"...cinta ini terlihat kerdil dalam ketidak pastiannya..."
~ ARA ~
Aku bercermin menatap bayangan diriku. Ada seraut bahagia yang terpancarkan dari bayangan itu, entah itu karena hari ini Aru akan mengajak jalan atau karena sesuatu yang lain. Yang jelas aku sangat senang. Kami rencananya akan menghabiskan Minggu ini bersama, setelah dua kali Minggu terlewati terpisah.
Sekali lagi ku pastikan penampilanku di cermin. Karena merasa kurang 'pede' aku lantas menambah lagi garis ketebalan lipstikku, dan bertanya pada sahabatku, Tasya, yang sedang sibuk memperhatikan ku dari tempatnya duduk.
"How do I look?" tanyaku pada sahabatku.
“You look good as always” jawabnya, “Jadi, kau benar-benar tidak akan mengajakku serta?” keluhnya, anehnya aku justru menjawabnya dengan senyum bahagia.
“Ihhh jahat!”
“Uhgg, aku berharap kau bisa masuk sakuku. Jadi kau bisa ikut kemana saja aku pergi” godaku bercanda,
"Doraemon dong. Kantong ajaib!" timpalnya,
“We need a quality time as a couple, Sya. Kau bisa mengertikan, kenapa aku tidak bisa mengajak mu?!”
“Yah aku tahu itu. Tapikan kalian ketemu setiap hari. Kualitas waktu apaan?” gerutunya memprotes,
“Yah, setiap hari ketemu kan juga ada kamu. Masak kau juga mau ngikut sekarang? Kau ajak jalan Doni sajalah, yah”
“Ahh, dia lagi sibuk” aku menatapnya kasihan, “Sudahlah. Kau harus pergi,” ujar sahabatku menyerah,
“Kalau begitu ..., selamat menikmati waktu sendirimu. Baik-baik yah di rumah”
"Nanti palingan klo sudah mulai bosan sendirian, aku akan mengganggu mu dengan serangan text" guraunya menimpali ku,
"Oh, please don't! Kau ganggu saja Doni. Jangan merusak mingguan ku"
Aku keluar kamar sambil menjulurkan lidah pada Tasya dan menutup rapat pintunya.
“Aru, let’s go. I’m ready now!” kataku sumringah sambil memperbaiki tali tasku yang selip.
Aru sedang menunggu ku sambil sarapan tadi. Dan kini dia menjadi kaget karena mendengar suaraku yang tiba-tiba saja masuk diruangan ini. Aku berdiri ada di dekatnya sambil menahan tawa.
"OH Tuhan!" ujar Aru kaget melihatku,
"Kaget ya? Sorry... sorry .... What are you doing?"
"Cuma balas pesanmu"
"Pesan?" dia membalas pesan apa memang? batinku menerka, "OHH SHOOK!" aku mendadak teringat sesuatu.
Aku melongok apa yang sedang dia lihat, sambil bersikap sesantai mungkin agar tidak memunculkan kecurigaan Aru.
"Coba lihat. Pesan dari siapa?"
Sebenarnya, sudah biasa bagi kami saling memegang ponsel satu-sama-lain, tapi mengingat jika ada pesan yang belum ku hapus ..., itu membuatku merasa takut sendiri. Mendadak aku mulai ragu dan curiga, merasa punya firasat buruk dalam hitungan detik ini. Sebab Aru berusaha menahan ponselku tetap dalam genggamannya, padahal biasanya tidak. Jadi aku bereaksi cepat dalam merebut ponselku balik.
Semoga saja itu bukan pesan dari Arnold. Semoga saja ini bukan hal buruk yang selalu kutakutkan.
"Aru!" aku menyuruhnya melepaskan ponselku dari genggamannya.
Aku sudah merasa tidak enak dan juga tidak karuan. Semua perasaanku sudah campur aduk dalam satu tubuh ini. Ada resah, ragu, takut pun juga gelisah dan kesal dalam mensikapi ini semua. Cepat saja aku membuka applikasi percakapanku dan benar saja apa yang ku takutkan terjadi juga. Aku melihat pesan paling atas dan itu pesan dari Arnold, orang yang ku sembunyikan dari Aru selama ini. Aku membukanya dengan perasaan gelisah dan tidak nyaman.
“ARU? WHAT THE HECK ARE YOU DOING?” sempurna aku memprotesnya atas kelancangannya dalam membalas pesanku.
Seketika, senyum sumringahku tadi itu berubah jadi kesal saat aku perlahan membaca pesan ini, walaupun belum sempurna aku membaca semua pesannya tapi aku sudah bisa merasakan aura jelek dari semua situasi ini. Karena aku tidak mengharapkan Aru akan menemukan Arnold secepat ini.
"Katakan, siapa dia, Ra?"
Belum sempurna aku membaca tuntas isi pesan-pesan itu, dan kini suara Aru mengusikku dengan tanya ingin tahunya tentang Arnold. itu membuatku menatapnya dengan perasaan terkejut dan juga takut. Aku tidak berani menjawabnya sebelum menuntaskan membaca semua pesan ini. aku kembali lagi ke pesan-pesan itu dan mengabaikan tanya Aru.
Aku terbelalak saat mendapati kalimat balasan Aru untuk Arnold yang berbunyi "Aku akan jalan dengan pacarku. Masak gitu aja ngak ngerti juga sih?" Kepalaku menjadi pening seketika mendapatinya.
“Kau Keterlaluan! MENGAPA KAU MEMBALAS CHATKU TANPA IJIN??” Aku takut. Sangat takut dan juga panik, karena itu aku memarahinya. Karena dia membuatku merasa dihantui rasa takut.
'Bagaimana ini? Bagaimana aku harus menjelaskan semuanya pada Arnold nanti? Dan bagaimana pula caraku memahamkan pada Aru tentang semua rahasia yang ku sembunyikan darinya ini? Ini tak seharusnya dia ketahui! Tidak secepat ini seharusnya dia mengetahui tentang Arnold. Aku tidak siap dengan semua keadaan kacau ini. Bagaimana ini? Bagaimana ini?' keluh batinku yang jadi was-was dan pening.
"Seriously?" tekan Aru mempertanyakan amarahku dengan enggan,
“Jawab saja kenapa? JANGAN MENGELAK!” perintahnya kemudian.
Aku masih sibuk menyelami semua percakapan mereka dan sekali lagi mengabaikan suara Aru yang mulai tak bersahabat. Namun seketika berubah sengit saat mengadu pandang dengannya, karena aku mendapati pesan yang semakin membuat diriku merasa mendapatkan 'tripel ancaman' dari pesan yang Aru kirim untuk Arnold itu, yang sekaligus menandai berakhirnya percakapan itu, "Impossible! Tentu saja bukaaaaaannnnnnnnnn"
'What the h*ll is he doing exactly?' Jerit hatiku yang jadi sebal pun kesal tak menentu karenanya. Aku limbung hanya dengan membayangkan semua keadaan kacau ini menimpaku.
'Oh my God! Apa yang harus ku lakukan sekarang Tuhan?' keluhku frustasi dalam diri. Aku mulai merasakan ada rasa yang bercampur aduk dalam satu tubuh ini. 'Ya, Tuhan! Apa yang harus ku lakukan? Aru membuat ini jadi rumit sekarang' keluhku lagi dalam remang-remang pikiran ku yang sedang sangat kacau. ,Mengapa juga dia harus bertindak lancang akan pesanku? Mengapa pula aku lupa menaruh ponselku disini, kenapa tidak kubawa masuk dalam kamar bersamaku saja tadi?!' sesalku sendiri.
AKU SUPER RESAH. Lantas menatap Aru dengan benci tadi. Dengan semua rasa ketidak percayaan ku padanya. Kenapa dia bisa selancang ini? Dia bahkan telah melanggar kesepakatan yang pernah kami buat bersama,untuk tidak membicarakan status kebersamaan kami ini. Kini, sungguh ada sekelumit kebencian yang terselipkan dari tatapanku padanya yang membuatku merasa lemah, sedih, takut juga rumit.
Jujur. Kepalaku kini dipenuhi dengan banyak dugaan buruk yang hanya datang dalam hitungan detik yang singkat ini, yang menempatkan ku pada perasaan tidak nyaman dan over thinking akan banyak hal.
"Heh, apa kau merasa tak perlu menjawabku?!" ujarnya kesal menungguku lama membuka suara.
Aku menjadi kacau, hanya dengan memikirkan bagaimana jika Arnold sampai marah dan hal buruk akan terjadi tidak hanya pada hubungan ini, tapi juga hubunganku dengan keluarganya. Dan bagaimana pula hubunganku dengan keluargaku jika mereka semua sampai tahu hal ini. Aku merasa tidak bisa berpikir dengan baik. Pikiranku kacau. Aku bahkan tidak bisa berkonsentrasi pada apa yang Aru ucapkan dan dia minta dariku. Pikiranku sudah tidak lagi berada ditempat ini.
"ARA, KAU TIDAK BISA MENJAWABKU, HAH???" geramnya penuh emosi, meneriakiku.
Bagaimana ini? Apa yang harus ku jelaskan pada mereka?
Aku bahkan tidak berani merespon permintaan Aru karena takut dia akan makin emosi padaku karena kita punya pikiran kita masing-masing yang rumit dan mungkin sulit untuk dipahami bersama. Aku takut dia tidak bisa memahami keadaan rumitku dan akhirnya pergi meningalkanku. Aku hanya tidak mau. Aku tidak bisa kehilangan dia.
"Heh... LIHAT AKU! KAU PUNYA MULUTKAN UNTUK BICARA??" tekannya padaku untuk kesekian kalinya, dia tak juga mau menyerah memburuku memberikan penjelasan padanya, "Now explain to me, Ra! Siapa pria itu?" kekehnya meminta.
Aku tidak lagi bisa menahan semua perasaan kacau dalam diriku sendiri. Itulah saat air mataku akhirnya menjatuh. Mungkin juga karena suara Aru yang jadi tidak ramah bagi telingaku. Nada tinggi pada suaranya itu mungkin melukai sisi sensitif didalam diriku dan membuatku berair mata.
Aku tahu, aku pun telah melukainya dengan ketertutupanku ini. Aku hanya butuh sedikit waktu untuk memahami apa yang harus ku sampaikan padanya nanti. Aku pun butuh waktu untuk mengumpulkan keberanian agar bisa menjelaskan padanya dengan lebih baik atas semua keadaan acak ini. Tapi aku tidak mampu lagi membendung semua muatan sedih dalam diri ini. Dan tekanan dari Aru yang terus saja menajam, entah kenapa kini terasa melukai hatiku. Menggores keadaan rumit ku ini menjadi perih dan menjadikan diri ini lemah tak berdaya.
"EXPLAIN, RA! EXPLAIN!!!" suaranya tidak juga mereda dan membuat ku semakin takut pun jadi tak menentu.
Aru bahkan membuang muka kesalnya dariku setelah berteriak dengan pengap, mengintimidasi ku dengan tatapan macannya. Suaranya entah kenapa juga terdengar bak petir yang menghanguskan seluruh keberanianku. Aku jadi sedih mendengar nada tidak sabarnya itu keluar lagi memaksaku. Aku merasa semakin lemah dan tenggelam dalam tangisku seorang diri karena aku tidak juga mampu menjawab tanya Aru.
Aku sungguh punya banyak sekali kata untuk disampaikan padanya, namun lidahku tak kuasa mengutarakannya. Semua keberanianku menyusut, Itulah kenapa aku hanya diam merenungi ketakutan yang kini memelukku begitu eratnya. Hanyalah air mataku yang mampu menjawab semua keadaan ini dengan cepat dan singkat. Meski aku tahu ini juga melukai Aru, karena aku hanya diam saja tanpa bisa memberikan kejelasan, tapi aku tidak tahu harus memulai penjelasan darimana. Karena bagiku semua keadaan ini telah lebih dulu menjebak ku dalam rumit. Sedangkan aku pun juga tahu jika disisi waktu yang lainnya, Arnold pasti tengah bertanya-tanya ragu seorang diri, menginginkan kejelasan serupa seperti yang Aru inginkan, dariku.
Aku akhirnya hanya terduduk lemah di lantai. Menangisi semua ketidak berdayaan yang kualami kini. Aku bahkan tak lagi berani menatap Aru, karena merasa sangat bersalah padanya. Aku merasa takut. Suara keras Aru membuatku takut secara mental dan fisik. Disisi lain ketakutanku pada Aru, juga ada ketakutan yang lainnya. Aku takut bagaimana jika Arnold sampai mengadu pada orang tuaku juga orang tuanya dan bilang pada mereka kalau aku punya orang lain disini, lantas pertunangan kami dibatalkan begitu saja. Aku tidak bisa menanggung semua rasa malu ibuku, ayahku, keluarga besarku akan ku. AKU TIDAK BISA!
Aku menangis dan terkurung dengan semua pikiran-pikiran negatif itu.
Aku tahu hari ini akan datang juga pada akhirnya. Dimana aku dan Aru harus menghadapi wajah cinta yang tidak hanya indah saja tapi juga memilukan seperti ini. Hanya saja, aku hanya tidak mengira jika hari itu adalah hari ini.
"Aru, kau kenapa marah-marah sih?" Tasya menjadi penghubung jeda diantara kami.
Mungkin dia terganggu dengan suara ribut-ribut ini.
"OMG, ARA!" Tasya melihatku terdeprok di lantai, berada diposisi terlemahku, "Kamu apain Ara sampai kayak gini, Ru?" dia mendekat padaku, mencoba memberikan pembelaannya atas ku,
"Ra, you alright?" Tasya beralih tanya padaku karena Aru tidak menjawab dan hanya menatapnya lemah, “Kenapa sih dengan kalian ini? Katanya mau quality time bersama, tapi kenapa malah jadi acara nangis-nangis begini, sih?” Tasya masih mempertanyakan keadaan ambigu ini.
"Who's that guy? Can you please, at least gimme some explaination?!" nada Aru terdengar menurun, tapi tetap masih terdengar begah mengejar dengan kalimat tanya yang belum juga terjawab sedari tadi.
Tasya yang tadinya menatap Aru curiga kini beralih menatap ku bimbang. Sepertinya, kini dia sudah lebih terkoneksi dengan situasi semacam apakah yang membuat kami ribut-ribut begini.
“Ra ...,” panggil Tasya lagi, seolah ingin mengkonfirmasi jika dugaannya itu mengarah pada persoalan rahasiaku.
"Is it about ...?” walau dia ragu untuk menyebut nama Arnold dan aku juga tidak ingin nama itu tersebut, jadi ku potong cepat dengan anggukan.
“SO, IT IS ABOUT WHAT??” Aru menyela cepat. Dia masih mengejar kami dengan ciriga, merasa bila kami merahasiakan sesuatu darinya. Tapi tak satupun dari aku ataupun Tasya berani membuka suara dan berkata jujur. Kami hanya saling melirik dalam diam dan menunggu.
“DAMN!! REALLY?? NO ONE Will Tell ME ANYTHING???” dia makin gemas,
“AAGGH!!!” suara frustasinya terdengar juga.
Aku sedih melihatnya merasa tidak nyaman dan buruk, tapi aku masih tak punya cara untuk menyampaikan dengan terbuka padanya, situasi seperti apakah yang sedang dia hadapi ini.
Tasya membuat kontak lagi dengan mataku, tapi baik aku ataupun dia tetap tak bersuara. Aku takut penjelasanku akan lebih rumit Aru terima dan dia akan meninggalkan ku. TIDAK! Aku belum cukup siap mengutarakan kebenarannya pada Aru. Aku tidak ingin dia salah paham dengan posisi rumitku saat ini. AKU TIDAK INGIN DIA PERGI MENINGGALKAN KU. TIDAK! TIDAK! aku menggelengkan kepala, mengusir pikiran buruk itu terus bersandar dalam kepalaku.
"Ay ...." suara Aru terhenti oleh dering ponselku. Wajahnya yang tadi garang dan siap untuk mengamukku seketika terpotong dengan adanya panggilan yang masuk dari Arnold.
'Ohh NOOH!! Apa yang ku takutkan terjadi juga. Apa pula yang harus ku katakan padanya?'
Aku beralih menatap Aru sangsi. Di wajahnya kini dihiasi senyum sinis yang beraurakan rasa muak dan jengal. Aku mengerti jika dia merasa teramat kesal begini padaku. Tapi baiknya, Aru tak bereaksi berlebihan. Aru hanya masih diam menunggu ku memberikan penjelasan.
“I'll tell you everything. Just give me some minutes, okay!" perintahku, dan aku langsung bergeser posisi. Sedikit menjauh dari jarak mereka berdua, agar bisa berbicara dengan leluasa dan agar Arnold tidak mendengar suara orang lain selain suara ku.
“Hallooo"
"Hai. Kau perlu menjelaskan sesuatu padaku kan?"
"Emmhh ...,"
"Jadi apa maksud kamu barusan? Jangan bilang kau punya pacar lain?" Arnold bertanya curiga padaku. Sama halnya Aru tadi. Bahkan suaranyapun terdengar tidak seramah biasanya.
"Ohh about that ...," aku mengeluarkan senyumku. Menepis rasa beratku,
"Sorry... sorry.... Apa karena aku mood pagimu jadi buruk? It’s just a joke. Really it's only a joke. Kau kena prank. SELAMAT, KAU BARU SAJA DI PRANK!" kataku beralasan bohong padanya.
Entah darimana, selintas pikiran itu datang dan menjadi pencerah di gersangnya kepalaku, lantas aku mengambilnya untuk beralasan.
Aku tersenyum lagi agar suaraku terdengar senatural mungkin seperti orang bercanda, dan juga agar suara sedihku pun tak terdeteksi olehnya.
“So, I’m just a joke for her?”
Aku mendengar Aru mengeluh pada Tasya. Walau sebentar, tatapan kami saling beradu dan menyatu. Aku bisa melihat wajah sedih Aru masih dihiasi kesinisan akanku, sementara aku menatapnya dengan permohonan maafku yang tulus. Namun mungkin saja tak bisa dia pahami.
Aku menjauhkan diri beberapa langkah lagi. Aku tidak ingin suara Aru masuk dalam sambungan telpon ini, dan lantas keadaan ini jadi rumit lagi. Jadi aku melangkah menjauh sedikit lagi dari mereka. Mengatur jarakku.
"Umh, itu namanya morning prank text. Jadi, bagaimana? Apa kau suka kejutan pagiku?" aku tersenyum lagi, "Apa itu cukup mengacaukan mood pagimu? Apa kau jadi cemas? Atau apa kau jadi ragu padaku? Atau mungkin kau malah akan marah karena aku bermain-main denganku dengan topik yang riskan dan sensitif ini?" tanyaku beruntun, berusaha sebaik mungkin menyamarkan keadaan.
Arnold terkekeh diujung sana.
"Oh thank God. Sungguh itu hanya prank text?"
"Hmm"
Arnold terdengar melega mendengar penjelasanku. Kurasa dia mempercayainya juga akhirnya. Membuat ini sedikit lebih mudah untuk dihadapi.
"Kau benar-benar membuatku jantungan pagi hari gini, dengan hal semacam itu. Apa semalam kau terlalu banyak nonton video prank? Jadi pagi-pagi gini dapat inspirasi untuk menjailiku?" lanjutnya.
"Yah semacam begitulah. Kamu tidak marah kan karena tindakan ku ini? Dan jangan pula menanggapi ini terlalu serius. Anggap saja aku hanya sedang ingin melihat sisi cemburu mu. Apa kau keberatan? Apa kau akan marah padaku karena aku ingin melihat sisi cemburumu padaku dengan menjaili mu begini?"
"Ya, oh... TIDAK. Maksud ku .... Awalnya iya, kau membuat ku kaget. Tapi setelah mendengar jika kau hanya ingin melihat sisi kecemburuanku .... Itu terdengar lucu juga sih. Ngaklah, aku ngak marah. Itukan cuma prank, iyakan?"
"Mhh. Jadi tadinya kau menganggap ini semua betulan?"
"Mhh, iya. Karna mungkin kau pandai berakting"
"Oh, kau memujiku? Terimakasih! Tapi ternyata kau memang nice target banget yah? Sangat mudah untuk diprank ternyata” aku menoleh cepat pada suara panggilan Tasya,
"RA, BURUAN!" suara Tasya memanggil.
Teriakan Tasya menyadarkanku jika aku tidak harusnya terbawa suasana dalam obrolan yang panjang bersama Arnorld, sementara masih ada satu hal lagi yang harus ku urus dan belum terselesaikan.
"Umh... Mas, Tasya sudah pasang muka bete memanggilku. Aku tinggal dulu yah"
"Memang mau kemana hari ini?"
"Emmhh entahlah. Cuma hang out biasa. Kita sambung lagi nanti yah? Aku takut dia marah. Bye"
"Okay, hati-hati yah. Bye"
Setelah sambungan itu benar-benar terputus. Aku segera berlari mengejar Aru yang sudah pasti sangat kecewa akanku, sikapku, bahkan ucapanku.
“Let’s talk. I’ll explain everything” ujarku buru-buru menghentikan langkahnya yang sudah dekat dengan pintu.
Aru berhenti, tapi ia bahkan tidak berbalik menatap ku. Aku tahu, dia pasti sangat marah juga kesal padaku. Mungkin itulah kenapa dia enggan berbalik menatapku dan lebih baik menurutnya untuk menyembunyikan wajah kesalnya dariku. Walaupun begitu, aku sungguh tidak bermaksud melukainya, karena saat melihatnya terluka itu juga melukai sebagian dari diriku sendiri.
Perlahan akhirnya dia berbalik dan menatapku dengan wajah lelahnya. Padahal biasanya dia menatapku dengan kasih. Dan kini hanya dengan melihatnya lemah seperti ini, aku jadi kehilangan keberanian ku lagi. Aku menatapnya cemas dan bersalah. Matanya menunjukkan jika dia sudah sangat jengah dan kacau, tak punya selera lagi untuk mendengar ku tapi dia memaksakan diri untukku.
Sekali lagi, melihatnya kacau ternyata itupun mengacaukan ku juga. Bagaimana aku bisa menjelaskan ini padanya? Lidah ku bahkan terasa rekat lagi dalam berucap, hanya karena aku merasa bisa merasakan getir sedih dan pilu yang Aru rasakan atas semua ketidak jelasan yang kuberikan ini.
Aku tidak pernah mengira jika akan berbicara jujur pada Aru saat ini nyatanya teramat sulit, bahkan lebih sulit daripada berbicara dengan siapapun. Perasaan cemas, tak menentu, dan nyeri inipun jauh lebih berat dari hanya sekedar berbicara bohong pada Arnold soal prank. Mungkin itu karena Aru adalah orang yang bahkan bisa membuat diriku sendiri terluka dan merasa tidak nyaman saat aku bahkan menyembunyikan rahasia darinya, apa lagi sampai harus berkata dusta dan melukainya. Aku tidak punya keberanian seperti itu padanya.
Kini, aku tidak tahu harus berujar apa. Tapi yang ku tahu, aku hanya harus berbicara dan menguraikan semua kerumitan ini. Menjelaskan semua yang perlu dia ketahui dari semua keadaan kacau dan potongan puzzle dari kehidup acak ini.
Sekali lagi aku menautkan tatapan keraguanku padanya. Lidah ini terlalu beku untuk diajak membuka suara.
"Jadi. Jelaskan apa yang perlu ku ketahui!" dia membantuku membukakan pintu suaraku.
"Umhh ... I don’t know where to begin"
"Him!" jawabnya super cepat dan malas membuang waktu lagi, sepertinya.
"Emm... diaaaa ...." aku ragu memulainya.
Ini topik yang masih saja tidak mudah untuk dikatakan, sekalipun orang yang ada di depanku ini hanyalah Aru. Orang yang sudah akrab dengan ku, bahkan menemaniku dan bersamaku selama tahunan berlalu.
"Dia?" tapi Aru menginginkan kejelasan soal dia yang ku maksudkan.
"Dia Arnold!" entah kemana keberanian ku menghilang lagi dan aku justru menuturkan hal paling tidak penting seperti ini.
Tentu saja Aru sudah tahu hal itu. Dia yang membalas dan membaca text untuk ku tadi. Jadi aku harusnya memilih kalimat yang lebih jelas dan berbobot untuk menggantikan lelahnya dalam menunggu penjelasan ku.
"Dia cal ... Dia tuna .... Dia tunanganku, Ru!" aku hampir saja mengatakan jika dia ialah calon suami ku. Aku pasti sudah gila jika berani mengatakan hal itu pada Aru. Itulah kenapa aku mengoreksi kalimatku terus-menerus.
Aku tahu, Aru pasti berat menerima semua ini. Dia tak bisa menerima ucapanku dengan baik, tapi sikap logisnya selalu menimbang banyak hal dengan matang, dua kali. Dengan kata lain, itulah yang membuatnya kemudian bersikap bijak, pada akhirnya.
Aku tidak tahu, kenapa aku tidak bisa memilih kalimat yang baik, indah dan bagus untuk ku sampaikan pada Aru, melainkan kalimat yang ringkas dan langsung pada poinnya. Mungkin karena pikiranku saat ini sedang keruh. Dan semoga saja kalimat simple itu bisa mewakili menjelaskan banyak hal yang terasa rumit pun sulit dijelaskan saat ini.
“OoH SH*T!!! He .... WHaaAT???”
Aku tahu Aru akan bereaksi marah dan kesal seperti ini setelah mendengar ku.
"Dia tunanganku" aku menjawab ulang tanya retoriknya yang kukira itu karena dia tak bisa mendengar dengan jelas dan perlu pengulangan. Tapi Tasya menjawabnya dengan gelengan kepala, jadi aku menjadi merasa semakin bersalah.
"Ughh ..." Aru terdengar tak percaya dengan kalimat yang kusampaikan. Atau mungkin dia terluka.
Ya, aku bisa melihat ada luka dari pancaran matanya. Aku bisa melihat ada nafas berat dari mulutnya. Akupun bisa melihat ada kekecewaan dalam dirinya atasku. Aku bisa melihat semua lukanya menyeruak keluar karena satu-dua kalimat yang kusampaikan telah memakannya bulat-bulat.
"ARE YOU FREAKING KIDDING Me??" Aku tahu dia tak bisa menerima semua pernyataan benarku begitu saja,
"Semua ini tidak benarkan, Ra? Or is it like... a PRANK? You prank me, right?!" katanya mencoba menyangkal sikap jujurku.
Aku menggeleng dengan sedih. Tidak memihak pada dugaannya. Aku tak ingin terus-terusan menyembunyikan rahasia besarku darinya. Aku tidak ingin dihantui rasa bersalah setiap kali menatap mata sendunya. Akupun tak ingin membuat semua ini makin rumit dengan berbohong.
"Dengar penjelasanku dulu dengan baik, yah" minta ku.
Aku tahu dia sangat terluka dan merasa begitu sangat terhianati olehku. Meskipun ini bukan kesalahan pertamayang pernah kubuat tapi kurasa ini yang paling menyakitnya saat ini. Itulah kenapa dia sulit mendengarku. Tapi akupun tak punya pilihan lain selain mengutarakan semuanya.
Maaf Ru, aku tahu ini sangat sulit diterima. Tapi, inilah kenyataan pahit bagi kita berdua. Sekalipun ini juga tidak mudah untuk ku katakan dan lalui tapi ini yang selalu kau ajarkan padaku, bukan? Untuk selalu berkata jujur meskipun itu mungkin akan melukai.
"Listen Ru! Ini juga bukan mauku. Aku dan dia ...,” aku berusaha menjelaskan dengan lebih jelas lagi tentang keadaan yang sebenarnya terjadi antara aku dan Arnold, meskipun dia sepertinya sudah enggan mendengarkan penjelasan ku.
"Ini mau orang tuaku. Mereka yang membuat perjodohan ini, agar aku pulang ke Indo. Bekerja dan berkeluarga, lalu kembali tinggal dekat dengan mereka. Agar mereka juga bisa dekat dengan cucu-cucunya kelak" jelasku.
Aku melirik Tasya yang memejamkan matanya karena merasa kalimatku kurang tepat untuk disampaikan pada Aru. Tapi meskipun begitu, dia tetap diam ditempatnya berdiri, menjaga jarak privasi kami.
"Ini bukan sepenuhnya keinginanku. Sungguh!" aku menatapnya lembut. Memintanya memahami posisi rumit yang ku alami juga, jika ini bukanlah sepenuhnya keinginan dan kemauan diriku sendiri. Semua ini ada campur tangan orang lain.
"Mengertilah. Ini juga tidak mudah untuk ku hadapi sorang diri. Aku berada diposisi yang tak bisa menolak juga"
“Aru, aku tahu kau tetap tidak suka mendengar ini. Dan kau tetap akan terluka dengan semua kalimatku ini, dan sekalipun ini juga tetap tidak adil untukmu. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa patuh mengikuti keinginan orang tuaku" aku menundukkan pandangan.
"Maaf Ru, maaf ... karena kenyataannya... aku memang telah bertunangan dengannya”
Aku mengakhiri penjelasanku dengan sedih. Entah kenapa aku menangis, aku juga tidak tahu, air mata ini hanya mengalir begitu saja tanpa bisa ku kendalikan. Mungkin karena aku merasa sangat bersalah padanya.
“SIAO!! Kau baru saja membunuh ku dengan semua kalimat-kalimatmu itu. Kau tahu itu? Kau membunuhku. PEMBUNUH!”
Mendengarnya menuduh ku begitu, itu teramat sangat menyakiti hati ku. Tangisku semakin pecah dalam isakan.
“I thought we are fine. Bagaimana bisa kau melakukan ini padaku, Ra?" dia menghela kesalnya. Masih tidak percaya dengan kenyataan yang ku utarakan,
"Dan Tasya juga tahu hal itu? Dan aku orang terakhir yang tahu hal ini?”
Aku mengangguk menjawabnya.
Maaf.
Itulah kenapa aku merahasiakannya darimu. Karena aku tak ingin membuatmu sedih dengan berita ini. Karena aku juga tak ingin menyakitimu.
“WHAT THE FFU... AAHHGG!" Aru melampiaskan kesalnya. Tapi dia masih bisa mengendalikan ucapannya dengan benar.
"WHY YOU TREAT ME LIKE a SHI... AAHHH!" Aku tahu dia menyerapah begitu hanya untuk melepaskan semua emosinya, tapi tetap saja itu terdengar kasar untuk ku walaupun dia juga tidak menyempurnakan kalimat protesnya.
“Jadi... Sudah berapa lama ini?”
Aku tidak begitu paham dengan kalimat tanyanya. Itu tentang berapa lama aku mengenal Arnold atau berapa lama aku menyembunyikan status pertunanganku dengannya?
Tapi aku juga tidak mungkin bertanya hal seperti itu dalam situasi ini. Jadi ku jawab saja walau tidak percaya diri tentang pertunangan ini.
“Sekitar 2 mingguan”
Aru hanya menatap ku bengong, menahan perasaan beratnya, dan ketidak nyamannya ini.
“Apa salahku, Ra?" Satu pertanyaan sulitnya muncul menghantap kepalaku,
"Dimana letak kesalahan ku, Ra?" pertanyaan itu notabenya adalah pertanyaan yang mudah dan ringan, namun yang menjadikannya sulit untuk dijawab itu karena bukan dia yang salah. Ini hanya salah ku. Salah ku merahasiakan hal sebesar ini darinya.
Aku merasa pening.
"Apa yang salah dengan kita, Ra? Sampai hati kau melakukan ini padaku? Kau .... Kau membalik ku menjadi orang yang bersalah disini? Aku tidak mengerti denganmu. Aku tidak mengerti dengan semua OMONG-KOSONG mu ini" aku tahu itu. Karena itu aku hanya bisa menangis mendengarkan dia mengutarakan kekecewaannya.
"Kita menjalin hubungan ini lebih lama daripada kau mengenalnya. Dan kini kau membalik posisi ku begitu saja? Menjadikan ku orang ketiga diantara hubungan resmi mu dengannya? Menjadikanku layaknya pengganggu dalam ikatanmu dengannya ...?" dia mengambil jeda. Menghela nafas beratnya,
"KAU KEKASIHKU RA? KAU KEKASIHKU! Tapi sekarang, kau menendangku begitu saja dari hubungan kita yang baik-baik saja? WHAT THE F**KING H*LL is This, huh? I DON'T UNDERSTAND WHY YOU COULD BE SO MEAN TO ME?" protesnya meledak.
Aku juga tidak tahu kenapa aku bisa bersikap sejahat ini padamu. Ini tidak hanya menyakiti mu, Ru. Tidak hanya kamu yang tersakiti seorang diri, disini. Aku sendiri pun juga telah menyakiti diriku, karena aku tidak bisa menolak ataupun berontak pada permintaan mereka.
Aku merasa ingin memeluknya dan menenangkan Aru dalam pelukku, namun aku tak bisa. Aku tak punya nyali bahkan untuk melangkah mendekat padanya. Aku terlalu takut dan rapuh dengan semuanya.
“Bukankah lebih mudah memutusku lebih dulu? Mengakhiri hubungan mu dengan ku?Daripada kau harus menduakan kedua-duanya, Ra?”
Aku hanya menggeleng sedih. Aku sakit mendengarnya berkata begitu. Dia benar, tapi aku juga tak punya keberanian untuk itu. Karena aku tidak ingin kehilangannya. Aku tidak sanggup jika harus kehilangannya. Karena Aru jugalah kekuatan ku bertahan disini.
"Sudah ku bilang INI RUMIT!!" belaku,
"Kau sendiri yang membuatnya begitu" katanya cepat menyahut ku, "I'm so done with this! Kau membuatku tidak bisa mengerti semua ini dengan benar pun juga dengan baik!" Aru melangkah menjauh, meninggalkanku.
Aku menahannya sekali lagi agar dia tidak jadi pergi.
“Ru plisss.... Jangan pergi! Aku akan menjelaskan ulang agar kau bisa lebih mengerti dan memahami keadaanku. Ini bukan keinginan ku. Kau harus pahami itu. Ini keinginan orang tuaku ....”
Aku hanya tidak ingin dia pergi dan menjauh dariku. Aku hanya ingin menahannya untuk tetap disisiku.
“Aku hanya tidak siap jika kau harus menghancurkan seluruh hatiku saat ini, sekaligus!” perkataan itu seperti palu yang memukul tepat di kepala ku. SAKIT.
Aku bisa merasakan sakitnya dengan baik. Aku bahkan bisa merasakan kegundahannya, ketidak mengertiannya akan semua keadaan kacau ini. Walaupun mungkin tidak persis dalam takaran yang sama. Tapi aku bisa merasakannya. Itulah kenapa air mata ini merembas keluar tanpa henti.
“Ru, please!” dia selangkah lagi bisa keluar dari pintu, dan aku masih tidak ingin dia pergi.
Aku tahu dia mungkin butuh ruang untuk sendiri dulu, namun aku hanya ingin dia tidak pergi.
“I need fresh air. Kau jelaskan lain kali saja. Aku tidak sanggup” Ucapnya lebih tenang. Tapi bagiku itu bukan tenang, tapi lebih pada tidak berselera. Mungkin Aru hanya lelah, dan tidak bersemangat membahas ini lebih dalam dan jauh lagi.
Aku menggeleng-geleng dengan sedih. Mencengkeram tangannya lebih erat. Tapi disisi yang lain, timbul kesadaran bahwa aku juga tak boleh egois. Mungkin dia memang butuh menenangkan diri lebih dulu dari semua keadaan kacau ini.
Dilepasnya genggaman tanganku yang mulai meremang dengan perlahan. Tapi tatapanku masih lekat membujuknya untuk tetap tinggal.
“Jangan menungguku. Aku tidak akan kembali”
Ucapan Aru semakin membuatku sedih. Dia melepas tanganku sepenuhnya, dan pergi. Tasya mendekat dan memelukku. Menggantikan tugas Aru dalam memberikan sandaran dan ketenangan yang kuharapkan itu akan datang darinya tadi.
"Everything gonna be alright in time, Ra. Don't worry. Dia hanya butuh waktu untuk merenung dan memahami ini semua seorang diri"
Aku mengangguk. Menyetujui ucapan Tasya dalam menghibur keadaan ku.
Tasya mengambil ponselnya yang bergetar dan berbunyi beeb, lalu mengecek isinya. Aku bisa melihatnya dengan jelas, itu pesan singkat dari Aru.
"Please, take care of her" begitu bunyi pesannya.
Tangisku makin menjadi. Karena itu seperti isyarat dia tak akan kembali.
Mengapa aku harus menyakiti orang yang ku cintai? Mengapa aku bisa menyakiti orang sebaik Aru? Yang selalu perduli padaku dan menomor satukan ku dalam semua urusannya? Mengapa harus seperti ini akhir dari bab cerita cinta ini? Aku masih ingin dia menemaniku disini.
Jika saja aku bisa memilih, aku lebih ingin milih untuk membuat Aru bahagia. Aku ingin membuat orang yang kucintai bahagia dengan cintanya. Namun, sayangnya... aku tidak bisa memilih. Aku hanya selalu harus menjalani hidupku yang telah dipilihkan. Dan aku tidak dalam posisi yang bisa membuatnya bahagia dengan semua pilihan-pilihan yang terpilihkan untuk ku jalani.
Tembok ini masih terlalu tinggi dan kuat untuk bisa dirobohkan bersamanya.
Dan cinta ini ...,
Cinta ini terlihat kerdil dalam ketidak pastiannya merajut langkah bersamanya.
Sementara wanita ...,
Wanita selalu menantikan kepastian yang nyata dalam setiap tali hubungan yang dirajutnya.
Ku harap ini tidak terlalu menyakiti langkah kita berdua.
Ku harap.
*****
"...Menyenangkan jika kebahagiaan kita hanya di isi dengan cerita tentang kita, tanpa harus membawa penyusup..." ~ Aru ~ Setelah mengirim pesan pada Tasya, aku lantas melajukan motor ku melewati jalanan kota Singapura pergi menuju tempat sahabatku, Zein. Biasanya dia selalu ada di kursi nyamannya untuk bermain game seharian dan hanya bersantai-santai di hari Minggu. Jadi aku tidak memberitahukannya jika akan datang. Aku memarkir motorku. Bergegas menekan tombol lift dan menuju nomer apartemennya. Belum juga ku tekan bell, pintu sudah terbuka dengan sendirinya. "Yoo Bro!" serunya kaget. Wajah Zein terlihat. Pakaiannya rapi, wajahnya bersih segar, rambut tertata dan tersisir halus. Dan... tumben dia wangi. Seperti akan pergi berkencan saja. Beruntungnya aku datang tepat waktu, sebelum dia pergi. "Tumben ngak ngabarin klo mau kesini? Ehh bukanya kau bilang
"...Dia guru terbaik dalam mengecap rasa dan belajar bahasa..." ~ Ara ~ Aku berhenti menangis, tapi belum berhenti bersedih. Kepala ku mulai terasa pening karna banyak menangis, tapi Aru masih belum menghubungi ku, walaupun aku sudah mengirim beberapa pesan text untuknya. Dia bahkan belum membacanya. "Mungkin Aru memang butuh waktu menyendiri dulu, Ra" ujar Tasya menanggapi pikiranku yang ternyata ikut keluar dari mulutku tanpa ku sadari, "Kau tenang saja. Aku yakin setelah dia merasa lebih baik. Pikirannya lebih terang menerima, dan emosinya lebih stabil dia akan menghubungi mu. Kau tahukan, dia pandai berbenah! Dia akan menghubungi mu saat dia telah membaik" imbuh teman ku berpendapat. "Aku hanya takut jika saja kali ini dia tidak bisa lagi menerimaku ataupun memaafkanku, Sya. Karena nyatanya ini bukan hal baru untuknya. Aku sudah b
"...Benang tipis diantara bodoh dan gila ialah cinta... " ~ Aru ~ Berbulan-bulan berlalu dan kita hanya menikmati rasa rindu ini dalam ruang kita yang berbeda. Mengumpulkan setiap hitungan demi hitungan, hingga menjadi deret hitung selanjutnya. Menyilang saat lima dan menulis lagi jadi satu. Menyilang lagi saat lima dan menghitung ulang mulai dari satu. Begitu terus dan berlanjut hingga hitungan itu genap terkumpul sampai hari ini. Hari dimana aku akan membawakan oleh-oleh rindu yang Ara minta dan ku janjikan, iya. "Landing safe in SG" Telah menjadi status di f******k dan juga sosial media ku yang lainnya. Lalu Ara dengan cepat bereaksi meminta temu disiang hari itu juga, segera sesaat setelah aku mendarat. Tapi aku berencana menemuinya sore hari, karena merasa masih letih dan perlu mengumpulkan energi agar bisa menemuinya d
"...Dalam keadaan yang rumit itulah kita akhirnya belajar menumbuhkan sikap dewasa kita... " ~ Ara ~ Akhirnya, aku dan Tasya pergi keluar juga. Dia mengajakku makan malam diluar, katanya agar aku tidak terlalu begah hanya berdiam murung di Condo saja. Akupun akhirnya mengikuti saran sahabatku itu. Setelah berjalan sekitar 10 menitan, sampailah kami disalah satu food court tujuan kami. Aku memesan ayam geprek satu level dibawahnya yang terpedas di kedai Papi Chicken. Yang merupakan makanan Indonesia yang tengah digandrungi disini, saat ini. Sementara Tasya memilih memesan Tom Yum Pasta, level cetek. Entah kenapa aku tiba-tiba saja ingin makan sesuatu yang pedas, mungkin itu juga masih karena Aru. Karena aku melihat postingannya dikomen oleh Quin, sementara dia sudah tidak lagi membalas text ku, jadi aku ingin punya alasan lain untuk menangis tanpa perlu dianggap cengeng.
"...Mungkin orang lain akan salah paham melihat kita begitu memahami terlalu baik... " ~ Aru ~ Zein melihatku dengan tatapan lelahnya, setelah aku bercerita tentang apa yang sedang ku hadapi kini. "I told you, right? Berbulan-bulan yang lalu, oh tidak. Bertahun-tahun yang lalu, agar kau meninggalkannya. But all you did just ignore my words" Zein menanggapi dengan kesal. Aku tidak bisa membantah perkataan sahabatku itu. Walau bagaimanapun Zein benar, hanya aku yang keras kepala tetap mempertahankannya walau sulit. "Jadi sekarang bagaimana?" katanya dengan intonasi yang lebih rendah dan santai. Aku hanya mengangkat bahu. Bahkan akupun tidak mengerti harus apa. Harus bagaimana menghadapi semua ini. Harus bagaimana mengambil sikap atas keadaan ini. Yang ku tahu hanya, aku harus mengirimkan pesan pada Ara jika aku akan menginap ditempat sahabat ku ini sementa
"...memberikan batasan dalam pertemanan akan menyelamatkannya dari kehancuran..." ~ Ara ~ Aku dan Tasya kembali ke Condo, dan aku menjadi begitu senang saat melihat sepatu Aru sudah ada ditempatnya. Itu artinya dia sudah kembali dan masih mendengarkan ku walau kadang bersikap acuh tak acuh padaku. Dia tetap selalu mempertimbangkan perasaanku, dan aku tahu itu. Aru akan begitu begitu lunak padaku. Wajahku dihiasi dengan banyak senyum dan itu membuat Tasya tidak mengerti. Dia memandangiku aneh karena menurutnya tadi aku banyak menangis tapi mengapa sekarang terlihat berbalik setengah lingkaran. Aku yang kini, seolah sedang berdansa bersama bahagia. Dan itu pasti membuatnya bingung. Itu karna Tasya belum melihat jika Aruku sudah kembali pulang. Aku jadi merasa senang. Hanya sesederhana itu saja bahagiaku, Aru kembali kesisi ku. Hanya itu saja sudah bisa membuatku merasa begitu
"...orang yang kau cintai sepenuh jiwalah yang pada akhirnya mematahkan hatimu ... " ~ Aru ~ Aku terbangun tengah malam dan mendapati Ara tidur disisi lain kursiku. Selintas yang terpikirkan olehku ialah, kenapa dia tidur diluar? Apa itu karena dia merasa bersalah padaku atau karena dia sudah merasa rindu? Ah, yang kedua serasa tidak mungkin. Itu pasti karena dia merasa bersalah padaku. Aku hendak memindahkannya ke kamarnya tapi ingat jika ada Tasya. Lalu aku berpikir untuk memindahkannya ke kamarku dan aku bisa kembali tidur disini sendirian, tapi urung karena kekuatanku rasanya masih belum pulih sepenuhnya dan karena aku juga masih kesal dengannya. Perasaan marah itu tidak bisa reda begitu saja. Memang bagaimana bisa hilang dengan begitu mudah? Saat orang yang sangat kau cintai nyatanya menghianatimu. Aku melihat ponselku diatas meja. Dan aku yakin dia pasti sudah mengecek isi chatku dengan Quin, karena letakny
"...Melihatnya lemah tak berdaya merupakan luka tersendiri, meskipun kecil..."~ Ara ~Beberapa minggu berlalu, hubunganku dengan Aru masih terlihat biasa saja. Kami masih baik-baik saja, tapi juga tidak baik-baik saja. Masih belum ada keputusan untuk saling menjauh apalagi saling meninggalkan satu sama lain. Kami masih saling berbagi tempat menyandar, kami masih saling berbagi suapan, dan kadang juga berbagi hal yang lain-lainnya juga.Meskipun terkadang dibumbui juga dengan pertengkaran kecil saat Arnold menghubungiku, atau mengirim pesan padaku dan aku menjawabnya didepan Aru. Kaarena sebab itulah dia jadi mudah marah belakang ini, mungkin karena merasa tersisihkan dan aku bisa memahami itu. Dia marah dan kesal karena aku membagi kasih juga perhatian pada orang lain.Jika sudah begitu Aru bawaannya ingin menghindariku, dia segera mengambil langkah menjauh dariku, memberiku jarak. Entah itu dia pergi
~ Ara ~ . . . ... Sepasang sesal ... Menepikanmu yang kurasa sanggupMeniadakanmu yang kurasa mampu Tapi bayangmu tak pernah jauh dari heningkuDan seluruh heningku tak pernah sepi darimu Jangan menyerah Karena kau masih memikatkuDan hatiku masih terpaut dekat denganmuSekalipun kau tak tahu itu benarSekalipun tak ku ucapkan dengan benar Kau tahu aku hanya berlagakKau tahu aku selalu malu berbicara cintaJadi bisakah sekali lagi kau menunggukuKuharap hatimu tak berubah padaku Sekalipun kini hanya berat yang tertinggal Dan benteng kuatku telah menemui lapukan terlemahnya berupa sesal. . . - Guilty on tuesdays - " Lyn Wen " . . I hope one day you'll come backAnd at least say hiWipe off the tears on my faceAnd give us a try, Cause I can tellYou're done with this leaving hell yeah...I can tellYou're done with what I do To keep me away from youTo keep me away from you, Every good moment has passedYou're still not hereCrying alone in my car seems to famil
"... Aku tak perlu berkorban lagi untukmu, karena kau telah bahagia ..." ~ Aru ~ . . Pernah aku terpenjara dalam jerat cinta, yang membawa arusku jadi seru dan semu, tapi aku jatuh juga dari ketinggian mencinta kedalam ulu hara, dalam perangkapnya kasih menjadi siksa. Karena itu, setelah badai tikai itu, aku memilih menutup diri. Memberinya kemerdekaan dalam hilangku. Dan kutangani sisa luka, konsekuensi dari berani mencintainya, sendiri. Tak kubiarkan orang tahu atas luka patah hatiku. Kusembunyikan kepatahan itu dari sekelilingku. Karena aku tak ingin membebankan perasaan luka yang kuterima pada orang lain, dan itulah kebijakanku. Meski itu tak mudah, aku berhasil membuatnya terlihat begitu. Serupa seperti tak berlinang air mata. Serupa hatiku tak retak karena terluka. Padahal diam-diam akupun menangis dalam sembunyiku. Di kamar mandi, atau dibilik kamar redup lampu. Lantas pura-pura tidur saat ada yang mendekat. Sebab aku tak punya alasan benar, menunjukkan pedihku pada mere
"... Biarkan hatimu menuntun maunya, tapi ijinkan takdir yang memutuskan jawabnya ... " ~ Ara ~ . . "Ara, aku bertemu dia. Kami bicara. Tentu aku melihat apa yang tak bisa kau lihat darinya, Ra" "ARU TAK BAIK, RA." "TIDAK. Dia harus baik-baik saja. Harus!" "Yah, tampaknya memang begitu" "Tampaknya?" "Mau menggeser sedikit saja persepsimu akan kebencian Aru padamu itu?" "Tak yakin!" "Bagaimana jika kepergiannya itu bukanlah atas dasar kebenciannnya? Mungkin saja itu sesuatu yang lain" "TIDAK. Itu harus benci. HARUS!" "Dan bagaimana jika yang kau lihat benci itu, mungkin, sebenarnya hanya bentuk lain dari luka? Mungkin itupun bentuk dari defensif Aru dalam melindungi hatinya. Bukan benci" "Kenapa begitu?" "Aru bisa saja menjadi brengsek waktu itu. Dia bisa merusak pernikahanmu sebelum takdir melakukannya. Tapi alih-alih begitu, dia malah memilih mundur. Menarik semua kedekatannya darimu tanpa menciptakan kegaduhan, Ra. Jadi Apa tindakan itu mencerminkan kebencian?" Aku m
"... Takdir memaksa kita mengerti dan menerima keadaan tak baik kita, meski kita tak ingin... " ~ Ara ~ . . - THE WEDDING - Aku baru selesai dirias dan Tasya masuk. "Woooh.. who's this gurl? So gorgeous!" "Thank you" Aku senang menerima pujian itu. Meski hatiku juga merasakan getir gelisah yang lain. "Bagaimana rasanya jadi mempelai?" "Nervous, I guess?" "Kurasa akupun akan begitu saat diposisiimu. Wajar, Ra. Itu gerogi yang baik" "Kuharap begitu. Tapi lebih dari itu. Aku sangat bahagia. Akhhirnya Sya... Akhirnya!" "Umh, I'm so happy for you too" Sudut mata kami mengeluarkan embun haru. Tasya lalu memelukku. "Okay-okay, ini hari bahagiamu dan aku tak ingin riasanmu rusak karena kebahagiaan ini" Kami menghapusnya. "U
"... Kau mungkin bahagia, tapi benarkah itu kebahagian yang ingin kau jalani ... "~ Ara ~.."Tasya?""Surprise!"Dia memelukku."Katamu besok?""Tidak jadi. Aku mempercepat segalanya""Masuklah!""So, how's your life Ara?""Seperti yang bisa kau lihat. Baik!""Kau menjawab persis seperti seseorang" gumamnya, "Kau sedang sibuk?""Tidak""Apa yang akan kita lakukan hari ini?""No shopping, karena kau pasti masih jetlag. And I'm not about going anywhere. Jadi kurasa kita hanya perlu disini saja""Good girl. Kau sangat memahamiku!""O-ya, kau jadi ketempat Zein?""Ya""Dia mengusirmu?""Tidak. Dia berubah menyenangkan""Uh, impresif. Kalian membicarakanku?""Sedikit. Oh, iya, kau mau minum apa?""Tak perlu repot. Aku bukan tamu istimewa""Aku k
"... Cinta itu telah berakhir ..."~ Aru ~.."Berjuang lebih keras, Aru!""Kau kira kenapa aku bertahan dalam sengsara itu jika bukan untuk berjuang?""Sudah Tasya! Aku mencoba segala yang kubisa. Dari memprovokasi cemburunya, memperbaiki emosiku, hingga bersikap manis padanya untuk mendapatkan lagi hatinya. Tapi Arnold yang selalu menang. Kau hanya tak tahu usahaku itu!"Dia termenung."Aku berupaya hingga tak punya cara lain lagi selain menyudahi keegoisanku untuk memilikinya seorang diri.""Huhf..." helanya."Aku pasti jadi psycho jika diposisimu. Kau harusnya gunakan emosi kesalmu itu untuk memukuli seseorang. Jangan diam saja dan malah lari!"Aku terhibur mendengarnya.Apa dia tak tahu aku memukul Ara waktu itu?"Kau pernah punya pikiran jahat? Seperti psycho?""Mungkin""Sungguh? SESAIKO APA?""Mungkin karen
"... Rasanya aku ingin membunuhnya saat melihatnya pamer bahagia, sedang aku menahan nyilu dan cemburu ..." ~ Aru ~ . . Aku terdampar dalam sebuah kemegahan asing dalam duniaku. Tapi ini bukan ilusi. Aku duduk merenung, menikmati nyaman yang belum pernah kunikmati begini sebelumnya. Membahagiakan. Aku menghirup aroma cappucinoku, sebelum mengecap bagaimana rasanya. Dan benar rasanya istimewa, seperti harganya yang bisa membuat dilema kepala orang biasa. Tapi disinilah aku kini, mengagumi soreku yang biasanya tak selalu indah. Tapi kini berubah begitu menawan dalam sekedip. Aku menyesap lagi gelas kopiku, sambil menunggu dengan santai seseorang yang telah membuat janji temu denganku. Dudukku mulai menyila, tapi bosan masih jauh dari pikiranku. Meskipun kini aku terkurung di lantai 122, diketinggian ratusan meter, dalam atmosfer megah restauran kelas dunia, di Burj Khalifa.
"... Itu pilihan, ingin menjadikannya ujian dalam cinta atau takdir dalam cintamu... "~ Ara ~ . . Kenapa aku sendiri masih terus ragu dengan apa yang Zein tuturkan barusan. "Ara, kau masih mencintainya, kan?" "Entah Zein!" "Apa kau tahu, ragu adalah bagian dari iya yang belum disetujui lewat kata""Yang kutahu, aku tidak kesini untuk membahas hal seperti itu" "Benarkah? Apa kau pikir hanya dengan modus mengembalikan ini, aku lantas percaya? Tidak Ara. Aku tak sebodoh itu!""Kau terlalu berlebihan Zein""Menyangkalnya membuat hatimu lebih baik?""Zein, Aru membenciku!""Maksudku dia masih membenciku, kan?" aku mencari defensif lain."Ya, benar. Dia membencimu hingga tak ingin lagi melihatmu. Hingga ingin menguburmu. Hingga ingin menghilang darimu. Dan itu benar, dia membencimu"Hatiku terluka mende
"... Mengapa orang lain bisa melihat cintaku dengan jelas, tapi aku tidak ... "~ Ara ~ . . Ada banyak hal yang ingin kusampaikan saat berada dalam masa perenungan lalu. Karena kehilangan Aru membuatku tak seimbangan. Tapi setiap kali menatap wajah penuh lukanya, akupun kehilangan cara untuk membela diri dari kekacauan yang kubuat sendiri. Kalimatku lenyap, bibirku terbungkam. Aku tak bisa menyanggah kalimat penuh lukanya karenaku. Dan karena itu, yang terlintas hanya perasaan sesalku, jadi alih-alih membela diri, aku lebih ingin meminta maaf.Tapi Aru selalu tak ingin mendengarnya. Dia tak ingin mendengarnya, seberapapun aku merasa bersalah padanya.Tapi menyumpahiku gagal menikah adalah hal yang paling tak bisa kuterima. Dan itu sangat melukai hati terdalamku.Begitulah aku menyerah pada akhirnya. Karena mungkin dengan membiarkannya pergi, itu menghinda