Jiu mengerjap-ngerjap, rasanya baru sebentar dia memejamkan mata. Tapi bias mentari sudah membuat separuh wajahnya panas. Suara kicau burung menjadi alarm alami membangunkannya. Dia beranjak duduk, muka bantalnya masih kentara sekali. Matanya yang minimalis tinggal segaris, saat menyipit melihat sekitar. Aroma arang dari sisa pembakaran api unggun semalam. Burung-burung gereja terbang rendah, lalu hinggap di salah satu ranting pohon. Dedaunan bergoyang pelan saat dibelai sepoi angin. Jiu tersenyum lebar, menyukai pemandangan asri di depannya. Manik coklatnya turun, menangkap sosok Shenlong duduk bersila tidak jauh darinya. Jiu memiringkan kepala, memperhatikan. Pemuda itu menarik napas panjang, menghembuskannya secara perlahan. Terus melakukannya sebelum tiba-tiba membuka mata dan membalas tatapan Jiu. Tidak siap sekaligus kaget, Jiu sontak memalingkan wajah ke kanan. Percikan air berhasil menarik perhatiannya. Huanglong berjongkok di depan sungai kecil. Dia sedang membasuh waja
Tujuan perjalanan Jiu dan kawan-kawan adalah Kota Xiantao. Lebih tepatnya, Laut Lemin Gang, tempat tinggal Naga Long Wang. Mereka harus melewati lembah yang dikenal tandus, dan berbahaya. Terdapat tebing-tebing bebatuan tinggi di kedua sisi jalan. Debu dan badai pasir kadang menjadi rintangan bagi mereka yang ingin melintas. “Naga Long Wang itu seperti apa?” Jiu bertanya disela-sela perjalanan. Shenlong berpikir lama sebelum dia membuka mulut. Namun lebih dulu dijawab oleh Huanglong. “Seperti bentuk naga pada umumnya. Bedanya hanya di warna sisik saja, Long Wang memiliki sisik hitam kebiruan dan juga tanduk kirinya patah setengah.” “Aku tidak tanya wujudnya, tapi terima kasih. Bagaimana dengan sifatnya?” Jiu menghela napas pelan, apa pula yang diharapkan dari Huanglong? Benar saja, pemuda itu malah mengangkat bahu tidak peduli, atau malah tidak tahu. Atensi gadis itu pun beralih pada Shenlong. Berharap pemuda itu memberikan jawaban yang serius. “Setidaknya sikapnya lebih baik da
“Mereka mau diapakan?” Tanya Huanglong usai mengikat semua bandit. Dahi Jiu terlipat, heran. “Tentu saja bawa mereka ke polisi. Mereka merugikan, merampok dan mungkin membunuh korbannya.” “Jadi kita bawa mereka sampai Kota Xiantao yang masih jauh?” Huanglong sekali lagi bertanya memastikan. Kali ini gadis itu terdiam. Malas juga harus membawa mereka ikut dalam perjalanan menuju kota. Jiu menatap Shenlong, memastikan sesuatu. “Omong-omong masih lama kita sampainya?” Shenlong mengangguk. “Mungkin satu hari lagi.” Jiu mendesah kecewa. Mengapa kota berikutnya jauh sekali, atau ini karena program latihannya yang membuat perjalanan mereka melambat. Setelah lama terdiam, akhirnya gadis itu menyerahkan keputusannya pada Shenlong. “Terserah kau saja, Shenlong. Aku ikut,” ucap Jiu dan naik ke atas kuda. Shenlong mengangguk paham. Dia lalu membuat kesepakatan dengan Ketua Lautan Merah. Memang sejak awal pemuda itu tidak berniat repot-repot mengantar bandit ke kantor polisi. Lebih baik
“Aku adalah Long Wang. Salah satu dari sembilan naga yang diturunkan dewa untuk membantu umat manusia.”Cahaya lampu menyorot ke tempat lain. Beberapa penduduk bersujud di bawah kaki sang naga. Pakaian mereka seperti zaman dulu. Ada tiga orang, dua laki-laki dan satu perempuan.“Kunaikan syukur padamu, Dewa … Kusembah sujud kepadamu, wahai Naga Agung.” Pujian demi pujian syukur dinyanyikan warga.Long Wang mengangkat kedua tangan. Dengan kekuatannya, dia membelah lautan. Para penduduk bersukacita, mereka berbondong-bondong memungut ikan-ikan laut. Berkat kehadiran sang Naga, perekonomian Xiantao membaik. Wilayah yang sebelumnya hanya sebuah desa dengan total jiwa tidak sampai tiga puluh orang. Kini tumbuh menjadi sebuah kota besar dan menjadi tempat wisata. Tahun demi tahun dilewati Long Wang bersama penduduk Kota Xiantao. Mereka hidup makmur dan damai. Banyak hal yang diajarkan sang Naga pada mereka, termasuk cara menangkap ikan, serta memelihara laut. Beberapa ratus tahun kemudian,
“Selamat menikmati Hong Dou Tang.” Shenlong menaruh semangkuk sup kacang merah di depannya. Ia mengaduk sup pelan, lalu meniup beberapa kali sebelum memberikannya pada Jiu. Gadis itu menerimanya, mulai menikmati cemilan khas china. Makanan penutup itu tidak terlalu manis dan hangat. Cocok sekali dimakan saat cuaca dinginnya malam. “Aku tidak habis pikir dengan Ying Er,” Jiu tiba-tiba mencibir pelan. Huanglong tertawa tanpa suara. “Aku juga tidak habis pikir denganmu. Itu hanya pertunjukan, mengapa dipikirkan sampai segitunya?” “Ih! Masa begitu saja tidak paham?” Manik coklatnya memandang tajam, “rasa sakitnya itu, lho! Cintanya Long Wang tulus, tanpa syarat. Eh, bisa-bisanya Ying Er selingkuh. Terus ditinggal nikah lagi! Bodoh banget, Ying Er!” Naga Kuning menggelengkan kepala. “Menurutku yang bodoh itu, Long Wang.” “Kok malah Long Wang?” Tanya Jiu tidak terima. Hualong menghabiskan sup kacang merah miliknya lebih dulu. Barulah ia menjelaskan pendapatnya mengenai pertunjukan
Setelah kepergian pria misterius. Shenlong dan Huanglong akhirnya datang. Mereka berdua turun dari langit, mungkin mencari dari tempat tinggi. Naga biru segera memeluk Jiu lalu mengecek keadaannya. “Kau baik-baik saja? Aku kaget setengah mati saat kau tiba-tiba menghilang.” Jiu menggaruk pipinya malu. “Maafkan aku, Shenlong. Aku baik-baik saja, kau tidak perlu cemas berlebih!” “Mereka ini siapa?” tanya Huanglong begitu melihat tiga orang terkapar di tanah. Shenlong sontak menoleh. Mata emasnya memperhatikan sekitar, mulai dari kantong koin lalu rambut palsu dan mereka yang terluka. Tidak butuh waktu lama bagi Shenlong untuk memahami situasi. Alhasil matanya berkilat berbahaya dan siap menghabisi tiga pria malang itu. “Berani-beraninya kalian mencuri dan melukai Jiu! Tidak bisa diampuni!” Jiu segera memeluk pinggang Shenlong, berusaha menahan. “Wah! tunggu, tunggu sebentar Shenlong! Kau tidak usah menghajar mereka. Aku sudah mengatasinya sendiri, jadi puji aku!” Manik emas itu
Gemuruh ombak menyapu pesisir pantai putih. Menarik lalu menghempaskannya berulang kali sampai tiga sosok manusia terlihat. Jiu bangkit lebih dulu, batuk berulang kali, tubuhnya basah. Shenlong dan Huanglong menyusul ke luar dari laut. Mereka duduk di atas pasir, mencoba mengatur napas. “Dasar gila! Dia melempar kita begitu saja!” Huanglong meludah, ada butiran pasir di mulut. Shenlong dan Jiu tidak menyahut. Mereka masih diam, berusaha menenangkan debaran jantung. Manik emas pemuda itu melirik ke arah sang gadis. Jiu menggigit bibir bawah, mencengkram pasir di kedua tangan. Sayangnya Huanglong tidak memiliki kepekaan dan mulai mengoceh. “Ini semua tidak akan terjadi, kalau kau tidak memprovokasinya!” Huanglong menghardik kesal. “Mengapa pula kau bawa-bawa namaku? Aku tidak pernah menghina Ying Er. Justru kau yang melakukannya, untuk apa? Menarik dia keluar seperti tadi? Hanya untuk melempar kita kembali?!” “Memang kau punya ide lebih baik?!” Jiu balas membentak. Ia menyisir ram
Angin laut mulai berhembus kencang. Tapi Jiu masih enggan beranjak dari tepi pantai di bawah patung. Ia tidak menyadari. Saat bias mentari mengenai leher pantung Ying Er, sesuatu bersinar lembut di sana. Tidak hanya itu manik coklat Jiu berpendar pelan. Detik kemudian sosok pemuda muncul di belakangnya. “Cih, kau lagi.” Suara berat sedikit serak yang tidak asing. Jiu sontak beranjak dan menoleh ke belakang hanya untuk bertemu Long Wang. Melihat pemuda itu hendak pergi, Jiu berlari dan menahan lengannya. Manik emas menatap ke arahnya tajam seakan ingin membunuhnya. Jiu menelan ludah gugup, tapi dia tidak kunjung melepaskannya. “Aku perlu bicara denganmu,” kata Jiu. Dua pasang mata berbeda warna itu saling tatap. Long Wang seakan meniliknya lamat-lamat, mencari sesuatu di sana. Sampai akhirnya pemuda itu mengangguk paham dan Jiu melepaskannya. “Katakan... Mengapa aku perlu membuang waktuku untukmu?” Jiu menelan ludah gugup. “Aku bukan berasal dari dunia ini,” ungkapnya. Tatapan