Dimulai dari memperhatikan makanku. Dia kadang masak dan kadang juga beli, kalau sedang malas memasak. Lalu mengurus baju-bajuku, mengurus kebersihan rumah, dan bahkan dia masih menyempatkan memijat kepalaku saat aku mulai mengeluh lelah dan pusing karena merasa stres dengan pekerjaan kantor yang melelahkan dan jadi menumpuk saat aku ambil cutiku selama tiga hari kemarin.
Aku sudah masuk kerja lagi sejak dua hari lalu. Dan Aru masih saja menjagaku dengan mengantar-jemputku. Dia bilang jika aku naik bus, bisa saja tanganku tersenggol orang-orang secara tidak sengaja dan justru itu akan membuat proses penyembuhanku t
"...Wujud cinta memang kadang sulit dimengerti oleh logika... " ~ Aru ~ "Hei, Ra..." aku menghentikan Ara yang sudah beberapa langkah menjauh, "Kau rapat tidak mainan HP kan?" tanyaku ragu-ragu. "Mmh, yah tentu. Aku akan fokus pada rapat. Kenapa?" "Baguslah klo begitu. Berikan HP mu, biar aku yang bawa" "Buat apa?" katanya menarik raut tenangnya mundur seketika, "Bagaimana klo aku butuh sewaktu-waktu? Untuk menghitung atau mencatat mungkin?" tambahnya mencoba bersikap wajar seperti tak terganggu. Tapi sangat terganggu. Aku mengeluarkan ponselku dari saku. "Bawa punyaku. Tukeran" aku mencoba menghentikan elakannya. Itu membuat dia meragu menyerahkan ponselnya padaku. Seperti permintaan simpelku ini juga merupakan hal yang sulit baginya. Seperti biasanya, dia selalu memandang berat akan permintaan-permintaanku. Namun dia juga tak mampu mengelak, karena takut aku mencurigainya. "Jangan macam-macam, ok
"...Cinta bisa membuat kita patah hati dengan banyak rupa... "~ Ara ~"Sya..." aku kirim pesan itu ke Tasya"Hei say..." balas Tasya, "What is up?" lanjutnya, "Kalian bertengkar lagi?""Ya begitulah""Apa ini berhubungan dengan statusnya? Do you love? Love me? love me not?""Sepertinya begitu""Kenapa lagi sekarang?" tanya Tasya,"Just don't bottle up your feeling, Ara. Kau bisa cerita apapun padaku, kau tahu itukan? I'm here, bebby" dia mencoba memberikan ketenangan padaku, "Want me to call you?" lanjutnya membalas."Please!"Tidak lama kemudian kita sudah tersambung dalam panggilan."Jadi?""Aru ngeselin juga NYEBELIN!""OKAY. Terus?""Terus aku marah, dia lalu pergi. Sudah berjam-jam dan belum juga pulang""Kau menyesal karena telah memarahinya atau sudah merasa merindukannnya?""Aku hanya..., jadi kepiki
“...Kau nikahi dulu aku, baru boleh tidur bersamaku...” ~ ARA ~ Aku tak bisa tidur meski sudah membolak-balik posisi tidurku. Pikiran dan batinku masih tidak tenang memikirkan Aru. Dia belum juga pulang, padahal waktu sudah semakin larut. Dia biasanya mengirimiku pesan singkat jika tidak akan pulang, hanya untuk sebatas informasi agar aku tidak cemas mencarinya. “Jangan ganggu. Aku ditempat Zein” Atau, “Aku tak akan pulang” atau, “Aku pulang besok. Tak usah menunggu” dan sebagainya. Tapi kali ini tidak. Dia tidak mengirimiiku satu pesanpun, atau mungkin belum. Tapi ini sudah terlalu larut. Aku memberanikan diri menghubungi Zein, sebatas text, aku tidak berani jika harus bicara lewat telepon. “Hai, Zein. Maaf aku menghubungimu malam-malam begini” kirim. Semoga dia belum tidur. “?” Zein hanya membalasku sesingkatkat itu.
“...Aku percaya hal yang biasapun adalah kejutan dari bagian takdir yang sudah digariskan...”~ ARU ~Aku tidak tahu apa yang membuatku seberani ini untuk menenggak minuman yang selama ini ku jauhi, hingga membuaku tak berdaya seperti ini. Aku memang tidak suka, baunya saja sudah membuat pusing kepala, sedangkan rasanya menyakiti tenggorokan, membakarnya dengan menyakitkan. Heran, kenapa juga banyak yang mencari dan membelinya, kurasa itu karena mereka butuh teman. Teman yang tak bisa memprotesmu, tapi bisa membuatmu lupa pada beban berat yang tengah kau hadapi. Tapi apa itu sepadan?Mengapa aku juga harus merasakan ini? Beban berat ini, sekali lagi? Apa ini hukuman untukku karena dulu pernah berjalan bersama Quin tanpa sepengetahuan Ara?Jika benar begitu, tapi mengapa juga balasannya harus bertubi-tubi seperti ini? Menyiksa tanpa akhir.Aku jadi terin
“...Kita tahu tersesat, namun jalan keluar untuk menyudahi ini belum terlihat ada...”~ ARA ~Aku terbangun karena mendengar suara benda terjatuh. Dan saat aku keluar itu Aru. Dia tersungkur tak berdaya di lantai dengan beberapa kaleng kosong berserakan.“Kenapa kau bisa begini?” gumamku.“ARRU BANGUN! BANGUN!!”“HAI NYONYA ARU” dia bahkan masih memanggilku begitu.“Kau mengingatkanku pada masa lalu” gerutuku.Aku menyandarkannya di kursi ruang televisi. Aku meraih kaleng yang masih utuh dan membukanya. Tanpa ragu akupun menenggaknya. Setelah itu aku melirik pada manusia disebelahku.Sebegitu terlukanyakah dirimu, hingga berani bertindak begini? Atau apa aku terlalu membuatmu stress hingga kau mencari teman lain untuk mendamaikan danmenyembuhkan lukamu?Aku mas
“...I'm happy with you, we are happy with us...”~ ARA ~ . . . - DALAM INGATAN ARA - Aru membuka pintu belakang untuk menaruh tas bawaannya, dia pindah duduk dibalik kemudi, sementara aku masuk dan duduk disamping kursi kemudi. Kami menarik sabuk pengaman dan mengkaitkannya bersamaan. “Ready Nyonya Aru?“ ujarnya. Aku seketika meliriknya dengan wajah ketidak sukaan ku akan panggilan itu. “Kenapa? Kau tidak suka?” Aru bertanya seraya melajukan mobil ini tanpa menunggu ku menresponnya. "A..hmm" “OH COMEE ON, ARA. It's just for having fun though. Tidak bisakah, hah?” “Is that fun for you? Itu tidak terdengar lucu, Aru. Itu justru terdengar sedikit gila, kau tahu itukan?” “Kenapa begitu? Apa karena itu terdengar tidak nyata bagi kita, begitu?" Aku meninggikan alis. Iya! "Yah, yah, yah aku tahu itu. Tapi
“... Kita tanggung saja semuanya esok hari, bersama ...”~ ARU ~...- DALAM INGATAN ARU -Sejak masih ditempat karaoke tadi, aku memang sudah beberapa kali menguap-nguap karena kantuk, mungkin juga lelah. Tapi sekarang rasanya tak lagi bisa ditahan walaupun aku berusaha keras agar terus terjaga. Tiba-tiba saja mataku memejam dengan sendirinya, dan aku tak lagi bisa melihat jalan walaupun pikiranku masih sadar jika aku sedang mengemudikan mobil ini di jalan raya."ARU... AWASSS!!!"Teriakan itu begitu lantang seperti suara geledek menyambar telingaku.Aku tersadar dan menginjak rem cepat. Untung saja refleksku masih bagus dan tidak salah injak. Suara rem mobil berdecit, dan suara benturan juga terdengar. Kami berdua terhening dalam shock."Kau tida
"... Mudah bagi orang salah paham dengan ucapan yang tak dipahami secara menyeluruh ... " ~ Ara ~ Aku terbangun dengan kepala yang sedikit berat dan Aru tertidur disamping ku tanpa mengenakan bajunya. "Apa yang terjadi semalam?" aku berusaha mengingat apa saja yang telah terjadi semalam. Aku melihat diriku sendiri lalu melihat kearah pending ruangan dan menghela nafas lega. "Tidak terjadi apa-apa dengan kami" Aku tidak bisa mengingat apa yang telah terjadi semalam dengan jelas dan kenapa aku bisa berakhir tertidur di kamar Aru ini. Tapi aku yakin, tak ada hal serius yang perlu dikhawatirkan. "Apa karena perasaan nostalgia itu lantas aku berujung ditempat ini?" tanyaku monolog, "Ahhh entahlah" Aku segera bangkit dan mengambil bajuku. Perlahan mengendap keluar dari kamar ini. Berharap dengan begitu aku tidak akan membangunkan Aru. Jadi dia tidak tahu
~ Ara ~ . . . ... Sepasang sesal ... Menepikanmu yang kurasa sanggupMeniadakanmu yang kurasa mampu Tapi bayangmu tak pernah jauh dari heningkuDan seluruh heningku tak pernah sepi darimu Jangan menyerah Karena kau masih memikatkuDan hatiku masih terpaut dekat denganmuSekalipun kau tak tahu itu benarSekalipun tak ku ucapkan dengan benar Kau tahu aku hanya berlagakKau tahu aku selalu malu berbicara cintaJadi bisakah sekali lagi kau menunggukuKuharap hatimu tak berubah padaku Sekalipun kini hanya berat yang tertinggal Dan benteng kuatku telah menemui lapukan terlemahnya berupa sesal. . . - Guilty on tuesdays - " Lyn Wen " . . I hope one day you'll come backAnd at least say hiWipe off the tears on my faceAnd give us a try, Cause I can tellYou're done with this leaving hell yeah...I can tellYou're done with what I do To keep me away from youTo keep me away from you, Every good moment has passedYou're still not hereCrying alone in my car seems to famil
"... Aku tak perlu berkorban lagi untukmu, karena kau telah bahagia ..." ~ Aru ~ . . Pernah aku terpenjara dalam jerat cinta, yang membawa arusku jadi seru dan semu, tapi aku jatuh juga dari ketinggian mencinta kedalam ulu hara, dalam perangkapnya kasih menjadi siksa. Karena itu, setelah badai tikai itu, aku memilih menutup diri. Memberinya kemerdekaan dalam hilangku. Dan kutangani sisa luka, konsekuensi dari berani mencintainya, sendiri. Tak kubiarkan orang tahu atas luka patah hatiku. Kusembunyikan kepatahan itu dari sekelilingku. Karena aku tak ingin membebankan perasaan luka yang kuterima pada orang lain, dan itulah kebijakanku. Meski itu tak mudah, aku berhasil membuatnya terlihat begitu. Serupa seperti tak berlinang air mata. Serupa hatiku tak retak karena terluka. Padahal diam-diam akupun menangis dalam sembunyiku. Di kamar mandi, atau dibilik kamar redup lampu. Lantas pura-pura tidur saat ada yang mendekat. Sebab aku tak punya alasan benar, menunjukkan pedihku pada mere
"... Biarkan hatimu menuntun maunya, tapi ijinkan takdir yang memutuskan jawabnya ... " ~ Ara ~ . . "Ara, aku bertemu dia. Kami bicara. Tentu aku melihat apa yang tak bisa kau lihat darinya, Ra" "ARU TAK BAIK, RA." "TIDAK. Dia harus baik-baik saja. Harus!" "Yah, tampaknya memang begitu" "Tampaknya?" "Mau menggeser sedikit saja persepsimu akan kebencian Aru padamu itu?" "Tak yakin!" "Bagaimana jika kepergiannya itu bukanlah atas dasar kebenciannnya? Mungkin saja itu sesuatu yang lain" "TIDAK. Itu harus benci. HARUS!" "Dan bagaimana jika yang kau lihat benci itu, mungkin, sebenarnya hanya bentuk lain dari luka? Mungkin itupun bentuk dari defensif Aru dalam melindungi hatinya. Bukan benci" "Kenapa begitu?" "Aru bisa saja menjadi brengsek waktu itu. Dia bisa merusak pernikahanmu sebelum takdir melakukannya. Tapi alih-alih begitu, dia malah memilih mundur. Menarik semua kedekatannya darimu tanpa menciptakan kegaduhan, Ra. Jadi Apa tindakan itu mencerminkan kebencian?" Aku m
"... Takdir memaksa kita mengerti dan menerima keadaan tak baik kita, meski kita tak ingin... " ~ Ara ~ . . - THE WEDDING - Aku baru selesai dirias dan Tasya masuk. "Woooh.. who's this gurl? So gorgeous!" "Thank you" Aku senang menerima pujian itu. Meski hatiku juga merasakan getir gelisah yang lain. "Bagaimana rasanya jadi mempelai?" "Nervous, I guess?" "Kurasa akupun akan begitu saat diposisiimu. Wajar, Ra. Itu gerogi yang baik" "Kuharap begitu. Tapi lebih dari itu. Aku sangat bahagia. Akhhirnya Sya... Akhirnya!" "Umh, I'm so happy for you too" Sudut mata kami mengeluarkan embun haru. Tasya lalu memelukku. "Okay-okay, ini hari bahagiamu dan aku tak ingin riasanmu rusak karena kebahagiaan ini" Kami menghapusnya. "U
"... Kau mungkin bahagia, tapi benarkah itu kebahagian yang ingin kau jalani ... "~ Ara ~.."Tasya?""Surprise!"Dia memelukku."Katamu besok?""Tidak jadi. Aku mempercepat segalanya""Masuklah!""So, how's your life Ara?""Seperti yang bisa kau lihat. Baik!""Kau menjawab persis seperti seseorang" gumamnya, "Kau sedang sibuk?""Tidak""Apa yang akan kita lakukan hari ini?""No shopping, karena kau pasti masih jetlag. And I'm not about going anywhere. Jadi kurasa kita hanya perlu disini saja""Good girl. Kau sangat memahamiku!""O-ya, kau jadi ketempat Zein?""Ya""Dia mengusirmu?""Tidak. Dia berubah menyenangkan""Uh, impresif. Kalian membicarakanku?""Sedikit. Oh, iya, kau mau minum apa?""Tak perlu repot. Aku bukan tamu istimewa""Aku k
"... Cinta itu telah berakhir ..."~ Aru ~.."Berjuang lebih keras, Aru!""Kau kira kenapa aku bertahan dalam sengsara itu jika bukan untuk berjuang?""Sudah Tasya! Aku mencoba segala yang kubisa. Dari memprovokasi cemburunya, memperbaiki emosiku, hingga bersikap manis padanya untuk mendapatkan lagi hatinya. Tapi Arnold yang selalu menang. Kau hanya tak tahu usahaku itu!"Dia termenung."Aku berupaya hingga tak punya cara lain lagi selain menyudahi keegoisanku untuk memilikinya seorang diri.""Huhf..." helanya."Aku pasti jadi psycho jika diposisimu. Kau harusnya gunakan emosi kesalmu itu untuk memukuli seseorang. Jangan diam saja dan malah lari!"Aku terhibur mendengarnya.Apa dia tak tahu aku memukul Ara waktu itu?"Kau pernah punya pikiran jahat? Seperti psycho?""Mungkin""Sungguh? SESAIKO APA?""Mungkin karen
"... Rasanya aku ingin membunuhnya saat melihatnya pamer bahagia, sedang aku menahan nyilu dan cemburu ..." ~ Aru ~ . . Aku terdampar dalam sebuah kemegahan asing dalam duniaku. Tapi ini bukan ilusi. Aku duduk merenung, menikmati nyaman yang belum pernah kunikmati begini sebelumnya. Membahagiakan. Aku menghirup aroma cappucinoku, sebelum mengecap bagaimana rasanya. Dan benar rasanya istimewa, seperti harganya yang bisa membuat dilema kepala orang biasa. Tapi disinilah aku kini, mengagumi soreku yang biasanya tak selalu indah. Tapi kini berubah begitu menawan dalam sekedip. Aku menyesap lagi gelas kopiku, sambil menunggu dengan santai seseorang yang telah membuat janji temu denganku. Dudukku mulai menyila, tapi bosan masih jauh dari pikiranku. Meskipun kini aku terkurung di lantai 122, diketinggian ratusan meter, dalam atmosfer megah restauran kelas dunia, di Burj Khalifa.
"... Itu pilihan, ingin menjadikannya ujian dalam cinta atau takdir dalam cintamu... "~ Ara ~ . . Kenapa aku sendiri masih terus ragu dengan apa yang Zein tuturkan barusan. "Ara, kau masih mencintainya, kan?" "Entah Zein!" "Apa kau tahu, ragu adalah bagian dari iya yang belum disetujui lewat kata""Yang kutahu, aku tidak kesini untuk membahas hal seperti itu" "Benarkah? Apa kau pikir hanya dengan modus mengembalikan ini, aku lantas percaya? Tidak Ara. Aku tak sebodoh itu!""Kau terlalu berlebihan Zein""Menyangkalnya membuat hatimu lebih baik?""Zein, Aru membenciku!""Maksudku dia masih membenciku, kan?" aku mencari defensif lain."Ya, benar. Dia membencimu hingga tak ingin lagi melihatmu. Hingga ingin menguburmu. Hingga ingin menghilang darimu. Dan itu benar, dia membencimu"Hatiku terluka mende
"... Mengapa orang lain bisa melihat cintaku dengan jelas, tapi aku tidak ... "~ Ara ~ . . Ada banyak hal yang ingin kusampaikan saat berada dalam masa perenungan lalu. Karena kehilangan Aru membuatku tak seimbangan. Tapi setiap kali menatap wajah penuh lukanya, akupun kehilangan cara untuk membela diri dari kekacauan yang kubuat sendiri. Kalimatku lenyap, bibirku terbungkam. Aku tak bisa menyanggah kalimat penuh lukanya karenaku. Dan karena itu, yang terlintas hanya perasaan sesalku, jadi alih-alih membela diri, aku lebih ingin meminta maaf.Tapi Aru selalu tak ingin mendengarnya. Dia tak ingin mendengarnya, seberapapun aku merasa bersalah padanya.Tapi menyumpahiku gagal menikah adalah hal yang paling tak bisa kuterima. Dan itu sangat melukai hati terdalamku.Begitulah aku menyerah pada akhirnya. Karena mungkin dengan membiarkannya pergi, itu menghinda