Edelia menatap penuh kekhawatiran pada Makaila yang kini digendong serta dibaringkan dengan penuh kehati-hatian dibaringkan oleh Bara di atas ranjang yang berada di dalam kamar pribadi Makaila yang bernuansa manis. Setelah menyelesaikan tugasnya membaringkan Makaila di atas ranjang, Bara mundur dan memberikan ruang bagi Edelia untuk duduk di tepi ranjang setelah menyelimuti putrinya yang kini tampak pucat pasi. Edelia menggigit bibirnya kuat-kuat menahan diri untuk tidak menangis melihat kondisi putrinya ini. Jujur saja, Edelia tidak menyangka jika reaksi Makaila bisa sampai seperti ini, saat bertemu dengan orang asing yang memang baru ditemuinya.
Padahal sebelum ini, Makaila dan Edelia sudah berkonsultasi secara berulang kali pada Yafas yang tak lain adalah psikiater Makaila yang dalam dua tahun sudah menangani masalah psikis Makaila. Menurut Yafas, Makaila sudah berada dalam kondisi di mana dirinya bisa berlatih untuk bertemu dengan orang baru. Tentu saja, Yafas sudah memberikan beberapa persyaratan dan beberapa hal yang memang perlu diperhatikan oleh Edelia saat akan bertemu dengan guru privat yang memang akan menjadi orang asing pertama yang di temui oleh Makaila setelah sekian lama.
“Apa kondisinya baik-baik saja?” tanya Bara dan membuat Edelia yang sibuk dalam lamunannya, tentu saja tersadar dengan mudahnya.
Edelia menoleh pada Bara dan memasang senyum canggung. “Jika terlalu gugup atau cemas, Makaila memang akan kesulitan bernapas dan yang lebih parah adalah jatuh tidak sadarkan diri seperti ini. Tapi, kondisinya pasti akan membaik saat dirinya sadar nanti,” ucap Edelia membuat Bara mengangguk mengerti.
Bara pun dipersilakan untuk duduk di kursi belajar milik Makaila, sementara Edelia memang sudah berniat untuk menceritakan kondisi Makaila pada Bara. Tentu saja, sebagai seorang guru yang kedepannya akan menghabiskan sebagian besar waktunya dengan Makaila, Edelia berpikir jika Bara memang perlu tahu mengenai kondisi Makaila yang sebenarnya. Sebelumnya, Edelia memang sudah sedikit menjelaskan kondisi pada Bara, tetapi itu hanya sebagian kecil dan bisa dibilang hanya berupa rangkuman garis besarnya saja. Jadi, tentu saja Edelia masih perlu menjelaskannya secara ulang pada Bara.
“Seperti yang kamu ketahui, putriku ini memiliki trauma di masa lalu. Tepatnya, saat dirinya berusia delapan belas tahun, Makaila melihat kejadian pembunuhan tepat di depan matanya. Itu terjadi saat Makaila akan pulang dari tempat lesnya yang memang selesai saat sudah malam. Setelah kejadian itu, Makaila memiliki trauma pada kehidupan sosial yang luas. Karena trauma itulah, Makaila berhenti sekolah dan membuatku harus memboyongnya pindah ke tempat ini. Makaila menutup diri, bahkan tidak mau ke luar dari kamarnya yang ia rasa adalah tempat yang paling aman baginya,” ucap Edelia sembari mengusap kening Makaila dengan lembut.
“Namun, akhir-akhir ini, kondisi mental Makaila sudah membaik. Psikiaternya bahkan mengatakan jika Makalia sudah siap untuk bertemu atau diperkenalkan dengan seseorang yang berada di luar lingkup kehidupannya selama ini. Hal itu bertepatan dengan Makaila yang memang meminta untuk kembali melanjutkan pendidikannya dengan homeschooling. Karena itulah aku mencari guru yang kompeten dan pada akhirnya menemukanmu yang aku rasa bisa menjadi guru yang baik bagi putriku.”
Edelia menoleh menatap guru muda yang jelas terlihat sangat berpendidikan serta tampan tersebut. Bara mengangguk mengerti dengan semua penjelasan yang diberikan oleh Edelia. “Aku mengerti dengan kondisi Makalia. Jujur saja, Makaila bukan murid pertamaku yang memang berada dalam kondidi khusus seperti ini. Jadi, sebagai seorang ibu, Anda tidak perlu cemas. Aku akan melakukan tugasku sebaik mungkin untuk mendidik Makaila menjadi sosok yang cerdas dan berkemampuan,” ucap Bara.
“Terima kasih. Ah, iya aku belum menyajikan minuman untukmu. Aku permisi dulu, tolong tunggui Makaila sebentar, aku takut dia terbangun,” ucap Edelia.
Bara mengangguk. “Aku akan di sini.”
Setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Bara, Edelia pun bangkit dan meninggalkan kamar putrinya tersebut. Edelia memang sangat percaya pada Bara, hingga tidak ragu untuk meninggalkan Makalian dengan Bara. Hal tersebut bukan tanpa alasan, Edelia sudah mencari latar belakang Bara, entah dari keluarga, riwayat pendidikan, hingga riwayat pekerjaannya sebagai tenaga pendidik. Jelas, karena semuanya terasa normal malah terasa sangat kompeten, Edelia merasa jika dirinya sama sekali tidak perlu merasa curiga pada Bara.
Apalagi, sebelumnya Edelia memang mendapatkan kontak Bara dari tempat khusus yang menyediakan jasa pendidik bagi para orang tua murid yang memang ingin mengadakan les privat atau bahkan melangsungkan homescooling. Bara sendiri menempati posisi teratas sebagai tenaga pendidik yang sangat direkomendasikan, mengingat riwayatnya sebagai seorang pendidik yang sangat kompeten. Karena melihat semua hal tersebut, Edelia bahkan tidak berpikir dua kali saat dirinya harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit demi mendapatkan Bara sebagai guru privat bagi Makalia.
Namun, Edelia tidak tahu jika keputusannya menjadikan Bara sebagai guru bagi putrinya adalah keputusan yang sangat salah. Mungkin saja, itu adalah keputusan paling salah yang diambil oleh Edelia sebagai seorang ibu bagi Makaila. Saat ini, Bara melepas kacamata bacanya dan pandangannya yang semula biasa-biasa saja berubah menjadi pandangan tajam yang mengerikan. Bara menggeserkan kursinya untuk lebih dekat ke sisi ranjang yang ditiduri oleh Makaila. Bara yang semula tidak menampilkan ekspresi apa pun, kini menyeringai tajam saat menyadari jika Makaila sudah sadar, tetapi Makaila masih berusaha untuk terlihat masih tidak sadarkan diri.
“Sepertinya, kau masih mengingatku,” bisik Bara dengan nada rendah yang mengerikan.
Tentu saja, Makaila yang memang sudah sadar bisa mendengar apa yang dikatakan oleh Bara. Hanya saja, Makaila berusaha untuk tidak menunjukkan rasa takut yang kini merambati dirinya. Makaila tidak ingin membuat sosok pria yang menyeramkan itu merasa lebih denang daripada saat ini. Makaila lebih dari yakin, jika saat ini Bara memang merasa sangat senang dengan kondisi yang tengah membelenggu Makaila. Bara sendiri kini merasa geli dengan tingkah Makaila yang masih saja berusaha untuk berpura-pura agar terlihat seperti masih tak sadarkan diri.
Namun, Bara sendiri merasa jika ini mungkin akan menjadi keuntungan baginya. Bara menunduk dan mendekatkan wajahnya pada sisi wajah Makaila. Sosok pria tampan tersebut pun berbisik, “Sepertinya, kau juga masih mengingat kejadian yang seharusnya tidak kau lihat dua tahun yang lalu, bukan?” Bara mengulurkan tangannya dan mengusap sisi rahang Makaila yang memang terasa lembut selayaknya seorang gadis pada umumnya. Bara menyeringai semakin tajam saat merasakan getaran lembut pada tubuh Makaila.
“Ya, aku adalah pembunuh yang selama ini kau hindari, Kaila,” bisik Bara membuat Makaila semakin tercekik dengan rasa takut yang menyiksa. Ya, Bara memang sosok pembunuh yang Makaila lihat saat dua tahun yang lalu. Sosok yang selama ini selalu saja datang dan mengganggu tidurnya. Sosok yang susah payah Makaila hindari, tetapi dirinya malah datang melalui undangan ibu Makaila sendiri, sebagai seorang guru privat bagi Makaila.
“Ah, selama ini kau pasti sangat ketakutan, bukan? Kau takut jika aku akan datang dan membuatmu yang menjadi saksi tindak kejahatanku segera menyusul korbanku dua tahun yang lalu? Lalu, apa yang akan kau lakukan saat ini? Aku sudah berada begitu dekat denganmu. Kau pasti bertanya-tanya mengapa diriku tidak tertangkap saat dirimu bahkan sudah memberikan sketsa diriku pada pihak berwajib. Harusnya, itu lebih dari cukup menjelaskan kekuasaanku yang sama sekali tidak mempan hukum.”
Bara semakin merasa geli saat merasakan kulit lembut di ujung jarinya mulai terasa dingin seperti es. “Dengan kekuasaan itu pula, aku sudah mengetahui kondisi bahkan usahamu untuk melarikan diri dari cengkramanku. Tapi sekarang aku tengah merasa bosan. Aku ingin mencari hiburan dengan memberikan hukuman setimpal atas apa yang sudah kau lihat. Aku bisa saja membunuhmu, atau lebih parah membunuh ibumu saat ini juga, tepat di depan matamu. Jadi, menurutmu mana yang lebih baik?”
Namun, tentu saja Makaila sama sekali tidak memberikan respons. Hal itu sesuai dengan perkiraan Bara. Saat itulah Bara kembali berbisik, “Jika tidak ingin ada hal buruk yang terjadi, lebih baik tetap bungkam seperti ini. Jangan sampai ibumu tau siapa aku sebenarnya.”
Setelah itu, Bara menarik diri dan bersandar tenang. Hal itu bertepatan dengan Edelia yang masuk ke dalam kamar. Bara menoleh dan berkata, “Nyonya Edelia, maaf aku tidak bisa berlama-lama di sini. Karena Makaila masih dalam kondisi yang tidak memungkinkan, mari kita undur rencana kita hari ini. Kita bisa membuat jadwal ulang untuk proses belajar mengajar nanti melalui sambungan telepon.”
Edelia yang mendengar hal tersebut tentu saja terkejut. Namun ia tidak membuang waktu dan segera meletakka nampan yang ia bawa ke atas meja belajar Makaila sebelum berkata, “Ah, begitu. Kalau begitu mari saya antar hingga pintu.”
Bara mengangguk dan membiarkan Edelia memimpin jalan, sementara dirinya menyeringai di belakang punggung Edelia. Keduanya meninggalkan Makaila yang bergulat dengan batinnya. Tentu saja Makaila merasa cemas dan tertekan. Dalam diam, Makaila mulai menimbang-nimbang apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Apakah ia mencoba mengatakan hal ini pada mamanya, atau mencoba untuk bersandiwara sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pembunuh itu? Tapi, jika Makaila melakukan apa yang diinginkannya, apa yang akan terjadi selanjutnya? Ini terlalu penuh dengan teka-teki hingga tidak bisa dimengerti dengan mudah oleh Makaila.
Bara tersenyum saat dirinya kini duduk berhadapan dengan Makaila yang tampak menunduk dalam. Ternyata, Makaila memutuskan untuk bungkam dan tidak mengatakan pada ibunya perihal Bara yang tak lain adalah seorang pembunuh yang aksinya membuat Makaila mengalami trauma berat. Tentu saja Bara merasa puas dengan keputusan yang diambil oleh Makaila ini. Namun, Bara tentunya tidak melupakan sandiwara seperti apa yang tengah ia perankan. Apalagi saat ini, Edelia ternyata mengawasi bagaimana cara mengajar Bara. Ini memang proses belajar mengajar pertama bagi Bara dan Makaila.
“Sayang, kamu sangat hebat. Mama bangga padamu,” puji Edelia pada Makaila untuk kesekian kalinya. Tentu saja Edelia bangga karena Makaila sedikit demi sedikit sudah bisa terlepas dari bayang-bayang trauma yang selama ini membuatnya menutup diri.Makaila berusaha untuk memasang senyum paling normal yang bisa ia sugguhkan pada ibunya. Hari ini, Edelia tidak akan lagi menemaninya dalam proses belajar, karena Edelia memang sudah tidak lagi memiliki jatah cuti. Jatah cuti Edelia tahun ini sudah habis, dan ke depannya Edelia tidak bisa lagi mendapatkan cuti dari kantornya. Karena itulah, Makaila berusaha untuk tidak membuat Edelia kembali cema
Makaila terlihat begitu pucat. Bagaimana mungkin dirinya tidak pucat jika saat ini dirinya tengah duduk di atas pangkuan Bara. Tentu saja, Makaila merasa jika posisinya ini sangat tidak aman. Ya, tidak aman sebagai seorang target pembunuhan, dan tidak aman sebagai seorang gadis. Ayolah, Bara itu adalah pria yang sudah dewasa, dan Makaila yakin jika Bara adalah pria yang normal. Tentu saja, sebagai seorang gadis, Makaila merasa jika posisi ini sangatlah berbahaya. Namun, Makaila sama sekali tidak bisa berutik. Saat ini Makaila berusaha untuk tidak bergerak berlebihan dan memilih untuk fokus dengan pelajaran yang tengah tersaji di hadapannya.
Meskipun sudah dikatakan membaik, tetapi Makaila tetap harus menjalani konsultasi secara berkala. Hanya saja intensitasnya dikurangi daripada sebelumnya. Jika biasanya adalah seminggu sekali, maka sekarang sekitar dua atau tiga minggu sekali, sesuai dengan yang dijadwalkan oleh psikiater yang menangani Makaila. Saat ini, Makaila sendiri tengah digandeng oleh Edelia menyusuri lorong rumah sakit yang tidak terlalu ramai. Lorong tersebut akan membawa keduanya menuju ruangan praktek psikiater Makaila. Ini juga adalah salah satu perubahan yang dialami oleh Makaila.Sebelumnya
“Bara,” bisik Makaila tidak percaya.Suara Makaila tersebut luput dari pendengaran Yafas, saat ini Yafas malah mempersilakan Bara untuk masuk ke dalam ruangannya untuk memeriksa identitasnya. Tentu saja, Yafas harus memastikan jika Bara memang orang yang bisa dipercaya untuk membawa Makaila kembali ke apartemen dengan selamat. Meskipun Edelia sudah mempercayainya, tetapi Yafas tidak bisa percaya begitu saja. Dilihat dari tampilan Bara, Yafas yakin jika dirinya memiliki profesi yang memang memaksanya mengenaka
Yafas meletakkan bolpoin yang ia gunakan untuk mencatat beberapa hal penting mengenai pasien yang akan ia temui esok hari. Pria satu itu menghela napas panjang dan memilih untuk melangkah menuju beranda rumahnya dan menatap taman rumahnya yang tidak begitu luas, karena Yafas memang tidak memiliki waktu untuk merawat taman yang lebih luas daripada tamannya saat ini. Yafas memilih untuk duduk di salah satu kursi yang memang disediakan untuk bersantai di sana. Kening Yafas mengernyit dalam saat dirinya memikirkan sesuatu yang terasa begitu mengganggu.Tak lama, Yafas pun mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang, setelah memastikan jika saat ini
Makaila merasa begitu malu. Bagaimana tidak malu, jika dirinya kini menggunakan seragam sekolah menengah atasnya di sekolah dulu. Seragam tersebut memang masih muat dikenakan oleh Makaila. Hanya saja, rok kotak-kotak yang menjadi bagian seragamnya sudah terlihat pendek untuk Makaila. Karena tentu saja setelah dua tahun Makaila tumbuh lebih tinggi daripada sebelumnya. Selebihnya, tidak ada yang berubah dari bentuk tubuh Makaila, bahkan buah dadanya sepertinya tidak mengalami pertumbuhan berarti daripada sebelumnya.Namun, Bara yang melihat hal itu merasa puas. Saat ini, Makaila terlihat sangat manis. Malahan, Bara menilai jika Makaila masih sangat pa
Makaila menerima kecupan dari Edelia, dan melambaikan tangannya pada Edelia yang terburu-buru untuk berangkat ke kantor. Melihat hal itu, Makaila merasa jika dirinya semakin tidak bisa mengatakan identitas Bara, dan seperti apa perlakuan Bara padanya. Makaila, merasa jika dirinya pasti akan membuat beban yang dipikul oleh ibunya semakin berat saja. sudah cukup selama ini Makaila membuat ibunya repot dan terbebani dengan segala hal yang berkaitan dengannya. Makaila menghela napas dan menutup pintu apartemennya. Makaila memilih masuk ke dalam kamarnya dan berganti pakaian dengan gaun yang sebelumnya sudah ditunjuk oleh Bara untuk digunakan saat sesi homeschooling.