"I told you, right? Berbulan-bulan yang lalu, oh tidak. Bertahun-tahun yang lalu, agar kau meninggalkannya. But all you did just ignore my words" Zein menanggapi dengan kesal.
Aku tidak bisa membantah perkataan sahabatku itu. Walau bagaimanapun Zein benar, hanya aku yang keras kepala tetap mempertahankannya walau sulit.
"Jadi sekarang bagaimana?" katanya dengan intonasi yang lebih rendah dan santai.
Aku hanya mengangkat bahu. Bahkan akupun tidak mengerti harus apa. Harus bagaimana menghadapi semua ini. Harus bagaimana mengambil sikap atas keadaan ini. Yang ku tahu hanya, aku harus mengirimkan pesan pada Ara jika aku akan menginap ditempat sahabat ku ini sementara waktu. Kalau tidak Ara pasti akan terus mengirimiku pesan non stop, bertanya aku ini dan itu, apapun yang bisa ditanyakannya padaku.
"Sepertinya perpisahan adalah jalan terbaik untuk kalian" Zein kembali membuka pendapatnya. Dan aku kembali tersita pada ucapan temanku yang semena-mena itu.
"Kau tahu itukan? Sejak lama aku bahkan sudah menunjukkan sikap tidak mendukungku pada hubungan kalian" tambahnya.
"Ya" aku menjawab pada tanya Zein juga tanya Ara di dalam pesannya.
"Jadi putus sajalah!"
Aku berhenti sejenak memandangi ponselku. Beralih fokus hanya pada Zein. Menatapnya dengan sedih. Kenapa saran yang dia berikan serasa justru tidak membantuku keluar dari masalah.
"Ini tidak semudah itu, Bro" aku menjawab Zein dengan lemah dan membagi perhatian menjadi dua lagi, antara Zein dan pesan Ara.
"Aru...! Are you that dumb, huh? She's cheating on you not once but twice you know! And you still gonna forgive her? Dan kau tetap akan membiarkannya tinggal disamping mu? Heck Noh!" Ujarnya mencoba mengembalikan ku pada realita,
"Aku tidak akan membiarkannya menginjak-injak harga dirimu untuk kesekian kalinya, dan aku tak ingin dia menyakitimu jutaan kali dengan cara seperti ini!" geramnya.
"Hei, kau berlebihan. Aku juga tak sudi disakiti jutaan kali bod..., boccah!"
"Lantas apa lagi yang kau tunggu? Tinggalin dia, bro! Ku dukung kau dengan Quin" aku terperangah mendengar Zein berujar begitu.
"Shook!" aku bereaksi pada kedua topik yang mereka bawa, yang sama-sama tentang Quin.
Aku tidak mengerti kenapa mereka malah membawa-bawa nama Quin dalam semua masalah ini. Quin bahkan tidak tahu apa-apa. Dia bahkan tidak tahu perasaanku padanya selama ini. Kenapa mereka seperti ingin aku dan Quin bersama? Diwaktu hatiku sudah bukan lagi miliknya.
Aku pasti akan bilang yah, oke, jika saja dukungan itu diberikan sahabatku dulu, tapi sekarang itu tidak mungkin. Kita punya kehidupan asmara kami masing-masing. Dan Quin tidak pernah jatuh hati padaku, sebab itu aku menyerah.
"Aku bahkan tidak tahu apa aku masih mencintainya seperti ..., aku ingin memilikinya, atau perasaan suka itu memang sudah berubah hanya sekedar perasaan suka seorang teman saja" aku memberikan Zein alasan. Lalu menjeda, mencari kata yang pas untuk menjelaskan pada Zein secara akurat,
"Kurasa perasaanku pada Quin kini hanya sebatas platonikal belaka, Zein. Berbeda dengan perasaanku pada Ara. Dia menggenggam perasaanku sepenuhnya. Dan lagi pula, Quin sudah dimiliki orang lain. Kau juga tahu itu. Jadi ku mohon jangan mengganggunya!" jawabku pada Zein tegas, yang membuahkan keheningan lagi diantara kami.
Keheningan itu lantas aku gunakan untuk membalas pesan-pesan Ara yang makin terasa bernada tegang tinggi.
"AKU DAN DIA ITU TEMAN!!! AKU TIDAK LUPA STATUSMU UNTUK KU. Meski kau mungkin LUPA! Tapi aku tidak lupa KAULAU, KAULAH PACARKU, YANG TERNYATA BERPACARAN DENGAN ORANG LAIN JUGA!" Jawabku sengit pada pesan Ara.
"POKOKNYA AKU MAU KAU PULANG!"
"YA" balasku santai pada pesan Ara, "BESOK!" ku susul dengan pesan lanjutannya."Sorry bro, sepertinya aku tidak jadi menginap disini"
Zein menatapku ragu juga heran.
"Itu tak akan sama. MENGERTILAH!" Ara membalas lagi,
"Pulang atau aku akan benar-benar marah padamu, plis. AKU MEMOHON DENGAN SERIUS!!" aku membaca pesannya yang sudah bernada frustasi.
"Huhff" Zein membuang nafas jengah, "Apa ini karena kau tersinggung dengan ucapanku barusan?" Zein menebak karena aku tiba-tiba ingin pulang.
"Tentu tidak. Bukan itu. Kau teman terbaikku. Aku tak perlu marah dan pergi menghindar klo yang kau katakan itu sesuatu yang benar" jawabku mencoba bijaksana.
"Klo begitu, ini pasti karena Ara?" dan aku mengangguk.
"Dasar LABILLL!! Pikiranmu belum sepenuhnya stabil, jadi merenunglah beberapa hari disini sebelum kembali menghadapinya"
"Terima kasih untuk saran dan tawaranmu itu, tapi ini genting. Aku harus kembali. Ini akan semakin rumit jika aku tidak kembali. Dia butuh aku!"
Zein menggelengkan kepala. Tak bisa mengerti jalan pikiranku dengan baik.
"Kalau kau terus keras kepala seperti ini. Kau sendiri yang nantinya akan terluka, Sob...," dia mengingatkan,
"Aku mengingatkan mu dengan serius karena kau teman ku, Ru" tambahnya dengan raut muka paling serius yang pernah dia tunjukkan padaku.
"Thank you. Aku menghargai atas saran mu ini. Sungguh. Tapi, aku harus kembali dan membereskan masalahku dengan Ara. Aku tak ingin benang kusut ini mengikat dan menali dengan tali yang lebih rumit lagi ...," kataku meminta pengertianya,
"Aku dan dia perlu bicara tentang bagaimana hubungan ini akan berlanjut, kurasa. Dan untuk saran drimu itu, aku akan berhati-hati soal itu. Thank you, bro" aku mengambil jaket, kunci motor dan tasku untuk bersiap pergi, tapi Zein lalu memanggilku ulang,
"Ru...," dia seperti ragu ingin berujar, tapi dia memberanikan diri untuk menyampaikannya sebelum aku benar-benar pergi,
"Jaga hatimu itu. Kau hanya punya satu, jangan sampai seseorang merusaknya. Hanya itu saja pesanku"
Aku tersenyum menimpali masukannya.
Sekalipun kadang kami berdebat sengit karena mempertahankan pendapat kami masing-masing, namun sebenarnya itu dikarenakan, karena kita saling peduli dan menjaga. Dan sekalipun ucaan Zein terdengar kasar dan garang, judes dan tajam, tapi dia selalu punya sisi lembut dalam hatinya.
"Don't worry. I know my limit" balasku dan aku pergi juga dari tempat Zein.
Aku buru-buru mengendarai balik motorku ke condo kami bertiga tinggal. Karena perasaanku mengatakan padaku bahwa Ara tengah dirundu gelisah dan juga cemburu.
Bagaimanapun juga, aku tahu jika perasaan Ara selalu lebih sensitif jika itu sudah menyinggung tentang Quin. Sekalipun, sebenarnya dia juga mengenal Quin dengan cukup baik.
Ara tahu Quin adalah temanku sejak lama, dan kami dekat sejak sebelum aku mengenal Ara, bahkan. Hanya saja kata teman diantara kami tidak cukup membuatnya merasa aman, meskipun dia bukan gadis pencemburu biasanya. Tapi nama Quin sepertinya punya magis rival tersendiri bagi Ara, yang membuatnya harus tetap menjaga mata waspada walaupun dia juga tahu status kami hanya teman.
Namun, sejak pernyataan jujurku padanya waktu itu, jika dulu aku pernah menaruh rasa pada Quin, kurasa sejak saat itu juga Ara jadi menaruh waspada kala aku bersamanya, atau bahkan jika kami sebatas hanya terlibat obrolan diruang akun sosial media kami. Dia selalu menjadi orang pertama yang ingin tahu, apa yang kami obrolkan.
Aku rasa Ara pasti telah membaca komen yang Quin tinggalkan dibeberapa akun sosmedku, dan dia menjadi labil seperti sekarang ini.
Dan karena dia labil, akupun akhirnya menjadi labil juga. Perasaan ku mengatakan Ara cemburu pada Quin, karena Quin adalah wanita yang baik. Dia selalu memperlakukan ku dengan baik, memperhatikan ku dengan amat baik melebihi teman-teman ku yang lainnya.
Terlebih lagi karena aku dan Quin seperti memiliki chemistry tersendiri didalam semua ruang candaan kami, dan itulah yang kadang banyak disalah pahami orang-orang, bahkan sekelas teman karibku sendiri. Mungkin chemistry itulah yang dianggap Zein dengan kata soulmate tadi. Karena pada kenyataannya aku dan Quin memang saling terkoneksi. Kita seakan punya klik kami sendiri dalam memahami gerak ataupun ucap kami hanya dalam sekali pandang.
Pada satu titik tertentu, kami seolah bisa mengetahui keadaan masing-masing, merasa memiliki satu frekuensi yang sama meski berada ditempat yang berbeda. Kami hanya seperti terpaut satu sama lain tanpa kami sendiri tahu apa penyebab pastinya.
Mungkin itu pulalah yang membuat Ara cemburu. Sangat cemburu pada Quin. Karena bahkan Arapun terkadang sulit menyesuaikan dengan pemahamanku, dia sulit menangkap maksudku dengan baik saat berbicara dengan ku, kadang. Jadi aku harus berbicara pada Ara dengan bahasa yang gamblang dan straight to the point agar dia bisa langsung paham poin pembicaraanku. Dan berlaku pula sebaliknya. Ara harus menjelaskan maksudnya sebaik dan sesingkat mungkin tanpa harus bertele-tele saat berbicara padaku, agar semuanya jelas bisa ku terima dengan sempurna.
Tapi berbeda dengan Quin, aku dan dia bisa membicarakan apa saja dengan Quin. Baik dengan menggunakan bahasa tersirat, bahkan yang terabsurt sekalipun kami masih tetap terkoneksi. Kang malah dengan banyak kata kiasan dimana saja, namun kami tetap bisa terkoneksi pada poin pembicaraannya dan saling paham. Aku dan Quin seperti memiliki 'on dan off ' yang sama. Sebab itulah Ara jadi khawatir.
Aku sampai ditempat ku, tapi sayangnya sepi tak ada orang. Kurasa mereka sedang keluar, mungkin mencari makan atau udara segar. Aku menyalakan televisi untuk mencari teman dalam kesendirian.
Aku menggantung jaket kulitku dan kunci motorku ditempatnya, seperti biasa. Aku suka hal-hal yang rapi, dan itu sedikit berbeda dengan Ara dan teman sekamarnya juga. Ara, sedikit tidak rapi dalam hal penataan interior, bukan dalam berbusana, terlebih lagi Tasya. Tasya yang paling parah soal kebersihan, tapi jika itu menyangkut perawatan badan, dialah juaranya.
Aku merogoh kantong sakuku, mengeluarkan benda sakti yang selalu harus bersamaku kemanapun aku pergi. Dan disana ku lihat sudah ada pesan masuk. Itu bukan dari Ara, tapi dari Quin.
"Same old-same old" balasnya dari tanyaku akan kabarnya tadi."A bit harder, huh? 😑 "
"Itu pasti berhubungan dengan hatimu, iyakan? You're definitely telling me about your ship, aren't you? 💔 " balas Quin pada pesan ku tadi."Kind of. Still. I'm glad 😭 you knew me that well"
"Aku mengenalmu dengan baik? Tentu saja! Kita sudah seperti saudara kembar 👫 Aru! Kita saling memahami hati kita dengan sangat baik"
"Our radar 📡 still working very well, I guess!" balasku lagi.
"Mine? YAZZ, it still ✅ works properly and function well. Dan kurasa punya mu jugakan, MaiyaRu?"
"Yeah, mine either. Semuanya baik-baik saja bukan, MacQuin? You won't tell me?"
"Semuanya baik, juga tidak baik. Semua masih aman terkendali. Kau mengenalku dengan baik Gamaru. Kenapa aku harus bercerita? We 🌐 still connected, right?" ujarnya membalasku.
"Seem like we on a same page 💔 " aku menduga.
"Mungkin. Hidup jadi lebih berat makin kita dewasakan? 💁 "
"Fakta!" balasku, "Jalanpun makin menanjak dan berliku, bukannya lurus dan mudah saat kita makin tumbuh dewasa" lanjutku.
"Dan darisana pulalah tingkat kedewasaan kita semakin berkembang dan membijaki diri" Quin seperti sedang curhat akan kisah kedewasaannya.
"Mmm, dan waktu ⌛ semakin mempersempit ruang gerak kita. Lalu menjejali kita dengan banyak kemengertian atas ketidak mengertian kita" kini, akupun terdengar serupa, curhat dengan sendirinya.
"Apa kau tidak merasa pembahasan kita ini jadi terlalu agak tua? 👵 👴 " Quin mengingatkan.
"Yah sepertinya, setiap hari kita MEMAN makin tua. Tapi gantengku tetap sama. Konsisten! 😄 " aku berkelakar.
"Problems couple, huh? Kau sama pacarmu?" tanyaku basa-basi.
"Kita sudah saling sepakat untuk tidak membicarakan ⛔ masalah privasi hubungan kita masing-masingkan? Kau masih ingat?"
"Tentu saja 😅. Just checking that you are good. 😉 Jika kau menjawab tidak, aku pasti akan mencari seseorang untuk ku hajar. Kau tahukan?"
"Yah, itulah salah satunya kenapa aku tidak ingin curhat denganmu. Kau terlalu sok jagoan. Uppss, maksudku PREMAN! 😜 " balasnya,
"I'm fine, btw. And it will get better in time. Jadi simpanlah tenaga mu untuk yang lain" lanjut Quin membalasku.
"Hei, aku hanya ingin melindungi mu. Tapi syukurlah jika kau baik-baik saja. Maka aku tak jadi bersikap sok jagoan. Apa lagi jadi sok PREMAN!" balasku,
"You're right. It'll get better in time" ulangku, "Semua akan membaik pada waktunya. Jadi kita tak perlu pusing-pusing mecoba memperbaikinya"
"Let's talk!"
"I call you, Is it OK?" Quin bertanya."Sure"
Lalu percakapan sudah beralih dari text ke panggilan suara lalu ke video call."Hai Radar mahal" sapa ku.
"Aku bukan Master Sun!" keluhnya, karena aku menyinggung nama sebuah drama.
"Ohh, hai juga Susah Sinyal" kini giliran Quin yang menyinggung ku dengan nama sebuah film. Maklum kami berdua sama-sama penggemar film dan drama dari berbagai genre.
"Sepertinya suaramu terdengar lebih baik daripada perasaanmu sendiri" ujarku mengumbar candaan.
"Dan kau apalagi. Suaramu terdengar lebih bahagia dari rasa sakit yang mungkin sedang kau rasakan saat ini, sepertinya begitu?"
Aku lalu terkekeh mendengar dia balik mencandaiku.
Mengobrol dengan Quin nyatanya memberikan kesembuhan tersendiri dari rasa jengah dan sakit hati ini.
"Ru..." panggilnya. Dan aku hanya mengheming, "Grab your guitar and sing with me"
"OK. Wait a minute" aku segera mengambilnya, "Lagu apa?" tanyaku saat sudah siap.
"Seether and Amy"
"Broken?" tanyaku memastikan. Dia menghmm, "Kau sedang ingin mengenang masa sekolah dulu atau ini lagu perwakilan dari hati yang terluka?"
"Oh, Aru. Sepertinya aku harus menyanyikan mu lagu 'Tegar milik Rosa' daripada hati yang tersakiti"
Aku terpingkal mendengarnya.
"Aku hanya sedang suka lagu itu lagi" tambahnya.
"FAKE!" sergahku seraya menyenyapkan televisi, "Aku mengenalmu Quin"
"Ok jujur, yang ke-3" jawabnya ulang.
Pilihan yang ku berikan cuma ada 2, tapi Quin menjawab yang ke-3. Jika dia sudah menjawab begitu artinya semua jawaban adalah benar. Dia memilih dua-duanya. Jadi dia sedang tidak enak hati dan karena itu jadi suka lagu itu juga.
"Bisakah sejenak kita melupakan tentang faktanya dan hanya menikmati lagunya saja selagi kita bernyanyi?" mintanya.
"For sure. YASSS!"
Aku mulai memainkan gitarku, "Ready?"
"Yeah. You go first. The guy part"
"in 3-2-1-" lalu aku bernyanyi,
"I wanted you to know. That I love the way you laugh. I wanna hold you high and steal your pain away"
Quin mulai mengikuti ku bernyanyi, dia mengambil suara dua.
"Cause I'm broken when I'm lonesome. And I don't feel right when you're gone away. You've gone away. You don't feel me here anymore"
"Don't worry Quin, I still feel you around even if he didn't anymore" aku berujar, menanggapi lirik yang dia nyanyikan.
Quin abai akan celotehanku, meskipun dia terlihat sedikit tersenyum. Dia hanya bersiap mengambil bagian solonya. Kurasa dia sedang tak ingini diberi tanggapan bercanda.
"The worst is over now and we can breathe again. I wanna hold you high, you steal my pain away. There's so much left to learn, and no one left to fight..."
Sekalipun lagunya sedih dan perasaan itu sedang ada dalam diriku dan Quin, tapi kami justru membawakannya dengan santai tanpa harus menjiwai kesedihannya secara nyata.
Kami justru bersenang-senang dengan lagu itu. Quin menggunakan ekspresi fake sad-nya secara berlebihan. Seolah tengah mengejek rasa sakit yang kami alami dan menertawakannya sekaligus. Seakan kami tidak sedang terluka sama sekali dengan semua alur kehidupan ini.
Satu lagu selesai. Kita pindah lagi ke lagu yang lainnya. Kini lagu Adele yang dia request, when we were young.
Lagu ini membawa kami kedalam ruang nostalgia tersendiri. Mengingatkan ku, dan juga Quin pada masa sekolah dulu.
Masa dimana aku dan dia sangat dekat. Masa dimana ada banyak perjumpaan dan pembahasan seputar lagu, artis, hingga bintang-bintang Kpop.
Yah, sebagian banyak waktuku kala itu dihabiskan bersamanya dan dua teman lainnya untuk bermusik juga bermain. Aku, Quin, Zein, dan Malik memang pernah tergabung dalam sebuah band sekolahan, dan Quinlah yang mengisi bagian vokalis utamanya.
Lagu keduapun selesai.
"Feel better now?" tanyaku padanya yang masih mendengar dia tertawa.
"Much. Thank you, Ru. Kau mengobatiku dengan begitu cepat"
"You too. Thank you for killing my lonesome"
"Ahh, jadi kangen sama band, deh"
"Then, let's meet up someday. Kita berempat"
"Absolutely. Tanpa body guard?"
"Tanpa pacar. Feel free!" kataku bersemangat menanggapinya.
"YEHH. Berdua aja gimana? Quin mencandai.
"ASYIK! Tapi itu bisa jadi hal buruk untukku dan pacar mu. Dia mungkin bisa menghajarku karena salah paham"
"Jadi kau takut dengannya?"
"Apa tawaranmu ini serius?" tanyaku balik mencari kejelasannya.
"Kurasa tidak. Aku juga tak ingin pacarmu salah paham denganku, dan itu semakin membuatmu pusing. Aku tak ingin mempersulit keadaan sulitmu"
"Oh, thank you atas rasa pedulimu itu"
"Mmm. I miss you so much and the ...,"
"Oh YAAASS... I miss you that much too, tho!" Aku memotong kalimatnya cepat.
"Don't cut my word, dude. Aku belum selesai ngomong. Itu bukan hanya kamu saja" protesnya tidak dengan nada marah, hanya tegas saja.
"But I like it, if you just stop right there. Seperti titik bukan koma" aku mencandainya.
"Kau suka?"
"Mmmh"
"Baiklah. Akan ku kirimi kau voice note klo begitu, mmh?" dia bermain-main dengan kalimatnya. Menantang candaan ku balik.
"Then you'll be cause a war in my ship" tapi aku menanggapi dengan jujur.
"Oh, klo begitu gampang. Aku tinggal bilang maaf padamu dan pada pacar mu" ujarnya, dan aku bisa mendengar suara tawanya bergelak,
"Don't worry by that, Aru. It just a sense of my humor"
"Aku sangat paham maksudmu, MacQueen. Hanya saja mungkin orang lain akan salah paham dengan sikap kita yang saling mengerti satu sama lain dengan terlalu baik seperti ini"
"Yah, kau benar. Tapi apa itu salahku? Karena bisa memahami mu dengan sangat baik melebihi yang lainnya?"
"Tentu bukan, Quin. Sejak kapan juga terlalu memahami sahabatnya jadi sebuah kesalahan dan pelanggaran?" tanyaku retorik.
"Sejak kau punya pacar" tapi Quin menjawabnya dengan jujur dan tepat.
"Hei..." aku ingin protes tapi tidak jadi.
"We both know the rules but people might be not. Sekali lagi, semua itu hanya humor Aru! Tapi rasa kangenku itu bukan lelucon" kata Quin dalam balut kekehan lucu mempermaikanku.
Tapi itu menggembirakan untukku dengar walau hanya dalam balutan rasa bercanda. Aku selalu suka dengan keberanian dan kejujuran Quin yang selalu diatas Ara levelnya.
"Then just date with me?" aku membalas balik umpan candaannya.
"Oh, I would love to my knight. Tapi kamu putus dulu" jawabnya ringan dan masih dalam selera humor yang pekat.
"Oh SIAL, suara mu terdengar seperti sungguhan. Aku hampir tertipu oleh mu Ratu. Ratu drama sensasi"
"Dan kau terdengar seperti King of Honest, Prabu"
"Prabu? Terdengar sangat tua sekali"
"Kan memang kamu sudah tua" candanya lagi padaku, "So, are you really wanna date me?"
"Of course..." aku mengusiknya,
"Of course, Not!" lanjutku kemudian menggenapi kalimat yang sengaja ku tahan tadi,
"It just sense of my humor, by the way, Quin" ujarku menirukannya.
"Dan akupun paham itu, broh!" lantas kita tertawa bersamaan,
"Oke, aku rasa kau akan terus menggodaku dan kita akan mengobrol sampai larut malam klo tidak kita akhiri disini obrolan silly ini" Quin mencoba mengakhiri pembicaraan kami.
"Yah, kau benar. Sejak kau menjadi teman favoritku, kita bisa menghabiskan waktu berjam-jam tanpa terasa. But anyway, sekali lagi dan untuk yang terakhir, thank you for cheering me that well. Kau membuatku rindu bertemu"
"No prob, karena kau melakukan hal yang sama untukku juga. Thank you for steal my pain away..." Quin mengucapkan kata terakhirnya itu dengan sambil bernyanyi, "I miss you back MaRuru. Salam untuk Zein"
"Mhh tentu"
"Ok bye, Aru Gamaru"
"Bye, Quin Kwinanti"
"Jangan memimpikan ku, Ru"
"Tentu. Tentu tidak. Kau yang jangan memimpikanku karena terlalu rindu"
"Tentu saja tidak. Bye Aru"
"Bye Quin"
Aku menyandarkan lelah punggungku pada sofa ini. Melepas senyum bahagia karena obrolan panjang barusan, sedikit banyak telah merubah suasana sedih hatiku menjadi lebih tenang dan ceria.
Benar.
Menjalin obrolan ringan dengannya saja sudah cukup membuat suasana hatiku berubah. Quin seperti matahari yang bisa dalam sekejap menyingkirkan awan gelap dalam diriku, namun sinarnya yang begitu terang patut juga untuk diwaspadai karena bisa menyilaukan pandangan mataku.
Aku melirik jam. Membatin kenapa mereka berdua belum juga pulang. Semua baik-baik saja, bukan?
Apa aku harus menghubungi Ara? Mengatakan padanya jika aku telah kembali?
Oh, tidak. Aku tak perlu melakukan itu.
Aku mengecek ponselku. Sekali lagi membaca ulang semua perckapanku dengan Quin tadi.
Aku tersenyum-senyum sendiri meresapinya, seperti orang baru ksmaran sekali lagi.
"TIDAK! INI BUKAN CINTA ARU!" aku menegaskan pada diriku sendiri karena merasa takut jika perasaan itu menjadi aktif lagi setelah semua keruh yang ku lalui membenamkan diriku dalam sendu.
"Aku hanya mencintai Ara!"
Aku merasa tak mengerti dengan semua ini. Pikiranku mulai berkembang liar, dan aku harus men-shut down-nya segera.
Kurasa itu cara terbaik meghentikan arusnya mengalir kemana-mana.
Tapi ini masih mengganjal.
"Apa benar aku masih mencintainya?"
*******
"...memberikan batasan dalam pertemanan akan menyelamatkannya dari kehancuran..." ~ Ara ~ Aku dan Tasya kembali ke Condo, dan aku menjadi begitu senang saat melihat sepatu Aru sudah ada ditempatnya. Itu artinya dia sudah kembali dan masih mendengarkan ku walau kadang bersikap acuh tak acuh padaku. Dia tetap selalu mempertimbangkan perasaanku, dan aku tahu itu. Aru akan begitu begitu lunak padaku. Wajahku dihiasi dengan banyak senyum dan itu membuat Tasya tidak mengerti. Dia memandangiku aneh karena menurutnya tadi aku banyak menangis tapi mengapa sekarang terlihat berbalik setengah lingkaran. Aku yang kini, seolah sedang berdansa bersama bahagia. Dan itu pasti membuatnya bingung. Itu karna Tasya belum melihat jika Aruku sudah kembali pulang. Aku jadi merasa senang. Hanya sesederhana itu saja bahagiaku, Aru kembali kesisi ku. Hanya itu saja sudah bisa membuatku merasa begitu
"...orang yang kau cintai sepenuh jiwalah yang pada akhirnya mematahkan hatimu ... " ~ Aru ~ Aku terbangun tengah malam dan mendapati Ara tidur disisi lain kursiku. Selintas yang terpikirkan olehku ialah, kenapa dia tidur diluar? Apa itu karena dia merasa bersalah padaku atau karena dia sudah merasa rindu? Ah, yang kedua serasa tidak mungkin. Itu pasti karena dia merasa bersalah padaku. Aku hendak memindahkannya ke kamarnya tapi ingat jika ada Tasya. Lalu aku berpikir untuk memindahkannya ke kamarku dan aku bisa kembali tidur disini sendirian, tapi urung karena kekuatanku rasanya masih belum pulih sepenuhnya dan karena aku juga masih kesal dengannya. Perasaan marah itu tidak bisa reda begitu saja. Memang bagaimana bisa hilang dengan begitu mudah? Saat orang yang sangat kau cintai nyatanya menghianatimu. Aku melihat ponselku diatas meja. Dan aku yakin dia pasti sudah mengecek isi chatku dengan Quin, karena letakny
"...Melihatnya lemah tak berdaya merupakan luka tersendiri, meskipun kecil..."~ Ara ~Beberapa minggu berlalu, hubunganku dengan Aru masih terlihat biasa saja. Kami masih baik-baik saja, tapi juga tidak baik-baik saja. Masih belum ada keputusan untuk saling menjauh apalagi saling meninggalkan satu sama lain. Kami masih saling berbagi tempat menyandar, kami masih saling berbagi suapan, dan kadang juga berbagi hal yang lain-lainnya juga.Meskipun terkadang dibumbui juga dengan pertengkaran kecil saat Arnold menghubungiku, atau mengirim pesan padaku dan aku menjawabnya didepan Aru. Kaarena sebab itulah dia jadi mudah marah belakang ini, mungkin karena merasa tersisihkan dan aku bisa memahami itu. Dia marah dan kesal karena aku membagi kasih juga perhatian pada orang lain.Jika sudah begitu Aru bawaannya ingin menghindariku, dia segera mengambil langkah menjauh dariku, memberiku jarak. Entah itu dia pergi
"...Harapan yang tak menjadi kenyataan itu menyakitkan... " ~ Aru ~ - Tujuh jam sebelumnya - Aku baru saja selesai mencurahkan kegundahanku pada Zein, dan sikap Zein masih saja sama. Dia ingin aku meninggalkan Ara, dan semuanya akan selesai dengan sendirinya, jika aku meninggalkannya. Masalah dan kesedihanku akan selesai, dengan mudah. Tapi ini tak pernah semudah seperti yang dia ucapkan dan sarankan padaku dengan entengnya. Bagaimanapun juga perasaanku masih punya magnet kuat untuk Ara, dan aku tidak bisa semudah itu mengambil keputusan seperti yang sahabatku sarankan. Dan ini tak akan pernah semudah dan sesimpel itu selama aku masih punya perasaan yang aktif untuk orang yang ku sayangi, sekalipun dia berbuat salah dan aku berusaha meninggalkannya. Itu tetaplah bukan perkara yang enteng untuk dijalani. Alhasil aku kembali berenang dalam kebuntua
"...Bentuk cinta ya tetap cinta... "~ Aru ~Seperti biasa aku berakhir ditempat sahabatku, Zein. Aku merasa bersyukur memiliki teman sepertinya. Karen dia selalu berlapang hati membantuku, mendengarkan keluh resahku dan menjadi teman berbincang yang sengit karena biasanya pendapat dan pandangan kita berbeda. Aku juga bersyukur karena dia mau menerimaku, menampungku ditempatnya saat aku dan Ara sedang dalam kondisi hubungan yang tidak baik seperti ini.Aku sudah berada disini selama 3 hari terhitung sejak Ara lebih mementingkan urusan pekerjaannya daripada aku. Aku yang kesal lantas melarikan diri kesini. Meskipun begitu, aku baru saja menyelesaikan curhatanku padanya sejak 15 menit yang lalu, maklum kemarin-kemarin dia masih sibuk dengan urusan kerjaannya dan sekarang dia sedang luang. Momen yang tepat untuk curhat dan bertukar pandangan."So, this is your final ending huh? Or it is just another break time
"...Kaulah yang mampu mensabotase pikiranku dengan begitu kacaunya... "~ Ara ~Sudah berhari-hari ini Aru tidak pulang. Terakhir kali aku melihatnya ialah saat aku meninggalkannya di rumah seorang diri dengan kondisinya yang lemah dan seharusnya butuh teman, tapi aku tak bisa menemaninya. Mungkin sebab itulah dia marah padaku. Meskipun itu juga hanya dugaanku belaka tapi aku yakin kemarahannya itu karena hal yang kemarin itu.Komunikasi kamipun tidak intens. Berkali-kali aku mengiriminya pesan tertulis kepadanya tapi dia hanya tetap meninggalkan pesan ku dalam read belaka, dan jarang membalas pesan-pesan yang ku kirimkan. Meskipun aku tahu, palingan Aru sedang ada ditempat Zein tapi tetap saja aku cemas dan tidak menentu jika dia jauh. Terlebih lagi ini kepergian terlamanya meninggalkan rumah dalam keadaan kami sedang buruk selama ini dan itu membuatku tidak fokus bekerja, membuatku tidak enak makan, juga tidak nyenyak tidur.
"...Kita tetap saja keras kepala, memilih bersama dalam ketidak mungkinan... "~ Ara ~Aku duduk perlahan karena kini bokongku terasa mulai sakit. Mungkin Karena jatuhku dalam posisi terduduk jadi pantatku yang terasa sakit dan nyilu setelah tangan yang diperban ini.Aru duduk disampingku. Pandangan dan tatapannya tidak biasa dalam menatapku, saat ini. Ada kompleksitas kelembutan, keberanian, pemahaman dan siratan cinta yang meluluhkan batin saat aku menemukan sinaran pancaran matanya itu. Jadi aku berusaha menghindar dari kontak langsung dengan tatapannya. Aku takut terbius olehnya dan jadi lupa diri. Tapi dia malah memintaku untuk melihatnya. Meminta diriku untuk berfokus padanya seorang, seperti ada hal penting yang ingin dia utarakan.Biasanya jika sudah begini, dia suka sekali mengatakan hal-hal romantis berbau-bau manis. Jadi, aku harus dobel waspada. Terlebih karena Tasya tidak disini menamaniku. Jadi
"...Semoga kata cinta itu bukan sebatas cara untuk menghiburku... "~ Aru ~Aku mendengar Ara mengeluh kesakitan dari dalam kamarnya. Sebelumnya, aku lebih dulu mendengar seperti ada suara benda terjatuh, sebab itulah aku mengetuk pintunya dua kali dengan sigap."Beb, kau sudah bangun?""Yah""Aku masuk boleh?""OH NO. DON'T!" sahutnya cepat."Kau baik-baik sajakan?""Ya, aku baik" suaranya terdengar tidak sepenuhnya berfokus padaku. Dia sepertinya juga sibuk dengan hal lain."Apa kau terjatuh?""Aoouucchhh. SHOOTTT. AHHHGG!" Ara terdengar mengerang kesakitan."Kau kenapa?""Ahhh, tidak apa-apa""Aku masuk klo begitu?""DON'T ARU! JUST STAY AWAY FROM MY DOOR!" perintahnya dengan galak."Is everything alright?""Yeah..., yeah... everything is fine. I am fine too. DON't worry!""Okay, if you say so" kataku hendak pergi, namun t
~ Ara ~ . . . ... Sepasang sesal ... Menepikanmu yang kurasa sanggupMeniadakanmu yang kurasa mampu Tapi bayangmu tak pernah jauh dari heningkuDan seluruh heningku tak pernah sepi darimu Jangan menyerah Karena kau masih memikatkuDan hatiku masih terpaut dekat denganmuSekalipun kau tak tahu itu benarSekalipun tak ku ucapkan dengan benar Kau tahu aku hanya berlagakKau tahu aku selalu malu berbicara cintaJadi bisakah sekali lagi kau menunggukuKuharap hatimu tak berubah padaku Sekalipun kini hanya berat yang tertinggal Dan benteng kuatku telah menemui lapukan terlemahnya berupa sesal. . . - Guilty on tuesdays - " Lyn Wen " . . I hope one day you'll come backAnd at least say hiWipe off the tears on my faceAnd give us a try, Cause I can tellYou're done with this leaving hell yeah...I can tellYou're done with what I do To keep me away from youTo keep me away from you, Every good moment has passedYou're still not hereCrying alone in my car seems to famil
"... Aku tak perlu berkorban lagi untukmu, karena kau telah bahagia ..." ~ Aru ~ . . Pernah aku terpenjara dalam jerat cinta, yang membawa arusku jadi seru dan semu, tapi aku jatuh juga dari ketinggian mencinta kedalam ulu hara, dalam perangkapnya kasih menjadi siksa. Karena itu, setelah badai tikai itu, aku memilih menutup diri. Memberinya kemerdekaan dalam hilangku. Dan kutangani sisa luka, konsekuensi dari berani mencintainya, sendiri. Tak kubiarkan orang tahu atas luka patah hatiku. Kusembunyikan kepatahan itu dari sekelilingku. Karena aku tak ingin membebankan perasaan luka yang kuterima pada orang lain, dan itulah kebijakanku. Meski itu tak mudah, aku berhasil membuatnya terlihat begitu. Serupa seperti tak berlinang air mata. Serupa hatiku tak retak karena terluka. Padahal diam-diam akupun menangis dalam sembunyiku. Di kamar mandi, atau dibilik kamar redup lampu. Lantas pura-pura tidur saat ada yang mendekat. Sebab aku tak punya alasan benar, menunjukkan pedihku pada mere
"... Biarkan hatimu menuntun maunya, tapi ijinkan takdir yang memutuskan jawabnya ... " ~ Ara ~ . . "Ara, aku bertemu dia. Kami bicara. Tentu aku melihat apa yang tak bisa kau lihat darinya, Ra" "ARU TAK BAIK, RA." "TIDAK. Dia harus baik-baik saja. Harus!" "Yah, tampaknya memang begitu" "Tampaknya?" "Mau menggeser sedikit saja persepsimu akan kebencian Aru padamu itu?" "Tak yakin!" "Bagaimana jika kepergiannya itu bukanlah atas dasar kebenciannnya? Mungkin saja itu sesuatu yang lain" "TIDAK. Itu harus benci. HARUS!" "Dan bagaimana jika yang kau lihat benci itu, mungkin, sebenarnya hanya bentuk lain dari luka? Mungkin itupun bentuk dari defensif Aru dalam melindungi hatinya. Bukan benci" "Kenapa begitu?" "Aru bisa saja menjadi brengsek waktu itu. Dia bisa merusak pernikahanmu sebelum takdir melakukannya. Tapi alih-alih begitu, dia malah memilih mundur. Menarik semua kedekatannya darimu tanpa menciptakan kegaduhan, Ra. Jadi Apa tindakan itu mencerminkan kebencian?" Aku m
"... Takdir memaksa kita mengerti dan menerima keadaan tak baik kita, meski kita tak ingin... " ~ Ara ~ . . - THE WEDDING - Aku baru selesai dirias dan Tasya masuk. "Woooh.. who's this gurl? So gorgeous!" "Thank you" Aku senang menerima pujian itu. Meski hatiku juga merasakan getir gelisah yang lain. "Bagaimana rasanya jadi mempelai?" "Nervous, I guess?" "Kurasa akupun akan begitu saat diposisiimu. Wajar, Ra. Itu gerogi yang baik" "Kuharap begitu. Tapi lebih dari itu. Aku sangat bahagia. Akhhirnya Sya... Akhirnya!" "Umh, I'm so happy for you too" Sudut mata kami mengeluarkan embun haru. Tasya lalu memelukku. "Okay-okay, ini hari bahagiamu dan aku tak ingin riasanmu rusak karena kebahagiaan ini" Kami menghapusnya. "U
"... Kau mungkin bahagia, tapi benarkah itu kebahagian yang ingin kau jalani ... "~ Ara ~.."Tasya?""Surprise!"Dia memelukku."Katamu besok?""Tidak jadi. Aku mempercepat segalanya""Masuklah!""So, how's your life Ara?""Seperti yang bisa kau lihat. Baik!""Kau menjawab persis seperti seseorang" gumamnya, "Kau sedang sibuk?""Tidak""Apa yang akan kita lakukan hari ini?""No shopping, karena kau pasti masih jetlag. And I'm not about going anywhere. Jadi kurasa kita hanya perlu disini saja""Good girl. Kau sangat memahamiku!""O-ya, kau jadi ketempat Zein?""Ya""Dia mengusirmu?""Tidak. Dia berubah menyenangkan""Uh, impresif. Kalian membicarakanku?""Sedikit. Oh, iya, kau mau minum apa?""Tak perlu repot. Aku bukan tamu istimewa""Aku k
"... Cinta itu telah berakhir ..."~ Aru ~.."Berjuang lebih keras, Aru!""Kau kira kenapa aku bertahan dalam sengsara itu jika bukan untuk berjuang?""Sudah Tasya! Aku mencoba segala yang kubisa. Dari memprovokasi cemburunya, memperbaiki emosiku, hingga bersikap manis padanya untuk mendapatkan lagi hatinya. Tapi Arnold yang selalu menang. Kau hanya tak tahu usahaku itu!"Dia termenung."Aku berupaya hingga tak punya cara lain lagi selain menyudahi keegoisanku untuk memilikinya seorang diri.""Huhf..." helanya."Aku pasti jadi psycho jika diposisimu. Kau harusnya gunakan emosi kesalmu itu untuk memukuli seseorang. Jangan diam saja dan malah lari!"Aku terhibur mendengarnya.Apa dia tak tahu aku memukul Ara waktu itu?"Kau pernah punya pikiran jahat? Seperti psycho?""Mungkin""Sungguh? SESAIKO APA?""Mungkin karen
"... Rasanya aku ingin membunuhnya saat melihatnya pamer bahagia, sedang aku menahan nyilu dan cemburu ..." ~ Aru ~ . . Aku terdampar dalam sebuah kemegahan asing dalam duniaku. Tapi ini bukan ilusi. Aku duduk merenung, menikmati nyaman yang belum pernah kunikmati begini sebelumnya. Membahagiakan. Aku menghirup aroma cappucinoku, sebelum mengecap bagaimana rasanya. Dan benar rasanya istimewa, seperti harganya yang bisa membuat dilema kepala orang biasa. Tapi disinilah aku kini, mengagumi soreku yang biasanya tak selalu indah. Tapi kini berubah begitu menawan dalam sekedip. Aku menyesap lagi gelas kopiku, sambil menunggu dengan santai seseorang yang telah membuat janji temu denganku. Dudukku mulai menyila, tapi bosan masih jauh dari pikiranku. Meskipun kini aku terkurung di lantai 122, diketinggian ratusan meter, dalam atmosfer megah restauran kelas dunia, di Burj Khalifa.
"... Itu pilihan, ingin menjadikannya ujian dalam cinta atau takdir dalam cintamu... "~ Ara ~ . . Kenapa aku sendiri masih terus ragu dengan apa yang Zein tuturkan barusan. "Ara, kau masih mencintainya, kan?" "Entah Zein!" "Apa kau tahu, ragu adalah bagian dari iya yang belum disetujui lewat kata""Yang kutahu, aku tidak kesini untuk membahas hal seperti itu" "Benarkah? Apa kau pikir hanya dengan modus mengembalikan ini, aku lantas percaya? Tidak Ara. Aku tak sebodoh itu!""Kau terlalu berlebihan Zein""Menyangkalnya membuat hatimu lebih baik?""Zein, Aru membenciku!""Maksudku dia masih membenciku, kan?" aku mencari defensif lain."Ya, benar. Dia membencimu hingga tak ingin lagi melihatmu. Hingga ingin menguburmu. Hingga ingin menghilang darimu. Dan itu benar, dia membencimu"Hatiku terluka mende
"... Mengapa orang lain bisa melihat cintaku dengan jelas, tapi aku tidak ... "~ Ara ~ . . Ada banyak hal yang ingin kusampaikan saat berada dalam masa perenungan lalu. Karena kehilangan Aru membuatku tak seimbangan. Tapi setiap kali menatap wajah penuh lukanya, akupun kehilangan cara untuk membela diri dari kekacauan yang kubuat sendiri. Kalimatku lenyap, bibirku terbungkam. Aku tak bisa menyanggah kalimat penuh lukanya karenaku. Dan karena itu, yang terlintas hanya perasaan sesalku, jadi alih-alih membela diri, aku lebih ingin meminta maaf.Tapi Aru selalu tak ingin mendengarnya. Dia tak ingin mendengarnya, seberapapun aku merasa bersalah padanya.Tapi menyumpahiku gagal menikah adalah hal yang paling tak bisa kuterima. Dan itu sangat melukai hati terdalamku.Begitulah aku menyerah pada akhirnya. Karena mungkin dengan membiarkannya pergi, itu menghinda