Share

4. FESTIVAL CAHAYA

Author: Wika Cahaya
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"...Dia guru terbaik dalam mengecap rasa dan belajar bahasa..."

~ Ara ~

Aku berhenti menangis, tapi belum berhenti bersedih. Kepala ku mulai terasa pening karna banyak menangis, tapi Aru masih belum menghubungi ku, walaupun aku sudah mengirim beberapa pesan text untuknya. Dia bahkan belum membacanya. 

"Mungkin Aru memang butuh waktu menyendiri dulu, Ra" ujar Tasya menanggapi pikiranku yang ternyata ikut keluar dari mulutku tanpa ku sadari,

"Kau tenang saja. Aku yakin setelah dia merasa lebih baik. Pikirannya lebih terang menerima, dan emosinya lebih stabil dia akan menghubungi mu. Kau tahukan, dia pandai berbenah! Dia akan menghubungi mu saat dia telah membaik" imbuh teman ku berpendapat.

"Aku hanya takut jika saja kali ini dia tidak bisa lagi menerimaku ataupun memaafkanku, Sya. Karena nyatanya ini bukan hal baru untuknya. Aku sudah beberapa kali melukainya dan dia masih menerimaku disisihnya. Tapi aku merasa kali ini akan berbeda!"

"Yah,  aku bisa mengeti. Kekhawatiran dan kecemasamu akan kehilangan Aru.  Tapi Ra, ada baiknya juga klo kamu ikutan cooling down. Mereda semua ini, jangan malah membuatnya membesar dengan banyak persepsi-persepsi negatimu itu. Everything's gonna be okay, okey?!" 

Aku hanya mengangguk setuju. 

"Kau persiapkan saja dirimu agar bisa menjelaskan semua ini dengan lebih baik lagi padanya, kalau-kalau Aru meminta penjelasan yang lebih detail nantinya, Ra. Jadi jangan buang energi mu untuk memusingkan prasangka ini dan itu yang membuat mu malah makin down" Tasya memberikan nasihatnya, agar aku tidak terpuruk dalam sedih yang makin lama dan dalam,

"Semoga dengan begitu dia jadi bisa mengerti kalau situasimu juga tidak mudah untuk dihadapi"

Kali ini aku sedikit tersenyum mendengarnya. Merasakan ada secerah kelegaan dari ucapan Tasya. 

"Thank you, Sya. Kau sudah membantu mecahkan bongkahan beban di kepalaku"

"Oh thank God, kau memberiku teman agar aku tidak sendirian di dunia yang luas ini" celotehnya mencoba menghibur sekaligus menyindirku jika harusnya itu yang aku ucapkan,  "Anyway, still wanna hang out?"  tanya Tasya padaku. 

Aku menatap Tasya dengan tanya. Dan dia yang mengertiku dengan baik segera memberikan penjelasannya.

"Kau kan tidak jadi pergi dengan Aru. Jadi kau bisa pergi kemanapun denganku. Mungkin dengan pergi keluar sebentar, kau bisa merasa lebih baik lagi. Jadi kau tidak terlalu terbebani dengan hal ini"

Aku tahu maksud Tasya. Dia hanya ingin membuatku merasa lebih baik dengan mengalihkan fokus kesedihan ku, tapi ....

"Shopping maybe? Or grocery? Or just walk around to pecinan? Little Indian? By the Bay? Anywhere you want-lah" 

Yah ide Tasya memang bagus, hanya saja, aku masih memikirkan perasaan Aru yang masih berkabut luka. Tidak mungkin aku bisa bersenang-senang sementara Aru masih kacau menseting pikirannya, itu akan membuatku terlihat sangat jahat sekali padanya. Jadi aku menolak tawaran baik Tasya untukku.

"I'm fine, Sya. I just feel like, I'm not going  anywhere with my feeling down" 

"Okay. If you say so. Aku hanya tidak ingin kau terlalu bersedih" 

"Yah... Aku mengerti itu" ada jeda untuk hening diantara kami, "Kau jadi berangkat Rabu ini ke KL?" tanyaku mengalihkan topik kesedihan, 

"Mmmhhh seharusnya begitu. Jika tidak ada perubahan jadwal lag ..."

Tasya menghentikan kalimatnya lantaran ada sebuah panggilan masuk dari ponselnya. Aku bisa melihat nama itu tertera di layarnya. Itu dari Doni, pacarnya. 

Tasya merasa ragu sesaat, harus menerima atau tidak, karena itu dia menatapku bimbang. Dan aku memberikan perintah untuk menerimanya saja. Tasya lantas keluar kamar dan meninggalkan aku sendirian. 

Hening. 

Hening lagi suasana disini. 

Hal yang tidak ku sukai selama ini. Hening. Sendirian. Lalu jadi merasa kesepian.

Tapi entah kenapa dalam hening kali ini, aku justru tidak merasa kesepian. Aku tidak merasa lagu mengheningkan cipta datang menjadi musik background pengiring dari keheningan kali ini. Mungkin itu karena ucapan Tasya tadi masih tersangkut dipikiranku dan aku memikirkannya.

Itu soal pecinan dan juga little Indian. Dimana pikiran dan perasaanku dibawa berjelajah kemasa tahunan silam, saat aku masih berstatus sebagai pelajar di kota kecil yang menawan ini.

Dan jika aku harus bercerita tentang Aru, maka aku akan memulainya dari sini. Dari bagian yang paling berarti saat kami masih menjadi teman. 

~ FLASHBACK TIME ~

Pecinan adalah salah satu tempat yang membuat persepsiku tentang Aru berubah dan berawal darisana pulalah aku membuka diri, menerima Aru dari sudut pandang yang berbeda. 

Aku pertama kali bertemu dengannya, itu karena Bening yang memperkenalkan. Dia seniorku dan sekaligus orang yang sangat berjasa bagiku, Aru biasa memanggilnya Ben. Bahkan kesan pertamaku bertemu dengan Aru sama sekali tidak sepositif itu tadinya. 

Aku tersenyum-senyum mengingatnya.

Mengingat rambut gondrong Aru jaman itu, yang membuatku bernegatif thinking akannya. Dari perkenalan itulah Aru akhirnya menjadi partnerku. Aku menyewa jasanya untuk membantu menangani kesulitan ku selama tinggal di Singapur.

Yah... anggaplah saja dia seperti pustaka pertamaku yang hidup, bisa berjalan juga bicara, dan itu sangat menarik. Dia seperti buku panduanku untuk bisa bertahan disini. Dia membantuku menghadapi sulitnya menjadi pelajar di negeri orang dan aku bersyukur bisa dipertemukan dengannya.

Tapi ceritaku akan dimulai dari tempat yang lain. Saat aku mulai menyingkirkan pikiran negatifku akannya dan memandang dia dari sudut positifku.

Little Indian. 

~ BULAN OKTOBER ~

[Ditanggal-tanggal tua]

Aru datang ke tempat ku malam itu. Mencariku tentunya, bukan Ben.

Oh tidak−tidak! Dia datang karena sudah membuat janji temu denganku. Dia ngajakin hangout malam ini, tapi hanya antara kami berdua. Padahal biasanya jika hangout kami lebih suka bersama teman yang lainnya juga, tapi kali ini tidak. 

Aru menekan bel saat aku sudah siap. Sudah rapi, wangi, juga cantik, dan menunggu diruang tamu. 

"Siapa Ra?" tanya Ben tanpa keluar kamar,

"Aru!" aku menjawab, 

"Ooh" kata Ben dan suara itu hilang begitu saja. 

"Jadi kita mau kemana?" tanyaku pada Aru, 

"Somewhere" melihatku yang tidak puas dengan jawaban yang diberinya lantas dia menyambung lagi, "Jangan khawatir. Ku pastikan kau tidak akan menyesalinya" begitu katanya.

Memang ada sedikit pencerahan dari jawaban itu, tapi tetap tidak cukup membuatku merasa senang.  Dan aku merasa sepasang mata itu masih lekat mengawasiku. Mungkin juga sedang membuat penilaian didalam lubuk hatinya akan ku.

"Ahh, ini semacam outdoor observation. Mungkin bisa membantu mempertajam pendapatmu dalam menyelesaikan tugas kampus mu itu, dan sekaligus untuk mempertajam kemampuan bahasa asingmu.  Terutama dalam beradaptasi dengan Singlish"

Yah, itulah salah satu alasan aku memakai jasanya. Masalah Singlish (Singapore English). Logat orang-orang Singapura yang masih sulit ku pahami, sekalipun mereka sama-sama berbahasa Inggris tapi aku masih merasa kesulitan memahaminya, butuh beradaptasi, kurasa. Dan karena hal itulah yang sedikit-banyak menghambat perkembangan ku dalam menyerap Ilmu secara optimal, disini. Dan itu pula yang membuatku cukup stres dalam beberapa hal dan kasus, lantas Ben menawarkan jasa Aru padaku. 

Kini aku merasa lebih tercerahkan dengan jawaban tambahan yang Aru utarakan barusan. Outdoor observation? Sepertinya menyenangkan. 

"Memang kau ada acara apa? Sampai merubah jadwal pertemuan mendadak?"

"Aku harus pulang ke Selangor. Sedikit masalah kecil yang mengharuskan ku pulang ke rumah"

Aru memang lahir dan besar di Indonesia tapi setelah, entah kenapa .... Karena aku belum terlalu tahu ceritanya .... Hanya sebatas yang ku dengar dari kanan-kiri. Dia bersama Ibu dan adik-adiknya pindah ke Malaysia. Lantas Aru memilih Singapura sebagai tempat mencari nafkahnya karena dia masih punya dua adik yang masih harus bersekolah.

"Ready to go?"

Aku mengangguk.

"Jangan lupa bawa kameramu. Dokumentasi penting" dia mengingatkan.

"Yah, kau benar" aku bergegas kembali ke kamar dan mengambil kameraku.

"Where are you going?" tanya Ben, saat aku kembali masuk kamar untuk mengambil kamera.

Aku mengangkat bahu. Tidak tahu. 

"Uggh, pakai rahasia-rahasiaan ya sama kita sekarang?!" tambah Gani merasa terusik, "Pakai acara pergi berduaan saj..." 

"Are you going out with him?" tanya Norah memotong protes Gani untukku tadi membuat semua mata menatapku dengan hening.

"YES"  kataku menjawab cepat sambil berbalik dan kembali mencari kameraku. 

Tapi ruangan ini menjadi ramai dengan "UHhh" tatapan-tatapan mereka juga sumringah, memandangiku dengan janggal. Aku jadi merasa ada yang sumbang dengan reaksi yang mereka berikan atas jawabku itu.

"Wait. Apa maksudmu tadi itu ...?" aku bertanya ulang, menyadari kalimat ambigu Norah yang mungkin salah ku jawab. Aku menyadarinya dari tatapan-tatapan mereka dan juga suara-suara senang mereka yang mulai berubah menggodaku dengan genit dan aktif.

"Apa maksud pertanyaanmu tadi itu... semacam date? Maksud kalian aku ngedate sama Aru, begitukah?"

Mereka tidak menyahut, hanya ekspresi mereka yang menjawaban iya dengan jelas.

"Ohh NO!  We are not dating,"

"Yet!" Gani menambahi cepat, 

"We just hang out, guys" belaku meluruskan. 

Tapi sepertinya mereka tidak perduli dengan pembenaranku. Mereka menganggap kalimat pertamakulah yang benar. Karena itu mereka masih tertawa bahagia mencandaiku.

"Aru dan Ara, don't you think it's sooo...  machy-machy name? Cute you know!"

"Sayangnya, kau bukanlah orang pertama yang mengatakannya begitu, Nor!" timpaliku pada godaannya.

"Itu namanya pertanda takdir, kan?" Gani menambahi. 

Aku mengambil kameraku dan menghela nafas lelah. Merasa sia-sia saja jika aku marah atau mengelak pendapat mereka saat mereka sedang berapi-api mencandaiku.

"So, I gotta go. See you soon guys. Bye!" aku meninggalkan mereka begitu saja karena merasa penjelasanku tak akan berguna. Mereka seperti tidak ingin mendengar kalimat pembenaranku. Jadi biarkan saja mereka tersesat dengan pikiran mereka sendiri tentang kami. 

"Aru, take care of my friend" Norah beralih pada Aru karena aku tak merespon candaannya, tapi tanpa memperlihatkan dirinya.

"Back home safe guys!" Ben menambahkan, juga tanpa perlu keluar dari kamar.

"Maksudnya, safe in another meaning. You know what I mean, right?" tambah Gani. Dan tawa makin membuncah tak karuan. 

Aru memandangku sejenak. Mungkin merasa tingkah mereka jadi aneh banget hari ini. Aku tidak tahu, karena aku juga merasa malu mendengar mereka mencandai kami seperti ini.

"Don't coming home late, guys!" suara Ben menyuruh sekali lagi. 

"But it's okay if you're not coming home tonight" Gani menyahut lagi, lantas disambut tawa geli mereka, "Mama won't watch you" tambah Gani yang kini ucapan itu mendapat protes dari dua temannya. Mereka terdengar meng-shuuut pelan pada Gani, seperti memberinya teguran.

Aru memandangi ku dengan wajah bingungnya. Memintaku menjelaskan. Aku mengangkat bahu, karena juga tidak mengerti.

"Mereka kerasukan apa?" tanya Aru pelan padaku, menanggapi gurauan mereka yang tidak Aru pahami. 

"I don't know. Mungkin sedang punya mood mencandai kita"

Aru langsung tersenyum mengerti. Lalu senyuman berikutnya ialah senyuman misterius menerima jawaban dari ku. Seperti dia sedang merencanakan sesuatu dari balik senyumannya itu.

"Ohh don't worry guys. I'll definitely take her back home safe and sound annnd ...," Aru menatap ku dengan senyumnya,

"I will complete her with a thousand love tonight. So don't disturb us, please!" Aru membalas balik candaan mereka. Membuatku membelalakkan mata dengan puluhan tanya pada perkataan Aru.

"WUUUAAAHHH!"

Tawa diantara mereka meledak. Riuh. Ramai. Dan tidak juga berhenti. Suara-suara bahagia mereka terdengar renyah dan fresh, dengan celotehan balas Aru dalam menanggapi mereka. Mungkin mereka bertiga kini menganggap ucapan Aru adalah bukti jika kami telah bersama. Terserahlah.

Mereka semua memang sangat baik dalam bermain dan menggoda seperti ini, tapi tidak dengan ku. Aku hanya melihat saja. Malah tak jarang jadi objek sasaran mereka karena tak bisa mengikuti permainan dengan baik, jadi mereka menjadikan aku sebagai sasaran empuknya. Karena aku hanya bereaksi disaat yang tepat atau saat mereka mulai kelewat batas, untuk meluruskan kembali, tapi seringnya gagal.Dan kurasa, ini bukan waktu yang tepat untuk meluruskan candaan mereka. Belum saatnya.

Dan lagi, yah memang begitulah Aru. Dia sangat suka dengan dunia per-teasing-an seperti ini. Sifatnya yang hangat dan ramah, juga ketangkasannya dalam bereaksi spontan terhadap sesuatu, membuatnya menggunakan momentun ini untuk menanggapi balik lelucon teman-teman seatapku dengan entengnya, tanpa memperhatikan apakah itu lelucon ringan atau keterlaluan. Mereka tidak perduli, yang penting itu lucu saja bagi mereka. 

Kami meninggalkan mereka dengan kalimat terakhir Aru. Berjalan beriringan menuju tempat motor Aru terparkir.

Disini memang tidak begitu  banyak pengguna motor dijumpai, tidak sama seperti di Indonesia yang hampir setiap rumah punya minimal satu, meskipun begitu peminat motor disini semakin meningkat pertahunnya, begitulah setidaknya kata surve yang pernah ku baca.  Mungkin karena Aru juga terbiasa menggunakan motor waktu di Indonesia jadi kebiasaan itupun ikut terbawa sampai kini, bahkan di negeri orang. 

"Jadi, bisa kau beritahu aku, sebenarnya kita mau kemana? Tidak ada rahasia-rahasiaan!"

"Oke-" dia mengamatiku lekat, sebelum memberikan kalimat jawabannya,

"Little Indian! Kau pernah kesana?"

"Yah, sekali. Sama temen-temen. Kau tahulah, aku masih belum lama disini. Aku masih belum tahu banyak tempat disini"

"Kalau begitu baguslah. Little Indian yang kau lihat sebelumnya akan berganti wajah malam ini. Berterimakasihlah padaku nanti, karena kau akan melihat wajah cantiknya sebentar lagi"

"Yuuuh, I'm excited now!"

Aku dan Aru memakai helm. Lantas melaju di jalanan malam kota kecil yang padat ini. Kami melaju dari Kent Reidge menuju Quins Town.

Dijalanan Aru tidak banyak berbicara, dia lebih banyak fokus pada jalanan dan laju motornya. Aku berpegangan pada jaketnya sesekali, dan tidak berlebihan, hanya saat merasa takut atau tidak seimbang duduk ku.

Bukit Merah terlewati dan sebentar lagi kami akan memasuki Jalan Rochor yang artinya sebentar lagi sampai. 

Jarak apartemen ku tinggal terhitung tidak terlalu jauh dari Little Indian. Hanya sekitar 15 menit dengan kecepatan berkendara sedang. Tempat tinggalku pun terbilang cukup dekat dari tempat Aru tinggal, hanya beberapa menit saja dengan berkendara.

"Welcome to The Festival of Lights"

Mataku langsung melebar meneliti sekeliling saat Aru menyuarakan hal itu. Aku bisa melihat gerbang masuk Little Indian yang bercahaya terang dengan dekorasi 'apik' warna-warni cerah.

Diatas dekorasi gerbang selamat datang itu terdapat sepasang gambar merak sebagai penyambut para tamunya. Aku menjepretnya dua kali tanpa harus berhenti dari motor. Aku memandangnya dengan tatapan senang, mengheran karena kagum. Ini akan menjadi sesuatu yang baru lagi untuk ku pelajari bersama Aru.

Setelah Aru memarkirkan motornya, dia mengomando langkah di depan dan aku mengekor di belakangnya. 

"Welcome to the Deepavali" Aru memperkenalkan kemegahan malam ini.

"Ohh jadi ini Festival Diwali yang ramai di perbincangkan teman-teman ku belakangan ini toh?" gumamku sendiri.

Tapi Aru mengangguk, seolah mendengar dan menjawab tanya retorikku sendiri itu.

"Kau tahu tentang Diwali?"

Aku menggeleng.

"Maksudku aku banyak mendengar nama Diwali dari film-film Bolywood. Tidak secara nyata seperti ini"

"Great!" serunya, "So, I'll guide you to know it better than in a movie"

"Great.  I'm super excited!" 

"Kita mulai dari cerita sejarahnya?"

Aku memberikan anggukan. Menyepakati. Aru mulai bercerita dan aku mulai menyimaknya sambil masih memperhatikan sekitar, dan mengiringi langkah santai Aru membawaku berkeliling.

Dia menuturkan bahwa Diwali selalu di peringati setiap tahunnya oleh orang-orang keturunan India yang ada di Singapura, khususnya bagi mereka yang beragama hindu. Hal ini menjadi hal baru bagiku, lantaran aku sendiri tidak pernah sekalipun mengunjungi perayaan Diwali selama ini. Ini baru pertamakalinya. Aru memberiku jalan memulainya, sangat menyenangkan.

Ada beberapa versi cerita yang Aru tuturkan tentang Diwali ini.

Pertama.

Mereka merayakan Deepavali untuk menyambut kembalinya Rama ke Ayodhya setelah 14 tahun lamanya tinggal dan hidup diperasingan. Rama akhirnya kembali setelah berhasil menahlukkan, dalam pertempurannya melawan Rahwana.

Kedua.

Ada pula yang beranggapan jika festival ini sengaja diadakan untuk memuja Mahalakshmi yaitu dewi cahaya, dewi kemakmuran, dewi kesejahteraan dan juga dewi kekayaan. Yang tentu saja orang-orang dengan kepercayaannya akan memohon pada dewi lakshmi agar memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi usaha-usaha yang mereka geluti.

Dan ketiga.

Adapula yang berpendapat jika perayaan ini diadakan untuk merayakan kemenangan Krisna yang sukses dan berhasil menahlukkan setan keji bernama Narakasura yang sudah membuat kerusuhan dan kepanikan karena dia memimpin kerajaan dengan kemungkaran dan banyak siksaan keji, sehingga meninbulkan penderitaan terhadap rakyatnya.

Dia juga telah membuat peraturan untuk mengurung para perempuan-perempuan dalam istananya. Selain memimpin dengan keji, membuat rakyat sengsara dan mengurung para perempuan, dia juga banyak membuat dosa, membuat kebijakan-kebijakan yang buruk, membuat aturan-aturan jahat sehingga rakyatnya merasa seperti hidup dalam neraka. 

Lantas kabar berita itupun terdengar sampai ketelinga Krisna. Mengetahui hal seperti itu Krisna lantas menjadi marah dan menyatakan untuk berperang melawan Narakasura yang keji. Singkat cerita, Krisna memenangkan perang itu. Dan hari di saat Narakasura mati itulah yang disebut dengan hari Deepavali. Menangnya kebaikan atas kejahatan. Rakyat akhirnya bisa kembali bersuka-cita, dan berbahagia. 

"Jadi itulah kenapa kau bisa melihat begitu banyak warna terang yang mendominasi diperayaan Diwali ini. Dari hiasan-hiasan yang mereka gunakan, ornamen-ornamen pendukung lainnya, bahkan bunga-bunga, hingga patung-patungnyapun berwarna-warni. Kau bisa melihatnya sendiri, bukan? Hampir semua tempat ini meriah dan semarak dengan banyak warna. Dan mereka juga akan mengenakan sari yang berwarna cerah pula pada hari Diwali ini. Karena warna-warna itulah yang melambangkan keceriaan dan kemeriahan yang mereka rasakan. Kebahagiaan dan syukur mereka atas menangnya kebaikan diatas kejahatan. Begitulah setidaknya keyakinan mereka"

"Dan itu pulalah kenapa Diwali juga disebut dengan festival cahaya?"

"Yupz. Tepat sekali!"

"Kenapa harus ada tiga cerita berbeda yang sama-sama melambangkan hari Diwali ini? Apakah 3 cerita itu terjadi dihari atau tanggal yang sama atau bagaimana?"

"Nah, bagian yang itu aku belum tahu pastinya"

"Mungkinkah itu karena cerita-cerita itu saling berkaitan satu sama lain?"

"Pintar!" ujar Aru memujiku, "Mungkin saja memang sepeti itu"

"Klo begitu coba kau tunjukkan padaku dimanakah letak saling keterkaitannya dari tiga cerita itu?"

"Hei, kau ingin mengujiku?"

"Yes, Lǎoshī" jawabnya memanggilku guru dalam bahasa Mandarin.

"Baiklah. Mungkin keterkaitan cerita itu ada pada cahaya dan kebaikan. Kurasa dua hal itulah kata kuncinya penghubungnya"

"ah,  okay. Bisa kau perjelas?"

"Kebaikan ataupun kemenangan itu disimbolkan dengan terang. Baik itu terang dari cahayanya sendiri yang memberikan penerangan juga rasa aman ataupun terang dari warnanya.  Terang, ngejreng. Sementara sebaliknya, kejahatan, kesuraman, ataupun kekejian diwakilkan oleh kegelapan"

Aku mengerutkan dahi, karena merasa penjelasannya kurang lengkap, meskipun bisa dipahami.

"Kau sepertinya kurang puas dengan jawabanku?"

"Ya, memang sepertinya begitu. Masih kurang lengkap saja"

"Hey, aku juga manusia biasa yang punya keterbatasan. Kau pikir aku serta-merta langsung tahu semuanya begitu sekaligus? Ini juga aku baru melakukan riset sebelum membagikan cerita ini padamu!" aku terkekeh mendengar pernyataan jujurnya. Aru tak segan mengakui kekurangannya.

"Aku pikir kau sudah tahu sejak lama karena kau sudah lebih dulu tinggal disini daripada Aku"

"Ya, benar aku tinggal disini lebih dulu tapi bukan berarti aku tahu segalanya semua yang ada disini juga kali!"

"Bagiku kau sudah terdengar seperti guru sejarah malah!" hiburku mengembalikan wajah cerahnya.

"Sungguh?"

"Mmm. Guru sejarah yang masih baru dan minim ilmu" gurauku. 

"Hei...!" protes Aru pada perkataanku. Aku masih tersenyum bahagia menindasnya dengan lelucon ini.

"Ah, ya... aku ingat sesuatu" Ujarnya mengembalikan wajah seriusku, "Merunut cerita tentang Rama tadi, cahaya atau lampu juga digunakan untuk menerangi jalan Rama setelah berhasil mengalahkan Rahwana, sehingga dia bisa kembali lagi ke Ayodhya tanpa salah arah kurasa...."

"Dannn ... jika merunut dari cerita Lakshmi, cahaya juga digunakan untuk simbolisasi pengundangan hadirnya Dewi kesejahteraan itu dalam perayaan ini. Kau bisa melihatnya bukan, jika begitu banyak hiasan lampu-lampu yang digunakan dalam perayaan ini? " aku mengangguk pada tanyanya, "Karena itu juga digunakan sebagai penanda Dewi Lakshmi agar bisa sampai ke rumah-rumah mereka yang menginginkan keberkahan, kekayaan, juga kesejahteraan"

Aku mengangguk senang lantaran bisa memahami penjelasannya dengan cukup baik kali ini. Dan karena Aru bisa menjawab tanyaku dengan lebih baik, juga dalam menemukan korelasinya. 

Aku mencium wangi aroma bunga dan dupa berbaur menjadi satu menyita perhatianku. Lantas aku melihat dengan lebih seksama dan mengamati beberapa barang dari toko yang menjual berbagai macam barang, seperti perlengkapan untuk menyambut perayaan ini. 

Ada berbagai macam bunga yang dirangkai dengan tali panjang dan ditali melingkar.  Lalu ada juga pernak-pernik ornamen macam-macam gantungan yang berwarna-warni indah dan semarak, dan yang menyitaku kini ialah gambar indah berupa burung merak.

"Yang ini untuk apa?" tunjuk daguku.

"Apa yang kau lihat?" 

"Merak. Itu indah banget"

"Ohh itu ...." Aru mengerti barang yang ku maksudkan, Kau pernah mendengar kata Rangoli?"

"Entahlah. Munkin..." kataku sambil mengingat-ingat, "Tapi aku tidak ingat tentang apa itu" jelasku,  sambil sibuk mengambil gambar.

"Bagaimana kalau kita masuk dan bertanya pada pemiliknya langsung?"

"Aku tidak yakin. Apa kita boleh bertanya-tanya tanpa membeli?"

"Tidak apa-apa. Asal kau berani!"

"Kalau begitu tidak usah. Aku tidak seberani dirimu"

"Tidak apa-apa. Yuk masuk! Jangan jadi penakut seperti ini" ujarnya menarikku untuk mengikuti langkahnya,

"Excuse me!" Aru meminta perhatian pemilik toko.

Seseorang akhirnya menemuinya. Aru langsung mengobrol dengannya. Aku ikut bergabung tapi tidak terlalu paham dengan apa yang mereka obrolkan. Aku hanya bisa menangkap sedikit kata yang kutahu, dan dengan bantuan analisa juga dugaan-dugaan dari perbincangan mereka. Aku sepertinya bisa sedikit memahami perbincangan itu. Yah, aku MEMANG hanya bisa paham sedikit, itu karena bahasa Inggris ku masih belum terasah dan ditambah lagi karena bahasa inggris yang mereka gunakan terdengar berbeda dari yang ku dengar lewat TV ataupun film-film Box Offiece kebanyakan.

Aku butuh proses agak lama untuk mencernanya, karena beberapa orang dengan garis keturunan India akan berbicara dengan nada dan intonasi seperti mereka sedang berbicara dalam bahasa Ibu mereka, Tamil. Cepat dan kental akan logat Indianya yang 'nehi-nehi, aca-aca'. Sementara orang dengan garis keturunan Tionghoa juga akan berbicara dengan nada yang cepat dan intonasi seperti mereka sedang berbicara dengan bahasa mereka sendiri juga, sangat kental dengan intonasi hokiannya. Dan itu yang membuatku masih merasa kesulitan berkomunikasi juga memahami percakapan mereka.

Selesai berbincang-bincang dengan Aru, aku meminta ijin agar diperbolehkan mengambil gambar dan pemilik toko mengijinkan.  Lalu, kami berterima kasih dan pergi.

"Jadi kau sudah paham bukan?"

Aku menggeleng. 

Aru tersenyum dan kembali menuturkan apa yang dia dapat dari percakapannya tadi, sembari menuntun langkah lagi. 

Dia menuturkan, jika penjelasan Rangoli ini akan berkaitan dengan kisah Krishna dan Narakasura yang sudah sedikit dia jelaskan tadi.

"Rangoli merupakan seni menghias atau menggambari lantai maupun dinding. Dalam budaya tradisional masyarakat India, mereka biasanya menggunakan bahan-bahan alami seperti tepung, biji-bijian, kelopak bunga, pasir hingga bubuk kunir untuk menghias lantai atau dinding rumah mereka pada perayaan Diwali maupun perayaan-perayaan hari besar lainnya" begitu penjelasannya, 

"Tapi sekarang banyak juga dari mereka yang sudah beralih ke bubuk pewarna sintesis, buatan pabrik karena selain sulit mendapatkan bahan alaminya disini. Itu juga karena bahan sintesis lebih tahan lama. Tradisi Rangoli ini dilakukan dengan maksud untuk menarik dewa-dewi agar datang berkunjung diacara mereka. Dan juga ucap syukur mereka pada Krishna yang telah membebaskan para wanita dari kurungan di istananya Narakasura"

"Jadi karena rasa syukur itu, para wanita akhirnya bisa lagi melihat dunia luar rumah. Dan menghadiahi lukisan-lukisan indah rangoli ini. Itulah yang menjadikan dasar kenapa semua hiasan Rangoli ini hanya dikerjakan oleh para wanita saja"

"Maksudmu seni rangoli ini hanya diperuntukkan untuk para perempuan?"

Aru mengangguk, menjawab sangat yakin. 

"Hanya saja, perkembangan zaman membuat aturan itu lebih sedikit fleksibel saat ini"

Kami masih berjalan beriringan. Cerita-cerita itupun masih terus berlanjut.

Aru juga menuturkan jika gambar pola rangoli sendiri bervariasi macamnya. Ada yang berbentuk bunga, binatang, geometris atau lambang-lambang filosofis lainnya dan menggunakan banyak warna yang membuatnya makin indah, cantik dan menarik. 

Biasanya mereka menggambarnya sesuai dengan keinginan dan kebutuhan para pegiatnya. Contohnya rangoli gambar Dewi Lakshmi, itu melambangkan peruntungan dan harapan akan berkah kekayaan dan kemakmuran. 

"Ah, seperti yang ku lihat dibeberapa film Bollywood. Ada yang berupa bunga dan disekelilingnya terdapat lilin-lilin temaram yang menerangi. Apa itu ada maknanya juga?" aku mengajukan tanya pada Aru.

"Yah mungkin. Atau agar kau tidak menginjak dan merusaknya" Jawab Aru dengan nada humor, 

"Jadi itu bukan karena konsep gelap dan terang? Kebaikan dan kejahatan?" kataku yang malah menanggapi dengan serius.

"Huh, dasar kau... susah diajak bergurau!" gerutunya sedikit kesal.

Kami terus saja berjalan, sambil masih mengobrol hingga tanpa disadari langkah kami sudah berada di area bazar. Aku mencium aroma-aroma makanan yang kaya akan rempah. Baunya menggugah selera makanku. 

Dikanan-kiri, aku melihat berbagai jajanan dan makanan tersaji di stan-stan bazar ini. Aku memperhatikannya sambil menahan lapar dan ingin.

"Ohh ya, perayaan ini biasanya diadakan selama 5 hari dengan serangkaian kegiatan yang berbeda disetiap harinya" Aru masih terus saja menjelaskan disaat fokusku mulai berkurang, sebab melihat jajanan ini membuat energiku seperti melemah dan butuh diisi ulang. 

"Hai... Ra. Araaa...! Mu-tia-rAAa!"

"Ah... Ya?"

"Kau lihat apa? Kau tidak mendengarkan penjelasanku?" dia bertanya sambil meneliti pandanganku.

"Ohh itu..." Aru mengikuti arah pandanganku, "Kau mau itu?"

Aku mengangguk dengan semangat.

"Bilang kalau kau mau membeli sesuatu. Aku bisa berhenti menjelaskan.  Kau lapar?" 

"Ya, dari tadi. Aku tidak enak menyelamu"

"Santai saja kali. Kau mau beli yang mana?"

"Yang seperti kerupuk, warna orange"

"Go buy it, then" 

"Kau mau?"

Aru menggeleng,

"Hei, biarku pegang kameramu" mintanya, "Ohh ya,  dan cobalah berinteraksi dengan penjualnya aku akan mengawasimu dari sini"

"Harus yah? Tidak bisakah aku hanya membeli saja lalu pergi?"

Aru menggeleng, "Harus! No debate!"

Aku mengikutinya juga. Pasyrah.

"Excuse me. Uncle, what is this?" 

"Jelebi" 

"What? Jelly bee?"

"Ja-le-bi"

"Ah, ja-leb-bi" kataku menirukan pedagang itu,

"So,  what the taste is like? It is salt, sweet or...?"

"It's sweet. You try-lah" dia berbicara dengan logat tamil dan berpadu dengan singlish.

Aku mencobanya. Lalu paman pedagang itu bertanya balik padaku, dan akupun menjawab balik pertanyaannya. Dan pembicaraan masih terus berlanjut. 

"Which one is the most popular snack here?"

"Jalebi, candeh, and also this one, milk palkova" kata paman penjual seraya menunjuk jajanannya.

Paman itu memperbolehkan aku mencicipinya satu masing-masingnya. Rata-rata yang dijual disitu jajanan yang manis-manis, mungkin itulah kenapa di film India menyebutnya dengan manisan. 

Aku lantas memutuskan untuk membeli jalebi dan candeh. Candeh mungkin jika ditranslate maknanya jadi candy. 

Karena Candeh sendiri adalah camilan serupa permen dengan rasa..., yang kucicipi rasa kelapa. Manis dan enak, dan karena aku pecinta kelapa akupun membelinya. Aku tidak membeli milk palkova karena aku tidak terlalu suka susu dan rasa manisnya buat aku, itu over. Keterlaluan. 

Aru benar-benar mengamatiku sedari tadi, dia bahkan diam-diam juga telah mengambil foto-fotoku sedari tadi aku berinteraksi dengan pedagang.

Aku sengaja meliriknya beberapa kali, maksudnya agar dia berhenti mengambil gambarku. Tapi Aru justru tidak paham dan malah cengengesan melihat hasil jepretannya sendiri. 

"Kau memotretku?"

"Ya. Kau lihat nih" katanya sambil memperlihatkan hasil jepretannya, 

"Ihh jelek banget, sumpah. Hapus!"

"Jangan dong. Ini bagus kok. Lucu tauk!"

"Bagus apanya? Ekspresiku 'ngelowor' gitu kok. POKOKNYA HAPUS! Aku ngak mau tahu. Kau harus menghapusnya!"

"Nope! Ini tuh innocence banget mukanya, sayang klo harus dihapus"

"Gak mau tahu. Pokoknya hapus, Aru!"

"Hidup itu ngak harus selalu sempurna, Ara. Kau tidak harus selalu tampil cantik untuk memperlihatkan kecantikanmu atau bahkan jika itu hanya untuk menarik perhatian banyak orang, jika kau masih  eksis di dunia ini. Tetap akan selalu ada orang yang memperhatikan, mau kau cantik ataupun enggak cantik.  Jadi aku tidak akan menghapusnya. Ini lucu kok, dan kau harus memilikinya setidaknya satu, tidak apakan? Apa kau merasa malu dengan dirimu sendiri?"

"Yah-yah-yah. Terserah kau sajalah!" kataku malas memperpanjang perkara, "Kau mau?" Aru menggeleng, 

"Itu bukan favoritku"

"Lalu apa favoritmu?"

"Ka-Mu" aku memandangnya curiga, dia malah tertawa geli melihatku.

"Kau mau membelikannya jika kuberi tahu?" dia malaah menawar. 

"Jika itu bukan aku dan harganya tidak mahal, bolehlah" ujarku basa-basi. Tapi wajah Aru jadi berubah. Seperti terpengaruh dengan ucapanku.

"I'm a cheesy person, so yeah...  Buy me then. I'm begging" ujarnya seraya memaling hadap dariku.

Aku merasa getir mendengar itu. Aku sepertinya salah mengucap, tapi dia tidak terlihat sedang bercanda dengan ucapan itu. Walaupun tetap dia sisipkan senyum lemah diakhir kalimatnya itu, tapi sepertinya dia merasa tersinggung dengan ucapanku.

Aku sungguh tidak punya maksud untuk merendahkannya. Sama sekali bukan untuk itu. Meskipun begitu, aku juga bukan gadis pemberani jadi aku hanya diam menenungi salah ucapku dan hanya meminta maaf dalam hati, ketimbang menyatakannya dengan terbuka. Secara langsung. 

"Aru, tunggu aku!" aku mengejarnya, mensejajarkan posisi, bersikap biasa.

"Nah itu dia. Buy me that one!" kata Aru seraya menunjuk salah satu stan toko.

"Sekarang?" aku tidak tahu kenapa mengeluarkan kalimat tidak cerdas seperti itu secara mendadak.

"Tidak. 10 jam lagi, saat semua toko sudah tutup" katanya sedikit kesal. 

Aku jadi tertawa sendiri mendangarnya. Merasa jika rasa kesalnya jadi terdengar lucu lantaran aku tahu kalimat tanggapanku tadi juga salah. Jadi aku mengambil langkah kearah toko itu, namun baru beberapa langkah saja tanganku terasa tersangkut pada seseorang dan gerakan spontan dari tubuhku adalah berbalik dan berteriak. 

"Hey..." aku berteriak spontan dan lantas mataku disilaukan dengan blitz cahaya ketika suara jepretan kamera sudah terdengar lebih dulu. 

Aru yang melakukannya. Dia sengaja menarik tanganku hingga aku berbalik dan dia memotretku tiba-tiba. Dia pasti ingin mendapatkan ekspresi wajah konyolku lagi. Aru terlihat sangat puas dengan hasilnya. Senyum diwajahnya terbit untuk mengganti buram yang sempat datang sesaat.

Aku mendekat dan berusaha ikut serta melongok hasilnya, tapi Aru menjauhkan kamera itu dariku. Tidak membiarkanku melihat. Itu pasti muka 'kloworku' yang lain, yang menurutnya itu muka innocence ku. 

"Kau mau membuliku dengan itu?"

"Tidak! Sama sekali tidak. Go...go.. buy it" suruhnya padaku melanjutkan pembelian.

Aru berdiri tidak jauh dariku, seperti tadi. Hanya saja sekarang fokusnya banyak tersita pada ponsel androidnya bukan lagi pada kameraku. 

Baguslah, setidaknya dia berhenti mengambil koleksi muka-muka jelekku. Atau jangan-jangan dia sedang sibuk memposting ke sosmed? Wah bahaya! Awas saja klo itu sampai terjadi. Aku akan membuat perhitungan padanya jika wajah buruk rupa itu sampai berada disalah satu akun sosmednya. Sisanya biarkan ku hapus semua nanti. 

Antrianku tiba juga akhirnya.

"Mhhh it's look delicious" kataku melihat makanan itu, "What is it, uncle?" kataku meski orang itu tidak terlihat seperti seorang paman. Sepertinya usianya masih cukup muda untuk dipanggil paman, tapi menyebut uncle disini sudah umum dilakukan. 

Orang-orang disini biasanya menyebut para pedagang, sopir taxi atau pria separuh baya lainnya dengan sebutan uncle, meskipun tidak memiliki ikatan darah. 

"This is gulab jamun"

"Oh I thought it was ladoo"

"Kind of but different. This, try-lah!" Paman itu memberiku sebuah untuk dicicipi.

"It's good, right?" tanyanya lagi. Aku hanya manggut-manggut karena masih mengunyah.

"Mmhh the smell is so..." kataku, 

"Good. I know it" kata si penjual menyela.

"Give me more information about this, galab..."

Si paman memperbaiki ucapanku yang kurang tepat, "Gulap"

"Oh sorry. Gulat ...?"

"Gu-lab with a B not T" kata paman mengoreksi kalimatku, "Gulab Jamun"

"Gulat janem? Oh sorry, gul-lab jam-mun"

Aru yang tadinya hening tiba-tiba terkikik dengan suara lirihnya,  mendengarku salah ucap dari gulab jadi gulat. Dan aku hanya meliriknya, merasa malu. 

"Can you give me more information about it, please!" ujarku, menjalani misi dari Aru,

Paman itu menatapku senang. Lalu mulai merangkaikan kalimatnya. Aku mendengarkan paman itu yang menjelaskan dengan aksen tamilnya yang kental dan cepat.

Kalimatnya saling sahut-menyahut seperti penyanyi rap, cepat dan padat dan lincah tanpa lidahnya tergigit barang sekalipun. 

"Gulab jamun. The wodof gulab mins roz in hinddi en jamuniz berri..." aku masih bisa memahaminya disitu, tapi kalimat selanjutnya aku mulai tersesat. 

"Gulab jamun hese-SOF texce, wite suitteis, cosit meitbai-MILK solit, en flou,  enolso sugeSYARAF enros watte. So dissis wannof CLESIK indian SWIT dhed WERI-weri FAMOS en camen en is enjoi in mos vestiv en selebrezen mils. Dhe smel,  dheteis, dhesofness is laik mix togede en bi ecomplex hamonisesyenof gudness dise...."

Aku berusaha mengejar kepahamanku akan penjelasannya, tapi itu tetap tak terkejar. Hanya beberapa kata acak saja yang terhighlight dari setiap ucapannya, seperti soft, sweet, milk, syaraf, classic, very, famous. Tapi aku tetap tak bisa mencangkup semua pembicaraannya secara sempurna makna dan maksudnya. Meski begitu aku tetap bersikap tenang dan seolah paham betul dengan penjelasannya yang makin memusingkan kepalaku. 

"Dhetwei it weri-weri delisius, juno. It's a pefek fo diset" 

Aku hanya mengangguk-angguk saja menanggapinya, seraya menggumam ohh untuk menekankan seolah aku paham.

"Jadi kau mau beli berapa?"

"Dua saja"

Paman itu lalu menyiapkan pesananku, dan aku menyerahkan sejumlah dolar padanya. Berterimakasih.

"Thank you uncle. You're so nice"

"Oke-lah. Enjoy the meal ya and back again later yah!"

Aku kembali menghampiri Aru dan memberikan jajanan itu, dan dia berterimakasih balik padaku. 

"Jadi ini Indian sweets favorit mu?"

"Salah satunya. Kau sudah mencicipinya bukan? Jadi bagaimana rasanya?"

"Biasa saja.  Aku tidak terlalu suka"

"Biasa saja? Hecka noh! Kau pasti tidak benar-benar merasakannya?"

"Apa? Bukannya semua makanan sama saja? Besok paginya juga dibuang secara natural"

"Ahhh, kenapa kau membawa bahasan kotor saat kita akan makan sih?! Kau menghancurkan selera makanku"

"No way! Kau sangat suka makan. Kau menyantap makanan apa saja. Jadi tidak mungkin seleramu itu bisa hilang dengan cepat begitu saja bukan?!"

"Yah, kau benar. Ada alasannya kenapa aku sangat suka makan"

"Kenapa?"

"Suatu saat akan ku ceritakan. Nih sekarang cobalah. Rasakan dengan baik kenikmatan dari gulab jamun ini" dia memaksaku memakannya lagi sekali, dan aku sulit menolak permintaannya.

"Tutup matamu dan rasakan kelembutan yang terkandung dari bola-bola itu. Rasakan pula aroma manis yang bercampur dengan aroma bunga mawar dan aroma rempah lainnya. Rasakan manis sirup gulanya, rasakan kandungan susunya yang seperti melelah dan menari dilidahmu secara bersamaan seperti sebuah kebahagiaan yang datang saat hatimu gersang. Lembut, nyaman, tenang dan nikmat" 

Aku lalu mulai merasakan sensasi berbeda dari sebuah makanan, rasa, dan imaginasi lain yang Aru gambarkan, meskipun itu terdengar sedikit 'lebay' dalam penggambarannya. Tapi dia berhasil mengajarkanku menikmati rasa dalam bentuk yang berbeda, yang lebih mendetail. 

"Bagaimana? Kau bisa merasakan bedanya?"

Aku mengangguk dan masih memejam. Mengunyahnya perlahan.

Entah kenapa pikiranku justru melayang dan bekeliling ketempat lain, lalu aku berusaha menghentikannya dengan membuka kembali mataku lebar.

"Apa menurutmu, kita harus pulang sekarang?" tanyaku, 

Aru menggeleng, karena mulutnya masih penuh makanan. Lalu dia membuka ponselnya, melihat jam. 

"Tidak, belum saatnya pulang. Masih ada pertunjukan yang harus kita saksikan"

Aku mencegah tangan Aru yang akan memasukkan lagi ponselnya dalam saku, karena aku juga ingin melihat waktu. 

"Jam berapa memang ini?" 

Aru memperlihatkan ponselnya dan tanpa sengaja justru yang terbuka ialah akun instagramnya, yang menampakkan wajahku disana. Dan yang membuatku tabjuk foto itu jauh dari dugaanku.

Fotonya bagus, hampir mendekati sempurna jika saja tidak ada gambar berbayang disebelah kiri yang menjadi background foto itu. Lalu Aru menarik kembali ponselnya sebelum aku dapat membaca apa caption yang dia tuliskan disana. 

"Masih terlalu dini untuk pulang, bukan?"

Aku mengangguk. Karena ternyata ini masih jam setengah delapanan. 

"Kau bisa jelaskan kenapa aku masih saja tidak paham dengan apa yang pedagang tadi jelaskan padaku. Mengapa ini terasa sangat sulit bagiku?"

Dia tersenyum lebih dahulu, sebelum mulai dengan penjelasannya.

"Let me tell you some secrets" ujarnya senang, memandangku dengan misteri, 

"Aksen orang-orang disini biasanya menyamarkan bunyi 'R'. Seperti car yang akan berbunyi ca, flower jadi flowe, water jadi wote, dan kawan-kawannya ...." jelasnya padaku, 

"Seperti halnya sugar jadi suge?" gumanku sendiri. Perlahan memahami misteri kebuntuanku, "Ohh jadi begitu yah? Pantas saja aku sulit sekali paham dan mengerti"

"Dan selain itu orang dari keturunan India biasanya membunyikan 'T' seperti orang dengan logat Bali, bunyinya menjadi 'Te'. Bunyi 'Ve dan We' terdengar sama pengucapannya, kamu akan banyak mendengarnya dikata very Yang akan mereka bunyikan jadi werri"

"Ah, aku baru sadar"

"Bersabarlah. Lama-lama kau akan terbiasa dan paham dengan sendirinya" Aru menenangkanku.

"Apa kau juga pernah punya kesulitan yang sama dalam memahami aksen-aksen tertentu misalnya?"

"Yah tentu. Aku juga manusia biasa. Aku masih sulit memahami orang dengan aksen British, juga orang-orang italiano kadang. Jangan khawatir semua ini hanya tentang proses. Nanti, lama-lama kau juga akan paham dengan sendirinya"

"Yah, aku percaya padamu. Ini hanya proses. Meski rasanya aku sudah tidak sabar dan hampir menyerah"

Tapi adamu membuatku merasa hidup kembali. Nyaliku yang tadinya menciut kini terkembang lagi. 

Aru benar-benar guru terbaik dalam mengecap rasa, dia juga guru terbaik dalam belajar bahasa.

~ Flashback End ~

"Ra-ra... Ara... "

Aku terbangun dan membuka kembali kesadaran dari lamunan tahunan silam, saat Tasya berteriak-teriak dari luar memanggil-manggil namaku. Seperti ada hal mendesak dan penting yang harus diutarakan segera.

"Kenapa?"

"Kau sudah baca status Aru?"

Aku mengambil ponsel Tasya lebih dekat kearahku, dan melihatnya. 

"Is it still the same color? Me for you? Think twice!"

"Apa maksudny,a Ra?" tanya Tasya,

"Itu pasti tentang kamukan?"

"Ya kurasa begitu" kataku ringan. 

Tapi Tasya menatapku heran, meminta penjelasan lebih dalam. Aku berkata 'baiklah' dalam hati.

"Sya, kitakan temenan udah sangat lama nih. Kamu bahkan tahu bagaimana dalam dan luarku dengan baik. Jadi andai kau harus merepresentasikan arti hadirku untukmu dengan warna, maka apa warna yang menurutmu cocok untuk menyimbolkan hadirku?"

"Oh, jadi itu toh maksudnya Aru"

"Jawab, jangan malah bengong!"

"Ooo... apa yah? Mungkin putih! Oh tidak, itu pasti silver atau abu-abu. Entahlah"

"Beri aku satu warna, saja!" kataku agak kesal dan menuntut.

Mungkin, ini yang dulu Aru rasakan saat aku tidak menjawab dengan benar tanyanya waktu itu. Kesal juga gemas. 

"Okey-okey... Silver?" jawab Tasya, 

"Lalu kenapa kau jawab putih tadi?"

"Karena kau teman terbaikku"

"Lalu kenapa kau ganti dengan silver?"

"Karena sepertinya, kau tidak sebersih warna putih juga sih" Tasya menyeringai takut.

"Maksud mu?"

"Karna kau tak seputih malaikat. Kau masih bisa berbuat jahat kadang, jadi tidak bisa sepenuhnya putih" jujur sahabatku menyuarakan pendapatnya. 

"Klo silver?"

"Sebab kau ni temanku yang lembuk, halus, penyaba dan juge behargelah" katanya menggunakan dialek malaysia.

Entah kenapa dialek itu justru mengingatkanku akan suara Aru. Dia juga sering menggunakan dialek seperti itu untuk menghiburku atau bahkan mencandaiku, karna aku tak bisa menirukannya. 

"Woey... Ra, malah bengong aja sih"

"Hah? Bukan apa-apa. Aku hanya teringat sesuatu" aku lantas bertanya lagi padanya, "Kenapa silver bukannya gold, jika aku berharga?"

"Karna goldnya buat aku. Canda... Canda. Bercanda!" Tasya menyematkan dua jarinya keluar membentuk V, takut jika aku marah. 

"Itu karena kamu tidak lebih glamor dariku, tapi kamu tetap berharga okay!" ujarnya entah hanya untuk menyenangkan hatiku saja atau itu jawaban jujurnya. Yang jelas dia tetap berusaha menghiburku agar aku tetap merasa lebih baik.

"Jadi kau jawab apa waktu itu ke Aru?"

"Emmhh... Entahlah. Aku agak lupa"

"TIDAK MUNGKIN! Kau berbohongkan?"

Aku hanya mengangkat bahu. Entahlah. 

"Kalau begitu, apa warna yang Aru pilih untuk mu?"

"Aku juga sepertinya tidak ingat!"

"Ahh Ara.... Ayolah aku tahu kau tidak sedang jujur padaku. Klo kau tidak mau memberi tahu juga tidak apa-apa. Aku bisa bertanya pada Aru dan bilang ke dia kalau kau lupa dengan jawabannya. Maka perang akan terus berlanjut" goda Tasya mengancam ku.

"Hey...!" protesku merasa takut,

"Kenapa kau pandai membujuk seperti Aru sekarang, hah?"

"Itu karna dia juga sudah jadi temanku. Dan karna akupun sudah kena pengaruh darimu dan dia juga"

Aku terkekeh mendengar jawaban Tasya.

"Sekarang beritahu aku!"

"Okay-okay...! Oke aku beritahu" aku terpaksa mengalah dengan ancamannya,

"Jadi, baginya aku seperti warna pink. Karena menurutnya aku ini orang yang lembut, penyayang, girly, dannn... "

"Plin-plan?" sahut Tasya cepat dan tepat. Dan itu cukup mengejutkanku.

"Kenapa kau bisa tahu? Aru cerita padamu?"

"Tidak. Entahlah. Aku hanya sedikit menebak dari karaktermu itu"

"Puas sekarang?" aku mengembalikan ponselnya,

"Emm. Klo aku? Menurutmu apa warna untukku?"

"Entahlah!" aku memunggunginya,

"Araaa!" dia menekan. 

"Apa? Aku lelah, dan ingin tidur okey!" 

Entah kenapa, aku merasa sikapku kini pada Tasya berasal dari cerminan sifat Aru masa itu. Tanpa ku sadari, sepertinya akupun tertular sifatnya. 

"JAHAT!" pekik Tasya. 

Aku mengambil ponsel disisiku, lantas mengetikkan sebuah pesan singkat,

"Still" Ku kirim pesan itu pada Aru.

Kau masih sama seperti semua warna dalam kotak pensil warnaku. Lengkap. 

"Ra, kau kenal siapa itu Quin?"

.

.

*****

Related chapters

  • The Gray Silhouette of Love   5. TENTANG RINDU

    "...Benang tipis diantara bodoh dan gila ialah cinta... " ~ Aru ~ Berbulan-bulan berlalu dan kita hanya menikmati rasa rindu ini dalam ruang kita yang berbeda. Mengumpulkan setiap hitungan demi hitungan, hingga menjadi deret hitung selanjutnya. Menyilang saat lima dan menulis lagi jadi satu. Menyilang lagi saat lima dan menghitung ulang mulai dari satu. Begitu terus dan berlanjut hingga hitungan itu genap terkumpul sampai hari ini. Hari dimana aku akan membawakan oleh-oleh rindu yang Ara minta dan ku janjikan, iya. "Landing safe in SG" Telah menjadi status di f******k dan juga sosial media ku yang lainnya. Lalu Ara dengan cepat bereaksi meminta temu disiang hari itu juga, segera sesaat setelah aku mendarat. Tapi aku berencana menemuinya sore hari, karena merasa masih letih dan perlu mengumpulkan energi agar bisa menemuinya d

  • The Gray Silhouette of Love   6. LOWKEY

    "...Dalam keadaan yang rumit itulah kita akhirnya belajar menumbuhkan sikap dewasa kita... " ~ Ara ~ Akhirnya, aku dan Tasya pergi keluar juga. Dia mengajakku makan malam diluar, katanya agar aku tidak terlalu begah hanya berdiam murung di Condo saja. Akupun akhirnya mengikuti saran sahabatku itu. Setelah berjalan sekitar 10 menitan, sampailah kami disalah satu food court tujuan kami. Aku memesan ayam geprek satu level dibawahnya yang terpedas di kedai Papi Chicken. Yang merupakan makanan Indonesia yang tengah digandrungi disini, saat ini. Sementara Tasya memilih memesan Tom Yum Pasta, level cetek. Entah kenapa aku tiba-tiba saja ingin makan sesuatu yang pedas, mungkin itu juga masih karena Aru. Karena aku melihat postingannya dikomen oleh Quin, sementara dia sudah tidak lagi membalas text ku, jadi aku ingin punya alasan lain untuk menangis tanpa perlu dianggap cengeng.

  • The Gray Silhouette of Love   7. TEMAN TAPI MENGGODA (TTM)

    "...Mungkin orang lain akan salah paham melihat kita begitu memahami terlalu baik... " ~ Aru ~ Zein melihatku dengan tatapan lelahnya, setelah aku bercerita tentang apa yang sedang ku hadapi kini. "I told you, right? Berbulan-bulan yang lalu, oh tidak. Bertahun-tahun yang lalu, agar kau meninggalkannya. But all you did just ignore my words" Zein menanggapi dengan kesal. Aku tidak bisa membantah perkataan sahabatku itu. Walau bagaimanapun Zein benar, hanya aku yang keras kepala tetap mempertahankannya walau sulit. "Jadi sekarang bagaimana?" katanya dengan intonasi yang lebih rendah dan santai. Aku hanya mengangkat bahu. Bahkan akupun tidak mengerti harus apa. Harus bagaimana menghadapi semua ini. Harus bagaimana mengambil sikap atas keadaan ini. Yang ku tahu hanya, aku harus mengirimkan pesan pada Ara jika aku akan menginap ditempat sahabat ku ini sementa

  • The Gray Silhouette of Love   8. CEMBURU

    "...memberikan batasan dalam pertemanan akan menyelamatkannya dari kehancuran..." ~ Ara ~ Aku dan Tasya kembali ke Condo, dan aku menjadi begitu senang saat melihat sepatu Aru sudah ada ditempatnya. Itu artinya dia sudah kembali dan masih mendengarkan ku walau kadang bersikap acuh tak acuh padaku. Dia tetap selalu mempertimbangkan perasaanku, dan aku tahu itu. Aru akan begitu begitu lunak padaku. Wajahku dihiasi dengan banyak senyum dan itu membuat Tasya tidak mengerti. Dia memandangiku aneh karena menurutnya tadi aku banyak menangis tapi mengapa sekarang terlihat berbalik setengah lingkaran. Aku yang kini, seolah sedang berdansa bersama bahagia. Dan itu pasti membuatnya bingung. Itu karna Tasya belum melihat jika Aruku sudah kembali pulang. Aku jadi merasa senang. Hanya sesederhana itu saja bahagiaku, Aru kembali kesisi ku. Hanya itu saja sudah bisa membuatku merasa begitu

  • The Gray Silhouette of Love   9. PATAH

    "...orang yang kau cintai sepenuh jiwalah yang pada akhirnya mematahkan hatimu ... " ~ Aru ~ Aku terbangun tengah malam dan mendapati Ara tidur disisi lain kursiku. Selintas yang terpikirkan olehku ialah, kenapa dia tidur diluar? Apa itu karena dia merasa bersalah padaku atau karena dia sudah merasa rindu? Ah, yang kedua serasa tidak mungkin. Itu pasti karena dia merasa bersalah padaku. Aku hendak memindahkannya ke kamarnya tapi ingat jika ada Tasya. Lalu aku berpikir untuk memindahkannya ke kamarku dan aku bisa kembali tidur disini sendirian, tapi urung karena kekuatanku rasanya masih belum pulih sepenuhnya dan karena aku juga masih kesal dengannya. Perasaan marah itu tidak bisa reda begitu saja. Memang bagaimana bisa hilang dengan begitu mudah? Saat orang yang sangat kau cintai nyatanya menghianatimu. Aku melihat ponselku diatas meja. Dan aku yakin dia pasti sudah mengecek isi chatku dengan Quin, karena letakny

  • The Gray Silhouette of Love   10. BERHARAP

    "...Melihatnya lemah tak berdaya merupakan luka tersendiri, meskipun kecil..."~ Ara ~Beberapa minggu berlalu, hubunganku dengan Aru masih terlihat biasa saja. Kami masih baik-baik saja, tapi juga tidak baik-baik saja. Masih belum ada keputusan untuk saling menjauh apalagi saling meninggalkan satu sama lain. Kami masih saling berbagi tempat menyandar, kami masih saling berbagi suapan, dan kadang juga berbagi hal yang lain-lainnya juga.Meskipun terkadang dibumbui juga dengan pertengkaran kecil saat Arnold menghubungiku, atau mengirim pesan padaku dan aku menjawabnya didepan Aru. Kaarena sebab itulah dia jadi mudah marah belakang ini, mungkin karena merasa tersisihkan dan aku bisa memahami itu. Dia marah dan kesal karena aku membagi kasih juga perhatian pada orang lain.Jika sudah begitu Aru bawaannya ingin menghindariku, dia segera mengambil langkah menjauh dariku, memberiku jarak. Entah itu dia pergi

  • The Gray Silhouette of Love   11. PATAH HARAP

    "...Harapan yang tak menjadi kenyataan itu menyakitkan... " ~ Aru ~ - Tujuh jam sebelumnya - Aku baru saja selesai mencurahkan kegundahanku pada Zein, dan sikap Zein masih saja sama. Dia ingin aku meninggalkan Ara, dan semuanya akan selesai dengan sendirinya, jika aku meninggalkannya. Masalah dan kesedihanku akan selesai, dengan mudah. Tapi ini tak pernah semudah seperti yang dia ucapkan dan sarankan padaku dengan entengnya. Bagaimanapun juga perasaanku masih punya magnet kuat untuk Ara, dan aku tidak bisa semudah itu mengambil keputusan seperti yang sahabatku sarankan. Dan ini tak akan pernah semudah dan sesimpel itu selama aku masih punya perasaan yang aktif untuk orang yang ku sayangi, sekalipun dia berbuat salah dan aku berusaha meninggalkannya. Itu tetaplah bukan perkara yang enteng untuk dijalani. Alhasil aku kembali berenang dalam kebuntua

  • The Gray Silhouette of Love   12. RAGU

    "...Bentuk cinta ya tetap cinta... "~ Aru ~Seperti biasa aku berakhir ditempat sahabatku, Zein. Aku merasa bersyukur memiliki teman sepertinya. Karen dia selalu berlapang hati membantuku, mendengarkan keluh resahku dan menjadi teman berbincang yang sengit karena biasanya pendapat dan pandangan kita berbeda. Aku juga bersyukur karena dia mau menerimaku, menampungku ditempatnya saat aku dan Ara sedang dalam kondisi hubungan yang tidak baik seperti ini.Aku sudah berada disini selama 3 hari terhitung sejak Ara lebih mementingkan urusan pekerjaannya daripada aku. Aku yang kesal lantas melarikan diri kesini. Meskipun begitu, aku baru saja menyelesaikan curhatanku padanya sejak 15 menit yang lalu, maklum kemarin-kemarin dia masih sibuk dengan urusan kerjaannya dan sekarang dia sedang luang. Momen yang tepat untuk curhat dan bertukar pandangan."So, this is your final ending huh? Or it is just another break time

Latest chapter

  • The Gray Silhouette of Love   131. CLOSURE

    ~ Ara ~ . . . ... Sepasang sesal ... Menepikanmu yang kurasa sanggupMeniadakanmu yang kurasa mampu Tapi bayangmu tak pernah jauh dari heningkuDan seluruh heningku tak pernah sepi darimu Jangan menyerah Karena kau masih memikatkuDan hatiku masih terpaut dekat denganmuSekalipun kau tak tahu itu benarSekalipun tak ku ucapkan dengan benar Kau tahu aku hanya berlagakKau tahu aku selalu malu berbicara cintaJadi bisakah sekali lagi kau menunggukuKuharap hatimu tak berubah padaku Sekalipun kini hanya berat yang tertinggal Dan benteng kuatku telah menemui lapukan terlemahnya berupa sesal. . . - Guilty on tuesdays - " Lyn Wen " . . I hope one day you'll come backAnd at least say hiWipe off the tears on my faceAnd give us a try, Cause I can tellYou're done with this leaving hell yeah...I can tellYou're done with what I do To keep me away from youTo keep me away from you, Every good moment has passedYou're still not hereCrying alone in my car seems to famil

  • The Gray Silhouette of Love   130. AKHIR KISAH

    "... Aku tak perlu berkorban lagi untukmu, karena kau telah bahagia ..." ~ Aru ~ . . Pernah aku terpenjara dalam jerat cinta, yang membawa arusku jadi seru dan semu, tapi aku jatuh juga dari ketinggian mencinta kedalam ulu hara, dalam perangkapnya kasih menjadi siksa. Karena itu, setelah badai tikai itu, aku memilih menutup diri. Memberinya kemerdekaan dalam hilangku. Dan kutangani sisa luka, konsekuensi dari berani mencintainya, sendiri. Tak kubiarkan orang tahu atas luka patah hatiku. Kusembunyikan kepatahan itu dari sekelilingku. Karena aku tak ingin membebankan perasaan luka yang kuterima pada orang lain, dan itulah kebijakanku. Meski itu tak mudah, aku berhasil membuatnya terlihat begitu. Serupa seperti tak berlinang air mata. Serupa hatiku tak retak karena terluka. Padahal diam-diam akupun menangis dalam sembunyiku. Di kamar mandi, atau dibilik kamar redup lampu. Lantas pura-pura tidur saat ada yang mendekat. Sebab aku tak punya alasan benar, menunjukkan pedihku pada mere

  • The Gray Silhouette of Love   129. PILIHAN vs TAKDIR

    "... Biarkan hatimu menuntun maunya, tapi ijinkan takdir yang memutuskan jawabnya ... " ~ Ara ~ . . "Ara, aku bertemu dia. Kami bicara. Tentu aku melihat apa yang tak bisa kau lihat darinya, Ra" "ARU TAK BAIK, RA." "TIDAK. Dia harus baik-baik saja. Harus!" "Yah, tampaknya memang begitu" "Tampaknya?" "Mau menggeser sedikit saja persepsimu akan kebencian Aru padamu itu?" "Tak yakin!" "Bagaimana jika kepergiannya itu bukanlah atas dasar kebenciannnya? Mungkin saja itu sesuatu yang lain" "TIDAK. Itu harus benci. HARUS!" "Dan bagaimana jika yang kau lihat benci itu, mungkin, sebenarnya hanya bentuk lain dari luka? Mungkin itupun bentuk dari defensif Aru dalam melindungi hatinya. Bukan benci" "Kenapa begitu?" "Aru bisa saja menjadi brengsek waktu itu. Dia bisa merusak pernikahanmu sebelum takdir melakukannya. Tapi alih-alih begitu, dia malah memilih mundur. Menarik semua kedekatannya darimu tanpa menciptakan kegaduhan, Ra. Jadi Apa tindakan itu mencerminkan kebencian?" Aku m

  • The Gray Silhouette of Love   128. FATE

    "... Takdir memaksa kita mengerti dan menerima keadaan tak baik kita, meski kita tak ingin... " ~ Ara ~ . . - THE WEDDING - Aku baru selesai dirias dan Tasya masuk. "Woooh.. who's this gurl? So gorgeous!" "Thank you" Aku senang menerima pujian itu. Meski hatiku juga merasakan getir gelisah yang lain. "Bagaimana rasanya jadi mempelai?" "Nervous, I guess?" "Kurasa akupun akan begitu saat diposisiimu. Wajar, Ra. Itu gerogi yang baik" "Kuharap begitu. Tapi lebih dari itu. Aku sangat bahagia. Akhhirnya Sya... Akhirnya!" "Umh, I'm so happy for you too" Sudut mata kami mengeluarkan embun haru. Tasya lalu memelukku. "Okay-okay, ini hari bahagiamu dan aku tak ingin riasanmu rusak karena kebahagiaan ini" Kami menghapusnya. "U

  • The Gray Silhouette of Love   127. RUMPANG

    "... Kau mungkin bahagia, tapi benarkah itu kebahagian yang ingin kau jalani ... "~ Ara ~.."Tasya?""Surprise!"Dia memelukku."Katamu besok?""Tidak jadi. Aku mempercepat segalanya""Masuklah!""So, how's your life Ara?""Seperti yang bisa kau lihat. Baik!""Kau menjawab persis seperti seseorang" gumamnya, "Kau sedang sibuk?""Tidak""Apa yang akan kita lakukan hari ini?""No shopping, karena kau pasti masih jetlag. And I'm not about going anywhere. Jadi kurasa kita hanya perlu disini saja""Good girl. Kau sangat memahamiku!""O-ya, kau jadi ketempat Zein?""Ya""Dia mengusirmu?""Tidak. Dia berubah menyenangkan""Uh, impresif. Kalian membicarakanku?""Sedikit. Oh, iya, kau mau minum apa?""Tak perlu repot. Aku bukan tamu istimewa""Aku k

  • The Gray Silhouette of Love   126. SELESAI

    "... Cinta itu telah berakhir ..."~ Aru ~.."Berjuang lebih keras, Aru!""Kau kira kenapa aku bertahan dalam sengsara itu jika bukan untuk berjuang?""Sudah Tasya! Aku mencoba segala yang kubisa. Dari memprovokasi cemburunya, memperbaiki emosiku, hingga bersikap manis padanya untuk mendapatkan lagi hatinya. Tapi Arnold yang selalu menang. Kau hanya tak tahu usahaku itu!"Dia termenung."Aku berupaya hingga tak punya cara lain lagi selain menyudahi keegoisanku untuk memilikinya seorang diri.""Huhf..." helanya."Aku pasti jadi psycho jika diposisimu. Kau harusnya gunakan emosi kesalmu itu untuk memukuli seseorang. Jangan diam saja dan malah lari!"Aku terhibur mendengarnya.Apa dia tak tahu aku memukul Ara waktu itu?"Kau pernah punya pikiran jahat? Seperti psycho?""Mungkin""Sungguh? SESAIKO APA?""Mungkin karen

  • The Gray Silhouette of Love   125. PSYCHO

    "... Rasanya aku ingin membunuhnya saat melihatnya pamer bahagia, sedang aku menahan nyilu dan cemburu ..." ~ Aru ~ . . Aku terdampar dalam sebuah kemegahan asing dalam duniaku. Tapi ini bukan ilusi. Aku duduk merenung, menikmati nyaman yang belum pernah kunikmati begini sebelumnya. Membahagiakan. Aku menghirup aroma cappucinoku, sebelum mengecap bagaimana rasanya. Dan benar rasanya istimewa, seperti harganya yang bisa membuat dilema kepala orang biasa. Tapi disinilah aku kini, mengagumi soreku yang biasanya tak selalu indah. Tapi kini berubah begitu menawan dalam sekedip. Aku menyesap lagi gelas kopiku, sambil menunggu dengan santai seseorang yang telah membuat janji temu denganku. Dudukku mulai menyila, tapi bosan masih jauh dari pikiranku. Meskipun kini aku terkurung di lantai 122, diketinggian ratusan meter, dalam atmosfer megah restauran kelas dunia, di Burj Khalifa.

  • The Gray Silhouette of Love   124. JALAN KELUAR

    "... Itu pilihan, ingin menjadikannya ujian dalam cinta atau takdir dalam cintamu... "~ Ara ~ . . Kenapa aku sendiri masih terus ragu dengan apa yang Zein tuturkan barusan. "Ara, kau masih mencintainya, kan?" "Entah Zein!" "Apa kau tahu, ragu adalah bagian dari iya yang belum disetujui lewat kata""Yang kutahu, aku tidak kesini untuk membahas hal seperti itu" "Benarkah? Apa kau pikir hanya dengan modus mengembalikan ini, aku lantas percaya? Tidak Ara. Aku tak sebodoh itu!""Kau terlalu berlebihan Zein""Menyangkalnya membuat hatimu lebih baik?""Zein, Aru membenciku!""Maksudku dia masih membenciku, kan?" aku mencari defensif lain."Ya, benar. Dia membencimu hingga tak ingin lagi melihatmu. Hingga ingin menguburmu. Hingga ingin menghilang darimu. Dan itu benar, dia membencimu"Hatiku terluka mende

  • The Gray Silhouette of Love   123. CLARITY

    "... Mengapa orang lain bisa melihat cintaku dengan jelas, tapi aku tidak ... "~ Ara ~ . . Ada banyak hal yang ingin kusampaikan saat berada dalam masa perenungan lalu. Karena kehilangan Aru membuatku tak seimbangan. Tapi setiap kali menatap wajah penuh lukanya, akupun kehilangan cara untuk membela diri dari kekacauan yang kubuat sendiri. Kalimatku lenyap, bibirku terbungkam. Aku tak bisa menyanggah kalimat penuh lukanya karenaku. Dan karena itu, yang terlintas hanya perasaan sesalku, jadi alih-alih membela diri, aku lebih ingin meminta maaf.Tapi Aru selalu tak ingin mendengarnya. Dia tak ingin mendengarnya, seberapapun aku merasa bersalah padanya.Tapi menyumpahiku gagal menikah adalah hal yang paling tak bisa kuterima. Dan itu sangat melukai hati terdalamku.Begitulah aku menyerah pada akhirnya. Karena mungkin dengan membiarkannya pergi, itu menghinda

DMCA.com Protection Status