Saat tengah mengamati kobaran api tersebut, tiba-tiba pandangan mata Adonis mulai kabur. Tubuhnya terasa lemas dan berat. Ia mencoba berjalan beberapa langkah ke arah pintu belakang dapur sambil memegangi kepalanya.
Bruukk!
Adonis terjatuh dan tidak sadarkan diri ketika sedang berusaha melangkahkan kaki ke dalam rumah.
Keesokan harinya Adonis terbangun dengan penuh rasa kebingungan sambil menatap ke setiap penjuru ruangan yang berwarna putih bersih itu. Pandangan matanya sedikit buram, sayup-sayup ia mendengar suara seorang wanita memanggil namanya.
"Adonis …," ujar Ben sembari melambai-lambaikan tangan di depan wajah Adonis. "Connor! Kemarilah! Adonis sudah sadar!" teriaknya sambil berlari keluar kamar menghampiri Connor yang sepertinya sedang berkonsultasi dengan dokter soal keadaan Adonis.
Dengan tergesa-gesa, Connor berlari ke ruangan tempat Adonis berbaring.
"Aku di mana, Ben?" ucap Adonis lirih sambil berusaha bangkit dari tempat tidurnya.
"Hey, jangan bangun dulu, kau masih harus beristirahat. Tenang saja, kau sedang di rumah sakit sekarang."
"Bro, syukurlah kau sudah sadar." Connor menimpali dengan leganya.
"Kenapa aku bisa ada di sini? Sudah berapa lama aku tertidur?" tanya Adonis merasa heran.
"Kemarin aku menemukanmu sudah pingsan di belakang rumah. Untung saja jendela di depan sudah kau buka, jadi aku panjat saja! Jika tidak, aku tidak tahu apa yang akan terjadi padamu," ungkap Ben.
Connor meraih tangan Adonis dan berkata, "dokter sudah memeriksa semuanya, syukurlah tidak ada penyakit yang serius, kau hanya terkena anemia karena kurang beristirahat."
"Syukurlah kalau begitu." kata Adonis sambil menutup mata.
Kedua sahabatnya itu menemani Adonis hingga sore di rumah sakit. Adonis terlihat sedikit ceria karena ditemani oleh Ben dan Connor yang sangat menyayanginya. Mereka berdua sengaja menghindari percakapan yang berbau masalah kemarin, karena takut akan mempengaruhi kondisi kejiwaan Adonis.
Tok tok tok!
"Selamat sore, maaf mengganggu. Saya dokter Azriel. Saya hanya ingin mengecek keadaan bapak Adonis."
"Iya, silahkan, Dok," jawab Connor.
"Halo, Pak Adonis. Bagaimana keadaan anda, sudah merasa baikan?" kata dokter Azriel sambil memegang pergelangan tangan Adonis untuk mengecek denyut nadinya.
Dokter Azriel adalah dokter yang cukup terkenal karena sifat murah hatinya. Ia pindah dari New Elysian ke Northstone Ville untuk melayani para pasien yang kurang mampu tanpa dipungut biaya sepeserpun. Dengan pribadi yang penuh kharisma dan tampang yang di atas rata-rata, banyak sekali wanita yang tergila-gila dengan sosok dokter muda itu.
"Iya, sejauh ini saya sudah merasa lebih baik," jawab Adonis kepada Azriel.
"Bapak sudah terlihat sehat. Kalau begitu besok bapak sudah bisa pulang ke rumah, ya? Bapak hanya harus banyak beristirahat saja agar tidak pingsan lagi, oke?"
"Terimakasih, Dok," ujar Adonis dengan tersenyum.
Dokter Azriel pun kemudian pergi sambil melemparkan senyuman manis kepada Adonis dan kedua sahabatnya.
"Kalau begitu biar aku saja yang menjaga Adonis. Kau pulanglah, lihatlah wajahmu sudah sangat seperti gembel," canda Connor kepada Benjamin.
"Hey, dari sudut mana aku terlihat seperti gembel? Enak saja kau!" ujar Ben. "Dengan ketampananku ini, aku bisa menggaet lima wanita sekaligus!"
Connor dan Adonis terkekeh melihat tingkah teman mereka yang kocak itu. Sejak dulu, Ben memang selalu menjadi sosok yang lucu dan bisa selalu mencairkan suasana.
"Tidak apa-apa jika kau menjaga Adonis sendirian?" tanya Ben kepada Connor.
"Ya, tentu saja. Lagipula pekerjaanku sudah selesai. Tidak ada yang bisa aku kerjakan lagi di rumah. Mungkin jika aku memiliki istri aku lebih memilih untuk pulang daripada menemani Si bodoh ini."
"Sialan kau!" balas Adonis.
Ben menjitak kepala Connor sambil menyeletuk, "makanya bergaul! Kapan kau akan memiliki pasangan jika hanya sibuk dengan toko dan game-mu itu!"
"Hahaha, benar sekali! Dia memang perlu bergaul. Sudah hampir setengah umurnya dia tidak pernah pacaran," kata Adonis menimpali sambil tertawa.
Mereka tertawa lepas menikmati kebersamaan mereka saat itu. Di benak Adonis dia sangat mengucap syukur karena memiliki sahabat seperti mereka. Sahabat masa kecil yang masih setia menemaninya hingga sekarang. Mereka pun menghabiskan waktu bersama tertawa dan berbincang sampai jam delapan malam. Ketika jam besuk untuk pasien sudah habis, Benjamin pun pamit untuk pulang.
"Kalau begitu aku pamit dulu, ya. Tolong kau jaga Adonis dengan baik. Aku tahu tanganmu pasti sudah gatal untuk bermain game."
"Tenang saja, Ben. Kau bisa mengandalkanku. Aku akan menyimpan ponselku rapat-rapat," ujar Connor.
"Baiklah. Adonis, kau jangan tidur terlalu larut. Besok pagi-pagi aku akan langsung menjemputmu."
"Apa kau perlu tumpangan?" tanya Connor.
"Tidak usah, kau di sini saja dengan Adonis. Biar aku pulang dengan taksi,"
"Terimakasih. Aku senang kalian ada bersamaku hari ini." Adonis tersenyum sambil meraih tangan Ben dan menatap dua orang sahabatnya itu dengan penuh rasa syukur.
"Itu sudah menjadi tanggung jawab kami sebagai sahabatmu," sambut Ben sembari meletakkan tangannya yang satu lagi di atas tangan Adonis. "Kalau begitu aku pergi dulu, ya! Sampai bertemu besok," seru Ben sambil berjalan ke arah pintu.
Dari depan meja resepsionis terlihat dokter Azriel sedang berbincang dengan seorang wanita. Ketika Ben melewati tempat tersebut, sang dokter menyapa dengan sangat ramah. Katanya, "Pak Ben, mau ke mana malam-malam begini?"
"Oh, itu …, saya ingin pulang."
"Lalu siapa yang menjaga pak Adonis?"
"Ada teman saya, Connor yang menjaganya," jawab Ben sambil menggaruk-garuk kepala.
Dengan senyuman, dokter Azriel menjawab, "baiklah kalau begitu. Selamat malam, Pak Ben."
Ben pun berlalu sambil melemparkan senyuman sopan kepada sang dokter dan wanita yang sedang bercakap bersamanya itu.
Sementara itu di dalam kamar nomor sebelas, terlihat Adonis dan Connor yang sedang seru membicarakan sesuatu hal.
"Eh, kau tahu …, aku sedang dekat dengan seseorang …." celetuk Connor dengan sangat antusias.
"Benarkah? Lalu siapa gadis yang beruntung itu? Apakah aku mengenalnya?"
"Tidak, kawan …, kau tidak mengenalnya. Namanya Avery. Aku mengenalnya dari sosial media. Kami sudah dekat sejak dua bulan yang lalu, doakan saja semoga dalam waktu dekat keberanianku sudah terkumpul untuk menyatakan perasaanku padanya."
"Benarkah? Wah, bagus kalau begitu. Aku berdoa semoga pendekatanmu lancar." jawab Adonis.
"Amin. Aku juga berharap seperti itu."
Malam itu Connor dan Adonis mengobrol sampai jam sebelas malam sambil menonton tv sebelum akhirnya Connor tertidur. Connor tidur di sofa berwarna coklat muda dengan pulasnya. Adonis hanya menatap temannya itu dengan senyuman kecil yang tersirat di wajahnya. Kembali ia menatap langit-langit kamar dengan tatapan datar.
Sesekali dia teringat pada Kaira, tapi dengan sekuat hati juga ia mencoba menepis semua ingatan-ingatan yang muncul di kepalanya. Tidak ada yang lagi yang tahu kabar Kaira. Hanya ingatan pahit saja yang masih membekas di benak Adonis tentang wanita berambut pirang dengan senyuman manis yang pernah dicintainya sejak dulu itu.
Ketika sedang melamun, tiba-tiba perhatian Adonis teralihkan ke arah kaca pintu kamar. Sepertinya tadi ia sempat melihat sosok seseorang yang sedang memandangnya beberapa saat setelah Adonis memalingkan pandangannya. Dengan rasa curiga yang sangat besar, Adonis segera bangkit dari tempat tidur dan bergegas menuju ke pintu untuk memastikan apa yang dilihatnya tadi.
Ketika membuka pintu, terlihat koridor rumah sakit yang sudah terlihat sepi. Hanya ada dua orang perawat yang sedang bertugas di meja resepsionis di ujung koridor kanan yang sedang sibuk mengobrol. Adonis memalingkan wajahnya ke kiri dan kanan, memastikan bahwa memang tidak ada siapapun di situ.
Karena tidak menemukan apa yang dicarinya, Adonis pun masuk kembali ke dalam kamar, mencoba menampik perasaan curiga yang begitu besar.
"Mungkin aku salah lihat," gumamnya dalam hati.
Keesokan harinya."Hey, hati-hati!" celetuk Connor kepada Adonis yang hendak membuka pintu mobil untuk keluar. "Ben! Tolong kau pegangi Adonis! Jangan sampai dia jatuh karena masih pusing.""Astaga, kenapa kalian sangat berlebihan seperti ini? Aku sudah sembuh dan tidak merasa pusing sama sekali. Jadi tenang saja, ya!" jawab Adonis.Mereka tiba di rumah Adonis tepat pukul sepuluh pagi. Suasana di rumah Adonis terlihat sepi karena memang sudah kosong. Ketika membuka pintu rumahnya, Adonis merasakan getaran yang masih tersisa dari kenangan-kenangannya dengan Kaira. Ia mencoba menampik semua ingatan yang muncul dibalik tempurung kepalanya ketika melangkah masuk ke dalam rumah."Ayo kita makan!" ujar Ben sembari mengawa
Malam itu, Adonis termenung duduk di tangga depan rumahnya. Pikirannya sedang tidak menentu. Entah sudah berapa batang rokok yang ia habiskan sejak tadi. Sesekali ia menatap langit sambil mencoba berpikir apa yang harus dilakukannya agar bisa bertahan hidup selama beberapa bulan kedepan. Uang simpanannya pun sudah hampir terkuras, belum lagi sekarang ia sering sekali membeli minuman keras.Sejenak ia sempat berpikir untuk menggunakan cek dari Harrold untuk dijadikan modal usahanya. Namun itu terbilang akan sangat miris, karena bagaimana mungkin ia menggunakan uang dari lelaki yang merebut istrinya sendiri? Sedikit demi sedikit Adonis meneguk wine murah yang tadi dibelinya sepulang dari toko Connor. Ini adalah botol kedua dan sekarang Adonis sudah mulai merasa mabuk.Sekarang ia sedang merogoh kantong celananya, mencoba meraih ponsel
Ketika Adonis hendak berdiri untuk meraih tongkat tersebut, tahu-tahu pintu kamarnya sudah terbuka. Wajah Adonis memucat, alisnya tersentak bersamaan sambil membelalakkan mata. Sosok pria dengan postur tubuh tinggi besar, memakai jubah hitam sedang berdiri tegak di depan pintu. Wajahnya menunduk, terhalang oleh kerudung hitam bergaris emas di tepiannya. Adonis menatap pria tersebut dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Pria tersebut masih berdiri dengan tatapan lurus ke bawah.Tangan kiri Adonis sudah hampir menyentuh tongkat baseball tadi. Namun, belum sempat ia menggenggam tongkat kayu itu, pria dengan kerudung hitam itu menengadahkan wajahnya ke arah Adonis. Adonis tersentak ketika mendongakkan kepalanya. Bibirnya terkatup, badannya terasa sangat kaku ketika bertatapan dengan sosok misterius itu. Entah
Sore itu matahari masih menyinari Northstone Ville dengan sangat terik. "Ya Tuhan, kesialan apalagi ini?!" Adonis bergumam dalam hati sesaat ketika seseorang menabraknya."Maaf, aku tidak sengaja," ujar seorang wanita yang mengejar anaknya yang berlarian di tengah padatnya orang yang lalu-lalang.Kopi yang tadi ada di genggaman tangan Adonis tumpah membasahi kemeja putih yang dikenakannya. Adonis hanya terdiam sambil tersenyum meratapi kesialan yang terjadi padanya. Dengan langkah berat, ia menyeret kedua kakinya masuk ke dalam toko Connor yang saat itu tengah sepi."Hey, lihat siapa yang datang hari ini?" ujar Connor menyambut Adonis dengan pelukan namun terhenti ketika ia sadar dengan baju Adonis yang kotor. "Kenapa bajumu?"
Sementara itu di jalan setapak yang dekat dengan rumah Adonis, nampak Connor dan Ben sedang berjalan beriringan. Mereka berdua terlihat begitu senang sambil bercanda di sepanjang perjalanan. Ben terlihat menenteng sebotol anggur merah di tangan kirinya.Ketika tiba dan menapaki tangga depan rumah Adonis, Connor dan Ben langsung berteriak sekeras mungkin karena kebetulan pintu depan rumah sahabatnya terbuka lebar."Adonis! Dimana kau?" teriak Connor."Hey, kawan …, kita akan mabuk malam ini!"Kedua pria itu saling bertatapan ketika masuk dan melihat seisi rumah Adonis yang sudah acak-acakan."Ada apa ini?" Ben cemas.
New Elysian, 2010."Menurut pendapatku, semua orang berhak mendapatkan sebuah keajaiban, bahkan mungkin bisa lebih dari satu," kata Adonis.Adonis Draven, seorang pria kaya raya nan tampan dan berkharisma yang menjabat sebagai pemilik tunggal perusahaan eksportir terbesar di New Elysian, yaitu Genesis Motors. Selain memiliki paras yang rupawan, Adonis adalah sosok yang sangat rendah hati serta penyayang. Ia adalah anak tunggal dari keluarga Draven yang terbilang masih memiliki darah bangsawan di negaranya itu.Saat berumur dua puluh delapan tahun, Adonis meminang seorang gadis, putri dari seorang saudagar kaya yang menjadi rekan bisnisnya di kota Trouvaille. Gadis cantik dengan mata biru itu bernama Kaira Harrison.
Hujan di malam itu membuat kegaduhan dari kediaman keluarga Draven sedikit teredam. Pasalnya sepasang suami istri sedang terlibat pertengkaran yang sangat hebat."Karena kau adalah lelaki yang tidak bertanggung jawab, Adonis!" bentak Kaira kemudian mengacak-acak semua hidangan yang ada di atas meja makan. "Aku menyesal sudah menikah dengan lelaki sepertimu!""Tapi, Kaira …, selama ini aku berusaha untuk menafkahimu! Aku selalu berusaha memberikan yang terbaik! Aku sadar, sekarang aku miskin dan dengan pekerjaanku yang sekarang pun aku tidak bisa memberimu lebih, tapi tak pernah sedikitpun aku melupakan kewajibanku sebagai seorang suami," ujar Adonis. Matanya berkaca-kaca, air matanya hampir jatuh."Apa katamu? Memenuhi semua kebutuhanku? Selama ini kau hanya mampu mem
"Tapi, aku bahagia denganmu," ucapnya dengan nada lirih."Aku sudah tidak bahagia lagi denganmu, Adonis. Aku menderita!"Adonis tetap terdiam. Tak ada satupun emosi yang keluar wajahnya, hanya tangannya saja yang terlihat sedikit gemetar saat mendengar omongan Kaira tadi."Kurasa ini saat yang tepat untuk kita berpisah, Adonis."Kemudian Adonis meraih sepotong roti yang jatuh ke lantai yang tadi dibuang Kaira. Diraihnya juga selai kacang yang tumpah di lantai dan mengoleskannya di atas roti lalu memakannya secara perlahan."Hey, apa kau tuli? Aku sudah muak hidup bersamamu!"
Sementara itu di jalan setapak yang dekat dengan rumah Adonis, nampak Connor dan Ben sedang berjalan beriringan. Mereka berdua terlihat begitu senang sambil bercanda di sepanjang perjalanan. Ben terlihat menenteng sebotol anggur merah di tangan kirinya.Ketika tiba dan menapaki tangga depan rumah Adonis, Connor dan Ben langsung berteriak sekeras mungkin karena kebetulan pintu depan rumah sahabatnya terbuka lebar."Adonis! Dimana kau?" teriak Connor."Hey, kawan …, kita akan mabuk malam ini!"Kedua pria itu saling bertatapan ketika masuk dan melihat seisi rumah Adonis yang sudah acak-acakan."Ada apa ini?" Ben cemas.
Sore itu matahari masih menyinari Northstone Ville dengan sangat terik. "Ya Tuhan, kesialan apalagi ini?!" Adonis bergumam dalam hati sesaat ketika seseorang menabraknya."Maaf, aku tidak sengaja," ujar seorang wanita yang mengejar anaknya yang berlarian di tengah padatnya orang yang lalu-lalang.Kopi yang tadi ada di genggaman tangan Adonis tumpah membasahi kemeja putih yang dikenakannya. Adonis hanya terdiam sambil tersenyum meratapi kesialan yang terjadi padanya. Dengan langkah berat, ia menyeret kedua kakinya masuk ke dalam toko Connor yang saat itu tengah sepi."Hey, lihat siapa yang datang hari ini?" ujar Connor menyambut Adonis dengan pelukan namun terhenti ketika ia sadar dengan baju Adonis yang kotor. "Kenapa bajumu?"
Ketika Adonis hendak berdiri untuk meraih tongkat tersebut, tahu-tahu pintu kamarnya sudah terbuka. Wajah Adonis memucat, alisnya tersentak bersamaan sambil membelalakkan mata. Sosok pria dengan postur tubuh tinggi besar, memakai jubah hitam sedang berdiri tegak di depan pintu. Wajahnya menunduk, terhalang oleh kerudung hitam bergaris emas di tepiannya. Adonis menatap pria tersebut dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Pria tersebut masih berdiri dengan tatapan lurus ke bawah.Tangan kiri Adonis sudah hampir menyentuh tongkat baseball tadi. Namun, belum sempat ia menggenggam tongkat kayu itu, pria dengan kerudung hitam itu menengadahkan wajahnya ke arah Adonis. Adonis tersentak ketika mendongakkan kepalanya. Bibirnya terkatup, badannya terasa sangat kaku ketika bertatapan dengan sosok misterius itu. Entah
Malam itu, Adonis termenung duduk di tangga depan rumahnya. Pikirannya sedang tidak menentu. Entah sudah berapa batang rokok yang ia habiskan sejak tadi. Sesekali ia menatap langit sambil mencoba berpikir apa yang harus dilakukannya agar bisa bertahan hidup selama beberapa bulan kedepan. Uang simpanannya pun sudah hampir terkuras, belum lagi sekarang ia sering sekali membeli minuman keras.Sejenak ia sempat berpikir untuk menggunakan cek dari Harrold untuk dijadikan modal usahanya. Namun itu terbilang akan sangat miris, karena bagaimana mungkin ia menggunakan uang dari lelaki yang merebut istrinya sendiri? Sedikit demi sedikit Adonis meneguk wine murah yang tadi dibelinya sepulang dari toko Connor. Ini adalah botol kedua dan sekarang Adonis sudah mulai merasa mabuk.Sekarang ia sedang merogoh kantong celananya, mencoba meraih ponsel
Keesokan harinya."Hey, hati-hati!" celetuk Connor kepada Adonis yang hendak membuka pintu mobil untuk keluar. "Ben! Tolong kau pegangi Adonis! Jangan sampai dia jatuh karena masih pusing.""Astaga, kenapa kalian sangat berlebihan seperti ini? Aku sudah sembuh dan tidak merasa pusing sama sekali. Jadi tenang saja, ya!" jawab Adonis.Mereka tiba di rumah Adonis tepat pukul sepuluh pagi. Suasana di rumah Adonis terlihat sepi karena memang sudah kosong. Ketika membuka pintu rumahnya, Adonis merasakan getaran yang masih tersisa dari kenangan-kenangannya dengan Kaira. Ia mencoba menampik semua ingatan yang muncul dibalik tempurung kepalanya ketika melangkah masuk ke dalam rumah."Ayo kita makan!" ujar Ben sembari mengawa
Saat tengah mengamati kobaran api tersebut, tiba-tiba pandangan mata Adonis mulai kabur. Tubuhnya terasa lemas dan berat. Ia mencoba berjalan beberapa langkah ke arah pintu belakang dapur sambil memegangi kepalanya.Bruukk!Adonis terjatuh dan tidak sadarkan diri ketika sedang berusaha melangkahkan kaki ke dalam rumah.Keesokan harinya Adonis terbangun dengan penuh rasa kebingungan sambil menatap ke setiap penjuru ruangan yang berwarna putih bersih itu. Pandangan matanya sedikit buram, sayup-sayup ia mendengar suara seorang wanita memanggil namanya."Adonis …," ujar Ben sembari melambai-lambaikan tangan di depan wajah Adonis. "Connor! Kemarilah! Adonis sudah sadar!" teriaknya sambil berlari keluar kamar mengh
Sementara itu di rumah Adonis, ia masih duduk terdiam di sofa ruang tamu sambil merokok. Matanya sembab, tatapannya kosong, tak ada lagi sukacita seperti biasa yang menghiasi wajah tampannya itu. Dengan berjalan sempoyongan, Adonis menghampiri gramophone tua milik ayahnya yang ada di atas meja kecil di samping lemari buku, berniat untuk menyalakan musik.Suara musik opera klasik mengalun dengan indahnya. Adonis memang senang mendengar lagu-lagu klasik jika dia sedang lelah atau banyak pikiran. Setidaknya itu bisa membuat suasana hatinya sedikit lebih tenteram. Dia kembali duduk di sofa, masih memegangi rokok di tangannya kemudian meletakkan kedua kaki yang masih berlumuran lumpur di atas meja. Ia menatap langit-langit rumah yang sebagian catnya sudah sedikit terkelupas, lantas perlahan menutup mata. Ia masih memikirkan Kaira. Air mata pun jatuh kembali dan mengucur dengan deras mengalir
Dengan bertelanjang kaki ia berlari menghampiri kendaraan yang sudah siap untuk berangkat itu. Beberapa kali Adonis menggedor kaca mobil mewah yang berwarna transparan itu. Katanya, "aku bersumpah demi mendiang kedua orang tuaku, akan ku balas perbuatan kalian hari ini, ingat itu!"Tiba-tiba kaca mobilnya turun dan dengan lantang Harrold berseru, "dengan senang hati, aku tunggu pembalasanmu." Harrold menutup perkataannya dengan memberi seringai sinis sambil memainkan pedal gas mobil.Mobil hitam super mewah itu pun melaju dengan cepat, meninggalkan jejak yang sangat menyakitkan dan akan terus membekas di hati pria malang yang tertunduk sambil berlutut di pinggir jalan rumahnya. Padahal hari ini adalah hari yang sangat dinantikannya sejak lama. Entah kesialan atau memang takdir yang sedang dialaminya sekarang. Dengan segenap tenaga ya
"Tapi, aku bahagia denganmu," ucapnya dengan nada lirih."Aku sudah tidak bahagia lagi denganmu, Adonis. Aku menderita!"Adonis tetap terdiam. Tak ada satupun emosi yang keluar wajahnya, hanya tangannya saja yang terlihat sedikit gemetar saat mendengar omongan Kaira tadi."Kurasa ini saat yang tepat untuk kita berpisah, Adonis."Kemudian Adonis meraih sepotong roti yang jatuh ke lantai yang tadi dibuang Kaira. Diraihnya juga selai kacang yang tumpah di lantai dan mengoleskannya di atas roti lalu memakannya secara perlahan."Hey, apa kau tuli? Aku sudah muak hidup bersamamu!"