"...Menyenangkan jika kebahagiaan kita hanya di isi dengan cerita tentang kita, tanpa harus membawa penyusup..."
~ Aru ~
Setelah mengirim pesan pada Tasya, aku lantas melajukan motor ku melewati jalanan kota Singapura pergi menuju tempat sahabatku, Zein. Biasanya dia selalu ada di kursi nyamannya untuk bermain game seharian dan hanya bersantai-santai di hari Minggu. Jadi aku tidak memberitahukannya jika akan datang.
Aku memarkir motorku. Bergegas menekan tombol lift dan menuju nomer apartemennya. Belum juga ku tekan bell, pintu sudah terbuka dengan sendirinya.
"Yoo Bro!" serunya kaget.
Wajah Zein terlihat. Pakaiannya rapi, wajahnya bersih segar, rambut tertata dan tersisir halus. Dan... tumben dia wangi. Seperti akan pergi berkencan saja. Beruntungnya aku datang tepat waktu, sebelum dia pergi.
"Tumben ngak ngabarin klo mau kesini? Ehh bukanya kau bilang mau pergi sama Ara, yah? Bener-ngak sih?" lanjut kalimatnya sambil membuka pintu lebih lebar lagi.
"Yah, harusnya begitu. Kau mau pergi kemana?"
"Biasalah mau ngebahas new projek sama temen"
"Tumben-tumbenan kau mau ketemu teman doang tapi rapi begini! Pasti temen cewek yah?" aku mencandainya, dan Zein hanya menyengir, menggantung jawab.
"Aku nginep disini bolehkan?"
"Pasti boleh dong. Eh, napa? Marahan sama nyonya, ye?"
"Yah, begitulah"
"Sialan kau, rumahku cuma dijadikan tempat pengungsian perang" candanya.
Zein melihat jam di tangannya. Lagaknya seperti sedang buru-buru.
"Masuk bro. Aku tinggal dulu yah, sore mungkin aku baru balik. Kau santai aja disini seperti biasanya" dia menepuk satu lenganku, "Mohon jaga kebersihan ditempatku ya!" bisiknya sebelum pergi.
Aku masuk dan berbaring malas-malasan di sofa. Malas melakukan apapun. Malas memikirkan apapun. Hanya ingin berbaring dan berharap bisa tidur dengan pulas. Tapi ternyata aku tidak bisa.
Pikiranku masih dipenuhi arus tentang hal-hal tadi. Hatiku masih mengecap sakit dan perih mengulang semua kata yang Ara utarakan tentang dirinya dan pria itu.
"TUNANGAN?" aku tidak bisa melepaskan satu kata yang berhasil menancap nyeri dalam diriku itu. Satu kata yang berhasil merusak mood pagiku dan satu kata yang berhasil merusak kencan kami hari ini.
"DIA SUDAH BERTUNANGAN DENGAN ORANG LAIN. SEJAK 2 MINGGU LALU?" monolog ku pada diri sendiri, "SIALAN! bagaimana itu bisa terjadi? Bagaimana sampai dia tidak memberitahukan ku? Bagaimana mungkin ...?"
"AHGGRR!" aku menutup mukaku dengan bantal dan berteriak sendiri.
Aku tidak mengerti kenapa Ara bisa menyembunyikan hal sepenting dan sebesar ini dariku? Menghianatiku sekali lagi. Menduakan perasaanku sekali lagi, setelah berulang-ulang kali menikamkan belati derita dalam hidupku. Dan kini, masih saja ada sekali lagi luka yang serupa seperti itu. Oh, Tuhan! Kenapa harus selalu ada sekali lagi hal-hal buruk dan menyedihkan yang dia ulang-ulang dalam hidupku. Sekali lagi?
Dan ucapan Ara tentangku, yang menganggap aku hanya sebatas candaan untuknya masih terus saja mengganggu pikiran ini dengan sedih. Pikiran ini dengan sendirinya mencari rentetan-rentetan dugaan negatif lainnya hingga terangkai panjang dan menjadi serangan kesedihan tersendiri yang menambah daya lemahku.
"Apa benar aku hanya sebatas candaan untuk Ara? Hadirku hanya candaan untuknya?"
Yah, aku tahu. Aku dan dia memang banyak bercanda, dan melalui banyak hari bersama dengan banyak candaan juga. Tapi, bukan itukan maksud dari candaan yang Ara maksud tadi itu? Jika hubunganku dengan Ara hanya sebatas gurauan untuknya. Bukan itu bukan maksudnya? Tapi jika tidak seperti itu kenapa dia bertunangan dengan orang lain? Itu benar-benar melukai perasaanku hingga ketulang-tulangku.
Jadi selama ini aku bukan siapa-siapa untuknya selain hanya lelucon?
"Me nothing? Semua pengorbananku untuknya selama ini tak berarti apa-apa? Semua kesetiaanku padanya tak berarti apa-apa selain hanya sebuah gurauan baginya? Sungguhkah begitu? Ini bisa membuatku gila. Mempercayai itu semua bisa membuatku gila dalam sekejap tapi menyangkalnyapun tak akan membuatku merasa jauh lebih baik" gumamku dalam pening pikiran ku sendiri.
Memang mengapa pula aku harus sakit hati mendengar itu? Jika dia hanya bermain-main dengan perasaanku? Mengapa aku harus sakit hati mendengar hal itu terulang-ulang dalam ingatanku? Mengapa aku harus sakit hati? Bukankah aku sendiri juga tahu semua hubungan ini hanyalah candaan kehidupan. Hubunganku dengan Ara tidak bisa serius. Bukankah itu kesepakatan kami dulu? Lalu kenapa aku harus sakit hati mendengar semua ini? Apa ini ... Apakah ini pertanda jika aku akan kehilangan dia sebentar lagi?
"Ohh NOOH... holly-molly-shitty-dizzy!" aku terlalu jauh mengembangkan pikiran negatifku. Aku harus berhenti, karena semua pikiran itu bisa melukaiku dengan sendirinya. Aku harus berhenti memikirkan pikiran buruk tentang hubunganku dengannya, karena ada ratusan kenangan baik yang sudah kami lewati bersama tahunan ini. Kenapa pula aku harus sakit hati hanya dengan ucapan kecil seperti itu? Mengapa?
Mungkin Ara hanya tidak bermaksud mengucapkan itu tadi. Mungkin dia hanya merasa perlu keluar dari tekanan stresnya saja tadi. Jadi dia mengucapkan kalimat itu. Bukan untuk bermaksud melukai ku. Tapi mengapa juga aku tetap saja merasa terluka, meskipun itu hanya secuil? Mungkin karena aku mencintainya, atau karena aku jadi serakah mencintainya?
"Molla" aku berujar dalam bahasa korea yang berarti akupun tidak mengerti.
Aku mencoba memahaminya. Menempatkan diriku pada posisinya, Tapi aku tetap tidak paham. Dan tetap saja terluka hanya dengan kata-kata recehnya yang menganggap hubungan ini hanya gurauan.
Aku menghening.
Ku rangkai lagi kenangan itu. Kenangan indah saat bersamanya dulu. Aku mengingat-ingat ulang waktu tahunan silam yang sudah berdiri dibelakang kami. Berharap dengan begitu, lukaku bisa hilang. Berharap dengan begitu hatiku bisa sedikit terobati karena kita mengisi hari-hari itu dengan kebahagiaan diantara aku dan dia. Hanya kita. Tanpa orang ketiga.
~ Maret Pertama dalam Ikatan Cinta ~
Aku merasa ini kabar gembira yang datang mengisi rutinitas sibukku yang melelahkan. Tapi siapa yang menyangka jika bagi Ara kabar ini semacam kabar duka yang melukainya.
Yah, kontradiktif memang. Kita memang kontradiktif. Perjalanan cintaku dengannya memang berjalan dengan kontradiktif, tapi semua itu tak pernah begitu menjadi masalah besar bagi kami, selama ini. Mungkin itu kenapa kita bisa saling melengkapi dalam perbedaan itu. Kita bisa menyerasikan diri dalam perbedaan itu, seperti halnya apa yang aku suka berbeda dari apa yang Ara suka, itu tidak mengganggu kami tadinya. Sama halnya dengan apa yang kubenci berbeda dari apa yang Ara benci, tapi kita selalu bisa menghargai semua itu dalam keserasian.
Andai bisa diumpamakan, kami serupa seperti jarum jam. Ada satu jarumnya yang pendek dan satunya lagi panjang. Satu bergerak cepat dan satunya lagi lambat. Tapi karena perbedaan itulah, jam bisa berjalan serasi, ia bisa menunjukkan waktunya dengan tepat. Seperti itulah kira-kira aku dan Ara. Mungkin dan seharusnya sih kita memang serasi seperti itu. Lalu kenapa kini tidak lagi? Mungkinkah ini menunjukkan kerusakan? Entahlah.
Kembali pada sebuah kabar.
Aku rencananya akan dipindah kerja ke Manila untuk sementara waktu. Aku merasa itu adalah angin segar bagi kebosanan ku dan rutinitas ku yang monoton, begitu-begitu saja. Terlebih lagi karena Pak Bos menjanjikan gaji 2x lipat untuk ku dalam misinya memindahku ke Manila, plus tunjangan dan bonus lain-lainnya yang membuat ku senang bukan kepalang.
Sebagai orang yang berpikir logis dan butuh banyak uang, aku seketika mengiyakan "YES Boss" tanpa perlu pikir-pikir lagi. Tapi lain lagi dengan Ara yang menolak waktu ku beritahukan kabar ini padanya.
"NOH, Bi!" katanya dengan raut sedih,
Aku segera menyusulnya dengan kata tanya.
"Kenapa sih?"
Lalu Ara berujar jika dia tidak ingin jauh dariku, terlebih lagi karena kita baru memulai 'dating' beberapa bulan lalu. Dia merasa hubungan ini masih riskan karena baru seumuran jagung. Ara takut jika aku pergi, bisa saja nanti aku jatuh hati dengan orang lain, dan dia juga tidak siap jika harus LDR.
Aku bisa mengerti alasan dan kecemasan Ara akan ku. Tapi aku yang sudah terlanjur berujar iya pada Pak Bos, bisa apa? Hanya bisa membujuk Ara hari demi hari agar dia bisa merubah pikiran NO-nya menjadi YES.
"Oh come on Beb, don't be over thinking about that. Ini hanya beberapa bulan saja, setelah itu aku juga balik lagi kesini. Kita bisa sama-sama lagi"
"Oh, come on Bi. Don't play around with this situation. Semuanya serba mungkin untuk menjadi awal bagi keretakan hubungan kita yang masih rapuh ini" bantahnya menirukanku,
"Kalau kamu pergi, kamu akan jauh dariku dan begitu sebaliknya. Kita tidak bisa mengontrol sekeliling kita. Godaan apa saja bisa datang menjamu kita. Lingkungan, oranga lain, pertemanan. Semuanya bisa menjadi faktor pemisah bagi kita bersama. Dan jarak itu bisa semakin membuat kita tambah jauh tiap harinya karena... mungkin faktor lelah ataupun waktu yang tidak selaras. Kau paham itukan?" sambungnya menekankan bantahannya pada kalimat ku.
Aku hanya mengangguk setuju. Tapi juga tidak sepenuhnya setuju dengan pikiran itu. Ara yang menangkap ekspresi bingungku kemudian menambahkan pendapatnya lagi.
"Kau juga tahukan? Kalau aku tidak suka kesendirian, kesunyian, juga kekosongan. Dan lagi pula kita baru memulai hubungan ini. Apa kau mau meninggalkan ku disini sendirian begitu saja? Tidak! Kau harus bertanggung jawab atas perasaan ini. Perasaan yang kau minta dulu, yang kini sudah menyebar dalam diriku. Kau harus bertanggung jawab sepenuhnya akannya dan kau juga harus menjaganya!"
"Oh Beb, You're not gonna be alone. Kau punya teman-teman mu disini. Ada Bening, Norah, Gani. Definitely you're not alone" timpalku menenagkannya, "Dan untuk perasaan itu, tentu aku akan bertanggung jawab menjaganya. I really mean it. Really. For real!" belaku balik sambil mengangkat tangan seperti orang sedang bersumpah dalam persidangan.
Ara kemudian membungkam mulutku dengan sesuap nasi briyani.
"Tapi mereka bukan kamu. Dan jelas itu tidak akan sama rasanya, Bi" elak Ara. Masih mempertahankan argumennya.
Aku menahan senyum senangku.
"Kenapa kau ngotot banget sih? Segitunya ya, ngak pengen jauh dariku?" godaku mengisi celah ketegangan pembahasan ini agar tidak menjadi pertengkaran.
"Aku juga sudah menjawabnya tadi!"
"Beb, bukannya jika ada jarak diantara kita itu justru akan membuat suatu hubungan semakin erat, you know!"
Ara memicingkan mata. Mempertanyakan lebih lanjut maksud pernyataanku yang barusan itu.
"Emm ...," aku berusaha menjelaskan detail dari kalimatku karena Ara sepertinya tidak begitu paham, "Karena ada rindu yang semakin besar diantara kita ..., dan dengan rindu itu hubungan akan semakin rekat. Kita akan makin dekat. Percaya padaku, kita akan makin dekat. Kita akan baik-baik saja!" bujukku menyimpulkan.
Ara menatapku sebentar tapi kemudian terbenam lagi dengan makanannya.
"Lagi pula, aku bukan anak kecil lagi. Kau tak perlu cemas berlebihan. Aku bisa jaga diri dari hal-hal yang kau benci. Percayalah. Aku akan menjaga keutuhan cinta kita"
"Justru karena kau bukan anak kecil lagi, aku jadi cemas. Bagaimana aku bisa percaya padamu klo kau saja jauh dari pandangan ku? Kau bahkan ramah pada semua teman-temanku. Sudah ku bilang, semuanya punya potensi untuk masuk dan menjadi godaan lalu berubah jadi cobaan untuk hubungan kita. Aku tidak mau kita ..., Auhhh"
Aku menarik satu pipinya, tapi tidak terlalu keras. Mungkin teriakan Ara itu hanya rasa kagetnya akan aksiku ini.
"Uhh .... Apa begini wajah cemburu mu?" aku menyadari sesuatu dari ucapannya yang hanya itu-itu saja, "Atau apa aku setampan itu dimatamu? Sampai-sampai kau sebegitu posesifnya padaku?" ujarku menggoda dalam mereda tegang,
"Tidak!" elaknya.
"Jelas kau cemburu. Lalu mencemburui orang-orang yang bahkan belum ku temui. Bahkan, aku belum kenal dengan siapa kira-kira aku akan bekerja nantinya. Kau terlalu banyak berenang dalam pikiran negatif mu. Itu tidak baik, Beb. Lagipula aku bukan tipe orang yang mudah tertarik pada orang lain, selama aku sudah dimiliki. Bagiku, satu saja sudah cukup. Aku bisa menjaga diri. Sungguh! Percayalah padaku, okay?!" sambungku meyakinkannya.
Dia masih saja terlihat meragukan ku.
"Kau tidak perlu secemburu itu. Aku akan menutup mata, hati dan diriku dari wanita lain, oke?! Kau kan tahu, kau sudah menggembok hatiku dan kuncinya sudah ku buang entah dimana. Jadi perlu usaha keras untuk membukanya"
Ara jadi tersenyum mendengarku berujar begitu. Wajah gundahnya melunak jadi semu malu. Aku juga ikut tersenyum menikmati wajah malunya karena ucapanku. Sekali lagi dia menyumpal mulutku dengan sesendok briyani yang sedang kami nikmati bersama, seraya menyembunyikan wajah malunya dariku.
"Mmmhhh..." aku masih mengunyah dan bersiap untuk menyambung kalimatku lagi tapi Ara menyerobot lebih dulu.
"Dan perlu kau tahu beberapa hal. Pertama aku tidak bisa berenang. Jadi aku tidak sedang berenang bersama hal-hal negatif. Aku hanya sedang menarik garis kemungkinan yang bisa saja terjadi Bi ...," Ara memberikan pembelaannya,
"Kedua. Kau tidak setampan itu. Dan aku tidak sedang bersikap posesif akan mu. Aku hanya sedang bersikap protektif dengan kelanggengan hubungan kita ...," dia masih teguh tanpa mau mengalah. Menghapus wajah malunya dengan cepat.
"Ketiga. Aku tidak cemburu sebanyak itu. Aku hanya tidak ingin kita jauh, lalu aku sendirian dan kesepian dan mengundang orang lain masuk untuk menggantikan posisi mu. Kau juga harus memikirkan hal itu mulai sekarang!"
"Wait! Tempat ku tak akan tergantikan oleh siapapun di hati mu, bukan?"
"Entahlah. Kau kan tahu kalau aku benci kesendirian. Aku benci kesunyian, apalagi kesepian. KAU HARUS PAHAM AKAN HAL ITU!" dia menyelesaikan kalimat informatifnya dan ganti menggodaku.
Tapi sayangnya aku tidak merasa takut dengan godaan maupun ancamannya. Aku malah justru merasa geli dibuatnya. Karena aku baru saja menemukan ide untuk membuat sangkalanku akan kalimatnya.
"Easy! Pertama aku tidak akan membuatmu kesepian karena aku akan selalu meluangkan waktuku untuk mu. Kau bisa menelponku. Kita bisa video call-an, atau saling berkirim voice note, selain text pastinya! Kedua, aku juga masih bisa menyanyikan lagu nina bobo untukmu klo kau masih kesepian"
"Tetap saja itu tidak sama! Aku butuh kehadiran mu bukan bayangan virtual mu, Bi"
"Uwaah.... Aku benar-benar tersentuh dengan kalimat mu" aku meletakkan tangan ke rahang pipiku dan memandangnya dengan lebih bahagia, "Kau tahu? Kau membuatku merinding. Apa kau sedang menggodaku? Tumben banget ngegombalin aku begini. Sukak deh aku digombalin kamu kek gini" candaku,
"Kita lagi bicara serius!"
Aku menurunkan tanganku dari sanggahan pipiku. Merasa harus bersikap serius padanya.
'Huh dasar Ara, tidak bisa diajak bicara santai!' keluh batinku.
"Oke-okey, kita bicara serius!" aku menyetujui keinginannya,
"Kita jadi jauh dan berjarak karna tidak bisa setiap hari ketemu, kan? Karena kita beda tempat juga. Tidak ada yang salah dengan itukan? Toh nantinya aku juga kembali lagi kesini. Percayalah. Rindu akan membuat kita semakin dekat!"
"Atau semakin jauh?" Ara merubah kalimat pernyataanku menjadi tanya dengan cepat,
"Kenapa begitu?" protesku,
"Karena memang begitu kenyataannya. Kemungkinan itu selalu ada 2. Kalau tidak hal baik, ya hal buruk! Aku hanya menginginkan hal baik untuk kita ...,"
"Aku juga menginginkan hal yang sama" kini aku ganti memotong kalimatnya,
"Tapi terkadang dunia tidak berjalan seperti harapan kita, Bi! Itulah kenapa kita perlu yang namanya antisipasi dini"
"Klo begitu, akupun sama seperti mu, akan memilih nomer satu untuk memilih jalan yang baik dan hal-hal baik untuk kita bersama" aku beralih menarik hidungnya kini,"Jadi kau jangan cemas berlebihan. Aku akan setia padamu"
"Ohh, that's all what I want" ujarnya tersenyum senang. dan akupun ikut tersenyum senang.
"Dan untuk kepergianku?" aku membujuk lagi,
"I'll think about it. Very seriously"
"And ohh, that's all what I need. Just think twice then allow me, okay?!" Gurauku membujuknya sekali lagi.
Lalu percakapan sederhana itu menjadi inspirasi tweet ku kala itu.
"Think twice, 1 or 2 ?" post di twitter.
Selang beberapa menit Ara memberikan komentarnya, menanggapi tweet ku.
"1"
"I know my clown" balasku menanggapi balik.
Dan akhirnya, lima hari sebelum keberangkatanku ke Manila, Ara luluh dan memberikan ijinnya untuk ku.
"Kau boleh pergi dengan satu syarat"
"Syarat?? Apa?"
"Syaratnya mungkin bernilai sesuatu yang sangat mahal. Aku mau kau membawakanku oleh-oleh saat kembali lagi kesini nantinya. Kau yakin bisa?"
"No prop! Aku akan membelikanmu oleh-oleh yang manapun yang kau mau, selama kau tidak membuat ku bangkrut" celoteh ku menanggapi syaratnya,
"Oh sayangnya, aku ingin sekali membuat mu bangkrut" jailnya,
"Sungguh? Ahh menyedihkan. Baiklah kalau begitu. Jika aku sampai bangkrut karena mahalnya permintaan mu itu. Aku akan ganti menempel padamu juga. Seperti benalu tapi kau tidak boleh membunuhku"
"Huhh, kau lucu. Tapi sayangnya kau tidak perlu melakukan hal seperti itu. Karena aku tidak ingin kita berdua sama-sama rugi. Karena aku maunya kita 'win-win' sama-sama untung"
"That's great! Lantas apa itu? Syarat oleh-oleh yang kau maksud? Yang sangat mahal itu, huh?"
"Mmhh... Bawakan aku lebih banyak cinta saat kau kembali lagi kesini nantinya. Kau bisa?"
Aku terkekeh senang mendengarnya. Itukah yang kau bilang sangat mahal? Tapi rasanya itu justru sebaliknya bagiku.
So easy lemon squeeze bebby!
"Tentu! It's piece of cake. Dengan senang hati, my love" ujarku sumringah.
Dapat ide dari mana dia? Sampai bisa bersikap semanis ini? Padahal biasanya anti banget dia manja-manja gini. Apalagi ngegombal pakai kata-kata beginian. Mungkin dia benar-benar tidak ingin kehilanganku, makanya rela merubah seleranya untukku.
"Akan ku bawakan permintaan mu selama kau tidak menjualnya apalagi mengobralnya. Kau bisa menjaga itu untuk mu saja? Seorang diri? Bisa?"
"Kurasa tidak. Aku butuh partner untuk menghabiskan oleh-oleh mu nantinya. Jadi kita akan menghabiskannya bersama, pastinya!"
Aku tersenyum. Senang mendengarnya. Ucapan Ara barusan benar-benar menggetarkan dinding-dinding hatiku.
"Oke-oke apapun itu. Hanya itu saja persetujuannya, bukan?"
"Yah... Deal!"
Lalu, Ara pun juga tak luput memposting momen itu lewat sebuah status di F*-nya, saat aku berangkat ke Manila.
"Jangan lupa oleh-olehnya saat pulang nanti"
Lalu aku menanggapi postingannya dengan cuitan di twitter ku.
"Don't worrry. I won't forget about it, for sure! Win-win"
Aku pergi. Menghabiskan bulanan waktu tanpanya. Membuat rindu-rindu ini berkelana, mengembang lebih besar lagi dan alhasil tiada hari yang bisa dihabiskan tanpa obrolan dengannya. Baik itu voice note, video call, telp, atau sebatas text. Setiap harinya.
Kita banyak membicarakan hal-hal tentang kami. Tentang perasaan dan cinta. Tentang rindu dan khayalan temu. Tentang mimpi yang menghiasi tidur, hingga mimpi yang terbangun saat kelak akan bertemu kembali.
Kita banyak bercerita tentang kita dan rahasia-rahasia yang hanya nyaman dibagi berdua saja. Kita bercerita tentang pekerjaan, tentang sekolahnya, tentang keluarga, dan tak jarang juga tentang kabar teman-teman disana.
Pembicaraan kita mengalir begitu saja dengan naturalnya, tapi tak jarang juga kita bertengkar ditelp karena hal-hal kecil dan sepele. Tapi itupun tak pernah berlarut lama, paling hanya 1 sampai 8 jam dan lantas semua membaik seperti tidak ada apa-apa lagi. Karena pada akhirnya rindu itulah yang kembali menautkan hati untuk saling membukakan maaf.
Pernah suatu hari kita membicarakan tentang pancaran warna yang terlihat dari refleksi hadir kita masing-masing, dan kita menghabiskan waktu seharian hanya untuk membahasnya secara tuntas, walau harus dibumbui dengan drama kecil-kecilan juga.
"Beb ...," kataku membuka obrolan, dia hanya 'meng-emmhh' menjawab panggilan sayangku untuknya, "Jika kau harus merepresentasikan hadirku di hidupmu dengan warna. Kira-kira apa warna yang terlihat dariku, menurut mu?"
"Mmhhh, apa yah? Hah... It's hard" keluhnya.
"OMG. It's easy, though" sangkalku.
"Itu lebih sulit dari rumus sin-cos-tangen. ASLI!"
"Ah, lebay deh kamu. Itu jelas-jelas lebih mudah daripada rumus persegi. Cuma pilih warna saja. Apa sulitnya sih?"
"Semua soal yang kau berikan padaku selalu sulit. Kau tahu kenapa?"
"Kenapa?"
"Karena semua soalmu harus dijawab dengan perasaan bukan hanya sekedar logika. Itu yang membuatnya lebih sulit dari soal matematika manapun. Aku tidak hanya harus berpikir lebih dulu untuk menjawabnya tapi juga menimbang dan merasakannya. Kau tahu itukan. Jadi bagaimana klo soal yang ini diskip dulu?"
"Huh, dasar kau inih. Ngak ada skip-skipan. Pokoknya kamu harus jawab. Itu gampang kali, Ra. Orang kamu mikirin aku terus tiap harinya" celotehku, "It must be easy peasy lemon squeeze like a barbie lagi ngrumpi-ngrumpi soal hati" aku mengucapkan kalimat ku dengan cepat seperti orang ngerap.
Dia tertawa diujung sana, "Kalau gitu kamu jawab duluan. Apa warna untukku?"
"Huh... Always.. Ara selalu memutar tanya untuknya" keluhku jadi tidak berselera.
Dia terdengar tersenyum, menanggapi ku yang jadi sebal.
"Beri aku beberapa menit untuk berpikir. Sementara itu, aku akan membiarkanmu menjawabnya lebih dulu" negonya, "So you go first. Apa warna untukku?"
"No... No, lady first!" eyelku
"Klo gitu aku gunakan kartu ajaibku untuk memerintahmu menjawab duluan"
"Yah-yah-yah. Oke-oke, Tuan Putri. Lebih baik mengalah daripada bertengkar. Iyakan?"
"Good guy! Katakan warna apa itu?
"Definitely it is pink! Like you, pink!"
"PINK? Why PINK?"
"Karena kamu tidak solid! Merah tidak, putih juga enggak. Nanggung!"
"Hah?" ujarnya sedikit kecewa.
"Ku beritahu alasannya lagi nanti, setelah aku dengar jawaban mu. Jadi kalau aku, apa?"
"Oke-okey. Kamu...uu...uu..u apa yah??? Mmhh, hijau mungkin ..." jawabnya, "Oh Tidak-tidak... Itu orange, atauuu...? biru sepertinya!" Ara terus mengganti warna pilihannya untuk ku. Membuat ku bingung dan sedikit lelah.
"See? Kau benar-benar PINK SOLID!" ujarku menggambarkannya,
"Jadi yang mana warnaku? Orange, hijau, atau biru? Dan alasannya kenapa begitu?"
"Emmhh, tidak tahu. Aku cuma ngejawab pertanyaan mu biar kamu ngak kesel dan bete padaku" katanya sambil ketawa-tawa puas mencandaiku.
"Itu justru makin ngebuat ku kesal tauk!" jawabku memang kesel tapi dibuat santai, "Ohhh, sepertinya aku tahu kenapanya?" sepintas ide hadir.
"Kenapa?"
"Hijau. Itu karena kau merasa makmur dan tenteram saat bersamaku, kan? Sementara orange. Karena kau selalu merasa ceria seperti ini, iyakan? Dan untuk biru, karena aku mengayomi. Jadi kau merasa teduh, damai, chill saat bersama ku, mungkin? Benarkan semua pendapatku?"
"Tidak buruk-buruk amat pendapatmu. Tapi juga tidak semuanya benar. Faktanya kamu tidak selalu membuatku ceria. Setidaknya, tidak selalu begitu. Belakangan ini kau malah sering membuat bete!" jelasnya
"Umh, sorry Beb. I didn't mean to do it" aku berujar, "Lalu yang tepat apa?"
"Giliran mu menjawab untuk pink! Akan ku beritahu setelahnya"
"Pink! Kau tahu pastinyakan kenapa itu pink untuk mu. Ayolah!"
"Apa itu karna sifat girly ku?"
"Yah, diantara begitu"
Dia minta alasan lainnya, "Tidak cukup. Beri aku 3 alasan lainnya. Setidaknya, agar itu menjadi pink solid! Seperti katamu tadi"
"Tentu! Karena kau juga lembut, cute, manja. Tapi dari semua itu yang paling cocok karena kamu ..."
"Karna aku...uu?"
"Giliranmu menjawab!"
"Ihhhh kenapa harus diputus-putus sih penjelasannya? Bikin penasaran ajah, plus bete deh!" keluh Ara gemasss,
"But it's oke. My turn. Green, blue, and orange, cause you made my life so delighfull, brightfull, and colorfull"
"Oh, thank you. Ku kira tadi kau akan menjawab Red"
"Kenapa kau mengira begitu?"
"Kau tahu jawabannya dengan pasti"
"Yah, aku agaknya tahu kenapa kau mengira merah. Lanjutkan alasanmu. Apa yang membuat pink paling cocok denganku tadi?"
"Pink yang paling cocok denganmu ituuu..., karena sifat kamu yang PLIN-PLAN. Tidak PERNAH SOLID! Itulah kenapa kamu jadi PINK SOLID!"
"Heck Nah! You're so rude" sangkalnya,
"Aku hanya berkata jujur dari persepsiku memandangmu. Kau boleh menerima kejujuranku ataupun menyangkalnya. Itu bagian dari pilihan yang akan kau yakini nantinya" aku menyambung dengan petuah.
"Klo merah? Kenapa? Aku mau dengar dari persepsi jujur mu juga dong!"
Panggilan sengaja ku akhiri cepat. Agar makin membuat dia penasaran.
Dan seperti yang sudah bisa ku tebak, Ara menghubungiku balik. Aku menolak. Dia mencoba lagi, dan akupun menolaknya lagi. Terus hingga membuatnya kesal.
"WHY YOU END THE CALL JUST LIKE THIS??"
Karena kesal Ara lantas mengirim text seperti itu. Memprotes tindakan ku.
"😁 😁 😁"
"Lanjut text aja. Kupingku sudah panas" kilahku.
"See?? Kau tidak selalu membuatku senang. Kau membuatku bete! Jadi kenapa kau mengira akan akan memilih merah untuk mu?"
"OOuuh maaf. I thought it was red, cz I'm just red for you"
"Excuse me? 😯"
"I miss you Beb 😘" aku mencandainya.
"Huh???" 😳
"You out of the topic. Plz back straight to the topic, Bi!"
"I just miss you. I out of the topic cz I just miss you so damn much!"
"😡" Ara marah.
"Ahhggg! Explain! Why it supposed to be red?" Ara masih mengejar karena penasarannya.
"Auhh, aku lelah. 😴 Aku tidur duluan, oke!"
"Beb-Bi...!!😫" protesnya.
"What?"
"Explain!"
"No more explanation. 😎 You smart, Beb. Kau bisa menebak mungkin, kenapa itu seharusnya MERAH! 😜"
Aku tidak membalas lagi pesan-pesannya. Dan itu yang membuatnya gemas akanku. Lalu drama-drama kecil mulai bermunculan. Marah-marah bayi menyertai, tapi beberapa jam kemudian semua kembali membaik lagi.
~ Flashback Selesai ~
*****
Aku bangun dari tempatku berbaring. Mengambil ponselku lalu mengetikkan kalimat dari penggalan ingatanku itu.
"Is it still the same color?
Me for you? Think twice!"
Aku menjadikannya status disalah satu akun sosial mediaku.
Yah, semua masa itu memang menyenangkan.
Sangat menyenangkan memang ...,
Saat kebahagiaan kita hanya diisi dengan cerita-cerita tentang kita, dan obrolan-obrolan kecil tentang kita, tanpa perlu mengundang hadirnya seorang penyusup baru dalam hubungan ini, yang nyaman dan membahagiakan.
Sayangnya,
Rasanya cerita diantara kita, diantara aku dan Ara mulai menemukan titik rapuhnya. Dan gelas yang retak tak pernah bisa terlihat sama lagi seperti sedia kalanya.
Itu seperti kami semakin mendekati hari berbahaya kami setiap harinya. Keretakan itu bisa melukai kapan saja dan menggoreskan bekas yang sukar hilang nantinya.
Aku hanya berharap kita tetap baik-baik saja. Sekarang, esok, pun juga nanti.
Dan semoga retakan itu tak sampai menggoreskan bekas yang sukar dihilangkan.
Ponselku bergetar dan aku meliriknya malas karena menduga jika itu notifikasi balasan dari, Ara. Namun berubah lincah saat mendapati nama lain yang tertera disana membalas statusku. Itu Quin. Dia orang pertama yang meresponnya.
"Still RED, King! My Hibiscus"
*******
"...Dia guru terbaik dalam mengecap rasa dan belajar bahasa..." ~ Ara ~ Aku berhenti menangis, tapi belum berhenti bersedih. Kepala ku mulai terasa pening karna banyak menangis, tapi Aru masih belum menghubungi ku, walaupun aku sudah mengirim beberapa pesan text untuknya. Dia bahkan belum membacanya. "Mungkin Aru memang butuh waktu menyendiri dulu, Ra" ujar Tasya menanggapi pikiranku yang ternyata ikut keluar dari mulutku tanpa ku sadari, "Kau tenang saja. Aku yakin setelah dia merasa lebih baik. Pikirannya lebih terang menerima, dan emosinya lebih stabil dia akan menghubungi mu. Kau tahukan, dia pandai berbenah! Dia akan menghubungi mu saat dia telah membaik" imbuh teman ku berpendapat. "Aku hanya takut jika saja kali ini dia tidak bisa lagi menerimaku ataupun memaafkanku, Sya. Karena nyatanya ini bukan hal baru untuknya. Aku sudah b
"...Benang tipis diantara bodoh dan gila ialah cinta... " ~ Aru ~ Berbulan-bulan berlalu dan kita hanya menikmati rasa rindu ini dalam ruang kita yang berbeda. Mengumpulkan setiap hitungan demi hitungan, hingga menjadi deret hitung selanjutnya. Menyilang saat lima dan menulis lagi jadi satu. Menyilang lagi saat lima dan menghitung ulang mulai dari satu. Begitu terus dan berlanjut hingga hitungan itu genap terkumpul sampai hari ini. Hari dimana aku akan membawakan oleh-oleh rindu yang Ara minta dan ku janjikan, iya. "Landing safe in SG" Telah menjadi status di f******k dan juga sosial media ku yang lainnya. Lalu Ara dengan cepat bereaksi meminta temu disiang hari itu juga, segera sesaat setelah aku mendarat. Tapi aku berencana menemuinya sore hari, karena merasa masih letih dan perlu mengumpulkan energi agar bisa menemuinya d
"...Dalam keadaan yang rumit itulah kita akhirnya belajar menumbuhkan sikap dewasa kita... " ~ Ara ~ Akhirnya, aku dan Tasya pergi keluar juga. Dia mengajakku makan malam diluar, katanya agar aku tidak terlalu begah hanya berdiam murung di Condo saja. Akupun akhirnya mengikuti saran sahabatku itu. Setelah berjalan sekitar 10 menitan, sampailah kami disalah satu food court tujuan kami. Aku memesan ayam geprek satu level dibawahnya yang terpedas di kedai Papi Chicken. Yang merupakan makanan Indonesia yang tengah digandrungi disini, saat ini. Sementara Tasya memilih memesan Tom Yum Pasta, level cetek. Entah kenapa aku tiba-tiba saja ingin makan sesuatu yang pedas, mungkin itu juga masih karena Aru. Karena aku melihat postingannya dikomen oleh Quin, sementara dia sudah tidak lagi membalas text ku, jadi aku ingin punya alasan lain untuk menangis tanpa perlu dianggap cengeng.
"...Mungkin orang lain akan salah paham melihat kita begitu memahami terlalu baik... " ~ Aru ~ Zein melihatku dengan tatapan lelahnya, setelah aku bercerita tentang apa yang sedang ku hadapi kini. "I told you, right? Berbulan-bulan yang lalu, oh tidak. Bertahun-tahun yang lalu, agar kau meninggalkannya. But all you did just ignore my words" Zein menanggapi dengan kesal. Aku tidak bisa membantah perkataan sahabatku itu. Walau bagaimanapun Zein benar, hanya aku yang keras kepala tetap mempertahankannya walau sulit. "Jadi sekarang bagaimana?" katanya dengan intonasi yang lebih rendah dan santai. Aku hanya mengangkat bahu. Bahkan akupun tidak mengerti harus apa. Harus bagaimana menghadapi semua ini. Harus bagaimana mengambil sikap atas keadaan ini. Yang ku tahu hanya, aku harus mengirimkan pesan pada Ara jika aku akan menginap ditempat sahabat ku ini sementa
"...memberikan batasan dalam pertemanan akan menyelamatkannya dari kehancuran..." ~ Ara ~ Aku dan Tasya kembali ke Condo, dan aku menjadi begitu senang saat melihat sepatu Aru sudah ada ditempatnya. Itu artinya dia sudah kembali dan masih mendengarkan ku walau kadang bersikap acuh tak acuh padaku. Dia tetap selalu mempertimbangkan perasaanku, dan aku tahu itu. Aru akan begitu begitu lunak padaku. Wajahku dihiasi dengan banyak senyum dan itu membuat Tasya tidak mengerti. Dia memandangiku aneh karena menurutnya tadi aku banyak menangis tapi mengapa sekarang terlihat berbalik setengah lingkaran. Aku yang kini, seolah sedang berdansa bersama bahagia. Dan itu pasti membuatnya bingung. Itu karna Tasya belum melihat jika Aruku sudah kembali pulang. Aku jadi merasa senang. Hanya sesederhana itu saja bahagiaku, Aru kembali kesisi ku. Hanya itu saja sudah bisa membuatku merasa begitu
"...orang yang kau cintai sepenuh jiwalah yang pada akhirnya mematahkan hatimu ... " ~ Aru ~ Aku terbangun tengah malam dan mendapati Ara tidur disisi lain kursiku. Selintas yang terpikirkan olehku ialah, kenapa dia tidur diluar? Apa itu karena dia merasa bersalah padaku atau karena dia sudah merasa rindu? Ah, yang kedua serasa tidak mungkin. Itu pasti karena dia merasa bersalah padaku. Aku hendak memindahkannya ke kamarnya tapi ingat jika ada Tasya. Lalu aku berpikir untuk memindahkannya ke kamarku dan aku bisa kembali tidur disini sendirian, tapi urung karena kekuatanku rasanya masih belum pulih sepenuhnya dan karena aku juga masih kesal dengannya. Perasaan marah itu tidak bisa reda begitu saja. Memang bagaimana bisa hilang dengan begitu mudah? Saat orang yang sangat kau cintai nyatanya menghianatimu. Aku melihat ponselku diatas meja. Dan aku yakin dia pasti sudah mengecek isi chatku dengan Quin, karena letakny
"...Melihatnya lemah tak berdaya merupakan luka tersendiri, meskipun kecil..."~ Ara ~Beberapa minggu berlalu, hubunganku dengan Aru masih terlihat biasa saja. Kami masih baik-baik saja, tapi juga tidak baik-baik saja. Masih belum ada keputusan untuk saling menjauh apalagi saling meninggalkan satu sama lain. Kami masih saling berbagi tempat menyandar, kami masih saling berbagi suapan, dan kadang juga berbagi hal yang lain-lainnya juga.Meskipun terkadang dibumbui juga dengan pertengkaran kecil saat Arnold menghubungiku, atau mengirim pesan padaku dan aku menjawabnya didepan Aru. Kaarena sebab itulah dia jadi mudah marah belakang ini, mungkin karena merasa tersisihkan dan aku bisa memahami itu. Dia marah dan kesal karena aku membagi kasih juga perhatian pada orang lain.Jika sudah begitu Aru bawaannya ingin menghindariku, dia segera mengambil langkah menjauh dariku, memberiku jarak. Entah itu dia pergi
"...Harapan yang tak menjadi kenyataan itu menyakitkan... " ~ Aru ~ - Tujuh jam sebelumnya - Aku baru saja selesai mencurahkan kegundahanku pada Zein, dan sikap Zein masih saja sama. Dia ingin aku meninggalkan Ara, dan semuanya akan selesai dengan sendirinya, jika aku meninggalkannya. Masalah dan kesedihanku akan selesai, dengan mudah. Tapi ini tak pernah semudah seperti yang dia ucapkan dan sarankan padaku dengan entengnya. Bagaimanapun juga perasaanku masih punya magnet kuat untuk Ara, dan aku tidak bisa semudah itu mengambil keputusan seperti yang sahabatku sarankan. Dan ini tak akan pernah semudah dan sesimpel itu selama aku masih punya perasaan yang aktif untuk orang yang ku sayangi, sekalipun dia berbuat salah dan aku berusaha meninggalkannya. Itu tetaplah bukan perkara yang enteng untuk dijalani. Alhasil aku kembali berenang dalam kebuntua
~ Ara ~ . . . ... Sepasang sesal ... Menepikanmu yang kurasa sanggupMeniadakanmu yang kurasa mampu Tapi bayangmu tak pernah jauh dari heningkuDan seluruh heningku tak pernah sepi darimu Jangan menyerah Karena kau masih memikatkuDan hatiku masih terpaut dekat denganmuSekalipun kau tak tahu itu benarSekalipun tak ku ucapkan dengan benar Kau tahu aku hanya berlagakKau tahu aku selalu malu berbicara cintaJadi bisakah sekali lagi kau menunggukuKuharap hatimu tak berubah padaku Sekalipun kini hanya berat yang tertinggal Dan benteng kuatku telah menemui lapukan terlemahnya berupa sesal. . . - Guilty on tuesdays - " Lyn Wen " . . I hope one day you'll come backAnd at least say hiWipe off the tears on my faceAnd give us a try, Cause I can tellYou're done with this leaving hell yeah...I can tellYou're done with what I do To keep me away from youTo keep me away from you, Every good moment has passedYou're still not hereCrying alone in my car seems to famil
"... Aku tak perlu berkorban lagi untukmu, karena kau telah bahagia ..." ~ Aru ~ . . Pernah aku terpenjara dalam jerat cinta, yang membawa arusku jadi seru dan semu, tapi aku jatuh juga dari ketinggian mencinta kedalam ulu hara, dalam perangkapnya kasih menjadi siksa. Karena itu, setelah badai tikai itu, aku memilih menutup diri. Memberinya kemerdekaan dalam hilangku. Dan kutangani sisa luka, konsekuensi dari berani mencintainya, sendiri. Tak kubiarkan orang tahu atas luka patah hatiku. Kusembunyikan kepatahan itu dari sekelilingku. Karena aku tak ingin membebankan perasaan luka yang kuterima pada orang lain, dan itulah kebijakanku. Meski itu tak mudah, aku berhasil membuatnya terlihat begitu. Serupa seperti tak berlinang air mata. Serupa hatiku tak retak karena terluka. Padahal diam-diam akupun menangis dalam sembunyiku. Di kamar mandi, atau dibilik kamar redup lampu. Lantas pura-pura tidur saat ada yang mendekat. Sebab aku tak punya alasan benar, menunjukkan pedihku pada mere
"... Biarkan hatimu menuntun maunya, tapi ijinkan takdir yang memutuskan jawabnya ... " ~ Ara ~ . . "Ara, aku bertemu dia. Kami bicara. Tentu aku melihat apa yang tak bisa kau lihat darinya, Ra" "ARU TAK BAIK, RA." "TIDAK. Dia harus baik-baik saja. Harus!" "Yah, tampaknya memang begitu" "Tampaknya?" "Mau menggeser sedikit saja persepsimu akan kebencian Aru padamu itu?" "Tak yakin!" "Bagaimana jika kepergiannya itu bukanlah atas dasar kebenciannnya? Mungkin saja itu sesuatu yang lain" "TIDAK. Itu harus benci. HARUS!" "Dan bagaimana jika yang kau lihat benci itu, mungkin, sebenarnya hanya bentuk lain dari luka? Mungkin itupun bentuk dari defensif Aru dalam melindungi hatinya. Bukan benci" "Kenapa begitu?" "Aru bisa saja menjadi brengsek waktu itu. Dia bisa merusak pernikahanmu sebelum takdir melakukannya. Tapi alih-alih begitu, dia malah memilih mundur. Menarik semua kedekatannya darimu tanpa menciptakan kegaduhan, Ra. Jadi Apa tindakan itu mencerminkan kebencian?" Aku m
"... Takdir memaksa kita mengerti dan menerima keadaan tak baik kita, meski kita tak ingin... " ~ Ara ~ . . - THE WEDDING - Aku baru selesai dirias dan Tasya masuk. "Woooh.. who's this gurl? So gorgeous!" "Thank you" Aku senang menerima pujian itu. Meski hatiku juga merasakan getir gelisah yang lain. "Bagaimana rasanya jadi mempelai?" "Nervous, I guess?" "Kurasa akupun akan begitu saat diposisiimu. Wajar, Ra. Itu gerogi yang baik" "Kuharap begitu. Tapi lebih dari itu. Aku sangat bahagia. Akhhirnya Sya... Akhirnya!" "Umh, I'm so happy for you too" Sudut mata kami mengeluarkan embun haru. Tasya lalu memelukku. "Okay-okay, ini hari bahagiamu dan aku tak ingin riasanmu rusak karena kebahagiaan ini" Kami menghapusnya. "U
"... Kau mungkin bahagia, tapi benarkah itu kebahagian yang ingin kau jalani ... "~ Ara ~.."Tasya?""Surprise!"Dia memelukku."Katamu besok?""Tidak jadi. Aku mempercepat segalanya""Masuklah!""So, how's your life Ara?""Seperti yang bisa kau lihat. Baik!""Kau menjawab persis seperti seseorang" gumamnya, "Kau sedang sibuk?""Tidak""Apa yang akan kita lakukan hari ini?""No shopping, karena kau pasti masih jetlag. And I'm not about going anywhere. Jadi kurasa kita hanya perlu disini saja""Good girl. Kau sangat memahamiku!""O-ya, kau jadi ketempat Zein?""Ya""Dia mengusirmu?""Tidak. Dia berubah menyenangkan""Uh, impresif. Kalian membicarakanku?""Sedikit. Oh, iya, kau mau minum apa?""Tak perlu repot. Aku bukan tamu istimewa""Aku k
"... Cinta itu telah berakhir ..."~ Aru ~.."Berjuang lebih keras, Aru!""Kau kira kenapa aku bertahan dalam sengsara itu jika bukan untuk berjuang?""Sudah Tasya! Aku mencoba segala yang kubisa. Dari memprovokasi cemburunya, memperbaiki emosiku, hingga bersikap manis padanya untuk mendapatkan lagi hatinya. Tapi Arnold yang selalu menang. Kau hanya tak tahu usahaku itu!"Dia termenung."Aku berupaya hingga tak punya cara lain lagi selain menyudahi keegoisanku untuk memilikinya seorang diri.""Huhf..." helanya."Aku pasti jadi psycho jika diposisimu. Kau harusnya gunakan emosi kesalmu itu untuk memukuli seseorang. Jangan diam saja dan malah lari!"Aku terhibur mendengarnya.Apa dia tak tahu aku memukul Ara waktu itu?"Kau pernah punya pikiran jahat? Seperti psycho?""Mungkin""Sungguh? SESAIKO APA?""Mungkin karen
"... Rasanya aku ingin membunuhnya saat melihatnya pamer bahagia, sedang aku menahan nyilu dan cemburu ..." ~ Aru ~ . . Aku terdampar dalam sebuah kemegahan asing dalam duniaku. Tapi ini bukan ilusi. Aku duduk merenung, menikmati nyaman yang belum pernah kunikmati begini sebelumnya. Membahagiakan. Aku menghirup aroma cappucinoku, sebelum mengecap bagaimana rasanya. Dan benar rasanya istimewa, seperti harganya yang bisa membuat dilema kepala orang biasa. Tapi disinilah aku kini, mengagumi soreku yang biasanya tak selalu indah. Tapi kini berubah begitu menawan dalam sekedip. Aku menyesap lagi gelas kopiku, sambil menunggu dengan santai seseorang yang telah membuat janji temu denganku. Dudukku mulai menyila, tapi bosan masih jauh dari pikiranku. Meskipun kini aku terkurung di lantai 122, diketinggian ratusan meter, dalam atmosfer megah restauran kelas dunia, di Burj Khalifa.
"... Itu pilihan, ingin menjadikannya ujian dalam cinta atau takdir dalam cintamu... "~ Ara ~ . . Kenapa aku sendiri masih terus ragu dengan apa yang Zein tuturkan barusan. "Ara, kau masih mencintainya, kan?" "Entah Zein!" "Apa kau tahu, ragu adalah bagian dari iya yang belum disetujui lewat kata""Yang kutahu, aku tidak kesini untuk membahas hal seperti itu" "Benarkah? Apa kau pikir hanya dengan modus mengembalikan ini, aku lantas percaya? Tidak Ara. Aku tak sebodoh itu!""Kau terlalu berlebihan Zein""Menyangkalnya membuat hatimu lebih baik?""Zein, Aru membenciku!""Maksudku dia masih membenciku, kan?" aku mencari defensif lain."Ya, benar. Dia membencimu hingga tak ingin lagi melihatmu. Hingga ingin menguburmu. Hingga ingin menghilang darimu. Dan itu benar, dia membencimu"Hatiku terluka mende
"... Mengapa orang lain bisa melihat cintaku dengan jelas, tapi aku tidak ... "~ Ara ~ . . Ada banyak hal yang ingin kusampaikan saat berada dalam masa perenungan lalu. Karena kehilangan Aru membuatku tak seimbangan. Tapi setiap kali menatap wajah penuh lukanya, akupun kehilangan cara untuk membela diri dari kekacauan yang kubuat sendiri. Kalimatku lenyap, bibirku terbungkam. Aku tak bisa menyanggah kalimat penuh lukanya karenaku. Dan karena itu, yang terlintas hanya perasaan sesalku, jadi alih-alih membela diri, aku lebih ingin meminta maaf.Tapi Aru selalu tak ingin mendengarnya. Dia tak ingin mendengarnya, seberapapun aku merasa bersalah padanya.Tapi menyumpahiku gagal menikah adalah hal yang paling tak bisa kuterima. Dan itu sangat melukai hati terdalamku.Begitulah aku menyerah pada akhirnya. Karena mungkin dengan membiarkannya pergi, itu menghinda