Share

8. CEMBURU

Author: Wika Cahaya
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"...memberikan  batasan dalam pertemanan akan menyelamatkannya dari kehancuran..."

~ Ara ~

Aku dan Tasya kembali ke Condo, dan aku menjadi begitu senang saat melihat sepatu Aru sudah ada ditempatnya. Itu artinya dia sudah kembali dan masih mendengarkan ku walau kadang bersikap acuh tak acuh padaku. Dia tetap selalu mempertimbangkan perasaanku, dan aku tahu itu. Aru akan begitu begitu lunak padaku. 

Wajahku dihiasi dengan banyak senyum dan itu membuat Tasya tidak mengerti. Dia memandangiku aneh karena menurutnya tadi aku banyak menangis tapi mengapa sekarang terlihat berbalik setengah lingkaran. Aku yang kini, seolah sedang berdansa bersama bahagia. Dan itu pasti membuatnya bingung. 

Itu karna Tasya belum melihat jika Aruku sudah kembali pulang. Aku jadi merasa senang. Hanya sesederhana itu saja bahagiaku, Aru kembali kesisi ku. Hanya itu saja sudah bisa membuatku merasa begitu bahagia dan lengkap. 

"Something wrong with you?" ujar sahabatku memandangi ku dengan curiga juga penuh tanya.

"Nothing" jawabku pendek sambil mengumbar senyum ceria di wajahku. 

Lalu kami masuk bersama, saat pintu sudah tertutup dan terkunci secara otomatis. 

"Oh, Aru sudah disin...," ujarnya kaget, lalu tersenyum dan beralih ke padaku, "Itulah alasan kenapa kau terlihat begitu senang rupanya, huh?"

Aku tersenyum menanggapi Tasya.

"Kurasa malam ini akan menjadi malam berapi dan kisah ini akan merumit lagi" ledeknya.  Tapi saat mata tajamku mengincarnya dia seketika bungkam.

"OK. Aku paham! Aku akan memberi kalian jarak klo begitu. So you can talk with him" ucapnya pengertian, 

"But please! Jangan ada teriakan. Ini sudah malam dan semua orang butuh istirahat. Kau bisakan?"

Aku mengangguk setuju. 

"Good luck!"

Tasya masuk ke kamar dan membawa barang belanjaanku serta bersamanya. 

Aku mengamatinya sejenak, sebelum membangunkannya. Tapi dia terlihat begitu lelah dan nyenyak. Jadi aku berubah pikiran dan memutuskan untuk bicara dengannya besok saja, sekaligus mengumpulkan keberanian untuk menghadapi apapun yang akan dia tampakkan padaku.  

Sejenak dalam renungan dan pengamatanku akannya, aku jadi labil mengingat betapa terlukanya Aru mendengar penjelasanku tadi. Aku tidak siap memberikannya luka yang lain. Dan akupun jadi makin bersedih mengingat hal itu. Apa aku bisa melalui ini semua. 

Melihatnya rapuh membuatku rapuh, melihat sirat kesedihan dimatanya juga membuatku bersedih. Aru telah memberikan pengaruh sedalam itu dalam duniaku selama ini. Hati kami saling berpaut, itulah kenapa kami bisa merasakan emosi satu sama lain.

Aku membuang muka ke samping, menyeka air mata yang menetes setitik. Nafasku menjadi sedikit memberat karena terisi beban pikiran itu lagi.

Apa yang harus ku lakukan? Aku tidak terlalu yakin dengan langkah ku kini. Tapi seketika pikiran berat itu teralihkan saat aku melihat ponselnya tergeletak diatas meja. Aku tidak ragu-ragu mengambilnya. Hanya penasaran dengan apa yang dia bicarakan dengan Quin sepanjang hari ini, yang membuatnya begitu abai akanku. Aku mengetikkan sandi yang sama dengan sandiku dan terbuka.

Kami memang pasangan yang saling berbagi, termasuk juga sandi ponsel. Tak ada rahasia diantara kami, hanya saja beberapa bulan belakangan ini aku banyak menyimpan rahasia darinya. Karena, aku takut dia tak akan mengerti keadaanku yang sebenarnya dan lantas mengambil keputusan sendiri dengan ..., tanpa banyak perhitungan. Karena itu aku merahasiakan banyak rahasia darinya. 

Aku menskrol percakapan mereka dari awal sampai akhir yang hanya berada di tanggal ini saja dan menyimpulkan bahwa Quin benar-benar tipe wanita yang bisa dengan mudah membuatku cemburu. Aku mengulangi membaca sekali lagi, kali ini dengan lebih cermat, tidak tergesa-gesa seperti diawal. 

"Are you okay?" Tanya Quin sore tadi. 

Lalu beberapa jam setelahnya Aru baru membalas. 

Kenapa dia mengabaikan Quin hingga berjam-jam? Kemana saja dia? Dia biasanya paling sigap membalas pesan Quin. Apa rasa sakitnya membuatnya jadi sedikit malas? Entahlah. 

"A bit harder. How are you?"

Quin juga tidak langsung merespon balasan Aru. Itu bisa ku lihat dari jenjang waktu pesan itu terkirim dan dibalas.

Lalu aku melanjutkan lagi membaca. Kali ini terlihat lebih intens pembicaraan mereka. Seperti ..., mereka akhirnya menemukan waktu luang yang pas untuk mengobrol bersama. 

"Same old-same old" 

"A bit harder, huh?  😑  Itu pasti berhubungan dengan hatimu, iyakan? You're definitely telling me about your ship, aren't you?  💔 "  

"Kind of.  Still. I'm glad  😭  you knew me that well" 

"Aku mengenalmu dengan baik? Tentu saja! Kita sudah seperti saudara kembar  👫  Aru. Hati kita bisa saling memahami dengan sangat baik"

Quin benar-benar membuatku cemburu. Kenapa dia bisa memahami Aru dengan lebih baik, melebihi aku memahami pacarku sendiri. Aku jadi benci sebagian dari dirinya yang terlalu memahami Aru.

"Our radar  📡  still working very well, I guess!"

"Mine? YAZZ, it still  ✅  works properly and function well. Dan kurasa punya mu jugakan, MaiyaRu?" 

"Yeah, mine either. Semuanya baik-baik saja bukan, MacQuin? You won't tell me?" 

"Semuanya baik, juga tidak baik. Semua masih aman terkendali. Kau mengenalku dengan baik Gamaru. Kenapa aku harus bercerita? We  🌐  still connected, right?"  balas Quin

"Seem like we in a same page  💔 "  

Rasanya perih membaca chat ini. Baik itu juga karena salahku atau rasa cemburuku yang membuat ini terasa menyakitkan, mungkin saja keduanya benar. Atau mungkin karena aku memaknai kata MaiyaRu sebagai My Aru dan MacQuin sebagai My Queen. Mungkin aku hanya mengartikannya dengan berlebihan dari persepsi mereka. Dan itu juga yang membuatku jadi sakit dan cemburu akan hubungan pertemanan mereka yang begitu tak bisa ku pahami terkadang. 

Mereka berteman dengan begitu baik dan akrab, hingga membuat ku merasa buta dengan pertemanan mereka yang tak bisa dengan mudahnya ku pahami. Kedekatan mereka yang kurasa sedikit diluar dari batasan teman, aku tidak lagi bisa dengan jernih menilainya. Mungkin cemburu ini memberikan andil  bagi pikiranku bermain, hingga ia tak lagi bisa berpikir dengan jernih apa mereka hanya sebatas teman atau lebih dari itu. Yang jelasmereka terlalu dekat, bagiku. 

Aku melanjutkan membaca. 

"Mungkin. Hidup jadi lebih berat makin kita dewasakan?  💁 "

"Fakta!"

"Jalanpun makin menanjak dan berliku, bukannya lurus dan mudah saat kita makin tumbuh dewasa"

Aru membenarkan bahasan mereka yang bertopik tentang kedewasaan.

"Dan darisana pulalah tingkat kedewasaan kita semakin berkembang dan membijaki diri"

"Mmm, dan waktu  ⌛ semakin mempersempit ruang gerak kita. Lalu menjejali kita dengan banyak kemengertian atas ketidak mengertian kita" 

Renungan mereka kini terdengar serupa sesi curhatan akan masalah yang tengah mereka hadapi masing-masing. Tapi mengapa timingnya harus bersamaan? Benarkah Quin juga sedang ada masalah dengan pacarnya?

Kenapa bahkan problem asmara mereka harus datang diwaktu yang sama? Benarkah semua ini semata permainan takdir? Tidak ada yang lain? 

Sungguh ini membuatku semakin sebal dan sakit hati, walaupun ini juga diluar jangkauan dan kehendak mereka berdua pastinya. Tapi aku tetap saja jadi kesal dan sebal karena mereka bisa saling memahami perasaan mereka. 

Huft. 

"Apa kau tidak merasa pembahasan kita ini jadi terlalu, agak tua? 👵  👴 "

"Yah sepertinya, setiap hari kita makin tua. Tapi gantengku tetap sama. Konsisten! 😄  "

Kenapa juga Aru harus tebar pesona pada Quin? Seakan dia sedang menggoda Quin saja. 

Aghh, Aru!!! Keluhku gemas dalam hati. 

Aku melirik Aru yang masih diam tertidur dengan pulasnya. 

Jangan membuatku merasa buruk dengan cemburu ini, please. Ujarku dalam hati, memohon seorang diri pada orang yang kini tengah terlelap. 

"Problems couple, huh? Kau sama pacarmu?" 

"Kita sudah saling sepakat untuk tidak membicarakan  ⛔  masalah privasi hubungan kita masing-masingkan? Kau masih ingat?"

Beruntung Quin tidak menanggapinya dengan serius. Jika saja iya, ini akan semakin memanggang perasaanku dan membuatku merasa makin tidak baik. 

"Tentu saja. 😅  Just checking that you are good.  😉  Jika kau menjawab tidak, aku pasti akan mencari seseorang untuk ku hajar. Kau tahukan?"

Aku membelalakkan mataku. Sekali lagi membaca ulang pesan Aru itu. Mencoba mencari maksud dari ucapan Aru barusan dalam pesannya untuk Quin. 

"...jika kau menjawab tidak, aku pasti mencari seseorang untuk ku hajar..." 

Jadi maksudnya adalah, jika Quin bilang dia tidak baik maka Aru akan mencari orang yang membuat Quin merasa tidak baik itu, lalu menghajarnya?

Aghh, kenapa kau bahkan juga harus perduli pada Quin seperti itu? Aku tahu kau baik, Aru. Tapi apa hal seperti itu memang perlu kau tunjukkan pada Quin? Aku melirik Aru dalam tidurnya sekali lagi. 

Aghhh. Rasanya aku ingin menangis memprotesnya! 

"Yah itulah salah satunya kenapa aku tidak ingin curhat denganmu, kau terlalu sok jagoan. Uppss, maksudku PREMAN! 😜 " 

"I'm fine, btw. And it will get better in time. Jadi simpanlah tenaga mu untuk yang lain" balasnya pada Aru. 

"Hei, aku hanya ingin melindungi mu. Tapi syukurlah jika kau baik-baik saja. Maka aku tak jadi bersikap sok jagoan padamu. Apa lagi jadi sok PREMAN!"

"You're right. It'll get better in time ...."

Aku diam-diam jadi iri akan Quin. Dia bisa begitu mudah membawa topik kemana saja dia mau, tapi tetap dalam aliran yang bisa dipahami Aru. Seakan aliran pembahasan mereka mengalir dari hati ke hati, dan dari rasa ke rasa. 

Dan Aru selalu terdengar nyaman, ceria juga santai saat mengobrol dengan Quin. Seperti beban-bebannya lenyap seketika. Seperti dia bahkan tak punya beban yang dia pikul berat di pundaknya. 

 

Aku merasakan getir kesedihan mengalir lagi dalam diriku. Itu karena, sifat baik Aru yang ingin melindungi Quin dari bahaya juga. Aku menahan diri dari serangan tangis yang akan meluncur.

Dengan segera aku mengalihkan banyak pikiran buruk ini dari racun-racun kecemburuan cinta akannya. Agar perasaanku pada Aru tetap baik-baik saja. Aku harus mengosongkan diri. 

Aku tidak ingin cemburu ini mempengaruhiku bersikap pada Aru. Aku tidak ingin cemburu ini mengalahkan besarnya cinta dan sayang ku padanya. Aku tidak ingin cemburu ini memperburuk keadaan kami berdua yang sedang tidak baik ini. 

Aku memandangi pesan itu lagi. Membacanya ulang sekali lagi sampai tuntas. 

Jadi Aru dan Quin bahkan punya aturan untuk tidak saling curhat tentang masalah pribadi mereka dengan pacar masing-masing? Tapi kenapa?

Bukankah biasanya teman justru saling memberikan saran dan masukan?

Apa benar itu karena Quin terganggu dengan sikap sok jagoan Aru? Mungkin?

Tapi mungkin juga tidak sepenuhnya begitu. Mungkin ada alasan yang lain. 

Aku tahu Aru seorang pemberani. Dia akan melakukan apapun untuk melindungi orang yang ingin dia lindungi. Terutama orang-orang yang dia sayangi. Aku tahu itu, karena dia juga melakukan hal yang sama seperti itu padaku. Tapi memang sifat posesifnya kadang sedikit mengganggu. Aku setuju dengan pemikiran Quin tentang itu kali ini. 

Apa mungkin mereka sengaja memberikan batasan semacam itu agar mereka tidak terhanyut pada perasaan mereka masing-masing? Yang kelak bisa saja menyeret simpati dan emosi perasaan mereka saat saling curhat dan akhirnya itu bisa merubahnya menjadi aliran cinta?

Maka, sebab itulah mereka memberi batasan untuk tidak saling membahas masalah hubungan asmara mereka satu sama lain? Agar pertemanan mereka baik-baik saja dan tidak terpengaruh?

Karena mereka mendasarinya pada logika bukan dari perasaan yang mereka rasakan dan alirkan untuk dibagi? Dugaku mencarikan alasan yang tepat bagi peraturan pembatasan mereka. 

"Mungkin!"

Itu lebih terasa seperti dugaan ku yang sedikit benar. Mendekati benar.

Mungkin.

Aku tidak tahu secara pasti. Tapi semoga saja begitu. Semoga itu untuk kebaikan mereka bersama. Juga untuk kebaikan hubunganku dengan mereka juga. 

Dan percakapan mereka berakhir begitu saja. Karena Quin meminta berpindah ke sambungan telepon. Dan hal itu semakin membuatku penasaran, karena aku tak bisa tahu apa yang mereka bicarakan selanjutnya.

Aku mengembalikan ponsel Aru. Harusnya aku tidak perlu lagi risau dan meragukannya, karena baik Quin maupun Aru sudah punya orang lain disisi mereka masing-masing.

Dan terlebih mereka hanya teman baik. Mereka tak keluar dari batasan sahabat, lagipula mereka bahkan jarang bertemu, tidak seperti aku yang bisa kapan saja melihat Aru. Tapi meskipun begitu, mereka punya klik yang sama yang membuatku berada dilevel tersendiri dalam merasakan kecemburuan diantara mereka. Aku tetap harus waspada tapi juga tetap santai. Jangan sampai rasa cemburu ku membuat ku semakin jauh dari Aru. 

Aku mengamati lagi wajah Aru, kini dengan perasaan lebih nyaman dan tenang karena kesimpulan terakhir yang ku ambil nyatanya cukup melegakan diriku sendiri.

"Have a sweet dream, Ru" aku mengecup keningnya,

"Maaf aku sering membuat mu kecewa dan terluka belakangan ini. Aku tidak tahu kenapa aku sendiri juga jadi sering melukai mu. Meskipun aku sendiri juga tidak bermaksud melakukannya"

"Hanya ..., maaf Aru. Maaf.... Aku mengecewakan mu beberapa kali dengan sikap dan sifatku yang masih egois"

"Maaf jika cintku tak bisa kau pahami"

Aku merenung dengan sedih. Menyentuh rambut kepala Aru dengan lembut. Rasanya sudah begitu lama, kita kehilangan harmonisasi dalam hubungan kita ini, karena aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku, juga Arnold. Aku jadi tak punya banyak waktu untukmu. Dan disaat kita akan mulai membangunnya, kita malah semakin terjatuh seperti ini. Kau menemukan rahasia yang ku sembunyikan darimu.

"I'm sorry Aru..."

"Aku menyayangi mu. Sungguh"

Aku menghapus peluhku yang menetes lebih banyak dari sebelumnya. 

Aku menyadarinya kini. Perasaan cinta itu juga menumbuhkan duri tajam disisi yang lainnya, dan juga akhirnya menggores orang yang kita sayangi juga. Meski kita tidak melakukannya dengan sengaja, luka itu tetap terjadi, dan duri itu tetap melukai meski kita sudah berusaha berhati-hati. 

Aku kembali ke kamarku untuk mengambil selimut juga bantal. Saat itu Tasya sudah tertidur, jadi aku pelan-pelan mengambilnya. Aku lalu kembali keruang depan. Menyiapkan bantal dan menyelimutiku sendiri dengan selimut. Dan akupun tidur di kursi yang lainnya, disamping Aru. 

Hari yang melelahkan dan cukup menguras energi ini ku harap segera berakhir. Ku harap akan ada cerah yang datang esok membangunkan ku dalam suasana yang lebih nyaman dan indah. 

Semoga. 

Semoga saja ada. 

Tetap ada...,

Hari yang indah itu,

Untuk kita hadapi bersama. 

Mengulang bahagia.

*****

Related chapters

  • The Gray Silhouette of Love   9. PATAH

    "...orang yang kau cintai sepenuh jiwalah yang pada akhirnya mematahkan hatimu ... " ~ Aru ~ Aku terbangun tengah malam dan mendapati Ara tidur disisi lain kursiku. Selintas yang terpikirkan olehku ialah, kenapa dia tidur diluar? Apa itu karena dia merasa bersalah padaku atau karena dia sudah merasa rindu? Ah, yang kedua serasa tidak mungkin. Itu pasti karena dia merasa bersalah padaku. Aku hendak memindahkannya ke kamarnya tapi ingat jika ada Tasya. Lalu aku berpikir untuk memindahkannya ke kamarku dan aku bisa kembali tidur disini sendirian, tapi urung karena kekuatanku rasanya masih belum pulih sepenuhnya dan karena aku juga masih kesal dengannya. Perasaan marah itu tidak bisa reda begitu saja. Memang bagaimana bisa hilang dengan begitu mudah? Saat orang yang sangat kau cintai nyatanya menghianatimu. Aku melihat ponselku diatas meja. Dan aku yakin dia pasti sudah mengecek isi chatku dengan Quin, karena letakny

  • The Gray Silhouette of Love   10. BERHARAP

    "...Melihatnya lemah tak berdaya merupakan luka tersendiri, meskipun kecil..."~ Ara ~Beberapa minggu berlalu, hubunganku dengan Aru masih terlihat biasa saja. Kami masih baik-baik saja, tapi juga tidak baik-baik saja. Masih belum ada keputusan untuk saling menjauh apalagi saling meninggalkan satu sama lain. Kami masih saling berbagi tempat menyandar, kami masih saling berbagi suapan, dan kadang juga berbagi hal yang lain-lainnya juga.Meskipun terkadang dibumbui juga dengan pertengkaran kecil saat Arnold menghubungiku, atau mengirim pesan padaku dan aku menjawabnya didepan Aru. Kaarena sebab itulah dia jadi mudah marah belakang ini, mungkin karena merasa tersisihkan dan aku bisa memahami itu. Dia marah dan kesal karena aku membagi kasih juga perhatian pada orang lain.Jika sudah begitu Aru bawaannya ingin menghindariku, dia segera mengambil langkah menjauh dariku, memberiku jarak. Entah itu dia pergi

  • The Gray Silhouette of Love   11. PATAH HARAP

    "...Harapan yang tak menjadi kenyataan itu menyakitkan... " ~ Aru ~ - Tujuh jam sebelumnya - Aku baru saja selesai mencurahkan kegundahanku pada Zein, dan sikap Zein masih saja sama. Dia ingin aku meninggalkan Ara, dan semuanya akan selesai dengan sendirinya, jika aku meninggalkannya. Masalah dan kesedihanku akan selesai, dengan mudah. Tapi ini tak pernah semudah seperti yang dia ucapkan dan sarankan padaku dengan entengnya. Bagaimanapun juga perasaanku masih punya magnet kuat untuk Ara, dan aku tidak bisa semudah itu mengambil keputusan seperti yang sahabatku sarankan. Dan ini tak akan pernah semudah dan sesimpel itu selama aku masih punya perasaan yang aktif untuk orang yang ku sayangi, sekalipun dia berbuat salah dan aku berusaha meninggalkannya. Itu tetaplah bukan perkara yang enteng untuk dijalani. Alhasil aku kembali berenang dalam kebuntua

  • The Gray Silhouette of Love   12. RAGU

    "...Bentuk cinta ya tetap cinta... "~ Aru ~Seperti biasa aku berakhir ditempat sahabatku, Zein. Aku merasa bersyukur memiliki teman sepertinya. Karen dia selalu berlapang hati membantuku, mendengarkan keluh resahku dan menjadi teman berbincang yang sengit karena biasanya pendapat dan pandangan kita berbeda. Aku juga bersyukur karena dia mau menerimaku, menampungku ditempatnya saat aku dan Ara sedang dalam kondisi hubungan yang tidak baik seperti ini.Aku sudah berada disini selama 3 hari terhitung sejak Ara lebih mementingkan urusan pekerjaannya daripada aku. Aku yang kesal lantas melarikan diri kesini. Meskipun begitu, aku baru saja menyelesaikan curhatanku padanya sejak 15 menit yang lalu, maklum kemarin-kemarin dia masih sibuk dengan urusan kerjaannya dan sekarang dia sedang luang. Momen yang tepat untuk curhat dan bertukar pandangan."So, this is your final ending huh? Or it is just another break time

  • The Gray Silhouette of Love   13. ACCIDENT

    "...Kaulah yang mampu mensabotase pikiranku dengan begitu kacaunya... "~ Ara ~Sudah berhari-hari ini Aru tidak pulang. Terakhir kali aku melihatnya ialah saat aku meninggalkannya di rumah seorang diri dengan kondisinya yang lemah dan seharusnya butuh teman, tapi aku tak bisa menemaninya. Mungkin sebab itulah dia marah padaku. Meskipun itu juga hanya dugaanku belaka tapi aku yakin kemarahannya itu karena hal yang kemarin itu.Komunikasi kamipun tidak intens. Berkali-kali aku mengiriminya pesan tertulis kepadanya tapi dia hanya tetap meninggalkan pesan ku dalam read belaka, dan jarang membalas pesan-pesan yang ku kirimkan. Meskipun aku tahu, palingan Aru sedang ada ditempat Zein tapi tetap saja aku cemas dan tidak menentu jika dia jauh. Terlebih lagi ini kepergian terlamanya meninggalkan rumah dalam keadaan kami sedang buruk selama ini dan itu membuatku tidak fokus bekerja, membuatku tidak enak makan, juga tidak nyenyak tidur.

  • The Gray Silhouette of Love   14. KERAS KEPALA

    "...Kita tetap saja keras kepala, memilih bersama dalam ketidak mungkinan... "~ Ara ~Aku duduk perlahan karena kini bokongku terasa mulai sakit. Mungkin Karena jatuhku dalam posisi terduduk jadi pantatku yang terasa sakit dan nyilu setelah tangan yang diperban ini.Aru duduk disampingku. Pandangan dan tatapannya tidak biasa dalam menatapku, saat ini. Ada kompleksitas kelembutan, keberanian, pemahaman dan siratan cinta yang meluluhkan batin saat aku menemukan sinaran pancaran matanya itu. Jadi aku berusaha menghindar dari kontak langsung dengan tatapannya. Aku takut terbius olehnya dan jadi lupa diri. Tapi dia malah memintaku untuk melihatnya. Meminta diriku untuk berfokus padanya seorang, seperti ada hal penting yang ingin dia utarakan.Biasanya jika sudah begini, dia suka sekali mengatakan hal-hal romantis berbau-bau manis. Jadi, aku harus dobel waspada. Terlebih karena Tasya tidak disini menamaniku. Jadi

  • The Gray Silhouette of Love   15. TEASING & FLATTERING

    "...Semoga kata cinta itu bukan sebatas cara untuk menghiburku... "~ Aru ~Aku mendengar Ara mengeluh kesakitan dari dalam kamarnya. Sebelumnya, aku lebih dulu mendengar seperti ada suara benda terjatuh, sebab itulah aku mengetuk pintunya dua kali dengan sigap."Beb, kau sudah bangun?""Yah""Aku masuk boleh?""OH NO. DON'T!" sahutnya cepat."Kau baik-baik sajakan?""Ya, aku baik" suaranya terdengar tidak sepenuhnya berfokus padaku. Dia sepertinya juga sibuk dengan hal lain."Apa kau terjatuh?""Aoouucchhh. SHOOTTT. AHHHGG!" Ara terdengar mengerang kesakitan."Kau kenapa?""Ahhh, tidak apa-apa""Aku masuk klo begitu?""DON'T ARU! JUST STAY AWAY FROM MY DOOR!" perintahnya dengan galak."Is everything alright?""Yeah..., yeah... everything is fine. I am fine too. DON't worry!""Okay, if you say so" kataku hendak pergi, namun t

  • The Gray Silhouette of Love   16. SWEET TALK

    "...Cinta bisa melumat dalam kebutaan logika, menghalalkan segala cara... "~ Ara ~Aru menjadi begitu sangat perhatian padaku, sebab tanganku yang masih belum sembuh sepenuhnya. Meskipun biasanya dia juga perhatian tapi kali ini usaha dan perhatiannya terbilang lebih ekstra. Dia benar-benar mengurus dan menjagaku dengan baik.Dimulai dari memperhatikan makanku. Dia kadang masak dan kadang juga beli, kalau sedang malas memasak. Lalu mengurus baju-bajuku, mengurus kebersihan rumah, dan bahkan dia masih menyempatkan memijat kepalaku saat aku mulai mengeluh lelah dan pusing karena merasa stres dengan pekerjaan kantor yang melelahkan dan jadi menumpuk saat aku ambil cutiku selama tiga hari kemarin.Aku sudah masuk kerja lagi sejak dua hari lalu. Dan Aru masih saja menjagaku dengan mengantar-jemputku. Dia bilang jika aku naik bus, bisa saja tanganku tersenggol orang-orang secara tidak sengaja dan justru itu akan membuat proses penyembuhanku t

Latest chapter

  • The Gray Silhouette of Love   131. CLOSURE

    ~ Ara ~ . . . ... Sepasang sesal ... Menepikanmu yang kurasa sanggupMeniadakanmu yang kurasa mampu Tapi bayangmu tak pernah jauh dari heningkuDan seluruh heningku tak pernah sepi darimu Jangan menyerah Karena kau masih memikatkuDan hatiku masih terpaut dekat denganmuSekalipun kau tak tahu itu benarSekalipun tak ku ucapkan dengan benar Kau tahu aku hanya berlagakKau tahu aku selalu malu berbicara cintaJadi bisakah sekali lagi kau menunggukuKuharap hatimu tak berubah padaku Sekalipun kini hanya berat yang tertinggal Dan benteng kuatku telah menemui lapukan terlemahnya berupa sesal. . . - Guilty on tuesdays - " Lyn Wen " . . I hope one day you'll come backAnd at least say hiWipe off the tears on my faceAnd give us a try, Cause I can tellYou're done with this leaving hell yeah...I can tellYou're done with what I do To keep me away from youTo keep me away from you, Every good moment has passedYou're still not hereCrying alone in my car seems to famil

  • The Gray Silhouette of Love   130. AKHIR KISAH

    "... Aku tak perlu berkorban lagi untukmu, karena kau telah bahagia ..." ~ Aru ~ . . Pernah aku terpenjara dalam jerat cinta, yang membawa arusku jadi seru dan semu, tapi aku jatuh juga dari ketinggian mencinta kedalam ulu hara, dalam perangkapnya kasih menjadi siksa. Karena itu, setelah badai tikai itu, aku memilih menutup diri. Memberinya kemerdekaan dalam hilangku. Dan kutangani sisa luka, konsekuensi dari berani mencintainya, sendiri. Tak kubiarkan orang tahu atas luka patah hatiku. Kusembunyikan kepatahan itu dari sekelilingku. Karena aku tak ingin membebankan perasaan luka yang kuterima pada orang lain, dan itulah kebijakanku. Meski itu tak mudah, aku berhasil membuatnya terlihat begitu. Serupa seperti tak berlinang air mata. Serupa hatiku tak retak karena terluka. Padahal diam-diam akupun menangis dalam sembunyiku. Di kamar mandi, atau dibilik kamar redup lampu. Lantas pura-pura tidur saat ada yang mendekat. Sebab aku tak punya alasan benar, menunjukkan pedihku pada mere

  • The Gray Silhouette of Love   129. PILIHAN vs TAKDIR

    "... Biarkan hatimu menuntun maunya, tapi ijinkan takdir yang memutuskan jawabnya ... " ~ Ara ~ . . "Ara, aku bertemu dia. Kami bicara. Tentu aku melihat apa yang tak bisa kau lihat darinya, Ra" "ARU TAK BAIK, RA." "TIDAK. Dia harus baik-baik saja. Harus!" "Yah, tampaknya memang begitu" "Tampaknya?" "Mau menggeser sedikit saja persepsimu akan kebencian Aru padamu itu?" "Tak yakin!" "Bagaimana jika kepergiannya itu bukanlah atas dasar kebenciannnya? Mungkin saja itu sesuatu yang lain" "TIDAK. Itu harus benci. HARUS!" "Dan bagaimana jika yang kau lihat benci itu, mungkin, sebenarnya hanya bentuk lain dari luka? Mungkin itupun bentuk dari defensif Aru dalam melindungi hatinya. Bukan benci" "Kenapa begitu?" "Aru bisa saja menjadi brengsek waktu itu. Dia bisa merusak pernikahanmu sebelum takdir melakukannya. Tapi alih-alih begitu, dia malah memilih mundur. Menarik semua kedekatannya darimu tanpa menciptakan kegaduhan, Ra. Jadi Apa tindakan itu mencerminkan kebencian?" Aku m

  • The Gray Silhouette of Love   128. FATE

    "... Takdir memaksa kita mengerti dan menerima keadaan tak baik kita, meski kita tak ingin... " ~ Ara ~ . . - THE WEDDING - Aku baru selesai dirias dan Tasya masuk. "Woooh.. who's this gurl? So gorgeous!" "Thank you" Aku senang menerima pujian itu. Meski hatiku juga merasakan getir gelisah yang lain. "Bagaimana rasanya jadi mempelai?" "Nervous, I guess?" "Kurasa akupun akan begitu saat diposisiimu. Wajar, Ra. Itu gerogi yang baik" "Kuharap begitu. Tapi lebih dari itu. Aku sangat bahagia. Akhhirnya Sya... Akhirnya!" "Umh, I'm so happy for you too" Sudut mata kami mengeluarkan embun haru. Tasya lalu memelukku. "Okay-okay, ini hari bahagiamu dan aku tak ingin riasanmu rusak karena kebahagiaan ini" Kami menghapusnya. "U

  • The Gray Silhouette of Love   127. RUMPANG

    "... Kau mungkin bahagia, tapi benarkah itu kebahagian yang ingin kau jalani ... "~ Ara ~.."Tasya?""Surprise!"Dia memelukku."Katamu besok?""Tidak jadi. Aku mempercepat segalanya""Masuklah!""So, how's your life Ara?""Seperti yang bisa kau lihat. Baik!""Kau menjawab persis seperti seseorang" gumamnya, "Kau sedang sibuk?""Tidak""Apa yang akan kita lakukan hari ini?""No shopping, karena kau pasti masih jetlag. And I'm not about going anywhere. Jadi kurasa kita hanya perlu disini saja""Good girl. Kau sangat memahamiku!""O-ya, kau jadi ketempat Zein?""Ya""Dia mengusirmu?""Tidak. Dia berubah menyenangkan""Uh, impresif. Kalian membicarakanku?""Sedikit. Oh, iya, kau mau minum apa?""Tak perlu repot. Aku bukan tamu istimewa""Aku k

  • The Gray Silhouette of Love   126. SELESAI

    "... Cinta itu telah berakhir ..."~ Aru ~.."Berjuang lebih keras, Aru!""Kau kira kenapa aku bertahan dalam sengsara itu jika bukan untuk berjuang?""Sudah Tasya! Aku mencoba segala yang kubisa. Dari memprovokasi cemburunya, memperbaiki emosiku, hingga bersikap manis padanya untuk mendapatkan lagi hatinya. Tapi Arnold yang selalu menang. Kau hanya tak tahu usahaku itu!"Dia termenung."Aku berupaya hingga tak punya cara lain lagi selain menyudahi keegoisanku untuk memilikinya seorang diri.""Huhf..." helanya."Aku pasti jadi psycho jika diposisimu. Kau harusnya gunakan emosi kesalmu itu untuk memukuli seseorang. Jangan diam saja dan malah lari!"Aku terhibur mendengarnya.Apa dia tak tahu aku memukul Ara waktu itu?"Kau pernah punya pikiran jahat? Seperti psycho?""Mungkin""Sungguh? SESAIKO APA?""Mungkin karen

  • The Gray Silhouette of Love   125. PSYCHO

    "... Rasanya aku ingin membunuhnya saat melihatnya pamer bahagia, sedang aku menahan nyilu dan cemburu ..." ~ Aru ~ . . Aku terdampar dalam sebuah kemegahan asing dalam duniaku. Tapi ini bukan ilusi. Aku duduk merenung, menikmati nyaman yang belum pernah kunikmati begini sebelumnya. Membahagiakan. Aku menghirup aroma cappucinoku, sebelum mengecap bagaimana rasanya. Dan benar rasanya istimewa, seperti harganya yang bisa membuat dilema kepala orang biasa. Tapi disinilah aku kini, mengagumi soreku yang biasanya tak selalu indah. Tapi kini berubah begitu menawan dalam sekedip. Aku menyesap lagi gelas kopiku, sambil menunggu dengan santai seseorang yang telah membuat janji temu denganku. Dudukku mulai menyila, tapi bosan masih jauh dari pikiranku. Meskipun kini aku terkurung di lantai 122, diketinggian ratusan meter, dalam atmosfer megah restauran kelas dunia, di Burj Khalifa.

  • The Gray Silhouette of Love   124. JALAN KELUAR

    "... Itu pilihan, ingin menjadikannya ujian dalam cinta atau takdir dalam cintamu... "~ Ara ~ . . Kenapa aku sendiri masih terus ragu dengan apa yang Zein tuturkan barusan. "Ara, kau masih mencintainya, kan?" "Entah Zein!" "Apa kau tahu, ragu adalah bagian dari iya yang belum disetujui lewat kata""Yang kutahu, aku tidak kesini untuk membahas hal seperti itu" "Benarkah? Apa kau pikir hanya dengan modus mengembalikan ini, aku lantas percaya? Tidak Ara. Aku tak sebodoh itu!""Kau terlalu berlebihan Zein""Menyangkalnya membuat hatimu lebih baik?""Zein, Aru membenciku!""Maksudku dia masih membenciku, kan?" aku mencari defensif lain."Ya, benar. Dia membencimu hingga tak ingin lagi melihatmu. Hingga ingin menguburmu. Hingga ingin menghilang darimu. Dan itu benar, dia membencimu"Hatiku terluka mende

  • The Gray Silhouette of Love   123. CLARITY

    "... Mengapa orang lain bisa melihat cintaku dengan jelas, tapi aku tidak ... "~ Ara ~ . . Ada banyak hal yang ingin kusampaikan saat berada dalam masa perenungan lalu. Karena kehilangan Aru membuatku tak seimbangan. Tapi setiap kali menatap wajah penuh lukanya, akupun kehilangan cara untuk membela diri dari kekacauan yang kubuat sendiri. Kalimatku lenyap, bibirku terbungkam. Aku tak bisa menyanggah kalimat penuh lukanya karenaku. Dan karena itu, yang terlintas hanya perasaan sesalku, jadi alih-alih membela diri, aku lebih ingin meminta maaf.Tapi Aru selalu tak ingin mendengarnya. Dia tak ingin mendengarnya, seberapapun aku merasa bersalah padanya.Tapi menyumpahiku gagal menikah adalah hal yang paling tak bisa kuterima. Dan itu sangat melukai hati terdalamku.Begitulah aku menyerah pada akhirnya. Karena mungkin dengan membiarkannya pergi, itu menghinda

DMCA.com Protection Status