~ Aru ~
Seperti biasa aku berakhir ditempat sahabatku, Zein. Aku merasa bersyukur memiliki teman sepertinya. Karen dia selalu berlapang hati membantuku, mendengarkan keluh resahku dan menjadi teman berbincang yang sengit karena biasanya pendapat dan pandangan kita berbeda. Aku juga bersyukur karena dia mau menerimaku, menampungku ditempatnya saat aku dan Ara sedang dalam kondisi hubungan yang tidak baik seperti ini.Aku sudah berada disini selama 3 hari terhitung sejak Ara lebih mementingkan urusan pekerjaannya daripada aku. Aku yang kesal lantas melarikan diri kesini. Meskipun begitu, aku baru saja menyelesaikan curhatanku padanya sejak 15 menit yang lalu, maklum kemarin-kemarin dia masih sibuk dengan urusan kerjaannya dan sekarang dia sedang luang. Momen yang tepat untuk curhat dan bertukar pandangan.
"So, this is your final ending huh? Or it is just another break time again?" Zein menanyakan kejelasan hubunganku dengan Ara.
"Don't know. Aku ..., hanya merasa buntu berada dipersimpangan jalan ini" jawabku yang masih bimbang.
"Cause still, you're not too sure about to break up with her" Zein menegaskan kebimbangan ku,"Kau benar. I just still love her"
Zein menggelengkan kepalanya, dan tersenyum dengan remeh menanggapi jawababku. Menyangka, mengapa aku jadi begitu bodoh seperti ini, mungkin.
"You know what? Semua yang perlu kau lakukan hanya menerima ini semua, jika inilah akhir dari kisah kalian. This is the end, and... mulailah dengan lembaran baru dengan orang baru. Dan kau akan merasa lebih baik. Trust me, broh!"
"Ya kau benar, mungkin ini gambaran dari babak akhir kisah cinta ini. Tapi ini belum berakhir sepenuhnya, sob. Aku hanya tidak menduga jika akan melihat akhir yang setragis ini. Seperti yang kau tahu bukan, hubunganku dengan Ara tidak sedang dalam masalah. Kita baik-baik saja..."
"Tapi kini bermasalah, dude!" potongnya
"Yah, dan itulah yang membuat ini lebih menyakitkan...," tuturku merenung mencari perumpamaan yang baik,
"Ini lebih menyakitkan karena hubungan yang kau anggap baik-baik saja ternyata diserang hama, dan tiba-tiba semuanya jadi layu dan sekarat. Lalu kau tidak tahu harus memulai perbaikan darimana. Itu menyakitkan"
"Ya, aku paham itu. Karna itulah kau harus mencabut tanamanmu yang layu dan terserang hama itu. Lantas menanam lagi dengan bibit yang baru. Benar bukan?"
Kini aku yang tersenyum dengan remehnya. Zein tidak merasakan apa yang ku rasakan, jadi wajarlah jika dia mengatakan hal-hal seperti itu dengan mudahnya tanpa mempertimbangkan rasa. Itu karena dia tak memahami sifat cinta dengan baik. Dia hanya menggunakan logikanya terlalu baik.
"Dan sekalipun ucapanku benar, kurasa kau masih tidak mau mendengarkan ku, bukan?" tanyanya menerawang,
Aku menaikkan pundak, dan selebihnya hanya diam saja.
"Memang apa yang membuatmu masih ingin mempertahankannya, hah? Kalian tuh ngak bisa bersama. Orang tua Ara bahkan sudah jelas-jelas memberikan dukungannya pada siapa? Itu bukan kau, dude! Lalu Ara? Kau bilang sendiri klo dia juga belakang ini jadi makin abai dengan eksistensimu. Jadi apa yang harus dipertahankan lagi, Broh?" tanyanya menekankan agar aku segera meninggalkan Ara tanpa pikir panjang.
"Love!" jawabku cepat dan tegas,
"Jika itu masih ada?!" sahut Zein tak mau kalah cepat dan tegas menjawabku, "Bagaimana klo ternyata cinta yang berusaha kau pertahankan hanya ada dalam dirimu saja? Tapi dia tidak?!" katanya kritis dan ketus.
Aku terdiam sejenak merenungi ucapan Zein yang mungkin ada benarnya juga.
"I knew you. Kau tidak sebodoh ini dulu" bujuknya mencoba membukakan mata gelapku.
"So, maksudmu, love changed me?"
"A lot, bro. A lot!"
"Mungkin begitulah sifat asli dari cinta. Membutakan!"
"Ya, kurasa memang begitu. Cinta membutakan mata dan pikiranmu jadi tidak rasional"
"Might be it is just sicklove feeling, bro!"
"Oh, it is definitely just sh*t love" kesalnya, melihatku tak bisa diberitahu,
"Tapi pertanyaanku cuma satu saja. Apa kau tidak lelah menjalani ini semua? Terus terang, aku saja merasa kesal dan lelah klo harus mendengar ceritamu yang seperti itu. Gemeshhh rasanya pengen mukul biar kamu sadar, kau dan dia itu ..., cerita kalian hanyalah cerita fiktif yang terjalin dari imaginasi belaka. Seberapa besar kau mencintainya dia tak akan pernah jadi milikmu secara utuh. Jadi apa kau tidak lelah terus-terusan membohongi dirimu sendiri seperti ini? Jika kalian masih baik-baik saja. Kau tidak merasa lelah?"
"Lelah? Ini tidak terasa melelahkan untukku saat ini. Hanya saja..., sedikit demi sedikit semua keadaan ini terus saja melukaiku"
"Lantas apa lagi yang kau tunggu?"
"Leave her, maksudmu?"
"Yeah, apa lagi memang? No other reason!"
"But I have my own personal reason why, by the way" tekanku padanya,
"Dan ku harap kau tidak menilainya buruk hanya karena dia pernah sekali hendak pergi meninggalkan ku demi pria lain. Dia tetap Ara yang baik, bro"
"Damn it! Siaolah. My bestfriend so damn freaking insane right now hanya karena dia masih belajar merasakan cinta" sinisnya mengejek, "Aku tekankan padamu, bro. Ini bukan cinta, ini namanya kebodohan dalam mencintai!" tegasnya memberitahuku,
"Kau terlalu dibuat mabuk cinta olehnya hingga kau sendiri tidak sadar, jika kau telah diperdaya olehnya" belanya, masih tak ingin kalah dalam beradu pendapat,
"Lagipula, sejak kapan perselingkuhan dipandang bukan hal buruk? Dodol! Wake up your self, bro!" Zein memaki ku denga kesalnya,
"Gendeng sih, klo kamu masih memintaku untuk tidak menilainya buruk hanya karena hal itu. Justru bagiku, karena hal itulah penilaianku tentangnya jadi jatuh" tambahnya.
"Kau tidak sepenuhnya salah. Penilaian seseorang berubah lantaran ada sebab dan akibat yang mempengaruhinya. Hanya saja, mungkin kau juga harus memahami satu hal ini dengan jelas, bro. Jika bagaimanapun juga bentuk cinta tetaplah cinta dalam segala presisi dan wujud apapun. Hanya cinta!"
Zein menyeringai, karena merasa tak sependapat. Dia pasti merasa jika kini aku jadi bebal dan berpikiran bodoh karena cinta ini masih memperdayaku.
"My point is .... Aku punya alasan sendiri kenapa aku tetap bersikap seperti ini padanya dan mengapa aku berusaha bertahan dengannya sekali lagi" jelasku pada Zein karena dia tampak masih tidak bisa menerima cara pandangku.
"SIAOLAH! SIAOLAH!" ujarnya datar tapi kontras menekan pada rasa kesalnya,
"Apa memang alasan yang mendasari kau hingga bersikap bodoh seperti ini?"
Aku mengamati Zein sejenak. Menimbang harus membaginya ataukah menyimpannya sendiri seperti selama ini. Aku mengambil nafas pendek dan membuangnya cepat.
"Baiklah" aku memutuskan untuk berbagi alasan dengannya,
"Itu karena, bukankah cinta harusnya membuat seseorang berjuang lebih keras dan gigih lagi dalam bertahan memperjuangkan apa yang menjadi cintanya? Bukannya malah melepas serah dengan mudahnya dan berkata dengan entengnya, aku mengalah"
"SHOOK! Temanku Aru sepertinya benar-benar SUDAH HAMPIR GILA karena terjerat dalam pelukan hangat cinta yang membutakan mata dan membenamkan akal sehatnya" keluhnya sekali lagi pada angin,
"Kau sungguh akan mempercayakan semua cintamu itu untuk Ara? Menurut mu apakah dia orang yang tepat untuk menerima semua cintamu itu?" Zein menyudutkaku untuk kembali pada realita yang ada padaku saat ini,
"Apa menurutmu dialah orang yang pantas menerima semua cinta dan harapan yang kau miliki? Apa menurut mu, dia pantas menerima semua kebesaran cinta darimu itu?" sekali lagi, Zein bertanya padaku dengan ketat dan mendalam. Membuatku berat menyahut jawab dengan cepat dan tepat.
Aku sejenak merasa ragu dengan pertanyaan itu. meskipun aku tahu, aku tak perlu meragukan cintaku untuk Ara sedikitpun tapi pendapat Zein juga benar. Apa Ara bisa mencintaiku seperti aku mencintainya? Apa cintanya itu sebesar milikku untuknya?
Aku seperti terjebak dalam labirin kebuntuan. Aku benar-benar tak punya keberanian untuk menanggapi tanya itu.
Kenapa mempertanyakan inipun rasanya ikut serta dalam menyumbang sakit dan nyeri didalam dadaku? Membuatku mulai merasa takut jika ternyata Ara tidak mencintaiku sebanyak itu. Aku jadi takut jika saja, ternyata itulah alasan lain yang ikut mendorongnya menerima lamaran dari Ar-no, bukan karena itu sekedar keinginan orang tuanya, belaka.
Aku mengangkat bahuku kesekian kalinya karena aku tidak yakin harus memberikan jawaban seperti apa pada tanya berat sahabatku itu. Akupun sejatinya tidak tahu. Akupun juga tak bisa menimbangnya dengan kepastian. Semua terasa masih remang bagiku.
Aku masih sangat yakin jika Ara masih menyukaiku, tapi mengingat akan perubahannya padaku juga membuatku ragu menilai benar perasaan itu padaku.
"Jika kau merasa tidak yakin. Harusnya kau menyerah, bukan menimbang dua kali pada pilihan yang akan kau buat Ru. Atau kau sendiri yang akan terluka karena terlalu berani bertaruh dengan resiko yang ada didepanmu saat ini"
"Setiap keputusan pasti selalu memiliki landasan alasan terkuatnya tersendiri, dan itu pasti telah melewati siklus pertimbangan yang tidak asal, bro. Aku bahkan percaya semua yang terjadi padaku kini, tidak hanya berasal dari salah satu kesalahan kami saja. Baik aku dan Ara, sebelumnya pasti punya pengaruh didalamnya, hingga kesalahan ini jadi bercelah dan punya peluang untuk memisahkan kita. Itu pasti ada dua pengaruh andil kejadian yang saling mempengaruhi sifat kami satu sama lain. Mungkin ini bukan hanya sekedar salahnya"
"Lalu apa kesalahan mu? Hingga Ara dengan mudah berusaha menggantikan posisimu dari tahta hatinya?"
Aku kembali meninggikan bahu. Tidak yakin dengan jawabku.
"Mungkin saja itu karena .... Pertama. Kurasa apa yang dilakukan Ara padaku juga berasal dari diriku sendiri juga ...,"
Zein menunggu kalimat sambungan ku,
"Mungkin itu balasan untukku, karena dulu aku menjalani hubungan ini dengan Ara saat aku belum sepenuhnya bisa mengakhiri perasaanku dari Quin. Mungkin itu balasan untukku karena waktu itu aku masih sangat menyukai Quin. Meskipun aku sudah berhenti mengharapkan Quin dalam membalas cintaku, tapi aku masih menyimpan perasaan itu dalam hatiku sendiri"
"Hold up! Maksudmu, kau diam-diam juga ....? Selama ini kau juga selingkuh dari Ara. Begitukah maksud mu? Oh, wauw .... Hei, aku sungguh tidak paham dengan ini semua. Oh, Tuhan!" Zein merasa terkejut dengan berita itu,
"Heh, aku bilang waktu itu. Bukan selama ini!" balasku menekankan,
"Itu terjadi hanya sekitar sebulanan atau dua bulanan mungkin. Waktu awal-awal hubunganku bersama Ara. Aku hanya belum bisa move on sepenuhnya"
"Wooaahh. Unbelievable, Aru. Jadi Ara hanyalah pelarian hatimu dari Quin?"
"Bukan juga! Oh, ayolah. Sebagai sahabatku kau pasti tahu maksudku dengn baik, termasuk juga alasan pastiku"
"Aku bukan Quin ataupun malaikat yang bisa mengertimu tanpa kau jelaskan maksudmu sebenarnya dengan benar dan gamblang Aru. Aku tidak tahu!"
"Waktu itu..., aku hanya masih sebatas mengagumi Quin sambil berusaha mengubur perasaanku padanya lebih tepatnya. Bukan selingkuh! Kuharap kau tahu bedanya selingkuh dengan mengagumi, dengan benar!"
"Haissh Aru. Kau menganggap itu bukan selingkuh karena Quin mengabaikan perasaanmu, bukan?"
"Ya, mungkin juga begitu. Mungkin juga tidak. Entahlah"
"Kenapa kau merasa itu bukan selingkuh?"
"Karena dia tidak pernah menanggapi perasaanku itu sebagai perasaan orang yang menginginkan cinta darinya. Dia hanya selalu mengira jika pria yang selalu berada disampingnya hanya memiliki perasaan tulus seorang sahabat dan tidak pernah lebih dari itu. Man, aku mulai bertumbuh dewasa, dan begitu pula dengan perasaanku padanya. Tapi dia tak bisa menilai perasaan ini sebagai perasaan pria dewasa. Jadi jelas ini bukan selingkuh" jelasku padanya,
"Dan lagi pula kami tak pernah melakukan hal buruk seperti yang kau tuduhkan dalam otakmu, pastinya!"
"Apa? Apa yang ada dalam otakku memang?"
"PIKIRAN NAKAL"
Zein terbahak mendengarnya.
"Aku tidak melakukan apa-apa dengan Quin sungguh. Jadi jangan menarik kesimpulan itu sebagai perselingkuhan!"
"OKAY-OKAY! Tapi sepertinya aku punya jawaban kenapa dia tak pernah menanggapi perasaanmu itu"
"Kenapa?"
"Ya..., itu karena kau tidak pernah berani menyatakan dengan benar perasaanmu pada Quin, DODOL! Aku heran, kenapa kau jadi penakut membahas perasaan mu yang sesungguhnya didepan Quin?"
"Tidak! Aku tidak pernah takut. Itu karena .... Ahh, sudahlah. Lupakan"
"Klo kau tidak merasa takut..., kalau begitu kutantang kau untuk menyatakan perasaan mu pada Quin sekarang juga. Kau tidak berani, bukan?" Zein bersiap-sedia mengulurkan ponselnya padaku. Aku ragu menerimanya.
"Kau menganggap ku gila tadi, tapi kau sendiri juga gila...!" tekan ku pada permintaan sahabatku,
"Aku tidak lagi memiliki perasaan seperti itu pada Quin saat ini. Harus berapa kali ku katakan padamu jika ini hanya sebatas cinta platonikal. Dan terlebih lagi aku sedang membicarakan waktu itu, bukan waktu sekarang, Zein!"
"Jadi sekarang hanya Ara?"
"Kau sudah tahu jawabnya, bukan? Bahkan tanpa harus ku beritahu. Lalu kenapa masih saja bertanya!"
Dia menggelengkan kepalanya lagi.
"Aru-Aru... Entahlah. Kau sulit dipahami saat jatuh cinta, karena kau jadi bodoh saat mengenalnya. Pikiran kita jadi tidak sepaham dan sepadan"
"Itu karena kau tidak sedang jatuh cinta dan kau juga tidak dalam satu frekuensi dengan getaran perasaanku, makanya sulit. MAKANYA PUNYA PACAR DONG!" ejekku balik, saat melihat celah membalasnya.
"Yah-Yah terserahlah!" kata Zein malas.
"Kau bilang tadi yang pertama? Itu artinya ada alasan berikutnya dong? Yang kedua ada?"
Aku mengangguk.
"Aku memaafkan Ara dan tetap bertahan dengannya, itu karena..."
"KAU LEMAHHH. HAHA...!" sewot Zein, melihat peluang untuk menindasku balik. Tapi aku tidak menyangkal hal itu.
Yah, mungkin aku memang lemah. Mungkin perasaanku pada Ara juga merupakan suatu kelemahan bagiku.
"Karena... Hubunganku dengan Ara waktu itu sedang keruh. Kita banyak bertengkar, memperselisihkan banyak hal. Aku menyalahkannya terus-menerus hanya karena aku tidak bisa mengatasi rasa cemburuku akannya yang berlebihan. Itu membuat suasana diantara kami jadi tidak nyaman"
"Karena Ara pergi dengan pria lain waktu itu, tanpa sepengetahuan mu?"
Aku mengangguk. Membenarkan.
"Ya, Ara pergi dengan orang lain tanpa memberi tahuku. Mereka hanya berdua saja menghabiskan waktu bersama. Dia merahasiakan hal itu di belakangku, membuatku naik pitam mengetahuinya. Dia bilang hanya pergi bersama dan tidak melakukan hal-hal mengerikan yang mungkin ada dalam benakku. Tapi kenapa dia harus merahasiakannya dariku jika mereka hanya berteman?"
"Apa menurutmu jika dia bilang padamu jika dia akan pergi bersama pria lain kau akan mengijinkan? Dan kau tidak akan marah karena itu? Mungkin dia hanya ingin kau tidak marah, karena itu dia menyembunyikan itu darimu"
"LALU KENAPA JUGA DIA HARUS PERGI DENGAN PRIA LAIN SAAT PACARNYA BAHKAN PUNYA WAKTU LUANG UNTUKNYA?"
Zein terdiam dengan gertakan tanyaku.
"Apa menurutmu itu hal kecil dan sepele yang tak perlu dibesar-besarkan? Tidak Zein. Bagiku ini hal serius. Dia melukai kepercayaanku terlebih dahulu"
"Karena itu kau membalasnya dengan tetap menyisakan perasaanmu pada Quin?"
"Mungkin. Mungkinnn..., itu karena aku mulai terusik dengan pendarahan luka yang kurasakan didalam hatiku, karena aku tak bisa meredam kecemburuanku juga. Dan itu membekaskan luka yang tak mudah dibersihkan meski aku berusaha menghapusnya dari kepalaku dan memaafkannya. Tapi ternyata semua noda itu tak bisa bersih sempurna" sesalku dalam mengenang.
Zein masih memperhatikanku. Kali ini dia tak berkomentar dan hanya menunggu ceritaku selesai.
"Dari sana setiap Ara salah, aku lantas terus saja mengungkit-ungkitnya lagi dan terus. Kurasa jiwa Arapun akhirnya terluka dan merasa lelah saat aku terus saja mengungkit-ungkit salahnya itu. Dan untuk melindungi dirinya dari luka olokanku, Ara lebih memilih berontak padaku dengan tidak lagi menjadi gadis baik dan penurut. Darisanalah mulai banyak hal dan pemikiran kami yang terbelah. Pendapat dan pandangan kita tidak lagi sama dan sevisi. Hati kamipun akhirnya dihiasi dengan berbagai perasaan kecewa satu sama lain. Dan untuk menghibur diri dari luka-luka itu, dia...," aku menjeda, menenangkan diri dari ketidak nyamanan kala itu,
"Yah, kurasa dari sanalah semua bermula. Kami jadi sering berdebat, menganggap perbedaan kami yang dulu tidak ada sekat tiba-tiba sering saja jadi penyekat. Kami dekat tapi serasa hati kami saling menjauh dan tidak lagi terhubung dengan baik"
"Aru, make it simple please!"
"Mmm, OK. Mungkin dari celah retak itulah seseorang akhirnya masuk dalam kehidupan Ara dan memberikan kenyamanan yang tidak lagi dia rasakan ada padaku"
"Karena itu dia berpaling darimu dan memilih meninggalkanmu untuk bersama pria lain?"
"Ya, kurang lebihnya begitu"
"Lantas kenapa dia kembali lagi padamu?"
"Apa aku belum cerita bagian itu padamu?"
"Hah Aru, jawab saja tanyaku. Mungkin aku lupa bagian yang itu"
"Dia dicampakkan"
"Sebab itu? OOhhh, Ara!"
"Jangan menertawakaaannya begitu!"
"Yah, ya sorry"
"Jadi setelah break time itu, aku mencoba memahami kesalahanku dan memperbaiki diri lalu memaafkannya juga memaafkan diriku sendiri. Jika itu bukan sepenuhnya salah Ara. Aku punya andil juga akan perubahan dan tindakannya padaku"
"Jadi itu alasannya kau memaafkan dia dan kalian akhirnya kembali bersama. Oke, bisa dimengerti"
Aku tersenyum tipis. Senang akhirnya pikiran kita bisa sejalur lagi.
"Tapi Ru..., kau juga tidak bodoh, bukan? Jika Ara tipe orang yang setia, dia juga ngak akan ngelakuin hal itu lagi, kan? Menyembunyikan rahasia dari mu sekali lagi? Sebesar ini"
Aku terdiam. Keselarasan berakhir.
"Oke, kita lupakan yang sudah berlalu. Tapi bagaiman dengan yang sekarang? Kau akan menyalahkan dirimu juga karena hal ini? Dan sekali lagi mempertahankan dia? Tapi kali ini mereka benar-benar sudah terikat bro. Mereka BER-TU-NA-NGAN!"
"Entahlah. Itu juga yang sedang ku cari tahu jawabnya dalam diriku sendiri juga" aku berhenti sejenak karena merasa sedih itu hadir lagi,
"Aku mengira, kami tidak dalam masa yang buruk seperti waktu dulu. Aku dan dia baik-baik saja kali ini. Kami tidak sedang mengalami gelombang besar, kami tidak sedang dalam pertengkaran. Semua baik-baik saja. Tapi ini tetap juga terjadi. Orang lain terus saja datang ingin mengambilnya dariku"
Aku diam dan Zeinpun ikut diam. Jeda sebentar ini terasa sunyi.
"Kau tidak sakit hati dengannya?"
Zein menghapus lamunanku. Perhatianku kembali padanya lagi. Aku menyeringai lemah."Apa aku tampak baik-baik saja menurutmu? Tidak mungkin, bukan?!" tanyaku balik, tapi Zein hanya mengangkat bahu. Menyerahkan jawabannya padaku.
"Hatiku sakit setiap kali mendengar dan mengingat para keluarga Ara menyukainya, mendukungnya, lalu Ara sendiripun mengakui hal yang sama didepanku. Bagaimana bisa aku tidak merasa sakit? Jika orang yang kau cintai tahu-tahu menyanjung lelaki lain yang menjadi tunangannya. SIALAN!" pekikku mengeluh,
"Bahkan mendengar kata tunanganpun aku masih merasa sakit. Mendengar nama lelaki itu disebut, hatikupun linu. Dan menceritakan ini padamupun sama sakitnya. Belum lagi kalimat yang Ara utarakan dan masih terperangkap dipikiranku, dan seperti tidak bisa keluar dari sana. Kau pikir itu tidak membuat kepalaku pengap? Kau pikir itu tidak menjadikan nafasku kotor begitu, bro? Aku tersiksa dan itu sangat mengganggu! AMAT SANGAT MENGGANGGU MENTAL DAN KEWARASAN KU!"
"Karena itu relakan saja dia. Kau juga berhak bahagia, Ru" kali ini suaranya terdengar sangat lembut dan bersahabat membujukku.
"Entahlah. Ini bukan sesuatu yang bisa dengan mudah diputuskan begitu saja"
"Kau bilang kau sakit dan tersiksa, itulah kenapa kau harus mundur. Bisa jadi itu yang terbaik untuk kalian, iyakan?"
"Entahlah. Aku juga ragu menghadapi perasaanku sendiri. Separuh perasaanku memang terluka, tapi separuhnya lagi masih meminta untuk tetap bertahan dalam mencintainya"
"Huuft... Cinta memang tidak mudah dimengerti maunya kemana" tambahku,
"Bukannya mudah? Cinta maunya cuman satu. Satu paket. Ya bahagia, ya setia" Zein menyimpulkan.
Aku malah terkekeh dengan kesimpulan itu. Karena dia menyimpulkan dengan nada jenaka sambil mencandaiku.
"Memang apa yang membuatmu begitu mencintainya, hah? Karena Ara cantik? Karena dia kaya? Atau karena dia pintar? Jangan-jangan kau mencintinya karena dia tidak setia lagi. Makanya berat klo alasanmu ternyata yang ini"
Aku mengangkat alis dan bahu bersamaan. Tidak tahu harus menjawab apa. Bingung juga. Tapi jelas itu bukan karena yang terakhir, tidak setia.
"Mungkin" jadi aku hanya menjawab singkat sambil melamun.
"Jadi kau menyukai Ara karena dia tukang selingkuh begitu maksudmu?"
Aku tersadar.
"Bukanlah. Sembarangan aja kau klo ngomong. Mungkin karena semua itu kecuali yang terakhir. Mungkin karena dia baik hati"
Zein menggeleng, tidak sepakat.
"Mungkin karena dia banyak hati" dia mengoreksi kalimatku, "Oke baiklah. Jika hanya karena itu alasanmu. Lalu Quin? Bagaimana dengan dia?"
"Dia...?" aku terkejut dengan tanyanya.
Seharusnya aku tidak terlalu kaget jika Zein membawa nama itu kembali dalam pembicaraan ini. Dia memang selalu membawanya belakangan ini. Entah kenapa kali ini dia begitu sangat bersemangat mengomporiku.
"Dia baik"
"CRAPP! Hey, you know exactly what I meant, right?!" Zein berubah sangar.
Aku tentu saja tahu yang dia maksud. Aku hanya ingin menghindar dari pertanyaan itu. Tapi sepertinya sekarang tidak bisa lagi.
"Maksudku jika karena tiga hal itu alasanmu mencintai Ara, harusnya kau juga bisa mencintai Quin lagi. Karena Quin juga memenuhi klasifikasi itu. Kau juga tahu itu bukan? Bahkan diaaa...."
"Why you always drag me in this position? Kau tak perlu membawanya dalam masalah ini. How many time should I tell you, bruh? WE ARE JUST FRIEND. Only friend, nothing more. Okay!" kesalku, memangkas kalimat Zein. Sekaligus berusaha membungkam mulut bawelnya.
"Tapi kalian serasi!" sialnya dia tak merasa takut dan jadi bungkam,
"Dari kacamataku memandang, Quin juga pasti suka denganmu"
"Jika dia tak menyukaiku tak mungkin dia mau jadi temanku, dodol!" serapahku kesal. Mulai lelah menanggapinya.
"Maksudku, Quin bahkan punya poin plus dimatamukan? Kalian punya dunia dan frekuensi yang sama, yang tidak dimiliki Ara, bahkan juga aku. Jadi ku kira Quin lebih cocok untukmu"
"Terimakasih. Tapi harusnya kau katakan itu bertahun-tahun yang lalu. Bukannya sekarang"
"Kalau bertahun-tahun yang lalu ku katakan, kita bakalan jadi saingan dong"
"Biar saingan kamu meningkat. Tambah satu lagi. Tunggu-tunggu.... Itu artinya kau mengawasiku juga, hah?"
"Ya tentu. Aku dan Malik masih terus mengawasi kalian berdua diam-diam juga terang-terangan saat ini"
"Bukannya kalian sudah menyerah?"
"Memang. Memang kami sudah menyerah dari dulu kala. Quin tidak pernah melirik kami berdua sebagai.. Apa katamu tadi? Ah, pria dewasa. Baginya kami hanyalah teman"
Aku terkekeh senang mendengarnya.
"Nah itu kau tahu! That what I told you before, though. Dia tidak menganggap kita semua memiliki perasaan cinta padanya, sekalipun kita sudah menunjukkan maksud hati kita dengan sangat jelas. Itu masalahnya"
"Atau mungkin Quin hanya pura-pura?" Zein mengungkapkan pendapatnya.
"Pura-pura? Maksudmu?"
"Coba kau pikir dengan baik. Tidak mungkin orang secerdas Quin tidak tahu, bukan? Kita sudah terlalu ketara dan menunjukkan maksud kitakan?"
"Ahh, kau mau membawaku mengenang masa-masa dulu lagi, bukan?" aku tidak ingin dia menyeretku dalam imaginasi dan harapan fiksi lainnya tentang Quin.
"Lucu bukan? Kita bertiga menyukai satu wanita yang sama. Dan sama-sama tak pernah berani mengungkapkan perasaannya secara jujur kalau teman-teman disampingnya sudah menumbuhkan benih berbeda dari rasa pertemanannya"
Aku tersenyum lagi dalam ingatan itu.
"Tapi karena rasa parno dan takut akan kehilangan teman lebih besar dari kepentingan perasaan kita, kita lantas jadi diam dan menikmati cinta dalam ruang pribadi kita masing-masing tanpa banyak menyuara" tambahku ikut berpendapat.
Zein membuatku mengenang masa sekolah dulu. Masa dimana aku masih bisa menikmati banyak waktu luangku untuk bersenang-senang dengan teman-teman seusiaku. Hang out sana hang out sini tanpa ragu dan tanpa beban. Masa dimana semua kebutuhan ku masih menjadi tanggung jawab orang tuaku. Dan aku tak perlu memikirkan soal pekerjaan dan banting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup.
"Tapi sejak kau pindah, band juga rasanya berbeda. Quin juga berbeda"
"Hei, tentu saja berbeda. Karena kepergianku kalian jadi lebih intens mendekati Quin kan? Juga lebih leluasa"
"Itu benar juga. Oh ya, kau pernah bilang mau menyatakannyakan cinta pada Quin. Jadi kenapa waktu itu tidak jadi? Kau tidak pernah bercerita padaku maupun Malik soal itu. Kenapa tidak jadi? Kau tidak punya nyali jugakan seperti kami? Atau sebenarnya kau ini sudah ditolak olehnya? Makanya kau tidak pernah mau membahas ini dan terus berujar, 'kita hanya teman biasa'. Yang mana sebenarnya yang benar?"
"Oh my goodness, kenapa kita jadi ngomongin Quin, sih?"
"Karena ngomongin Ara membuat betè juga bikin kamu sakit dan patah hati lebih dan lebih. Dan itu tidak baik untukmu, Gamaru!"
"Tetap saja kau tidak boleh membenci Ara hanya karena keluhan-keluhanku setap hari akannya. Jadi jangan pernah mendahului ku dalam membencinya. Jika aku orang pertama yang mencintainya, maka aku jugalah orang pertama yang berhak membencinya. Kau tidak berhak mendahului ku. Ingat itu dengan baik, bro!"
"Yah, terserah kau sajalah"
"Lalu apa dengan membicarakan Quin baik untukku?" aku penasaran.
"Tentu saja" Zein mengawasiku,
"Lihatlah! Kau kini bisa tersenyum hanya karena aku menyinggung tentang Quin sedikit saja. Kau tidak merasakannya, hah? Klo tubuhmu lebih bersemangat saat membicarakannya. Matamu lebih berbinar-binar saat disinggung tentangnya, dan kurasa bahkan hatimu pun sebenarnya berbunga-bunga mendengar namanya, iyaka?"
"Damn Zein!" aku mengataannya sambil tertawa sedikit,
"Kenapa aku punya teman sesinting dirimu yah? Jangan sampai Ara mendengar pernyataan mabukmu ini. Dia bisa berspekulasi berbeda. Dan ini bisa membuatnya sakit"
"Bagus jika dia bisa merasakan sakit yang sama seperti yang kau rasakan"
"Hei, jangan jahat begitu padanya"
"HEI, jangan terus membelanya!" balasya, "Meskipun menurutmu aku sinting dan bahkan ucapan warasku kau anggap mabuk, tapi aku tetap superhero mu dari Ara, bukan? Jangan lupakan itu"
"SIALAN KAU!" Aku terbahak mendengarnya berceloteh begitu.
"Jadi apa rencana mu? Kau akan kembali pada Ara? Kau sudah tiga hari menghindarinya, dan dia bahkan tidak mencarimu. Kau yakin ingin terus bertahan dengannya?"
"Aku masih belum tahu. Tapi perlu kau tahu, Ara selalu mencariku saat aku jauh darinya, kau hanya tidak tahu!" belaku pada Ara, "Sebenarnya kemarin dia kemari, hanya aku tidak membukakan pintu"
"Tumben?" dia terkejut mendengarku.
"Aku lagi di kamar mandi, tapi saat aku buka pintu sudah tidak ada siapa-siapa. Hanya ada memo darinya"
"Jika Ara kemari, tidak mungkin dia menyerah begitu saja dalam hitungan menit, bukan? Seperti bukan Ara saja"
"Aku di kamar mandi hampir sejam"
"BUSYET DEH!! Ngapain bro, di kamar mandi selama itu? Kau tida...."
"Heh... Jangan negatif thinking kau. Aku hanya sembelit. Terjebak selama 45 menit karena sembelit, jadi tidak bisa keluar membukakan pintu. Lalu menit selanjutnya untuk mandi"
"Ah, kirain karena kau memang sudah ngak pengen ketemu sama dia lagi. Pengen move on, eh tahunya karena sembelit. Payah-payah-payah!"
Zein sampai terkikik geli mendengarnya."Dasar payah kau. Jika kau tidak terjebak begitu, kurasa kau akan membukakan pintu untuknya bukan?"
Aku tidak tahu. Mungkin.
"Lebih baik kau lupakan dia. Aku sungguh-sungguh dengan penilianku kali ini. Kau jauh lebih baik dengan Quin daripada dengan Ara. Dan Quin jauh lebih baik juga dengan mu daripada dengan kekasihnya yang sekarang"
"Maksudmu?"
"Aku mendukung kalian. Kenapa kau tak paham juga, sih?!"
"Kau tidak bertindak jauh dalam hubungan mereka bukan? Bagaimana kau bisa menilai Quin tidak baik dengan kekasihnya?? Ohh, sh*t. Kau meretas akun mereka, hah? Jangan begitu bro, Quin sungguh akan membencimu seumur hidup jika dia tahu kau melakukan itu"
"Tidak. Itu hanya penilaian ku saja"
"Lalu apa itu artinya aku harus jadi jahat karena aku dijahati? Aku harus mencuri Quin dari kekasihnya, begitu?"
"Butuh sedikit keberanian dan kenekatan untuk melakukan itu. Kau berani?"
"TIDAK?!" tanya Zein menyimpulkan sikap diamku.
Aku tidak mengerti apa yang dia pikirkan dan dia rencanakan. Tapi aku rasa itu bukan ide yang bagus.
"Aru, Ara akan..."
"Tunggu sebentar. Ini dari Tasya"
Aku membalas pesan Tasya dan kembali pada perbincangan kami.
"Kau mau bilang apa tadi?"
"Aku mendukung mu dengan Quin. Kau lebih serasi dengannya. Dia lebih imut dari Ara. Dia lebih sayang padamu, dia bisa membuatmu bahagia. Dan terlebih Quin lebih cantik dari Ara dan kalian tak punya tembok penghalang yang perlu dirobohkan. Ingat itu sebagai poin pertimbangan mu, Aru"
"Kau dan Ara bukanlah jawaban yang benar"
*****"...Kaulah yang mampu mensabotase pikiranku dengan begitu kacaunya... "~ Ara ~Sudah berhari-hari ini Aru tidak pulang. Terakhir kali aku melihatnya ialah saat aku meninggalkannya di rumah seorang diri dengan kondisinya yang lemah dan seharusnya butuh teman, tapi aku tak bisa menemaninya. Mungkin sebab itulah dia marah padaku. Meskipun itu juga hanya dugaanku belaka tapi aku yakin kemarahannya itu karena hal yang kemarin itu.Komunikasi kamipun tidak intens. Berkali-kali aku mengiriminya pesan tertulis kepadanya tapi dia hanya tetap meninggalkan pesan ku dalam read belaka, dan jarang membalas pesan-pesan yang ku kirimkan. Meskipun aku tahu, palingan Aru sedang ada ditempat Zein tapi tetap saja aku cemas dan tidak menentu jika dia jauh. Terlebih lagi ini kepergian terlamanya meninggalkan rumah dalam keadaan kami sedang buruk selama ini dan itu membuatku tidak fokus bekerja, membuatku tidak enak makan, juga tidak nyenyak tidur.
"...Kita tetap saja keras kepala, memilih bersama dalam ketidak mungkinan... "~ Ara ~Aku duduk perlahan karena kini bokongku terasa mulai sakit. Mungkin Karena jatuhku dalam posisi terduduk jadi pantatku yang terasa sakit dan nyilu setelah tangan yang diperban ini.Aru duduk disampingku. Pandangan dan tatapannya tidak biasa dalam menatapku, saat ini. Ada kompleksitas kelembutan, keberanian, pemahaman dan siratan cinta yang meluluhkan batin saat aku menemukan sinaran pancaran matanya itu. Jadi aku berusaha menghindar dari kontak langsung dengan tatapannya. Aku takut terbius olehnya dan jadi lupa diri. Tapi dia malah memintaku untuk melihatnya. Meminta diriku untuk berfokus padanya seorang, seperti ada hal penting yang ingin dia utarakan.Biasanya jika sudah begini, dia suka sekali mengatakan hal-hal romantis berbau-bau manis. Jadi, aku harus dobel waspada. Terlebih karena Tasya tidak disini menamaniku. Jadi
"...Semoga kata cinta itu bukan sebatas cara untuk menghiburku... "~ Aru ~Aku mendengar Ara mengeluh kesakitan dari dalam kamarnya. Sebelumnya, aku lebih dulu mendengar seperti ada suara benda terjatuh, sebab itulah aku mengetuk pintunya dua kali dengan sigap."Beb, kau sudah bangun?""Yah""Aku masuk boleh?""OH NO. DON'T!" sahutnya cepat."Kau baik-baik sajakan?""Ya, aku baik" suaranya terdengar tidak sepenuhnya berfokus padaku. Dia sepertinya juga sibuk dengan hal lain."Apa kau terjatuh?""Aoouucchhh. SHOOTTT. AHHHGG!" Ara terdengar mengerang kesakitan."Kau kenapa?""Ahhh, tidak apa-apa""Aku masuk klo begitu?""DON'T ARU! JUST STAY AWAY FROM MY DOOR!" perintahnya dengan galak."Is everything alright?""Yeah..., yeah... everything is fine. I am fine too. DON't worry!""Okay, if you say so" kataku hendak pergi, namun t
"...Cinta bisa melumat dalam kebutaan logika, menghalalkan segala cara... "~ Ara ~Aru menjadi begitu sangat perhatian padaku, sebab tanganku yang masih belum sembuh sepenuhnya. Meskipun biasanya dia juga perhatian tapi kali ini usaha dan perhatiannya terbilang lebih ekstra. Dia benar-benar mengurus dan menjagaku dengan baik.Dimulai dari memperhatikan makanku. Dia kadang masak dan kadang juga beli, kalau sedang malas memasak. Lalu mengurus baju-bajuku, mengurus kebersihan rumah, dan bahkan dia masih menyempatkan memijat kepalaku saat aku mulai mengeluh lelah dan pusing karena merasa stres dengan pekerjaan kantor yang melelahkan dan jadi menumpuk saat aku ambil cutiku selama tiga hari kemarin.Aku sudah masuk kerja lagi sejak dua hari lalu. Dan Aru masih saja menjagaku dengan mengantar-jemputku. Dia bilang jika aku naik bus, bisa saja tanganku tersenggol orang-orang secara tidak sengaja dan justru itu akan membuat proses penyembuhanku t
"...Wujud cinta memang kadang sulit dimengerti oleh logika... " ~ Aru ~ "Hei, Ra..." aku menghentikan Ara yang sudah beberapa langkah menjauh, "Kau rapat tidak mainan HP kan?" tanyaku ragu-ragu. "Mmh, yah tentu. Aku akan fokus pada rapat. Kenapa?" "Baguslah klo begitu. Berikan HP mu, biar aku yang bawa" "Buat apa?" katanya menarik raut tenangnya mundur seketika, "Bagaimana klo aku butuh sewaktu-waktu? Untuk menghitung atau mencatat mungkin?" tambahnya mencoba bersikap wajar seperti tak terganggu. Tapi sangat terganggu. Aku mengeluarkan ponselku dari saku. "Bawa punyaku. Tukeran" aku mencoba menghentikan elakannya. Itu membuat dia meragu menyerahkan ponselnya padaku. Seperti permintaan simpelku ini juga merupakan hal yang sulit baginya. Seperti biasanya, dia selalu memandang berat akan permintaan-permintaanku. Namun dia juga tak mampu mengelak, karena takut aku mencurigainya. "Jangan macam-macam, ok
"...Cinta bisa membuat kita patah hati dengan banyak rupa... "~ Ara ~"Sya..." aku kirim pesan itu ke Tasya"Hei say..." balas Tasya, "What is up?" lanjutnya, "Kalian bertengkar lagi?""Ya begitulah""Apa ini berhubungan dengan statusnya? Do you love? Love me? love me not?""Sepertinya begitu""Kenapa lagi sekarang?" tanya Tasya,"Just don't bottle up your feeling, Ara. Kau bisa cerita apapun padaku, kau tahu itukan? I'm here, bebby" dia mencoba memberikan ketenangan padaku, "Want me to call you?" lanjutnya membalas."Please!"Tidak lama kemudian kita sudah tersambung dalam panggilan."Jadi?""Aru ngeselin juga NYEBELIN!""OKAY. Terus?""Terus aku marah, dia lalu pergi. Sudah berjam-jam dan belum juga pulang""Kau menyesal karena telah memarahinya atau sudah merasa merindukannnya?""Aku hanya..., jadi kepiki
“...Kau nikahi dulu aku, baru boleh tidur bersamaku...” ~ ARA ~ Aku tak bisa tidur meski sudah membolak-balik posisi tidurku. Pikiran dan batinku masih tidak tenang memikirkan Aru. Dia belum juga pulang, padahal waktu sudah semakin larut. Dia biasanya mengirimiku pesan singkat jika tidak akan pulang, hanya untuk sebatas informasi agar aku tidak cemas mencarinya. “Jangan ganggu. Aku ditempat Zein” Atau, “Aku tak akan pulang” atau, “Aku pulang besok. Tak usah menunggu” dan sebagainya. Tapi kali ini tidak. Dia tidak mengirimiiku satu pesanpun, atau mungkin belum. Tapi ini sudah terlalu larut. Aku memberanikan diri menghubungi Zein, sebatas text, aku tidak berani jika harus bicara lewat telepon. “Hai, Zein. Maaf aku menghubungimu malam-malam begini” kirim. Semoga dia belum tidur. “?” Zein hanya membalasku sesingkatkat itu.
“...Aku percaya hal yang biasapun adalah kejutan dari bagian takdir yang sudah digariskan...”~ ARU ~Aku tidak tahu apa yang membuatku seberani ini untuk menenggak minuman yang selama ini ku jauhi, hingga membuaku tak berdaya seperti ini. Aku memang tidak suka, baunya saja sudah membuat pusing kepala, sedangkan rasanya menyakiti tenggorokan, membakarnya dengan menyakitkan. Heran, kenapa juga banyak yang mencari dan membelinya, kurasa itu karena mereka butuh teman. Teman yang tak bisa memprotesmu, tapi bisa membuatmu lupa pada beban berat yang tengah kau hadapi. Tapi apa itu sepadan?Mengapa aku juga harus merasakan ini? Beban berat ini, sekali lagi? Apa ini hukuman untukku karena dulu pernah berjalan bersama Quin tanpa sepengetahuan Ara?Jika benar begitu, tapi mengapa juga balasannya harus bertubi-tubi seperti ini? Menyiksa tanpa akhir.Aku jadi terin
~ Ara ~ . . . ... Sepasang sesal ... Menepikanmu yang kurasa sanggupMeniadakanmu yang kurasa mampu Tapi bayangmu tak pernah jauh dari heningkuDan seluruh heningku tak pernah sepi darimu Jangan menyerah Karena kau masih memikatkuDan hatiku masih terpaut dekat denganmuSekalipun kau tak tahu itu benarSekalipun tak ku ucapkan dengan benar Kau tahu aku hanya berlagakKau tahu aku selalu malu berbicara cintaJadi bisakah sekali lagi kau menunggukuKuharap hatimu tak berubah padaku Sekalipun kini hanya berat yang tertinggal Dan benteng kuatku telah menemui lapukan terlemahnya berupa sesal. . . - Guilty on tuesdays - " Lyn Wen " . . I hope one day you'll come backAnd at least say hiWipe off the tears on my faceAnd give us a try, Cause I can tellYou're done with this leaving hell yeah...I can tellYou're done with what I do To keep me away from youTo keep me away from you, Every good moment has passedYou're still not hereCrying alone in my car seems to famil
"... Aku tak perlu berkorban lagi untukmu, karena kau telah bahagia ..." ~ Aru ~ . . Pernah aku terpenjara dalam jerat cinta, yang membawa arusku jadi seru dan semu, tapi aku jatuh juga dari ketinggian mencinta kedalam ulu hara, dalam perangkapnya kasih menjadi siksa. Karena itu, setelah badai tikai itu, aku memilih menutup diri. Memberinya kemerdekaan dalam hilangku. Dan kutangani sisa luka, konsekuensi dari berani mencintainya, sendiri. Tak kubiarkan orang tahu atas luka patah hatiku. Kusembunyikan kepatahan itu dari sekelilingku. Karena aku tak ingin membebankan perasaan luka yang kuterima pada orang lain, dan itulah kebijakanku. Meski itu tak mudah, aku berhasil membuatnya terlihat begitu. Serupa seperti tak berlinang air mata. Serupa hatiku tak retak karena terluka. Padahal diam-diam akupun menangis dalam sembunyiku. Di kamar mandi, atau dibilik kamar redup lampu. Lantas pura-pura tidur saat ada yang mendekat. Sebab aku tak punya alasan benar, menunjukkan pedihku pada mere
"... Biarkan hatimu menuntun maunya, tapi ijinkan takdir yang memutuskan jawabnya ... " ~ Ara ~ . . "Ara, aku bertemu dia. Kami bicara. Tentu aku melihat apa yang tak bisa kau lihat darinya, Ra" "ARU TAK BAIK, RA." "TIDAK. Dia harus baik-baik saja. Harus!" "Yah, tampaknya memang begitu" "Tampaknya?" "Mau menggeser sedikit saja persepsimu akan kebencian Aru padamu itu?" "Tak yakin!" "Bagaimana jika kepergiannya itu bukanlah atas dasar kebenciannnya? Mungkin saja itu sesuatu yang lain" "TIDAK. Itu harus benci. HARUS!" "Dan bagaimana jika yang kau lihat benci itu, mungkin, sebenarnya hanya bentuk lain dari luka? Mungkin itupun bentuk dari defensif Aru dalam melindungi hatinya. Bukan benci" "Kenapa begitu?" "Aru bisa saja menjadi brengsek waktu itu. Dia bisa merusak pernikahanmu sebelum takdir melakukannya. Tapi alih-alih begitu, dia malah memilih mundur. Menarik semua kedekatannya darimu tanpa menciptakan kegaduhan, Ra. Jadi Apa tindakan itu mencerminkan kebencian?" Aku m
"... Takdir memaksa kita mengerti dan menerima keadaan tak baik kita, meski kita tak ingin... " ~ Ara ~ . . - THE WEDDING - Aku baru selesai dirias dan Tasya masuk. "Woooh.. who's this gurl? So gorgeous!" "Thank you" Aku senang menerima pujian itu. Meski hatiku juga merasakan getir gelisah yang lain. "Bagaimana rasanya jadi mempelai?" "Nervous, I guess?" "Kurasa akupun akan begitu saat diposisiimu. Wajar, Ra. Itu gerogi yang baik" "Kuharap begitu. Tapi lebih dari itu. Aku sangat bahagia. Akhhirnya Sya... Akhirnya!" "Umh, I'm so happy for you too" Sudut mata kami mengeluarkan embun haru. Tasya lalu memelukku. "Okay-okay, ini hari bahagiamu dan aku tak ingin riasanmu rusak karena kebahagiaan ini" Kami menghapusnya. "U
"... Kau mungkin bahagia, tapi benarkah itu kebahagian yang ingin kau jalani ... "~ Ara ~.."Tasya?""Surprise!"Dia memelukku."Katamu besok?""Tidak jadi. Aku mempercepat segalanya""Masuklah!""So, how's your life Ara?""Seperti yang bisa kau lihat. Baik!""Kau menjawab persis seperti seseorang" gumamnya, "Kau sedang sibuk?""Tidak""Apa yang akan kita lakukan hari ini?""No shopping, karena kau pasti masih jetlag. And I'm not about going anywhere. Jadi kurasa kita hanya perlu disini saja""Good girl. Kau sangat memahamiku!""O-ya, kau jadi ketempat Zein?""Ya""Dia mengusirmu?""Tidak. Dia berubah menyenangkan""Uh, impresif. Kalian membicarakanku?""Sedikit. Oh, iya, kau mau minum apa?""Tak perlu repot. Aku bukan tamu istimewa""Aku k
"... Cinta itu telah berakhir ..."~ Aru ~.."Berjuang lebih keras, Aru!""Kau kira kenapa aku bertahan dalam sengsara itu jika bukan untuk berjuang?""Sudah Tasya! Aku mencoba segala yang kubisa. Dari memprovokasi cemburunya, memperbaiki emosiku, hingga bersikap manis padanya untuk mendapatkan lagi hatinya. Tapi Arnold yang selalu menang. Kau hanya tak tahu usahaku itu!"Dia termenung."Aku berupaya hingga tak punya cara lain lagi selain menyudahi keegoisanku untuk memilikinya seorang diri.""Huhf..." helanya."Aku pasti jadi psycho jika diposisimu. Kau harusnya gunakan emosi kesalmu itu untuk memukuli seseorang. Jangan diam saja dan malah lari!"Aku terhibur mendengarnya.Apa dia tak tahu aku memukul Ara waktu itu?"Kau pernah punya pikiran jahat? Seperti psycho?""Mungkin""Sungguh? SESAIKO APA?""Mungkin karen
"... Rasanya aku ingin membunuhnya saat melihatnya pamer bahagia, sedang aku menahan nyilu dan cemburu ..." ~ Aru ~ . . Aku terdampar dalam sebuah kemegahan asing dalam duniaku. Tapi ini bukan ilusi. Aku duduk merenung, menikmati nyaman yang belum pernah kunikmati begini sebelumnya. Membahagiakan. Aku menghirup aroma cappucinoku, sebelum mengecap bagaimana rasanya. Dan benar rasanya istimewa, seperti harganya yang bisa membuat dilema kepala orang biasa. Tapi disinilah aku kini, mengagumi soreku yang biasanya tak selalu indah. Tapi kini berubah begitu menawan dalam sekedip. Aku menyesap lagi gelas kopiku, sambil menunggu dengan santai seseorang yang telah membuat janji temu denganku. Dudukku mulai menyila, tapi bosan masih jauh dari pikiranku. Meskipun kini aku terkurung di lantai 122, diketinggian ratusan meter, dalam atmosfer megah restauran kelas dunia, di Burj Khalifa.
"... Itu pilihan, ingin menjadikannya ujian dalam cinta atau takdir dalam cintamu... "~ Ara ~ . . Kenapa aku sendiri masih terus ragu dengan apa yang Zein tuturkan barusan. "Ara, kau masih mencintainya, kan?" "Entah Zein!" "Apa kau tahu, ragu adalah bagian dari iya yang belum disetujui lewat kata""Yang kutahu, aku tidak kesini untuk membahas hal seperti itu" "Benarkah? Apa kau pikir hanya dengan modus mengembalikan ini, aku lantas percaya? Tidak Ara. Aku tak sebodoh itu!""Kau terlalu berlebihan Zein""Menyangkalnya membuat hatimu lebih baik?""Zein, Aru membenciku!""Maksudku dia masih membenciku, kan?" aku mencari defensif lain."Ya, benar. Dia membencimu hingga tak ingin lagi melihatmu. Hingga ingin menguburmu. Hingga ingin menghilang darimu. Dan itu benar, dia membencimu"Hatiku terluka mende
"... Mengapa orang lain bisa melihat cintaku dengan jelas, tapi aku tidak ... "~ Ara ~ . . Ada banyak hal yang ingin kusampaikan saat berada dalam masa perenungan lalu. Karena kehilangan Aru membuatku tak seimbangan. Tapi setiap kali menatap wajah penuh lukanya, akupun kehilangan cara untuk membela diri dari kekacauan yang kubuat sendiri. Kalimatku lenyap, bibirku terbungkam. Aku tak bisa menyanggah kalimat penuh lukanya karenaku. Dan karena itu, yang terlintas hanya perasaan sesalku, jadi alih-alih membela diri, aku lebih ingin meminta maaf.Tapi Aru selalu tak ingin mendengarnya. Dia tak ingin mendengarnya, seberapapun aku merasa bersalah padanya.Tapi menyumpahiku gagal menikah adalah hal yang paling tak bisa kuterima. Dan itu sangat melukai hati terdalamku.Begitulah aku menyerah pada akhirnya. Karena mungkin dengan membiarkannya pergi, itu menghinda