Beberapa minggu berlalu, hubunganku dengan Aru masih terlihat biasa saja. Kami masih baik-baik saja, tapi juga tidak baik-baik saja. Masih belum ada keputusan untuk saling menjauh apalagi saling meninggalkan satu sama lain. Kami masih saling berbagi tempat menyandar, kami masih saling berbagi suapan, dan kadang juga berbagi hal yang lain-lainnya juga.
Meskipun terkadang dibumbui juga dengan pertengkaran kecil saat Arnold menghubungiku, atau mengirim pesan padaku dan aku menjawabnya didepan Aru. Kaarena sebab itulah dia jadi mudah marah belakang ini, mungkin karena merasa tersisihkan dan aku bisa memahami itu. Dia marah dan kesal karena aku membagi kasih juga perhatian pada orang lain.
Jika sudah begitu Aru bawaannya ingin menghindariku, dia segera mengambil langkah menjauh dariku, memberiku jarak. Entah itu dia pergi ke kamarnya, pergi keluar, atau pergi ke tempat Zein. Tapi untungnya itu hanya terjadi sebentar saja. Paling-paling dalam hitungan jam atau menit, lalu kami berbaikan kembali. Aru termasuk orang yang mudah dibujuk dan diajak bernegosiasi. Dia orang yang mudah menerima maaf.
Tapi entah kenapa seminggu terakhir ini aku merasa dia sedikit berinteraksi dengan ku. Padahal kami tidak sedang dalam pertengkaran. Kami biasa saja. Hanya saja aku merasa sepertinya Aru sedikit menjauh, aku dan Aru juga jadi sedikit ngobrol belakangan ini. Entah kerena apa. Mungkin itu hanya perasaanku saja. Semoga itu memang hanya perasaanku saja.
Pagi ini aku dan Tasya telat bangun. Kami jadi saling berebut guna mengejar keterlambatan. Mandi buru-buru, ganti baju buru-buru, make up buru-buru, bahkan Tasya sampai melewatkan sarapan hanya agar bisa ke kantor tepat waktu. Aku juga memutuskan untuk melewatkan sarapan sama seperti sahabatku, karena terburu-buru. Terlebih karena Aru belum terlihat di dapur ataupun keluar dari kamarnya, padahal biasanya dialah yang suka membangunkan aku dan Tasya.
Apa dia marah? Atau dia hanya sedang merasa malas? Kenapa juga dia tidak membangunkanku? Biasanya dia selalu jadi alaram terbaik saat aku dan Tasya sedang lelah dan sulit bangun begini. Apa dia sudah berangkat duluan? Tidak. Jam kerjanya lebih siang dari jam kerjaku maupun jam kerja Tasya.
"Ra, aku duluan" teriaknya sambil berlari keluar dan disusul dengan langkah cepat Tasya, mempersingkat keterlambatannya.Sebelum aku menyusul Tasya berangkat, aku menyempatkan diri untuk melihat Aru, hanya sebatas mengecek apakah dia sudah pergi atau dia masih di kamarnya. Aku mengetok pintunya, tapi tak ada jawaban.
Apa mungkin dia sudah pergi? Aku mencoba menengok tempat Aru biasanya meletakkan kunci motor dan jaketnya, dan ternyata semua masih lengkap disana. Itu artinya Aru belum keluar. Aku kembali mengetuk pintu kamarnya sekali lagi, dan tetap tidak ada jawaban.
Apa dia juga kesiangan sama seperti ku? Tapi tidak biasanya Aru kesiangan. Dia orang yang suka bangun pagi. Dia suka menghirup udara pagi yang masih bersih dari polusi dan segar. Dan itu sangat berbanding terbalik denganku. Aku suka bangun siang, menghirup udara dipagi hari bagiku tidak terlalu penting, lebih penting kalau pagiku itu digunakan untuk bermalas-malasan di kamar dengan tidur. Seperti ..., bisa dikatakan tidur disaat pagi itulah waktu yang terbaik untuk ku. Karena tidur dipagi hari itu merupakan tidur dengan sedikit mimpi, dan saat terbangun badan rasanya jadi lebih bugar, itu hanya menurutku.
Aku mengetuk sekali lagi. Tapi tetap tak ada jawaban apapun dari dalam kamar.
Apa dia libur dan masih tertidur di kamar? Kalau begitu aku akan masuk saja. Semoga saja dia tidur mengenakan bajunya. Supaya aku tidak terkejut.
"Aru, aku masuk!"
Maka aku masuk begitu saja, karena aku tahu pintu kamarnya tidak pernah dia kunci dan itu berbeda dengan pintu kamar ku dan Tasya yang selalu kami kunci sewaktu-waktu. Saat akan pergi, saat akan tidur, dan saat butuh ruang untuk sendiri, biasanya tiga keadaan itu yang sering membuat kami mengunci kamar. Tapi itu biasanya lebih sering Tasya yang melakukannya, soalnya aku tipe orang yang sedikit ceroboh, dan pelupa. Tapi Tasyalah yang sifatnya justru sedikit mirip seperti Aru, untuk urusan selera, pemahaman, sudut pandang, dan ketelitian, bukan untuk asmara, oke! Soal yang satu itu kurasa mereka beda tipe. Jauhhhh!
Langkah pertamaku masuk langsung disambut dengan hawa dingin. Aku bisa melihat Aru masih tertidur di kasurnya tanpa selimut, dengan posisi membelakangiku.
Kenapa dia menyetel pendingin ruangan sedingin ini? Apa dia merasa kegerahan? Tapi dia bukan tipe orang yang suka hawa dingin. Aru bisa tidur tapa AC, ataupun kipas angin disaat cuaca bahkan terasa panas, tapi jika itu aku. Aku tentu tidak bisa. Yah, begitulah salah satu sifat kontras kami yang bisa dilihat dengan jelas.
Kenapa dia menyalakan AC sedingin ini, sepanjang malam? Dengan suhu seperti ini, itu bisa membuatnya sakit.
"Kau tumben belum bangun? Ini sudah siang lho, Ru!" ujarku saat mengambil remot dan mematikan suhu pendingin ruangannya.
"Kau libur hari ini, ya?" tanyaku lagi sambil meletakkan balik remot itu.
"Ru, hei bangun!"
Aku beralih kearah jendela karena melihat tirainya bergerak dihembus oleh angin. Aku membuka tirainya sekalian, agar matahari pagi ini bisa masuk ke ruang kamarnya. Aru sangat suka sinar matahari pagi seperti ini, tapi dia lebih suka lagi sinar pagi yang masih muda, sinar pertama yang akan menyentuh bumi. Dia sangat menyukainya, karena katanya sinar itu lembut, terang, hangat tapi tidak menyakiti kulit.
Apa dia baik-baik saja? Kenapa dia tak juga bereaksi akan semua perkataanku?Dia bahkan tidak menutup jendelanya semalaman? Membuat angin di lantai 13 ini mudah masuk dan menambah hawa dingin didalam ruangan ini. Sungguh, dia bisa jatuh sakit jika sedingin ini. Aku menjadi khawatir dengannya.
Akupun segera mendekat pada Aru, perlahan duduk ditepian kasurnya dan meraih satu lengannya, mencoba membalik badannya yang sedari tadi tidak bergerak ataupun meresponku. Namun sebelum aku berhasil melakukanya, aku lebih dulu mendengar suara getaran yang sangat halus dan pelan dari arahnya.
"Hei, apa kau masih ingin tidur dan bersantai?" kataku menepis rasa cemas.
Namun saat tanganku berhasil menyentuh dan membalik arah Aru menghadapku. Suara rintihnya makin keras dan tubuhnya mendadak bergetar dengan sendirinya. Aku menyibak rambut yang menutupi dahi Aru. Menempelkan tanganku, guna mengukur suhu tubuhnya secara manual. Suhunya dingin. Wajahnya pucat. Bibirnyapun pucat. Jari tangannya mengeriput. Aru menggigil. Aku jadi takut.
"Kau sakit?" kataku merasa tak menentu melihatnya tak berdaya seperti itu.
Aru tak bisa menjawabku, aku semakin cemas juga takut. Semakin lama suara menggigilnya pun semakin keras dan hebat. Bahkan giginya kini memaut kuat menahan rasa dingin yang mungkin dia rasakan. Aku panik, tak menentu, tak tahu harus melakukan apa. Semenit, aku kehilangan akal sehatku untuk menolongnya, tak tahu harus berbuat apa selain hanya mematung memandanginya dengan sedih juga cemas. Bingung harus melakukan apa terlebih dahulu untuk menolongnya.
Lantas menit selanjutnya, pikiranku seperti telah berfungsi normal lagi. Aku segera menarik selimutnya dan membungkus tubuhnya dengan selimut. Mungkin itu bisa sedikit membantu menghangatkan tubuhhnya. Mungkin itu bisa mereda dinginnya menghebat.
Aku bahkan hampir menangis melihatnya begitu. Tidak. Mungkin aku hanya ingin menangis karena rasa gelisah dan cemasku pergi kemana-mana, menculikku jauh dari pikiran baik dan normal. Aku takut dia kenapa-napa, atau dia mungkin punya penyakit yang tidak ku ketahui bagaimana menanganinya dengan baik dan benar. Aku hanya takut, juga kalut.
Jadi semalaman tadi kau kedinginan dan hingga tak bisa bangun? Bahkan untuk sekedar mematikan AC dan menutup jendela? Atau hanya sekedar menyelimuti dirimu sendiri? Itulah kenapa semalam aku tidak melihatmu keluar dari kamar setelah pulang kerja? Aku merasa payah sendiri tiba-tiba.
'OH, Aru!'
"Tunggu. Aku buatkan teh untukmu" ujarku mencoba keluar dari rasa panik, dan untuk membuatnya merasa lebih hangat lagi.
Namun sayangnya rasa cemas itu buka semakin mereda, tapi justru bertabah karena tanpa sengaja aku melihat waktu yang terus bergerak semakin cepat, dan seolah mengingatkan jika aku tidak bergerak cepat dan cekatan waktu akan semakin meninggalkan ku dalam keterlambatan yang semakin parah.
Aku berlari kearah dapur, menyalakan kompor dan merebus air. Lalu aku kembali masuk ke kamarku dan mengambil tasku cepat. Ku masukkan barang-barang yang akan ku bawa ke kantor kedalam tas itu, cepat saja. Yang terakhir akupun memasukkan ponselku dalam sana, lalu keluar, menuju dapur lagi, dan karena air belum mendidih aku lantas kembali ke kamar lagi untuk mengambil handuk kecil yang lupa kubawa tadi.
Aku kembali ke dapur dan membuatkan teh panas untuknya. Memasakkannya mie instan, karena itu yang paling praktis dan menyingkat waktu saat ini.
Aku membawa sebuah baskom besar ke kamar Aru, disusul dengan segelas teh manis panas, dan semangkuk mie rebus. Kini aku bisa bernafas dengan sedikit lebih tenang saat melihatnya membaik dengan sendirinya dalam hitungan menit saja. Getaran tubuhnya sudah menghilang, meskipun begitu aku tetap mengompresnya dari kening hingga telapak tangan juga telapak kakinya. Tak lupa akupun memberikan senyum terbaikku saat dia hanya mampu melihatku dengan kondisi lemahnya.
"Apa kau perlu menemui dokter?" tanya ku saat Aru masih mengawasiku dengan wajah lelahnya.
Dia menggeleng lemah, "Tidak perlu. Aku hanya kedinginan" ujarnya lirih.
"Sungguh?" tawarku sekali lagi. Mencoba meyakinkan diri sendiri, tak ada yang perlu ku cemaskan lagi.
Dia mengedipkan matanya lembut untuk menjawab iya.
"Nanti juga membaik dengan sendirinya"
"Baiklah klo begitu. Minum tehnya oke!"
Aku membantunya duduk, dan meminumkannya. Tapi dia memprotes karena masih terlalu panas."Sorry, aku gugup dan panik tadi, jadi lupa mencampurnya dengan sedikit air biasa"
Lalu aku meletakkan kembali gelas itu di meja, dan tanpa sengaja mataku kembali tertuju lagi pada jam disana.
"Mmhh .... Makan juga mienya ya, nanti"
"Instan?" tanyanya dengan nada sedih.
"Iya. Aku ngak sempet masak, kau lihatkan?" aku menunjuk jam itu, "Akuuu..., aku kehabisan waktu, Aru. Aku harus sege ....!"
"Can you please at least just stay?!" katanya menyela ucapku, seperti tahu sekali apa yang akan aku ucapkan padanya. Jika aku akan memberinya kalimat perpisahan.
Aku menatapnya sedih. Akupun ingin tetap ada disampingnya, terlebih disaat dia sedang lemah seperti ini, tapi disisi lain aku ada pekerjaan yang tak bisa ku tinggalkan hari ini. Aku yakin dia akan memahami keadaanku, yang tidak bisa menemani disampingnya lebih lama. Aku yakin Aru akan mengerti jika waktu kami kali ini hanya tidak tepat saja untuk dihabiskan bersama.
"Mmmmm, akanku usahakan pulang cepat nanti, okay?!"
"Please, just this time? Just this day!" mintanya sekali lagi dengan penuh harap. Aku tahu dia butuh aku saat ini, tapi kali ini waktunya hanya tidak pas.
Aku menatapnya makin sedih, karena tak bisa memenuhi permintaannya. Karena pada dasarnya aku juga ingin melakukannya, mengingat kondisi Aru yang tumbang seperti ini. Berada disampingnya disaat terlemahnya seperti ini pastilah sesuatu yang berarti. Tapi aku juga tidak bisa karena ada hal penting juga yang harus ku urus di kantor, dan karena ini juga sudah dijadwalkan jauh-jauh hari sebelumnya, aku tak berani dan akupun tak bisa serta-merta meminta ijin untuk tidak masuk kantor dengan alasan, karena harus menunggui pacarku yang sedang sakit. Aku pasti langsung akan dipecat jika itu sungguhku lakaukan.
Aku sedih, dobel sedih karena himpitan keadaan yang tidak memungkinkan ini. Satu sisi aku ingin tinggal dan merawat pun juga menemaninya, tapi satu sisi lainnya aku harus segera bergegas ke kantor dan menghadiri rapat besar itu. Itulah yang membuatku merasa sedih dan bimbang.
"Sorry, aku ngak bisa jika harus absen hari ini. Aku ada rapat dengan semua pembesar perusahaan hari ini" kataku jujur, berharap Aru bisa memahami hal itu,
"I'll find a way to back here soon. I promise. Okey!" aku mencoba mengganti kekecawaannya dengan menjanjikan pulang lebih awal untuknya.
Setidanya setelah rapat selesai, aku bisa pura-pura sakit atau semacamnya, agar bisa segera pulang dan menemani Aru.
"Okelah. Go!" suaranya tedengar malas melihatku berlama-lama didekatnya.
"Jangan marahlah, please!"
"GO ARA! GO, before you getting late and late 'cause of me. Pergilah, aku tak bisa menahanmu terus berlama-lama disini, bukan?" katanya seperti tidak bisa mentoleransi alasanku.
Jelas Aru merasa tidak senang dengan jawab yang kuberikan. Tapi, aku memilih untuk tidak memperberat semua ini jadi perkara yang sulit diputuskan. Aku tak ingin urusan ini semakin memanjang dan lebih lama menyandra waktuku disini. Aku harus mengejar ketertinggalanku yang sudah bermenit-menit lalu.
"Jangan lupa makan, okay! Jika sampai sore nanti kau masih belum membaik juga, kita ke dokter yah!" bujukku mencoba mencairkan suasana.
"Sudah ku bilang aku tidak apa-apa!" suara Aru menekan tinggi dan sinis,
"Ini hanya kedinginan biasa. Kau tak perlu cemas berlebihan" katanya menjadi dingin tiba-tiba, sedingin suhu tubuhnya tadi.
Aku tahu dia kecewa, dan jadi kesal karena aku tidak bisa meng-iyakan permintaannya.
"You mad at me?"
"Noh. Aku hanya tak ingin kau makin telat" nadanya berubah datar, seakan sedang menyembunyikan marahnya dariku.
Dia bahkan segera memalingkan wajahnya dan menarik lagi selimutnya tinggi, berbaring tidur.
"Jangan marah, aku benar-benar tidak bisa mengambil cuti kali ini" aku meraih lengannya, membalik badannya lagi untuk menghadapku. Aku tak ingin meninggalkannya dalam sedih.
"Ya, aku paham. Pergilah. Kau akan semakin terlambat jika merasa tak enak padaku. Aku baik-baik saja, dan akan selalu baik-baik saja. Kau kan tahu, aku manusia yang kuat. Aku tak akan tumbang hanya dengan demam sekecil ini. Aku lebih baik sekarang"
Aku tersenyum senang mendengarnya.
"Oke. Hubungi aku jika kau butuh sesuatu, yah!"
Aru hanya meng-hmm tak berselera. Dan sekali lagi membalik badan membelakangiku.
"Kau sungguh tidak marahkan? Aku akan segera pulang okay!"
"Mmm. Aku tidak marah"
"Sungguh?"
"Mmmh"
"Klo begitu aku berangkat, yah"
Aru memberiku anggukan. Mengerti.
"Hey, you forget something" tahannya saat aku hendak keluar dari pintunya. Kini dia sudah berbalik menatapku.
"What?"
Aku tersenyum saat Aru sudah menempelkan jari tangannya dipipi kanannya. Memberikan kode untuk sambutan selamat paginya. Namun aku yang sudah setengah dimulut pintu sangsi untuk berbalik dan berlari kearahnya lagi, mengingat waktu yang ku miliki semakin menipis, dan aku juga tidak ingin merusak riasan lipstik ku. Akan butuh tambahan waktu untuk menambalnya ulang. Jadi aku hanya memberinya ciuman jarak jauh dan segera pergi mengejar keterlambatan.
Tapi Aru terlihat seperti tidak terlalu tertarik menerimanya. Dia hanya mengembangkan senyum tipis tak berseleranya melepasku pergi. Aku tahu, ada goresan luka yang tertinggal disana meskipun dia coba samarkan karena mencoba memahami keadaanku yang tak bisa mengiyakan keinginannya.
Sekali lagi, aku meninggalkan sedikit luka dipaginya, juga di hatinya yang harusnya dia sambut dan hadapi dengan indah seperti biasanya. Bahkan, disaat lukanya yang kemarin belum bisa aku obati dengan sempurna, aku malah memupuknya meskipun itu tipis dan tidak pekat. Aku tahu, jauh didalam lubuk hatinya dia terluka menerima keputusanku ini.
'Maaf Aru, aku tak punya pilihan lain'
Aku tahu, akupun sadar, seharusnya jika aku belum mampu mengobati lukanya maka seharusnyapun aku tidak menambah lukanya. Namun akupun sama tak tahunya. Hanya saja, yang sedikit ku tahu dari keadaan tak selaras ini ialah... saat melihatnya lemah tak berdaya, itupun merupakan luka tersendiri bagi diriku, meskipun kecil. Sekalipun itu luka kecil dan ringan, namun luka tetaplah luka. Terasa ada yang tidak nyaman saat membawanya.
Akupun tak mengerti kenapa keadaan dan waktu sederhana ini, kini terasa sulit bagi kami untuk diimbangi dan diselaraskan bersama. Padahal tadinya tidak begini. Padahal tadinya semuanya baik-baik saja dan selaras tanpa perlu usaha. Tapi kini terasa beda. Waktu bersama kami yang biasanya selaras kini terasa menyilang dengan sendirinya. Kurasa aku sedikit tahu semua yang terjadi ini, segalanya terjadi diluar dari kuasa kami berdua.
Seakan semuanya memiliki skenario besar yang tidak kami ketahui laju dan arah geraknya akan kemana dan juga bagaimana. Akankah pergerakan itu mampu menyatukan lagi kami yang terasa terbelah, ataukah pergerakan itu akan semakin memecah kita menjadi partikel yang lebih kecil lagi?
We never know.
Kita tak pernah tahu bagaimana takdir bekerja dalam kehidupan ini untuk kita.
*****
"...Harapan yang tak menjadi kenyataan itu menyakitkan... " ~ Aru ~ - Tujuh jam sebelumnya - Aku baru saja selesai mencurahkan kegundahanku pada Zein, dan sikap Zein masih saja sama. Dia ingin aku meninggalkan Ara, dan semuanya akan selesai dengan sendirinya, jika aku meninggalkannya. Masalah dan kesedihanku akan selesai, dengan mudah. Tapi ini tak pernah semudah seperti yang dia ucapkan dan sarankan padaku dengan entengnya. Bagaimanapun juga perasaanku masih punya magnet kuat untuk Ara, dan aku tidak bisa semudah itu mengambil keputusan seperti yang sahabatku sarankan. Dan ini tak akan pernah semudah dan sesimpel itu selama aku masih punya perasaan yang aktif untuk orang yang ku sayangi, sekalipun dia berbuat salah dan aku berusaha meninggalkannya. Itu tetaplah bukan perkara yang enteng untuk dijalani. Alhasil aku kembali berenang dalam kebuntua
"...Bentuk cinta ya tetap cinta... "~ Aru ~Seperti biasa aku berakhir ditempat sahabatku, Zein. Aku merasa bersyukur memiliki teman sepertinya. Karen dia selalu berlapang hati membantuku, mendengarkan keluh resahku dan menjadi teman berbincang yang sengit karena biasanya pendapat dan pandangan kita berbeda. Aku juga bersyukur karena dia mau menerimaku, menampungku ditempatnya saat aku dan Ara sedang dalam kondisi hubungan yang tidak baik seperti ini.Aku sudah berada disini selama 3 hari terhitung sejak Ara lebih mementingkan urusan pekerjaannya daripada aku. Aku yang kesal lantas melarikan diri kesini. Meskipun begitu, aku baru saja menyelesaikan curhatanku padanya sejak 15 menit yang lalu, maklum kemarin-kemarin dia masih sibuk dengan urusan kerjaannya dan sekarang dia sedang luang. Momen yang tepat untuk curhat dan bertukar pandangan."So, this is your final ending huh? Or it is just another break time
"...Kaulah yang mampu mensabotase pikiranku dengan begitu kacaunya... "~ Ara ~Sudah berhari-hari ini Aru tidak pulang. Terakhir kali aku melihatnya ialah saat aku meninggalkannya di rumah seorang diri dengan kondisinya yang lemah dan seharusnya butuh teman, tapi aku tak bisa menemaninya. Mungkin sebab itulah dia marah padaku. Meskipun itu juga hanya dugaanku belaka tapi aku yakin kemarahannya itu karena hal yang kemarin itu.Komunikasi kamipun tidak intens. Berkali-kali aku mengiriminya pesan tertulis kepadanya tapi dia hanya tetap meninggalkan pesan ku dalam read belaka, dan jarang membalas pesan-pesan yang ku kirimkan. Meskipun aku tahu, palingan Aru sedang ada ditempat Zein tapi tetap saja aku cemas dan tidak menentu jika dia jauh. Terlebih lagi ini kepergian terlamanya meninggalkan rumah dalam keadaan kami sedang buruk selama ini dan itu membuatku tidak fokus bekerja, membuatku tidak enak makan, juga tidak nyenyak tidur.
"...Kita tetap saja keras kepala, memilih bersama dalam ketidak mungkinan... "~ Ara ~Aku duduk perlahan karena kini bokongku terasa mulai sakit. Mungkin Karena jatuhku dalam posisi terduduk jadi pantatku yang terasa sakit dan nyilu setelah tangan yang diperban ini.Aru duduk disampingku. Pandangan dan tatapannya tidak biasa dalam menatapku, saat ini. Ada kompleksitas kelembutan, keberanian, pemahaman dan siratan cinta yang meluluhkan batin saat aku menemukan sinaran pancaran matanya itu. Jadi aku berusaha menghindar dari kontak langsung dengan tatapannya. Aku takut terbius olehnya dan jadi lupa diri. Tapi dia malah memintaku untuk melihatnya. Meminta diriku untuk berfokus padanya seorang, seperti ada hal penting yang ingin dia utarakan.Biasanya jika sudah begini, dia suka sekali mengatakan hal-hal romantis berbau-bau manis. Jadi, aku harus dobel waspada. Terlebih karena Tasya tidak disini menamaniku. Jadi
"...Semoga kata cinta itu bukan sebatas cara untuk menghiburku... "~ Aru ~Aku mendengar Ara mengeluh kesakitan dari dalam kamarnya. Sebelumnya, aku lebih dulu mendengar seperti ada suara benda terjatuh, sebab itulah aku mengetuk pintunya dua kali dengan sigap."Beb, kau sudah bangun?""Yah""Aku masuk boleh?""OH NO. DON'T!" sahutnya cepat."Kau baik-baik sajakan?""Ya, aku baik" suaranya terdengar tidak sepenuhnya berfokus padaku. Dia sepertinya juga sibuk dengan hal lain."Apa kau terjatuh?""Aoouucchhh. SHOOTTT. AHHHGG!" Ara terdengar mengerang kesakitan."Kau kenapa?""Ahhh, tidak apa-apa""Aku masuk klo begitu?""DON'T ARU! JUST STAY AWAY FROM MY DOOR!" perintahnya dengan galak."Is everything alright?""Yeah..., yeah... everything is fine. I am fine too. DON't worry!""Okay, if you say so" kataku hendak pergi, namun t
"...Cinta bisa melumat dalam kebutaan logika, menghalalkan segala cara... "~ Ara ~Aru menjadi begitu sangat perhatian padaku, sebab tanganku yang masih belum sembuh sepenuhnya. Meskipun biasanya dia juga perhatian tapi kali ini usaha dan perhatiannya terbilang lebih ekstra. Dia benar-benar mengurus dan menjagaku dengan baik.Dimulai dari memperhatikan makanku. Dia kadang masak dan kadang juga beli, kalau sedang malas memasak. Lalu mengurus baju-bajuku, mengurus kebersihan rumah, dan bahkan dia masih menyempatkan memijat kepalaku saat aku mulai mengeluh lelah dan pusing karena merasa stres dengan pekerjaan kantor yang melelahkan dan jadi menumpuk saat aku ambil cutiku selama tiga hari kemarin.Aku sudah masuk kerja lagi sejak dua hari lalu. Dan Aru masih saja menjagaku dengan mengantar-jemputku. Dia bilang jika aku naik bus, bisa saja tanganku tersenggol orang-orang secara tidak sengaja dan justru itu akan membuat proses penyembuhanku t
"...Wujud cinta memang kadang sulit dimengerti oleh logika... " ~ Aru ~ "Hei, Ra..." aku menghentikan Ara yang sudah beberapa langkah menjauh, "Kau rapat tidak mainan HP kan?" tanyaku ragu-ragu. "Mmh, yah tentu. Aku akan fokus pada rapat. Kenapa?" "Baguslah klo begitu. Berikan HP mu, biar aku yang bawa" "Buat apa?" katanya menarik raut tenangnya mundur seketika, "Bagaimana klo aku butuh sewaktu-waktu? Untuk menghitung atau mencatat mungkin?" tambahnya mencoba bersikap wajar seperti tak terganggu. Tapi sangat terganggu. Aku mengeluarkan ponselku dari saku. "Bawa punyaku. Tukeran" aku mencoba menghentikan elakannya. Itu membuat dia meragu menyerahkan ponselnya padaku. Seperti permintaan simpelku ini juga merupakan hal yang sulit baginya. Seperti biasanya, dia selalu memandang berat akan permintaan-permintaanku. Namun dia juga tak mampu mengelak, karena takut aku mencurigainya. "Jangan macam-macam, ok
"...Cinta bisa membuat kita patah hati dengan banyak rupa... "~ Ara ~"Sya..." aku kirim pesan itu ke Tasya"Hei say..." balas Tasya, "What is up?" lanjutnya, "Kalian bertengkar lagi?""Ya begitulah""Apa ini berhubungan dengan statusnya? Do you love? Love me? love me not?""Sepertinya begitu""Kenapa lagi sekarang?" tanya Tasya,"Just don't bottle up your feeling, Ara. Kau bisa cerita apapun padaku, kau tahu itukan? I'm here, bebby" dia mencoba memberikan ketenangan padaku, "Want me to call you?" lanjutnya membalas."Please!"Tidak lama kemudian kita sudah tersambung dalam panggilan."Jadi?""Aru ngeselin juga NYEBELIN!""OKAY. Terus?""Terus aku marah, dia lalu pergi. Sudah berjam-jam dan belum juga pulang""Kau menyesal karena telah memarahinya atau sudah merasa merindukannnya?""Aku hanya..., jadi kepiki
~ Ara ~ . . . ... Sepasang sesal ... Menepikanmu yang kurasa sanggupMeniadakanmu yang kurasa mampu Tapi bayangmu tak pernah jauh dari heningkuDan seluruh heningku tak pernah sepi darimu Jangan menyerah Karena kau masih memikatkuDan hatiku masih terpaut dekat denganmuSekalipun kau tak tahu itu benarSekalipun tak ku ucapkan dengan benar Kau tahu aku hanya berlagakKau tahu aku selalu malu berbicara cintaJadi bisakah sekali lagi kau menunggukuKuharap hatimu tak berubah padaku Sekalipun kini hanya berat yang tertinggal Dan benteng kuatku telah menemui lapukan terlemahnya berupa sesal. . . - Guilty on tuesdays - " Lyn Wen " . . I hope one day you'll come backAnd at least say hiWipe off the tears on my faceAnd give us a try, Cause I can tellYou're done with this leaving hell yeah...I can tellYou're done with what I do To keep me away from youTo keep me away from you, Every good moment has passedYou're still not hereCrying alone in my car seems to famil
"... Aku tak perlu berkorban lagi untukmu, karena kau telah bahagia ..." ~ Aru ~ . . Pernah aku terpenjara dalam jerat cinta, yang membawa arusku jadi seru dan semu, tapi aku jatuh juga dari ketinggian mencinta kedalam ulu hara, dalam perangkapnya kasih menjadi siksa. Karena itu, setelah badai tikai itu, aku memilih menutup diri. Memberinya kemerdekaan dalam hilangku. Dan kutangani sisa luka, konsekuensi dari berani mencintainya, sendiri. Tak kubiarkan orang tahu atas luka patah hatiku. Kusembunyikan kepatahan itu dari sekelilingku. Karena aku tak ingin membebankan perasaan luka yang kuterima pada orang lain, dan itulah kebijakanku. Meski itu tak mudah, aku berhasil membuatnya terlihat begitu. Serupa seperti tak berlinang air mata. Serupa hatiku tak retak karena terluka. Padahal diam-diam akupun menangis dalam sembunyiku. Di kamar mandi, atau dibilik kamar redup lampu. Lantas pura-pura tidur saat ada yang mendekat. Sebab aku tak punya alasan benar, menunjukkan pedihku pada mere
"... Biarkan hatimu menuntun maunya, tapi ijinkan takdir yang memutuskan jawabnya ... " ~ Ara ~ . . "Ara, aku bertemu dia. Kami bicara. Tentu aku melihat apa yang tak bisa kau lihat darinya, Ra" "ARU TAK BAIK, RA." "TIDAK. Dia harus baik-baik saja. Harus!" "Yah, tampaknya memang begitu" "Tampaknya?" "Mau menggeser sedikit saja persepsimu akan kebencian Aru padamu itu?" "Tak yakin!" "Bagaimana jika kepergiannya itu bukanlah atas dasar kebenciannnya? Mungkin saja itu sesuatu yang lain" "TIDAK. Itu harus benci. HARUS!" "Dan bagaimana jika yang kau lihat benci itu, mungkin, sebenarnya hanya bentuk lain dari luka? Mungkin itupun bentuk dari defensif Aru dalam melindungi hatinya. Bukan benci" "Kenapa begitu?" "Aru bisa saja menjadi brengsek waktu itu. Dia bisa merusak pernikahanmu sebelum takdir melakukannya. Tapi alih-alih begitu, dia malah memilih mundur. Menarik semua kedekatannya darimu tanpa menciptakan kegaduhan, Ra. Jadi Apa tindakan itu mencerminkan kebencian?" Aku m
"... Takdir memaksa kita mengerti dan menerima keadaan tak baik kita, meski kita tak ingin... " ~ Ara ~ . . - THE WEDDING - Aku baru selesai dirias dan Tasya masuk. "Woooh.. who's this gurl? So gorgeous!" "Thank you" Aku senang menerima pujian itu. Meski hatiku juga merasakan getir gelisah yang lain. "Bagaimana rasanya jadi mempelai?" "Nervous, I guess?" "Kurasa akupun akan begitu saat diposisiimu. Wajar, Ra. Itu gerogi yang baik" "Kuharap begitu. Tapi lebih dari itu. Aku sangat bahagia. Akhhirnya Sya... Akhirnya!" "Umh, I'm so happy for you too" Sudut mata kami mengeluarkan embun haru. Tasya lalu memelukku. "Okay-okay, ini hari bahagiamu dan aku tak ingin riasanmu rusak karena kebahagiaan ini" Kami menghapusnya. "U
"... Kau mungkin bahagia, tapi benarkah itu kebahagian yang ingin kau jalani ... "~ Ara ~.."Tasya?""Surprise!"Dia memelukku."Katamu besok?""Tidak jadi. Aku mempercepat segalanya""Masuklah!""So, how's your life Ara?""Seperti yang bisa kau lihat. Baik!""Kau menjawab persis seperti seseorang" gumamnya, "Kau sedang sibuk?""Tidak""Apa yang akan kita lakukan hari ini?""No shopping, karena kau pasti masih jetlag. And I'm not about going anywhere. Jadi kurasa kita hanya perlu disini saja""Good girl. Kau sangat memahamiku!""O-ya, kau jadi ketempat Zein?""Ya""Dia mengusirmu?""Tidak. Dia berubah menyenangkan""Uh, impresif. Kalian membicarakanku?""Sedikit. Oh, iya, kau mau minum apa?""Tak perlu repot. Aku bukan tamu istimewa""Aku k
"... Cinta itu telah berakhir ..."~ Aru ~.."Berjuang lebih keras, Aru!""Kau kira kenapa aku bertahan dalam sengsara itu jika bukan untuk berjuang?""Sudah Tasya! Aku mencoba segala yang kubisa. Dari memprovokasi cemburunya, memperbaiki emosiku, hingga bersikap manis padanya untuk mendapatkan lagi hatinya. Tapi Arnold yang selalu menang. Kau hanya tak tahu usahaku itu!"Dia termenung."Aku berupaya hingga tak punya cara lain lagi selain menyudahi keegoisanku untuk memilikinya seorang diri.""Huhf..." helanya."Aku pasti jadi psycho jika diposisimu. Kau harusnya gunakan emosi kesalmu itu untuk memukuli seseorang. Jangan diam saja dan malah lari!"Aku terhibur mendengarnya.Apa dia tak tahu aku memukul Ara waktu itu?"Kau pernah punya pikiran jahat? Seperti psycho?""Mungkin""Sungguh? SESAIKO APA?""Mungkin karen
"... Rasanya aku ingin membunuhnya saat melihatnya pamer bahagia, sedang aku menahan nyilu dan cemburu ..." ~ Aru ~ . . Aku terdampar dalam sebuah kemegahan asing dalam duniaku. Tapi ini bukan ilusi. Aku duduk merenung, menikmati nyaman yang belum pernah kunikmati begini sebelumnya. Membahagiakan. Aku menghirup aroma cappucinoku, sebelum mengecap bagaimana rasanya. Dan benar rasanya istimewa, seperti harganya yang bisa membuat dilema kepala orang biasa. Tapi disinilah aku kini, mengagumi soreku yang biasanya tak selalu indah. Tapi kini berubah begitu menawan dalam sekedip. Aku menyesap lagi gelas kopiku, sambil menunggu dengan santai seseorang yang telah membuat janji temu denganku. Dudukku mulai menyila, tapi bosan masih jauh dari pikiranku. Meskipun kini aku terkurung di lantai 122, diketinggian ratusan meter, dalam atmosfer megah restauran kelas dunia, di Burj Khalifa.
"... Itu pilihan, ingin menjadikannya ujian dalam cinta atau takdir dalam cintamu... "~ Ara ~ . . Kenapa aku sendiri masih terus ragu dengan apa yang Zein tuturkan barusan. "Ara, kau masih mencintainya, kan?" "Entah Zein!" "Apa kau tahu, ragu adalah bagian dari iya yang belum disetujui lewat kata""Yang kutahu, aku tidak kesini untuk membahas hal seperti itu" "Benarkah? Apa kau pikir hanya dengan modus mengembalikan ini, aku lantas percaya? Tidak Ara. Aku tak sebodoh itu!""Kau terlalu berlebihan Zein""Menyangkalnya membuat hatimu lebih baik?""Zein, Aru membenciku!""Maksudku dia masih membenciku, kan?" aku mencari defensif lain."Ya, benar. Dia membencimu hingga tak ingin lagi melihatmu. Hingga ingin menguburmu. Hingga ingin menghilang darimu. Dan itu benar, dia membencimu"Hatiku terluka mende
"... Mengapa orang lain bisa melihat cintaku dengan jelas, tapi aku tidak ... "~ Ara ~ . . Ada banyak hal yang ingin kusampaikan saat berada dalam masa perenungan lalu. Karena kehilangan Aru membuatku tak seimbangan. Tapi setiap kali menatap wajah penuh lukanya, akupun kehilangan cara untuk membela diri dari kekacauan yang kubuat sendiri. Kalimatku lenyap, bibirku terbungkam. Aku tak bisa menyanggah kalimat penuh lukanya karenaku. Dan karena itu, yang terlintas hanya perasaan sesalku, jadi alih-alih membela diri, aku lebih ingin meminta maaf.Tapi Aru selalu tak ingin mendengarnya. Dia tak ingin mendengarnya, seberapapun aku merasa bersalah padanya.Tapi menyumpahiku gagal menikah adalah hal yang paling tak bisa kuterima. Dan itu sangat melukai hati terdalamku.Begitulah aku menyerah pada akhirnya. Karena mungkin dengan membiarkannya pergi, itu menghinda