pada Fabian yang berada di ujung sambungan telepon. Sementara dirinya sendiri, kini menatap pantulan dirinya sendiri di cermin yang berada di dalam kamar mandi. Ia baru saja selesai mandi, dan tengah bersiap untuk bertemu dengan Makaila yang tadi sudah lebih dulu mandi. Makaila bahkan sudah menerima tamu yang terus menekan bel seakan-akan memaksa Makaila untuk segera membukakan pintu. Untung saja, saat itu Bara sedang tidak mereguk nikmat surga dunia bersama Makaila. Jika sampai hal itu terjadi, Bara tidak akan segan-segan untuk memberikan pelajaran padanya.“Tamu yang diterima Nona Makaila, adalah Yafas. Psikiater Nona Makaila,” jawab Fabian dari ujun
“Mama!” seru Makaila saat melihat Edelia masuk ke dalam apartemen dengan senyuman yang merekah.Perempuan satu anak tersebut tampak repot dengan kedua tangan yang penuh dengan tas belanjaan yang memang berisi oleh-oleh untuk Makaila. Setelah bertugas hampir satu minggu lebih di luar kota, tentu saja Edelia harus kembali dengan setidaknya membawa sebuah buah tangan untuk putrinya yang manis. Namun, Edelia sama sekali tidak berniat untuk berhemat jika itu berkaitan dengan Makaila. Edelia mencari uang demi dirinya, jadi Edelia sama sekali tidak keberatan untuk membuangnya untuk Makaila juga.Edelia berderap cepat dan memeluk gemas putrinya itu. Edelia mencium kening Makaila dengan penuh kasih dan kerinduan yang besar. Setelah memiliki Makaila, Edelia tidak pernah meninggalkan Makaila selama ini. Sepanjang hidup Edelia, paling lama ia meninggalkan Makaila selama satu atau dua hari. Karena itulah, Makaila sama sekali tidak bisa menahan kerinduannya pada putrinya ini. Walaupun, selama Edelia
“Oh, jadi hari ini Makaila libur belajar?” tanya Edelia sembari menatap pantulan dirinya sendiri pada pantulan cermin. Edelia tengah berbincang dengan Bara lewat sambungan telepon, mengenai sesi belajar Makaila.Ternyata, karena memiliki acara keluarga yang harus dihadirinya, Bara tidak bisa datang untuk memberikan pelajaran sesuai jadwal yang sudah ditetapkan. Bara menghubungi Edelia untuk mengatakan hal tersebut. Untungnya, Edelia adalah orang yang pengertian dan tidak merasa keberatan dengan apa yang diminta oleh Bara. “Tapi, ak