“...cinta bisa menjadi sesuatu yang lembut dan menyentuh, tapi kadang juga bisa menyakitkan dan mencekik tanpa rasa ampun...”
~ ARU ~
Aku menangkap gelap dari sebuah pesan yang dikirim untuk Ara. Aroma pesan itu berbau busuk, walaupun aku tak menciumnya secara nyata. Hanya saja peka rasa yang menerbitkan intuisi bernada beda.
Aku curiga. Kusapu juga ponselnya yang berada di meja dalam genggaman ku. Bunyi seperti tetes air yang jatuh terdengar saat aku mengusap layarnya. Ku ketikkan angka-angka sandi dan memburu satu pesan yang baru masuk itu. Tidak sulit membukanya, karena sandianya sama persis dengan sandi ponsel milikku.
“Morning beauty” dari sekata itu saja aku bisa menangkap curiga, tapi aku tidak ingin terlalu berburuk sangka,
“Hari ini, apa rencanamu?”
Aku menengok nama pengirim pesan itu. Nama seorang lelaki yang terasa asing bagiku.
Iseng. Aku membalasnya juga,
“Sunday for date”
“Date???” tanyanyanentah curiga atau penasaran,
“Are you at home, now? Jadi kita bisa nge-date, begitu?”
Aku agak bingung dengan si pengirim pesan yang bernama Arnold ini. Plus itu juga membuatku bertanya-tanya dalam mencari korelasi dari semua ini. Aku merasa ada yang tidak benar dengan jawaban dan tanggapannya itu. Tapi pikiranku masih mencoba menepis prasangka buruk itu satu kali lagi. 'Kendalikan dirimu, Aru!' batinku berujar.
“NOPE” aku membalas pesan itu,
“Lalu kamu mau jalan sama siapa? Tasya, ya? Atau teman?"
“My boyfriend of course!”
“Sorry?" lelali itu tampaknya bingung dengan jawabanku,
"Apa maksud mu? Aku tidak mengerti!” tulisnya lagi dalam meminta kejelasan,
'Begitupun aku' batinku sekali lagi meneriakkan tanya yang sama, 'Siapa pria ini sebenarnya?'
"Aku akan jalan dengan pacarku. Masak gitu aja ngak ngerti juga sih?" balasku memprovokasi, "Boyfriend = Pacar!"
"PACAR??"
Semua pertanyaan curiga bersarang di kepala kami, kini. Menyergap penuh ragu dengan hiasan kunang-kunang tanya.
"Iya pacar! My love. Kau bukan anak kecil lagikan? Masak seperti itu saja tidak paham juga"
"Iya, paham. Itu aku kan?"
Arus pikiranku menjadi sempit. Detakku memacu letupan emosi, sebab lelaki ini menjawab satu hal yang tidak bisa kupahami juga kuterima. Membuat ku mengendus curiga dan kesal. Memang siapa dia sebenarnya bagi Ara?
"Impossible! Tentu saja buka ..."
“Aru, let’s go. I’m ready now!”
Aku yang tengah mengetikkan kalimat balasan untuk orang bernama Arnold itu terhenti karena suara Ara seketika hadir di ruangan ini. Dia mengejutkan ku, dan malah tersenyum senang melihatku gelagapan karena kaget.
“Kaget ya? Sorry... sorry ...."
Namun kekehan senang itu cepat berganti saat dia menyadari satu hal dari tatapannya padaku. Dia melihat ku tengah memegang ponsel miliknya. Kini ekspresi senang itupun memudar hanya dalam sekejap.
"Kau ngapain sih?” katanya santai seraya melongok ponselnya yang masih kubawa,
"Balas pesanmu" jawabkupun santai,
“Pesan??" Ara terlihat ragu, "OHH SHOOK!" keluhnya lirih, seperti terkejut pada pikirannya sendiri. Tapi aku bisa mendengarnya.
Aku bahkan bisa menangkap jika tatapannya padaku saat ini tidak hanya tatapan curiga, melainkan juga ada perpaduan rasa takut dan cemas yang berlebihan seketika itu. Sepertinya.
"Coba lihat! Pesan dari siapa?" Ara seperti menyadari sesuatu.
Dia mengambil alih ponselnya dari tanganku. Tapi refleksku justru memberikan perlawanan. Menolaknya.
"Aru!" katanya menyuruhku melepas genggamanku dari ponselnya.
Ara menariknya lebih kuat, dan tanpa sengaja aku membuat pesan itu terkirim begitu saja, saat dia berhasil mendapatkan ponselnya kembali dari genggamanku. Ara dengan segera mengecek aktivitas pesan-pesan yang telah membuatku diam hening dalam banyak tanya tentang hubungan mereka, sedari tadi.
Wajah keruh Ara itu, kini berubah lagi jadi tak menentu dengan banyak riasan cemas dan takut. Aku bisa membaca geriknya hanya dengan mengamati perubahannya. Sepertinya dia memang sangat kesal padaku dan sebentar lagi akan melayangkan protes akan tindakan ku yang lancang.
“Aru? What the heck are you doing?” rautnya berubah sengit menantang ku. Seolah aku ini seperti musuhnya yang paling menyebalkan.
"Katakan! Siapa dia, Ra?"
Namun Ara tidak mengindahkan tanyaku. Dia hanya melirikku malas dengan selintas. Memendam kesal.
“OH MY GOD!” pekiknya merasa cemas dan merasa takut. Aku bahkan bisa melihat kesedihannya pun mulai hadir melengkapi rasa cemas dan takutnya itu.
'Jelas, ada yang dia sembunyikan dariku!' dugaku dalam hati.
“Siapa dia, Ra?” aku bertanya masih dengan tenang, tapi sangat dingin menekan pada rasa ingin tahuku.
“Kau KETERLALUAN! Mengapa kau membalas chatku tanpa ijin?”
"Seriously?" Aku tidak mengerti dengannya.
Kenapa dia yang justru marah? Apa hanya karena aku mengatakan pada orang asing itu, jika 'kita akan pergi berkencan?' atau karena aku menjawab 'kita memang punya hubungan.'
Sungguh ini tidak masuk akal. Mengapa dia harus memarahiku? Biasanyapun aku membalas pesan yang dikirim untuknya dan dia biasa saja. Tapi kenapa sekarang jadi beda? Bukankah akulah yang harusnya patut marah padanya karena akulah kekasihnya? Karena pacarku digoda pria lain. Tapi dia seperti sedang menyembunyikan rahasia gelap dari diriku. Aku tak boleh tahu.
Aku hanya meminta penjelasan darinya, agar semua ini menjadi jelas. Kebuntuan dalam pikiranku jadi kelas, bukannya elakan yang ingin ku dengar.
Jelas, ada yang tidak baik dengan semua pertanda ini.
“Jawab saja kenapa? JANGAN MENGELAK!”
Aku menginginkan penjelasan yang lebih terang dan lebih logis daripada hanya sebatas dugaan-dugaan yang terbangun sendiri dari isi kepalaku. Tapi Ara, dia hanya masih saja menatapku dengan sengit dan kecewa. Bahkan tatapannya pun juga berhias aura sinis pun bengis mensikapiku.
“Explain me, Ra! EXPLAIN!” desakku lebih keras dan dingin padanya.
Ara jadi tidak menentu mendengar suara kasarku menekannya. Rautnya melembut tapi tatapannya kosong dan sedih. Ara terduduk lemah di lantai, dan pandangannya masih mengabaikanku, berkeliaran entah kemana. Yang jelas pikirannya sedang tidak bersamaku disini. Mungkin bersama pria itu.
“Aru kenapa sih marah-marah?” kata Tasya yang mendengarku bersuara keras. Dia akhirnya keluar dari kamarnya untuk memastikan keadaan yang sebenarnya. Ada apa diantara kami berdua, kenapa jadi ribut-ribut begini.
“Oo eM Ji!” katanya saat melihat Ara terduduk lemah di lantai, sambil menangis tanpa suara dan tatapannya yang masih kosong entah keruang yang mana,
“Ru, kamu apain Ara sampai dia kayak gini?" ujarnya cemas saat melihat sahabatnya diam dalam tangis, seraya beralih pandang dari ku ke Ara lagi,
"Ra, you alright? Kenapa sih dengan kalian ini? Katanya perlu quality time berdua aja, tapi kenapa malah jadi berantem gini?” dia masih mengejar dengan tanyanya yang belum terjawab.
“Who’s that guy? Can you please, at least gimme some explaination!” kataku mulai berkompromi.
Tasya yang tadinya menatapku curiga dan kini beralih menatap temannya sangsi.
“Ra ...?” panggil Tasya pada Ara. Seolah mereka berdua sedang bertukar kode rahasia yang tidak ku ketahui,
“Is it about ...?” tanya Tasya penuh keraguan itu dipotong cepat dengan anggukan Ara.
Seperti dia juga sengaja tak ingin temannya itu menyempurnakan kalimatnya. Mungkin agar semua ini tetaplah menjadi rahasia mereka.
“So, it is about WHAT?” kataku menyambung apa yang mereka rahasiakan dariku.
Tapi mereka tetap saja bungkam. Seperti tak ingin memberitahukan jawaban apapun pada ku.
“DANG!!! REALLY? NO ONE Will Tell ME ANYTHING???” aku semakin gemas dengan sikap mereka,
“AAGGH!!!” keluhku, membuang nafas kesal.
Mereka berdua saling beradu tatap tapi masih tetap diam menyembunyikan semuanya dariku. Dan itu mulai membuat darahku terasa mendidih. Aku makin geram dengan mereka berdua.
"Ay ..." namun kalimatku terpotong oleh suara bising dari dering ponsel Ara.
Aku bisa melihat nama lelaki itu tertera dilayar dengan jelas, saat Ara menengoknya. Kemudian dengan keraguannya, Ara beralih menatapku. Seperti ..., dia jadi sangsi harus menerima atau mengabaikan panggilan itu.
Akupun balik menatapnya dengan tatapan laranganku padanya. 'Jangan diangkat! Abaikan saja!'
“Akan ku jelaskan semuanya. Just give me some minutes, okay!” katanya tak memahami tatapan perintahku.
'Ugh eriously?!' gundah batinku memprotes.
Aku menghela nafas frustasiku cepat. Menerima perlakuannya terhadapku yang jadi berbeda karena pria lain.
Ara bahkan sengaja sedikit menjauhkan diri dariku dan Tasya untuk alasan kenyamanan, mungkin. Aku tidak paham. Yang ku paham dia malah mengabaikanku.
Dia bergeser tidak terlalu jauh, masih terjangkau oleh pandanganku dan Tasya. Ara terlihat mengatur nafas sesaat sebelum menjawab panggilan itu.
“Hallooo” suara Ara masih jelas terdengar, walau dia sudah menjauh beberapa langkah.
...
“Ohh, about that... sorry... sorry... It’s just a joke−”
Dia bahkan bisa tersenyum di telponnya dan mengabaikan ku dengan sedemikian rupa? Membuatku sakit.
'WAIT! WHAATT?'
Aku tidak bisa percaya dengan apa yang baru saja ku dengar, karna nyatanya hal itu melukai perasaan ku juga.
“So, I’m just a joke for her, huh?” keluhku pada Tasya sarkatis.
Ara melirikku dari jaraknya. Tasya hanya mengangkat bahunya, memberi isyarat tak tahu.
Sepertinya Ara mendengar keluh ku dari jaraknya. Lalu dia melangkah lagi beberapa langkah, menggeser langkah dan menjauh lagi dariku. Dan keadaan ini akhirnya membukakan mata buram ku sedari tadi yang masih belum juga ku mengerti, juga ku pahami dengan seketika.
'Ara telah melupakanku'
'Dia telah mencampakkan ku'
"Kau tahu sesuatu, bukan?" tanyaku menyelidik pada Tasya. Tapi dia masih saja hanya mengangkat bahunya tinggi.
"Jelas kau tahu sesuatu, iyakan?"
"Bukan kapasitasku memberikanmu penjelasan. Ini masalah kalian, aku tak ingin ikut campur kecuali jika kau membahayakan Ara. Aku akan ikut campur seketika"
Sekali lagi, aku mengamati Ara. Dia masih tersenyum senang pada percakapannya ditelpon bersama pria tak ku kenal itu. Itu menyakiti hatiku. Bagaimana bisa dia tersenyum bahagia dalam obrolannya? Sementara itu dia menggantung tanyaku disini bertubi-tubi? Sungguh, ini menyakitkan. Membuatku muak dengan keadaan ini.
“Duuhh! This enough to explained me everything!” keluh ku pada Tasya, menyerah dengan keadaan ini. Karena ini terlalu menyakitkan.
Tapi Tasya hanya memandangku bimbang. Dia tak punya penjelasan untuk menanggapi keluhku.
Dalam hati kecil ku, aku seperti tidak lagi mengenali Ara. Dia seperti bukan lagi Ara yang ku kenal selama ini. Yang mengutamakan ku atas manusia-manusia yang lainnya. Dan aku terluka memandanginya lupa akan tempatku sebagai kekasihnya disini.
“The heck is this! You know what? She just tore my heart into pieces” keluhku sekali lagi pada Tasya.
Aku tidak bisa terus tinggal dan mendengarkan Ara mengoceh dengan lelaki asing yang tidak ku ketahui itu. Terlebih lagi karena telingaku sakit mendengarnya, mataku malas melihatnya tersenyum bahagia diatas luka ku. Dan sementara itu, dia masih menggantung ku seperti orang bodoh, hanya sebatas untuk menantikan penjelasan yang akan dia sampaikan, yang aku sendiri sudah bisa menebak kemana arahnya akan bermuara.
Aku kesal. Rasa panas tubuhku meninggi, dan mata yang tadinya tidak kenapa-kenapa kini mulai terasa memerah, dan juga lembab, meremangkan pandanganku. Tapi tidak cukup mampu membuatku berurai air mata. Aku mengikuti keinginanku untuk pergi.
“I'm done with this!” kesalku, "Aku pergi, Sya" kata ku pada Tasya. Dia hanya terlihat bingung karena tak tahu harus berbuat apa-apa. Bahkan diapun tak bisa menghiburku, karena itupun tak terasa benar untuk dia lakukan.
Aku menuntun langkah menjauh.
Aku hanya ingin menyudahi rasa sakit yang ku terima, baik itu dia sengaja atau tanpa rasa sengaja.
“Ra, BURUAN!” Tasya memanggil temannya cepat. Hanya itu yang bisa dia lakukan atas konsekuensi tak ingin terlibatnya dalam masalah pribadi kami berdua.
Panggilan itu cukup keras terdengar. Aku tahu teriakan Tasya itu untuk mengingatkan sahabatnya akan eksistensiku di ruangan ini yang masih perlu mendapatkan kejelasannya. Atau mungkin panggilan itu sengaja dia tujukan agar Ara menyudahi pembicaraannya ditelepon dan mengejarku sebelum aku melangkah terlalu dekat dengan pintu dan dia tak akan bisa mengejar ku lagi. Dan permasalahan ini menggantung lebih lama lagi.
Suara langkah bergerak cepat terdengar di belakangku, Ara menghentikanku seketika dalam satu panggilannga saja.
“Let’s talk. Ku jelaskan semuanya” ujarnya.
Sekejap, aku jadi malas mendengar penjelasannya. Karena itu pasti tentang pria bernama Arnold itu.
'Dia menduakan ku' gumam sepintas pikiranku, yang membuat tubuhku melemah. Merana mendengar ku sendiri berpikiran begitu. Ada perasaan sakit pula yang menyelimuti diri ini. Dan rasanya aku tak perlu lagi mendengar penjelasan apapun lagi darinya. Namun sebagian diriku yang lain menawarkan kata damai untuk tetap mendengarkan penjelasannya. Apapun itu. Baik itu akan menyakiti perasaan ku nantinya ataupun tidak. Aku harus tetap mendengarkan penjelasannya, agar ini adil.
Aku berhenti tanpa berbalik badan, rasanya berat untuk menatap Ara saat ini. Tapi itu tidak ku lakukan karena aku masih menghargainya, karena aku masih mencintainya. Dengan lemah tanpa selera, aku berbalik juga. Memperlihatkannya pancaran sinar mataku yang sayu tak berselera tapi memaksakan diri. Aku diam tak berkata, hanya menantinya membuka suara dan menunggunya memulai dengan kalimat penjelasannya.
Namun lama aku menunggu, Ara tidak juga bisa membuka suaranya dan memberikan penjelasan padaku. Lidahnya terasa beku, keberaniannya terasa terkunci. Dia hanya masih diam resah memandangku dengan segala kecemasan dirinya.
"Jadi? Jelaskan apa yang perlu ku ketahui!" pancingku.
“Umhh ... I don’t know where to begin” katanya basa-basi, atau entah karena merasa ragu.
Entahlah, akupun tidak mengerti apa yang membuatnya sulit berkata.
“Him!” jawabku dingin dan enggan,
“Ummh... diaaaa ...,”
“Dia?” ulangku, meminta dia melanjutkan ceritanya tanpa menjeda.
“Dia Arnold” Ara sengaja membuat jeda,
“Dia cal ... Dia tuna .... Dia tunanganku, Ru!” Ara terdengar ragu dan memperbaiki kalimatnya hingga sempurna menjadi kalimat utuh yang bisa ku tangkap maknanya.
Tapi, sekalipun kalimat itu sudah diperbaiki dan menjadi kalimat sempurna yang bisa ku mengerti maksudnya, tetap saja itu masih seperti sebuah kalimat rusak yang berhasil menyambarku. Cepat dan begitu dahsyat menghancurkan perasaan ku. Sempurna! Kalimat sempurna itupun sempurna mengefek perih dalam diriku. Menjadi satu makna yang tetap membingungkan bagi kepalaku memprosesnya.
'Apa yang baru saja ku dengar itu sebenarnya? Dia siapa?' aku mengulang tanya dalam pikiranku. Berat mencerna maksudnya, mungkin juga berat mengakui kebenaran dari perkataan Ara.
“OoH SH*T!!! He...? WHAAATT???” kepalaku mencoba memprosesnya sekali lagi.
"Dia tunanganku" ulang Ara dengan polosnya, hingga membuat Tasya pun hanya bisa geleng-geleng kepala melihatnya.
Tubuh lemas ku seketika berganti dengan paradoks. Serasa kini memiliki kekuatan yang sangat besar untuk bisa dengan sekejap menelannya mentah-mentah.
'Mengapa juga Ara harus mengulangnya? Apa itu untuk mempertegas siapa aku kini baginya?'
"Ughh ..." aku tersedak tidak percaya. Ara menggigit bibir bawahnya, merasa cemas.
Sekali lagi, mendengar kalimat sederhana itu nyatanya justru seperti ditusuk dengan 4 pedang tak kasat mata, yang datangnya dari empat penjuru arah berbeda dan datangnya dengan tiba-tiba disaat aku tidak dalam posisi siap menerima ataupun bisa menangkisnya. Yang ku mampu hanya pasyrah menerimanya dan pasyrah membiarkan kalimat sederhana itu menyerang ku dengan spontan dan sadis.
PERIH di dadaku terulang sekali lagi.
Sakit, pukulan itupun membuat pening kepala ini.
Pedih, hatiku menangis pedih.
Kini, aku serasa perlu mencabut 4 pedang itu walaupun sakitnya tak terkira nantinya, tapi setidaknya dengan begitu aku akan bisa memberikan kekuatan ekstra untuk memberikan perlawanan balik. Agar aku juga bisa mempertahankan diriku dengan baik. Atau agar aku bisa memberikan perlawananku, agar dia dapat merasakan kesakitanku juga. Hanya saja, pikiran sehatku masih mencoba melerai untuk tidak membuat kegaduhan dan lebih memilih untuk menyangkal kalimatnya daripada menerimanya dengan pasyrah apalagi mempercayainya sekaligus.
“Are you FREAKING KIDDING me?? Semua ini tidak benarkan? Or is it like a PRANK? You prank me, right?” aku melakukan pertahanan diri dengan berpura-pura menganggap ini semua hanya delusi.
Sayangnya, Ara justru menggeleng-geleng sedih. Menjawabku sekali lagi untuk kesekian kalinya.
“Listen Ru! Ini juga bukan mauku. Akudand-a blablabla −”
Mendengarnya menyangkal kalimatku saja sudah cukup membuatku kesal. Dan sekarang aku harus mendengarnya menjelaskan siapa pria itu sebenarnya? Aku merasa tak punya minat mengikuti kemauan Ara. Aku tak lagi punya selera untuk menyimak pembelaannya yang manapun. Karena apapun yang akan dia katakan, itu akan semakin seperti tusukan pedang yang menyakiti perasaanku. Dan aku tidak siap menerima semua itu. Aku tidak siap menghadapi hari berdarahku.
Aku merasa linglung dan malas, namun walau begitu Ara terus saja mengoceh menjelaskan tak usai-usai. Aku masih berusaha keras menolak semua yang ku dengar, aku tidak ingin memasukkan semua kata yang menyakitkan itu dalam memori kepalaku. Karena itu, bagiku semua ucapannya hanya bagai desing-desing suara nyamuk yang berkeliaran disekitar telingaku. Meski sangat mengganggu dan sangat mengusik tapi aku menahan diri untuk mengeluarkan pukulan mematikan ku.
Aku beralih memandang matanya. Tapi tetap masih abai akan banyak kata penjelasannya.
Aku tahu Ara tidak sedang bercanda dengan semua ini. Wajah gusarnya, kecewanya, marahnya dan sedihnya saat dia menemukanku membalas chat itu juga bukan suatu candaan. Dan saat matanya menatapku dengan bengis, penuh ketidak mengertian akan sikapku yang dirasanya lancang. Aku tahu, aku seperti menjadi orang asing baginya. Dan itu melukai ku. Selama bersamanya, baru kali ini dia menatapku dengan tatapan benci sesengit itu. Dan aku tidak suka akan hal baru itu. Padahal biasanya dia begitu lembut menatapku, penuh kasih, jauh dari benci. Tatapan itu sungguh melukaiku.
“... Maaf Ru, tapi inilah kebenarannya” katanya mengakhir.
“SIAO!! Kau baru saja membunuh ku dengan kalimat-kalimat mu itu, Ra. Kau ....” keluhku pedih.
Aku sudah kacau hanya dengan mendengar kalimat jujurnya. Luka 4 pedang itu sudah tiada artinya, karena sekarang luka itu sudah melipat ganda dengan cepat.
Ara mulai menangis sedih, entah untuk apa. Aku tidak paham dengan sikapnya ini. Dia yang menduakanku dan dia juga yang memarahiku, lalu kini dia pula yang menangis pilu? Untuk apa coba? Mungkinkah dia bersikap begitu untuk mendapatkan simpatiku kembali?
“I though we're fine. Bagaimana bisa kau melakukan ini padaku? Dan Tasya juga tahu hal ini?”
Ara mengangguk menjawab ku.
“What the FFU ... AHHGG” aku kehilangan kata-kataku,
“Why you treat me like a SHI ... AAHH ....!" kataku melepas kesal, tapi tetap menggantung kalimat-kalimat serapahku dalam samar, “Sudah berapa lama?” ujarku cepat memburu.
“Sekitar 2 mingguan” Ara terlihat bimbang sebelum menjawab.
'Jadi itu saat kau pulang waktu itu? Pantas saja kau pulang agak lama dari biasanya, dan kau juga tidak membalas pesan-pesanku dengan benar dan tepat waktu. Jadi karena ini alasannya?' Batinku meradang kecewa.
'Itu pulakah alasanmu menatapku berbeda tadi?'
'Itu alasanmu lebih memilih menjawab panggilannya daripada menjelaskannya padaku lebih dulu?'
'Itukah alasannya? Karena kau dan dia punya ikatan yang lebih kuat dari ikatan ku, sekarang?'
Aku merasa sesak nafas seketika. Mendadak tidak enak badan. Seperti semua tubuhku merasakan sakitnya kini, hanya karena pedang kalimatnya bertambah satu lagi menancap di diriku.
SAKIT. PEDIH. MELUKAIKU.
“Apa salahku, Ra? Dimana letak kesalahanku? Sampai hati kau melakukan ini padaku ...?” berontakku,
“Kau membalikku menjadi orang yang bersalah disini? Aku tidak mengerti denganmu. Kita menjalin hubungan ini bahkan lebih lama daripada kau mengenalnya ... dan ... dan sekarang kau membalikku begitu saja? Menjadikan ku orang kedua diantara hubungan kuatmu dengannya? WHAT THE H*ll is this, huh?" protesku,
"KAU KEKASIHKU RA? KAU KEKASIHKU! Tapi sekarang, kau menendangku begitu saja dari hubungan kita yang baik-baik saja? WHAT THE F**KING H*LL is This, huh? I DON'T UNDERSTAND WHY YOU COULD BE SO MEAN TO ME?"
Aku merasa pusing dan limbung. Aku bahkan tak bisa berpikir dan bernafas dengan jernih dan benar.
Satu-satunya yang ingin ku lakukan adalah memukul wajahnya, atau mengumpatnya dengan semua makian kasar. Tapi sekali lagi aku menahan diri. Bukan saja karena semata-mata itu tidak sopan dan tidak dibenarkan, tapi itu juga karena aku masih memiliki kemampuan yang diri untuk menahannya.
Bagaimanapun juga orang yang kini berdiri dihadapanku ini adalah orang yang ku cintai dengan tulus, aku tidak akan sampai hati menyakitinya balik selama aku masih bisa berpikir benar dan rasional. Terlebih karena nuraniku masih bekerja dengan sangat baik dalam mengendalikan semua perasaan kacau ini.
“Bukankah lebih mudah untukmu memutusku lebih dulu? Daripada menduakan kedua-duanya?”
Ara hanya menggeleng sedih. Masih dengan rembas air matanya.
"Sudah ku bilang INI RUMIT!!"
"Kau sendiri yang membuatnya begitu" ujarku sengit. Tak ingin lagi ada perdebatan.
Aku sudah tak bisa lagi bertahan disini. Aku sudah tidak punya tempat disini. Aku sudah sangat kacau. Hatiku sangat sakit dan perasaanku hancur, kepercayaanku padanya? Apalagi yang itu, sudah tercecer tak punya rupa karena sudah menjadi serpih-serpih selembut butiran pasir yang mudah terbang terbawa angin.
"I'm so done with this! Kau membuatku tidak bisa mengerti semua ini dengan benar pun juga dengan baik!"
Aku pergi memeluk semua rasa sakit dan kecewaku. Karena nyatanya, cinta yang ku pandang lembut dan dapat menyentuh hati, ternyata juga punya kekuatan lain yang kejam dan cukup menghancurkan.
“Ru plisss, jangan pergi! Aku akan menjelaskan ulang agar kau bisa lebih mengerti dan memahami keadaanku ...”
'Whatt?? Bahkan aku harus mengerti bagaimana keadaanmu sekarang? Dan memahaminya juga? Lantas, siapa yang akan memahami posisiku dan mengerti keadaanku?'
'Why you so freaking id*ot right now?' keluhku memendam kesal.
“Aku tidak siap kau menghancurkan seluruh perasaanku saat ini juga”
Maaf, aku tidak bisa mendengar semua ceritamu. Jangankan mendengarnya secara langsung darimu, mendapati pesan itu saja hatiku sudah terluka, apalagi mendengar kau bercerita tentang orang lain yang berhasil membuangku seketika dari cerita kita. Aku tidak yakin sanggup melakukannya.
Aku tidak tahu lagi harus bereaksi apa selain menuntun langkah dan pergi dari tempat ini se-segera mungkin untuk menjauh darinya, sekaligus mengamankan diri dari amarah yang bisa meledak sewaktu-waktu. Karna fakta pahitnya ialah Ara sudah bertunangan dengan ... dengan ..., bukan aku orangnya! Sementara itu status kami masih kekasih.
'Harus bagaimana aku meluapkan semua kekesalan ini?' perih hatiku mengiba mempertanyakan seorang sendiri,
'Harus bagaimana aku mensikapi semua keadaan yang tak adil ini?'
Dalam sekejap aku tertendang keluar dari zona kita.
Dalam sekejap, Ara merubahku menjadi pendatang baru yang perannya sebagai pengganggu dalam hubungannya dengan lelaki itu.
Dalam sekejap, dia menjadikan ku pihak bersalah, disini. Merubah ku, yang tadinya segalanya baginya menjadi bukan siapa-siapa, melainkan seorang penggusik dalam hubungan kuat mereka.
Mengapa begitu mudah baginya menjadikanku orang ketiga diantara hubungan mereka berdua, bahkan disaat hubungan kami masih terasa baik-baik saja? Dia membuatku menjadi manusia bersalah. Ini teramat melukaiku, pun juga harga diriku sebagai kekasihnya.
“Ru, please!” Ara sudah mengejarku yang selangkah lagi bisa keluar dari pengap suasana di rumah ini.
Aku jadi terhenti oleh tarikan tangannya dan berbalik sekali lagi.
“I need fresh air. Okay? Kau jelaskan lain kali saja, aku tak sanggup”
Tapi Ara menggeleng-geleng dengan sedih. Menggenggam tanganku lebih kuat, masih tidak ingin merelakanku pergi. Tapi aku tidak bisa tinggal. Aku perlu tempat untuk diriku sendiri. Aku perlu tempat untuk menenangkan hati, pikiran dan juga amarahku dari semua kekacauan ini.
Aku tidak bisa terus berada disini meskipun aku juga ingin tinggal, karena aku yakin jika tetap berada disini akan ada banyak lagi pertengkaran dan rasa sakit yang harus kuhadapi, dan aku tidak yakin bisa. Setidaknya aku butuh menenagkan pikiranku dan juga perlu energi segar yang lebih besar untuk mempersiapkan diri menghadapi kenyataan rumit ini.
Ku lepas genggaman tangannya pelan. Meminta agar dia mengerti jika aku butuh ruang untuk menyendiri dengan diriku sendiri. Tapi Ara masih dengan tatapan sendunya, meminta ku agar tetap tinggal.
“Jangan menungguku. Aku tidak akan kembali”
Dia semakin tersedu, sedih. Aku pergi dengan pikiran dan hati yang terluka, walau tidak menangis sedih seperti Ara saat ini.
Kurasa ... mungkin hanya BE-LUM.
Belum waktunya diri ini menangis.
"...cinta ini terlihat kerdil dalam ketidak pastiannya..."~ ARA ~Aku bercermin menatap bayangan diriku. Ada seraut bahagia yang terpancarkan dari bayangan itu, entah itu karena hari ini Aru akan mengajak jalan atau karena sesuatu yang lain. Yang jelas aku sangat senang. Kami rencananya akan menghabiskan Minggu ini bersama, setelah dua kali Minggu terlewati terpisah.Sekali lagi ku pastikan penampilanku di cermin. Karena merasa kurang 'pede' aku lantas menambah lagi garis ketebalan lipstikku, dan bertanya pada sahabatku, Tasya, yang sedang sibuk memperhatikan ku dari tempatnya duduk."How do I look?" tanyaku pada sahabatku.“You look good as always” jawabnya, “Jadi, kau benar-benar tidak akan mengajakku serta?” keluhnya, a
"...Menyenangkan jika kebahagiaan kita hanya di isi dengan cerita tentang kita, tanpa harus membawa penyusup..." ~ Aru ~ Setelah mengirim pesan pada Tasya, aku lantas melajukan motor ku melewati jalanan kota Singapura pergi menuju tempat sahabatku, Zein. Biasanya dia selalu ada di kursi nyamannya untuk bermain game seharian dan hanya bersantai-santai di hari Minggu. Jadi aku tidak memberitahukannya jika akan datang. Aku memarkir motorku. Bergegas menekan tombol lift dan menuju nomer apartemennya. Belum juga ku tekan bell, pintu sudah terbuka dengan sendirinya. "Yoo Bro!" serunya kaget. Wajah Zein terlihat. Pakaiannya rapi, wajahnya bersih segar, rambut tertata dan tersisir halus. Dan... tumben dia wangi. Seperti akan pergi berkencan saja. Beruntungnya aku datang tepat waktu, sebelum dia pergi. "Tumben ngak ngabarin klo mau kesini? Ehh bukanya kau bilang
"...Dia guru terbaik dalam mengecap rasa dan belajar bahasa..." ~ Ara ~ Aku berhenti menangis, tapi belum berhenti bersedih. Kepala ku mulai terasa pening karna banyak menangis, tapi Aru masih belum menghubungi ku, walaupun aku sudah mengirim beberapa pesan text untuknya. Dia bahkan belum membacanya. "Mungkin Aru memang butuh waktu menyendiri dulu, Ra" ujar Tasya menanggapi pikiranku yang ternyata ikut keluar dari mulutku tanpa ku sadari, "Kau tenang saja. Aku yakin setelah dia merasa lebih baik. Pikirannya lebih terang menerima, dan emosinya lebih stabil dia akan menghubungi mu. Kau tahukan, dia pandai berbenah! Dia akan menghubungi mu saat dia telah membaik" imbuh teman ku berpendapat. "Aku hanya takut jika saja kali ini dia tidak bisa lagi menerimaku ataupun memaafkanku, Sya. Karena nyatanya ini bukan hal baru untuknya. Aku sudah b
"...Benang tipis diantara bodoh dan gila ialah cinta... " ~ Aru ~ Berbulan-bulan berlalu dan kita hanya menikmati rasa rindu ini dalam ruang kita yang berbeda. Mengumpulkan setiap hitungan demi hitungan, hingga menjadi deret hitung selanjutnya. Menyilang saat lima dan menulis lagi jadi satu. Menyilang lagi saat lima dan menghitung ulang mulai dari satu. Begitu terus dan berlanjut hingga hitungan itu genap terkumpul sampai hari ini. Hari dimana aku akan membawakan oleh-oleh rindu yang Ara minta dan ku janjikan, iya. "Landing safe in SG" Telah menjadi status di f******k dan juga sosial media ku yang lainnya. Lalu Ara dengan cepat bereaksi meminta temu disiang hari itu juga, segera sesaat setelah aku mendarat. Tapi aku berencana menemuinya sore hari, karena merasa masih letih dan perlu mengumpulkan energi agar bisa menemuinya d
"...Dalam keadaan yang rumit itulah kita akhirnya belajar menumbuhkan sikap dewasa kita... " ~ Ara ~ Akhirnya, aku dan Tasya pergi keluar juga. Dia mengajakku makan malam diluar, katanya agar aku tidak terlalu begah hanya berdiam murung di Condo saja. Akupun akhirnya mengikuti saran sahabatku itu. Setelah berjalan sekitar 10 menitan, sampailah kami disalah satu food court tujuan kami. Aku memesan ayam geprek satu level dibawahnya yang terpedas di kedai Papi Chicken. Yang merupakan makanan Indonesia yang tengah digandrungi disini, saat ini. Sementara Tasya memilih memesan Tom Yum Pasta, level cetek. Entah kenapa aku tiba-tiba saja ingin makan sesuatu yang pedas, mungkin itu juga masih karena Aru. Karena aku melihat postingannya dikomen oleh Quin, sementara dia sudah tidak lagi membalas text ku, jadi aku ingin punya alasan lain untuk menangis tanpa perlu dianggap cengeng.
"...Mungkin orang lain akan salah paham melihat kita begitu memahami terlalu baik... " ~ Aru ~ Zein melihatku dengan tatapan lelahnya, setelah aku bercerita tentang apa yang sedang ku hadapi kini. "I told you, right? Berbulan-bulan yang lalu, oh tidak. Bertahun-tahun yang lalu, agar kau meninggalkannya. But all you did just ignore my words" Zein menanggapi dengan kesal. Aku tidak bisa membantah perkataan sahabatku itu. Walau bagaimanapun Zein benar, hanya aku yang keras kepala tetap mempertahankannya walau sulit. "Jadi sekarang bagaimana?" katanya dengan intonasi yang lebih rendah dan santai. Aku hanya mengangkat bahu. Bahkan akupun tidak mengerti harus apa. Harus bagaimana menghadapi semua ini. Harus bagaimana mengambil sikap atas keadaan ini. Yang ku tahu hanya, aku harus mengirimkan pesan pada Ara jika aku akan menginap ditempat sahabat ku ini sementa
"...memberikan batasan dalam pertemanan akan menyelamatkannya dari kehancuran..." ~ Ara ~ Aku dan Tasya kembali ke Condo, dan aku menjadi begitu senang saat melihat sepatu Aru sudah ada ditempatnya. Itu artinya dia sudah kembali dan masih mendengarkan ku walau kadang bersikap acuh tak acuh padaku. Dia tetap selalu mempertimbangkan perasaanku, dan aku tahu itu. Aru akan begitu begitu lunak padaku. Wajahku dihiasi dengan banyak senyum dan itu membuat Tasya tidak mengerti. Dia memandangiku aneh karena menurutnya tadi aku banyak menangis tapi mengapa sekarang terlihat berbalik setengah lingkaran. Aku yang kini, seolah sedang berdansa bersama bahagia. Dan itu pasti membuatnya bingung. Itu karna Tasya belum melihat jika Aruku sudah kembali pulang. Aku jadi merasa senang. Hanya sesederhana itu saja bahagiaku, Aru kembali kesisi ku. Hanya itu saja sudah bisa membuatku merasa begitu
"...orang yang kau cintai sepenuh jiwalah yang pada akhirnya mematahkan hatimu ... " ~ Aru ~ Aku terbangun tengah malam dan mendapati Ara tidur disisi lain kursiku. Selintas yang terpikirkan olehku ialah, kenapa dia tidur diluar? Apa itu karena dia merasa bersalah padaku atau karena dia sudah merasa rindu? Ah, yang kedua serasa tidak mungkin. Itu pasti karena dia merasa bersalah padaku. Aku hendak memindahkannya ke kamarnya tapi ingat jika ada Tasya. Lalu aku berpikir untuk memindahkannya ke kamarku dan aku bisa kembali tidur disini sendirian, tapi urung karena kekuatanku rasanya masih belum pulih sepenuhnya dan karena aku juga masih kesal dengannya. Perasaan marah itu tidak bisa reda begitu saja. Memang bagaimana bisa hilang dengan begitu mudah? Saat orang yang sangat kau cintai nyatanya menghianatimu. Aku melihat ponselku diatas meja. Dan aku yakin dia pasti sudah mengecek isi chatku dengan Quin, karena letakny
~ Ara ~ . . . ... Sepasang sesal ... Menepikanmu yang kurasa sanggupMeniadakanmu yang kurasa mampu Tapi bayangmu tak pernah jauh dari heningkuDan seluruh heningku tak pernah sepi darimu Jangan menyerah Karena kau masih memikatkuDan hatiku masih terpaut dekat denganmuSekalipun kau tak tahu itu benarSekalipun tak ku ucapkan dengan benar Kau tahu aku hanya berlagakKau tahu aku selalu malu berbicara cintaJadi bisakah sekali lagi kau menunggukuKuharap hatimu tak berubah padaku Sekalipun kini hanya berat yang tertinggal Dan benteng kuatku telah menemui lapukan terlemahnya berupa sesal. . . - Guilty on tuesdays - " Lyn Wen " . . I hope one day you'll come backAnd at least say hiWipe off the tears on my faceAnd give us a try, Cause I can tellYou're done with this leaving hell yeah...I can tellYou're done with what I do To keep me away from youTo keep me away from you, Every good moment has passedYou're still not hereCrying alone in my car seems to famil
"... Aku tak perlu berkorban lagi untukmu, karena kau telah bahagia ..." ~ Aru ~ . . Pernah aku terpenjara dalam jerat cinta, yang membawa arusku jadi seru dan semu, tapi aku jatuh juga dari ketinggian mencinta kedalam ulu hara, dalam perangkapnya kasih menjadi siksa. Karena itu, setelah badai tikai itu, aku memilih menutup diri. Memberinya kemerdekaan dalam hilangku. Dan kutangani sisa luka, konsekuensi dari berani mencintainya, sendiri. Tak kubiarkan orang tahu atas luka patah hatiku. Kusembunyikan kepatahan itu dari sekelilingku. Karena aku tak ingin membebankan perasaan luka yang kuterima pada orang lain, dan itulah kebijakanku. Meski itu tak mudah, aku berhasil membuatnya terlihat begitu. Serupa seperti tak berlinang air mata. Serupa hatiku tak retak karena terluka. Padahal diam-diam akupun menangis dalam sembunyiku. Di kamar mandi, atau dibilik kamar redup lampu. Lantas pura-pura tidur saat ada yang mendekat. Sebab aku tak punya alasan benar, menunjukkan pedihku pada mere
"... Biarkan hatimu menuntun maunya, tapi ijinkan takdir yang memutuskan jawabnya ... " ~ Ara ~ . . "Ara, aku bertemu dia. Kami bicara. Tentu aku melihat apa yang tak bisa kau lihat darinya, Ra" "ARU TAK BAIK, RA." "TIDAK. Dia harus baik-baik saja. Harus!" "Yah, tampaknya memang begitu" "Tampaknya?" "Mau menggeser sedikit saja persepsimu akan kebencian Aru padamu itu?" "Tak yakin!" "Bagaimana jika kepergiannya itu bukanlah atas dasar kebenciannnya? Mungkin saja itu sesuatu yang lain" "TIDAK. Itu harus benci. HARUS!" "Dan bagaimana jika yang kau lihat benci itu, mungkin, sebenarnya hanya bentuk lain dari luka? Mungkin itupun bentuk dari defensif Aru dalam melindungi hatinya. Bukan benci" "Kenapa begitu?" "Aru bisa saja menjadi brengsek waktu itu. Dia bisa merusak pernikahanmu sebelum takdir melakukannya. Tapi alih-alih begitu, dia malah memilih mundur. Menarik semua kedekatannya darimu tanpa menciptakan kegaduhan, Ra. Jadi Apa tindakan itu mencerminkan kebencian?" Aku m
"... Takdir memaksa kita mengerti dan menerima keadaan tak baik kita, meski kita tak ingin... " ~ Ara ~ . . - THE WEDDING - Aku baru selesai dirias dan Tasya masuk. "Woooh.. who's this gurl? So gorgeous!" "Thank you" Aku senang menerima pujian itu. Meski hatiku juga merasakan getir gelisah yang lain. "Bagaimana rasanya jadi mempelai?" "Nervous, I guess?" "Kurasa akupun akan begitu saat diposisiimu. Wajar, Ra. Itu gerogi yang baik" "Kuharap begitu. Tapi lebih dari itu. Aku sangat bahagia. Akhhirnya Sya... Akhirnya!" "Umh, I'm so happy for you too" Sudut mata kami mengeluarkan embun haru. Tasya lalu memelukku. "Okay-okay, ini hari bahagiamu dan aku tak ingin riasanmu rusak karena kebahagiaan ini" Kami menghapusnya. "U
"... Kau mungkin bahagia, tapi benarkah itu kebahagian yang ingin kau jalani ... "~ Ara ~.."Tasya?""Surprise!"Dia memelukku."Katamu besok?""Tidak jadi. Aku mempercepat segalanya""Masuklah!""So, how's your life Ara?""Seperti yang bisa kau lihat. Baik!""Kau menjawab persis seperti seseorang" gumamnya, "Kau sedang sibuk?""Tidak""Apa yang akan kita lakukan hari ini?""No shopping, karena kau pasti masih jetlag. And I'm not about going anywhere. Jadi kurasa kita hanya perlu disini saja""Good girl. Kau sangat memahamiku!""O-ya, kau jadi ketempat Zein?""Ya""Dia mengusirmu?""Tidak. Dia berubah menyenangkan""Uh, impresif. Kalian membicarakanku?""Sedikit. Oh, iya, kau mau minum apa?""Tak perlu repot. Aku bukan tamu istimewa""Aku k
"... Cinta itu telah berakhir ..."~ Aru ~.."Berjuang lebih keras, Aru!""Kau kira kenapa aku bertahan dalam sengsara itu jika bukan untuk berjuang?""Sudah Tasya! Aku mencoba segala yang kubisa. Dari memprovokasi cemburunya, memperbaiki emosiku, hingga bersikap manis padanya untuk mendapatkan lagi hatinya. Tapi Arnold yang selalu menang. Kau hanya tak tahu usahaku itu!"Dia termenung."Aku berupaya hingga tak punya cara lain lagi selain menyudahi keegoisanku untuk memilikinya seorang diri.""Huhf..." helanya."Aku pasti jadi psycho jika diposisimu. Kau harusnya gunakan emosi kesalmu itu untuk memukuli seseorang. Jangan diam saja dan malah lari!"Aku terhibur mendengarnya.Apa dia tak tahu aku memukul Ara waktu itu?"Kau pernah punya pikiran jahat? Seperti psycho?""Mungkin""Sungguh? SESAIKO APA?""Mungkin karen
"... Rasanya aku ingin membunuhnya saat melihatnya pamer bahagia, sedang aku menahan nyilu dan cemburu ..." ~ Aru ~ . . Aku terdampar dalam sebuah kemegahan asing dalam duniaku. Tapi ini bukan ilusi. Aku duduk merenung, menikmati nyaman yang belum pernah kunikmati begini sebelumnya. Membahagiakan. Aku menghirup aroma cappucinoku, sebelum mengecap bagaimana rasanya. Dan benar rasanya istimewa, seperti harganya yang bisa membuat dilema kepala orang biasa. Tapi disinilah aku kini, mengagumi soreku yang biasanya tak selalu indah. Tapi kini berubah begitu menawan dalam sekedip. Aku menyesap lagi gelas kopiku, sambil menunggu dengan santai seseorang yang telah membuat janji temu denganku. Dudukku mulai menyila, tapi bosan masih jauh dari pikiranku. Meskipun kini aku terkurung di lantai 122, diketinggian ratusan meter, dalam atmosfer megah restauran kelas dunia, di Burj Khalifa.
"... Itu pilihan, ingin menjadikannya ujian dalam cinta atau takdir dalam cintamu... "~ Ara ~ . . Kenapa aku sendiri masih terus ragu dengan apa yang Zein tuturkan barusan. "Ara, kau masih mencintainya, kan?" "Entah Zein!" "Apa kau tahu, ragu adalah bagian dari iya yang belum disetujui lewat kata""Yang kutahu, aku tidak kesini untuk membahas hal seperti itu" "Benarkah? Apa kau pikir hanya dengan modus mengembalikan ini, aku lantas percaya? Tidak Ara. Aku tak sebodoh itu!""Kau terlalu berlebihan Zein""Menyangkalnya membuat hatimu lebih baik?""Zein, Aru membenciku!""Maksudku dia masih membenciku, kan?" aku mencari defensif lain."Ya, benar. Dia membencimu hingga tak ingin lagi melihatmu. Hingga ingin menguburmu. Hingga ingin menghilang darimu. Dan itu benar, dia membencimu"Hatiku terluka mende
"... Mengapa orang lain bisa melihat cintaku dengan jelas, tapi aku tidak ... "~ Ara ~ . . Ada banyak hal yang ingin kusampaikan saat berada dalam masa perenungan lalu. Karena kehilangan Aru membuatku tak seimbangan. Tapi setiap kali menatap wajah penuh lukanya, akupun kehilangan cara untuk membela diri dari kekacauan yang kubuat sendiri. Kalimatku lenyap, bibirku terbungkam. Aku tak bisa menyanggah kalimat penuh lukanya karenaku. Dan karena itu, yang terlintas hanya perasaan sesalku, jadi alih-alih membela diri, aku lebih ingin meminta maaf.Tapi Aru selalu tak ingin mendengarnya. Dia tak ingin mendengarnya, seberapapun aku merasa bersalah padanya.Tapi menyumpahiku gagal menikah adalah hal yang paling tak bisa kuterima. Dan itu sangat melukai hati terdalamku.Begitulah aku menyerah pada akhirnya. Karena mungkin dengan membiarkannya pergi, itu menghinda