- Tujuh jam sebelumnya -
Aku baru saja selesai mencurahkan kegundahanku pada Zein, dan sikap Zein masih saja sama. Dia ingin aku meninggalkan Ara, dan semuanya akan selesai dengan sendirinya, jika aku meninggalkannya. Masalah dan kesedihanku akan selesai, dengan mudah. Tapi ini tak pernah semudah seperti yang dia ucapkan dan sarankan padaku dengan entengnya.
Bagaimanapun juga perasaanku masih punya magnet kuat untuk Ara, dan aku tidak bisa semudah itu mengambil keputusan seperti yang sahabatku sarankan. Dan ini tak akan pernah semudah dan sesimpel itu selama aku masih punya perasaan yang aktif untuk orang yang ku sayangi, sekalipun dia berbuat salah dan aku berusaha meninggalkannya. Itu tetaplah bukan perkara yang enteng untuk dijalani.
Alhasil aku kembali berenang dalam kebuntua
"...Bentuk cinta ya tetap cinta... "~ Aru ~Seperti biasa aku berakhir ditempat sahabatku, Zein. Aku merasa bersyukur memiliki teman sepertinya. Karen dia selalu berlapang hati membantuku, mendengarkan keluh resahku dan menjadi teman berbincang yang sengit karena biasanya pendapat dan pandangan kita berbeda. Aku juga bersyukur karena dia mau menerimaku, menampungku ditempatnya saat aku dan Ara sedang dalam kondisi hubungan yang tidak baik seperti ini.Aku sudah berada disini selama 3 hari terhitung sejak Ara lebih mementingkan urusan pekerjaannya daripada aku. Aku yang kesal lantas melarikan diri kesini. Meskipun begitu, aku baru saja menyelesaikan curhatanku padanya sejak 15 menit yang lalu, maklum kemarin-kemarin dia masih sibuk dengan urusan kerjaannya dan sekarang dia sedang luang. Momen yang tepat untuk curhat dan bertukar pandangan."So, this is your final ending huh? Or it is just another break time
"...Kaulah yang mampu mensabotase pikiranku dengan begitu kacaunya... "~ Ara ~Sudah berhari-hari ini Aru tidak pulang. Terakhir kali aku melihatnya ialah saat aku meninggalkannya di rumah seorang diri dengan kondisinya yang lemah dan seharusnya butuh teman, tapi aku tak bisa menemaninya. Mungkin sebab itulah dia marah padaku. Meskipun itu juga hanya dugaanku belaka tapi aku yakin kemarahannya itu karena hal yang kemarin itu.Komunikasi kamipun tidak intens. Berkali-kali aku mengiriminya pesan tertulis kepadanya tapi dia hanya tetap meninggalkan pesan ku dalam read belaka, dan jarang membalas pesan-pesan yang ku kirimkan. Meskipun aku tahu, palingan Aru sedang ada ditempat Zein tapi tetap saja aku cemas dan tidak menentu jika dia jauh. Terlebih lagi ini kepergian terlamanya meninggalkan rumah dalam keadaan kami sedang buruk selama ini dan itu membuatku tidak fokus bekerja, membuatku tidak enak makan, juga tidak nyenyak tidur.
"...Kita tetap saja keras kepala, memilih bersama dalam ketidak mungkinan... "~ Ara ~Aku duduk perlahan karena kini bokongku terasa mulai sakit. Mungkin Karena jatuhku dalam posisi terduduk jadi pantatku yang terasa sakit dan nyilu setelah tangan yang diperban ini.Aru duduk disampingku. Pandangan dan tatapannya tidak biasa dalam menatapku, saat ini. Ada kompleksitas kelembutan, keberanian, pemahaman dan siratan cinta yang meluluhkan batin saat aku menemukan sinaran pancaran matanya itu. Jadi aku berusaha menghindar dari kontak langsung dengan tatapannya. Aku takut terbius olehnya dan jadi lupa diri. Tapi dia malah memintaku untuk melihatnya. Meminta diriku untuk berfokus padanya seorang, seperti ada hal penting yang ingin dia utarakan.Biasanya jika sudah begini, dia suka sekali mengatakan hal-hal romantis berbau-bau manis. Jadi, aku harus dobel waspada. Terlebih karena Tasya tidak disini menamaniku. Jadi
"...Semoga kata cinta itu bukan sebatas cara untuk menghiburku... "~ Aru ~Aku mendengar Ara mengeluh kesakitan dari dalam kamarnya. Sebelumnya, aku lebih dulu mendengar seperti ada suara benda terjatuh, sebab itulah aku mengetuk pintunya dua kali dengan sigap."Beb, kau sudah bangun?""Yah""Aku masuk boleh?""OH NO. DON'T!" sahutnya cepat."Kau baik-baik sajakan?""Ya, aku baik" suaranya terdengar tidak sepenuhnya berfokus padaku. Dia sepertinya juga sibuk dengan hal lain."Apa kau terjatuh?""Aoouucchhh. SHOOTTT. AHHHGG!" Ara terdengar mengerang kesakitan."Kau kenapa?""Ahhh, tidak apa-apa""Aku masuk klo begitu?""DON'T ARU! JUST STAY AWAY FROM MY DOOR!" perintahnya dengan galak."Is everything alright?""Yeah..., yeah... everything is fine. I am fine too. DON't worry!""Okay, if you say so" kataku hendak pergi, namun t
"...Cinta bisa melumat dalam kebutaan logika, menghalalkan segala cara... "~ Ara ~Aru menjadi begitu sangat perhatian padaku, sebab tanganku yang masih belum sembuh sepenuhnya. Meskipun biasanya dia juga perhatian tapi kali ini usaha dan perhatiannya terbilang lebih ekstra. Dia benar-benar mengurus dan menjagaku dengan baik.Dimulai dari memperhatikan makanku. Dia kadang masak dan kadang juga beli, kalau sedang malas memasak. Lalu mengurus baju-bajuku, mengurus kebersihan rumah, dan bahkan dia masih menyempatkan memijat kepalaku saat aku mulai mengeluh lelah dan pusing karena merasa stres dengan pekerjaan kantor yang melelahkan dan jadi menumpuk saat aku ambil cutiku selama tiga hari kemarin.Aku sudah masuk kerja lagi sejak dua hari lalu. Dan Aru masih saja menjagaku dengan mengantar-jemputku. Dia bilang jika aku naik bus, bisa saja tanganku tersenggol orang-orang secara tidak sengaja dan justru itu akan membuat proses penyembuhanku t
"...Wujud cinta memang kadang sulit dimengerti oleh logika... " ~ Aru ~ "Hei, Ra..." aku menghentikan Ara yang sudah beberapa langkah menjauh, "Kau rapat tidak mainan HP kan?" tanyaku ragu-ragu. "Mmh, yah tentu. Aku akan fokus pada rapat. Kenapa?" "Baguslah klo begitu. Berikan HP mu, biar aku yang bawa" "Buat apa?" katanya menarik raut tenangnya mundur seketika, "Bagaimana klo aku butuh sewaktu-waktu? Untuk menghitung atau mencatat mungkin?" tambahnya mencoba bersikap wajar seperti tak terganggu. Tapi sangat terganggu. Aku mengeluarkan ponselku dari saku. "Bawa punyaku. Tukeran" aku mencoba menghentikan elakannya. Itu membuat dia meragu menyerahkan ponselnya padaku. Seperti permintaan simpelku ini juga merupakan hal yang sulit baginya. Seperti biasanya, dia selalu memandang berat akan permintaan-permintaanku. Namun dia juga tak mampu mengelak, karena takut aku mencurigainya. "Jangan macam-macam, ok
"...Cinta bisa membuat kita patah hati dengan banyak rupa... "~ Ara ~"Sya..." aku kirim pesan itu ke Tasya"Hei say..." balas Tasya, "What is up?" lanjutnya, "Kalian bertengkar lagi?""Ya begitulah""Apa ini berhubungan dengan statusnya? Do you love? Love me? love me not?""Sepertinya begitu""Kenapa lagi sekarang?" tanya Tasya,"Just don't bottle up your feeling, Ara. Kau bisa cerita apapun padaku, kau tahu itukan? I'm here, bebby" dia mencoba memberikan ketenangan padaku, "Want me to call you?" lanjutnya membalas."Please!"Tidak lama kemudian kita sudah tersambung dalam panggilan."Jadi?""Aru ngeselin juga NYEBELIN!""OKAY. Terus?""Terus aku marah, dia lalu pergi. Sudah berjam-jam dan belum juga pulang""Kau menyesal karena telah memarahinya atau sudah merasa merindukannnya?""Aku hanya..., jadi kepiki
“...Kau nikahi dulu aku, baru boleh tidur bersamaku...” ~ ARA ~ Aku tak bisa tidur meski sudah membolak-balik posisi tidurku. Pikiran dan batinku masih tidak tenang memikirkan Aru. Dia belum juga pulang, padahal waktu sudah semakin larut. Dia biasanya mengirimiku pesan singkat jika tidak akan pulang, hanya untuk sebatas informasi agar aku tidak cemas mencarinya. “Jangan ganggu. Aku ditempat Zein” Atau, “Aku tak akan pulang” atau, “Aku pulang besok. Tak usah menunggu” dan sebagainya. Tapi kali ini tidak. Dia tidak mengirimiiku satu pesanpun, atau mungkin belum. Tapi ini sudah terlalu larut. Aku memberanikan diri menghubungi Zein, sebatas text, aku tidak berani jika harus bicara lewat telepon. “Hai, Zein. Maaf aku menghubungimu malam-malam begini” kirim. Semoga dia belum tidur. “?” Zein hanya membalasku sesingkatkat itu.
~ Ara ~ . . . ... Sepasang sesal ... Menepikanmu yang kurasa sanggupMeniadakanmu yang kurasa mampu Tapi bayangmu tak pernah jauh dari heningkuDan seluruh heningku tak pernah sepi darimu Jangan menyerah Karena kau masih memikatkuDan hatiku masih terpaut dekat denganmuSekalipun kau tak tahu itu benarSekalipun tak ku ucapkan dengan benar Kau tahu aku hanya berlagakKau tahu aku selalu malu berbicara cintaJadi bisakah sekali lagi kau menunggukuKuharap hatimu tak berubah padaku Sekalipun kini hanya berat yang tertinggal Dan benteng kuatku telah menemui lapukan terlemahnya berupa sesal. . . - Guilty on tuesdays - " Lyn Wen " . . I hope one day you'll come backAnd at least say hiWipe off the tears on my faceAnd give us a try, Cause I can tellYou're done with this leaving hell yeah...I can tellYou're done with what I do To keep me away from youTo keep me away from you, Every good moment has passedYou're still not hereCrying alone in my car seems to famil
"... Aku tak perlu berkorban lagi untukmu, karena kau telah bahagia ..." ~ Aru ~ . . Pernah aku terpenjara dalam jerat cinta, yang membawa arusku jadi seru dan semu, tapi aku jatuh juga dari ketinggian mencinta kedalam ulu hara, dalam perangkapnya kasih menjadi siksa. Karena itu, setelah badai tikai itu, aku memilih menutup diri. Memberinya kemerdekaan dalam hilangku. Dan kutangani sisa luka, konsekuensi dari berani mencintainya, sendiri. Tak kubiarkan orang tahu atas luka patah hatiku. Kusembunyikan kepatahan itu dari sekelilingku. Karena aku tak ingin membebankan perasaan luka yang kuterima pada orang lain, dan itulah kebijakanku. Meski itu tak mudah, aku berhasil membuatnya terlihat begitu. Serupa seperti tak berlinang air mata. Serupa hatiku tak retak karena terluka. Padahal diam-diam akupun menangis dalam sembunyiku. Di kamar mandi, atau dibilik kamar redup lampu. Lantas pura-pura tidur saat ada yang mendekat. Sebab aku tak punya alasan benar, menunjukkan pedihku pada mere
"... Biarkan hatimu menuntun maunya, tapi ijinkan takdir yang memutuskan jawabnya ... " ~ Ara ~ . . "Ara, aku bertemu dia. Kami bicara. Tentu aku melihat apa yang tak bisa kau lihat darinya, Ra" "ARU TAK BAIK, RA." "TIDAK. Dia harus baik-baik saja. Harus!" "Yah, tampaknya memang begitu" "Tampaknya?" "Mau menggeser sedikit saja persepsimu akan kebencian Aru padamu itu?" "Tak yakin!" "Bagaimana jika kepergiannya itu bukanlah atas dasar kebenciannnya? Mungkin saja itu sesuatu yang lain" "TIDAK. Itu harus benci. HARUS!" "Dan bagaimana jika yang kau lihat benci itu, mungkin, sebenarnya hanya bentuk lain dari luka? Mungkin itupun bentuk dari defensif Aru dalam melindungi hatinya. Bukan benci" "Kenapa begitu?" "Aru bisa saja menjadi brengsek waktu itu. Dia bisa merusak pernikahanmu sebelum takdir melakukannya. Tapi alih-alih begitu, dia malah memilih mundur. Menarik semua kedekatannya darimu tanpa menciptakan kegaduhan, Ra. Jadi Apa tindakan itu mencerminkan kebencian?" Aku m
"... Takdir memaksa kita mengerti dan menerima keadaan tak baik kita, meski kita tak ingin... " ~ Ara ~ . . - THE WEDDING - Aku baru selesai dirias dan Tasya masuk. "Woooh.. who's this gurl? So gorgeous!" "Thank you" Aku senang menerima pujian itu. Meski hatiku juga merasakan getir gelisah yang lain. "Bagaimana rasanya jadi mempelai?" "Nervous, I guess?" "Kurasa akupun akan begitu saat diposisiimu. Wajar, Ra. Itu gerogi yang baik" "Kuharap begitu. Tapi lebih dari itu. Aku sangat bahagia. Akhhirnya Sya... Akhirnya!" "Umh, I'm so happy for you too" Sudut mata kami mengeluarkan embun haru. Tasya lalu memelukku. "Okay-okay, ini hari bahagiamu dan aku tak ingin riasanmu rusak karena kebahagiaan ini" Kami menghapusnya. "U
"... Kau mungkin bahagia, tapi benarkah itu kebahagian yang ingin kau jalani ... "~ Ara ~.."Tasya?""Surprise!"Dia memelukku."Katamu besok?""Tidak jadi. Aku mempercepat segalanya""Masuklah!""So, how's your life Ara?""Seperti yang bisa kau lihat. Baik!""Kau menjawab persis seperti seseorang" gumamnya, "Kau sedang sibuk?""Tidak""Apa yang akan kita lakukan hari ini?""No shopping, karena kau pasti masih jetlag. And I'm not about going anywhere. Jadi kurasa kita hanya perlu disini saja""Good girl. Kau sangat memahamiku!""O-ya, kau jadi ketempat Zein?""Ya""Dia mengusirmu?""Tidak. Dia berubah menyenangkan""Uh, impresif. Kalian membicarakanku?""Sedikit. Oh, iya, kau mau minum apa?""Tak perlu repot. Aku bukan tamu istimewa""Aku k
"... Cinta itu telah berakhir ..."~ Aru ~.."Berjuang lebih keras, Aru!""Kau kira kenapa aku bertahan dalam sengsara itu jika bukan untuk berjuang?""Sudah Tasya! Aku mencoba segala yang kubisa. Dari memprovokasi cemburunya, memperbaiki emosiku, hingga bersikap manis padanya untuk mendapatkan lagi hatinya. Tapi Arnold yang selalu menang. Kau hanya tak tahu usahaku itu!"Dia termenung."Aku berupaya hingga tak punya cara lain lagi selain menyudahi keegoisanku untuk memilikinya seorang diri.""Huhf..." helanya."Aku pasti jadi psycho jika diposisimu. Kau harusnya gunakan emosi kesalmu itu untuk memukuli seseorang. Jangan diam saja dan malah lari!"Aku terhibur mendengarnya.Apa dia tak tahu aku memukul Ara waktu itu?"Kau pernah punya pikiran jahat? Seperti psycho?""Mungkin""Sungguh? SESAIKO APA?""Mungkin karen
"... Rasanya aku ingin membunuhnya saat melihatnya pamer bahagia, sedang aku menahan nyilu dan cemburu ..." ~ Aru ~ . . Aku terdampar dalam sebuah kemegahan asing dalam duniaku. Tapi ini bukan ilusi. Aku duduk merenung, menikmati nyaman yang belum pernah kunikmati begini sebelumnya. Membahagiakan. Aku menghirup aroma cappucinoku, sebelum mengecap bagaimana rasanya. Dan benar rasanya istimewa, seperti harganya yang bisa membuat dilema kepala orang biasa. Tapi disinilah aku kini, mengagumi soreku yang biasanya tak selalu indah. Tapi kini berubah begitu menawan dalam sekedip. Aku menyesap lagi gelas kopiku, sambil menunggu dengan santai seseorang yang telah membuat janji temu denganku. Dudukku mulai menyila, tapi bosan masih jauh dari pikiranku. Meskipun kini aku terkurung di lantai 122, diketinggian ratusan meter, dalam atmosfer megah restauran kelas dunia, di Burj Khalifa.
"... Itu pilihan, ingin menjadikannya ujian dalam cinta atau takdir dalam cintamu... "~ Ara ~ . . Kenapa aku sendiri masih terus ragu dengan apa yang Zein tuturkan barusan. "Ara, kau masih mencintainya, kan?" "Entah Zein!" "Apa kau tahu, ragu adalah bagian dari iya yang belum disetujui lewat kata""Yang kutahu, aku tidak kesini untuk membahas hal seperti itu" "Benarkah? Apa kau pikir hanya dengan modus mengembalikan ini, aku lantas percaya? Tidak Ara. Aku tak sebodoh itu!""Kau terlalu berlebihan Zein""Menyangkalnya membuat hatimu lebih baik?""Zein, Aru membenciku!""Maksudku dia masih membenciku, kan?" aku mencari defensif lain."Ya, benar. Dia membencimu hingga tak ingin lagi melihatmu. Hingga ingin menguburmu. Hingga ingin menghilang darimu. Dan itu benar, dia membencimu"Hatiku terluka mende
"... Mengapa orang lain bisa melihat cintaku dengan jelas, tapi aku tidak ... "~ Ara ~ . . Ada banyak hal yang ingin kusampaikan saat berada dalam masa perenungan lalu. Karena kehilangan Aru membuatku tak seimbangan. Tapi setiap kali menatap wajah penuh lukanya, akupun kehilangan cara untuk membela diri dari kekacauan yang kubuat sendiri. Kalimatku lenyap, bibirku terbungkam. Aku tak bisa menyanggah kalimat penuh lukanya karenaku. Dan karena itu, yang terlintas hanya perasaan sesalku, jadi alih-alih membela diri, aku lebih ingin meminta maaf.Tapi Aru selalu tak ingin mendengarnya. Dia tak ingin mendengarnya, seberapapun aku merasa bersalah padanya.Tapi menyumpahiku gagal menikah adalah hal yang paling tak bisa kuterima. Dan itu sangat melukai hati terdalamku.Begitulah aku menyerah pada akhirnya. Karena mungkin dengan membiarkannya pergi, itu menghinda