Dengan bertelanjang kaki ia berlari menghampiri kendaraan yang sudah siap untuk berangkat itu. Beberapa kali Adonis menggedor kaca mobil mewah yang berwarna transparan itu. Katanya, "aku bersumpah demi mendiang kedua orang tuaku, akan ku balas perbuatan kalian hari ini, ingat itu!"
Tiba-tiba kaca mobilnya turun dan dengan lantang Harrold berseru, "dengan senang hati, aku tunggu pembalasanmu." Harrold menutup perkataannya dengan memberi seringai sinis sambil memainkan pedal gas mobil.
Mobil hitam super mewah itu pun melaju dengan cepat, meninggalkan jejak yang sangat menyakitkan dan akan terus membekas di hati pria malang yang tertunduk sambil berlutut di pinggir jalan rumahnya. Padahal hari ini adalah hari yang sangat dinantikannya sejak lama. Entah kesialan atau memang takdir yang sedang dialaminya sekarang. Dengan segenap tenaga yang tersisa, dia mencoba bangkit dan berjalan kembali ke dalam rumah dengan kaki yang dipenuhi lumpur.
Tak ada lagi canda tawa seperti dulu terdengar di dalam rumah kayu berwarna coklat itu. Biasanya di jam-jam seperti ini, Adonis dan Kaira masih sibuk berdebat soal siapa yang akan memenangkan pertandingan hockey yang mereka tonton bersama sambil melahap semangkuk besar keripik kentang kesukaan Adonis. Mungkin itu adalah masa-masa yang paling indah yang pernah dijalani Adonis dalam hidupnya yang kini hanya tinggal kenangan.
Tok tok tok!
Saat hendak menaiki tangga, tiba-tiba terdengar bunyi ketukan pintu. Adonis langsung bergegas membukanya, berharap itu adalah Kaira yang kembali.
"Kaira!"
Terlihat sosok pria bertubuh gempal sedang berdiri di depan pintu dengan wajah cemas.
"Oh, Ben …, ada apa malam-malam ke sini?" kata Adonis sambil menghapus air matanya yang masih saja mengalir.
"Kau sendiri yang mengundangku, apa kau lupa?" ujar Benjamin sambil berjalan masuk ke dalam rumah Adonis yang terlihat sangat berantakan.
"Adonis, maafkan aku. Sejujurnya, aku sudah mendengar semuanya tadi. Saat mobil hitam itu tiba, aku sudah di depan pagar rumahmu. Namun saat ku lihat lelaki berjas hitam itu turun dari mobil dan mengarah ke pintu rumahmu, aku mengurungkan niatku," cerita Benjamin dengan wajah penuh rasa iba sambil memegangi mangkok kayu berisi sup tomat yang masih hangat.
"Baguslah, jika kau sudah mengetahuinya terlebih dahulu," kata Adonis pelan.
Sambil berjalan masuk ke arah ruang tamu, Adonis merogoh sebungkus rokok dari kantong celananya. Benjamin mengikuti langkah Adonis kemudian meletakkan mangkuk sup yang tadi dibawanya ke atas meja. Dengan wajah muram menghadap ke lantai, Adonis mengulurkan bungkusan rokok tadi kepada Benjamin.
"Aku tidak tahu harus berkomentar apa, bro." Sembari menyalakan sebatang rokok yang tadi diambilnya. Lantas Benjamin berkata, "aku tahu kau sangat mencintainya, tapi kurasa ini memang sudah takdir Tuhan."
"Kau tahu aku kan, Ben? Sungguh aku tidak bisa hidup tanpanya. Tapi, entahlah …, akan kucoba menerima kenyataan pahit ini."
"Memang tidak mudah melupakan seseorang yang sangat berarti untuk kita, tapi jika dia mencampakkanmu begitu saja dan dengan mudahnya melupakanmu, tidak ada gunanya lagi kau berharap, kawan!"
"Kau masih ingat lelaki yang kita lihat saat membuntuti Kaira beberapa minggu yang lalu?" tanya Adonis sambil mendongakkan kepala menatap Benjamin. Air mata masih terus menggenang di matanya.
"Iya, aku ingat. Memangnya kenapa?" jawab Benjamin.
"Lelaki yang datang tadi itu adalah lelaki yang sama yang kita lihat saat itu."
Sontak Benjamin menepuk kedua sandaran tangan sofa lalu berdiri. "Sudah kuduga! Pantas saja aku seperti mengenal wajah pria itu," kata Benjamin geram lantas berjalan mondar-mandir di depan Adonis.
"Oh Tuhan, kenapa ini terjadi padaku?" Adonis berteriak menumpahkan segala rasa sakit hatinya.
Benjamin mendekati sahabatnya, kemudian berkata, "aku tidak tega melihatmu seperti ini, kawan. Aku sendiri tidak tahu harus memberikan nasehat yang seperti apa padamu."
"Maafkan aku, Ben. Aku hanya tidak habis pikir kenapa Kaira tega berbuat seperti itu. Apa selama ini aku kurang memperhatikannya?" Tangisan Adonis makin menjadi.
Benjamin trenyuh dengan kata-kata Adonis. Ia meraih kedua tangan Adonis dan menggenggamnya begitu erat. "Sungguh aku tak tahu harus berkata apa. Tapi, terimalah kenyataan ini, kawan. Sekalipun kau meminta kepada Tuhan untuk mengembalikan Kaira, tapi keadaan tidak akan sama lagi seperti dulu. Dia tidak pantas lagi untukmu, Adonis."
"Aku tidak sanggup menjalani hari-hari dengan keadaan seperti ini, Ben! Kenapa tidak sekalian saja Tuhan mengambil nyawaku agar aku tidak perlu merasakan kepedihan ini?"
"Tolong jangan berbicara seperti itu. Kau masih memiliki aku, Josie dan Connor. Bila perlu, kami akan ke sini setiap hari untuk menemanimu agar kau tak merasa kesepian. Aku kenal kau, Adonis! Jangan lemah seperti ini!" kata Benjamin menyemangati Adonis. Sebenarnya dia enggan untuk meninggalkan sahabatnya begitu saja, tapi dia berpikir mungkin lebih baik untuk memberikan waktu untuk Adonis menenangkan dirinya sendiri.
Adonis memiliki dua orang sahabat baik yang sudah bersamanya sedari kecil. Benjamin O'Connell dan Connor Hammond. Mereka tumbuh bersama di Northstone Ville yang juga menjadi tempat kelahiran mereka. Seharusnya malam ini mereka semua berkumpul di rumah Adonis sesuai dengan undangan yang sengaja diberikan Adonis seminggu yang lalu.
"Terimakasih, kawan. Aku sangat menghargai itu semua. Untuk saat ini biarkan aku sendiri dulu."
"Baiklah jika itu maumu. Aku percaya kau bisa melewati ini, kawan. Kau selalu memiliki kami jika kau perlu," ujar Benjamin sambil berdiri dan mengusap-usap kepala Adonis. "Kalau begitu, ku tinggal kau sendiri agar kau bisa menenangkan dirimu. Hubungi aku jika kau perlu sesuatu."
Adonis hanya mengangguk mengiyakan perkataan Benjamin tadi. Dia pun bangkit dari tempat duduknya kemudian mengantarkan Benjamin sampai kedepan pintu dan mengucapkan selamat malam.
Sementara itu, dari samping pagar rumah terlihat Connor sedang berjalan hendak datang ke rumah Adonis. Adonis sengaja mengundang Benjamin dan Connor untuk hadir di malam ulang tahun pernikahannya. Dari kejauhan Connor menatap wajah Ben yang terlihat aneh.
Connor berkata, "hey, kau mau ke mana? Apa acaranya sudah selesai?"
"Justru belum sempat dimulai," ujar Ben sambil meraih pundak Connor dan memaksanya untuk berbalik arah.
"Ki-kita mau ke mana? Acaranya kan di sana? Apa maksudmu belum sempat dimulai?" Connor penasaran.
"Kaira berselingkuh …,"
"Apa? Jangan bercanda, Ben!"
Benjamin hanya terdiam sambil melanjutkan langkah kakinya. Connor tahu betul sifat sahabatnya yang satu ini.
"Jadi kau benar-benar serius?"
Ben menjawab pertanyaan Connor dengan anggukan sembari menatap wajah sahabatnya itu yang terlihat sangat penasaran. Malam itu Ben dan Connor mampir di bar untuk minum-minum. Sampai kira-kira jam dua belas malam, mereka menghabiskan waktu dengan mengobrol soal kejadian yang menimpa sahabat mereka Adonis.
Sementara itu di rumah Adonis, ia masih duduk terdiam di sofa ruang tamu sambil merokok. Matanya sembab, tatapannya kosong, tak ada lagi sukacita seperti biasa yang menghiasi wajah tampannya itu. Dengan berjalan sempoyongan, Adonis menghampiri gramophone tua milik ayahnya yang ada di atas meja kecil di samping lemari buku, berniat untuk menyalakan musik.Suara musik opera klasik mengalun dengan indahnya. Adonis memang senang mendengar lagu-lagu klasik jika dia sedang lelah atau banyak pikiran. Setidaknya itu bisa membuat suasana hatinya sedikit lebih tenteram. Dia kembali duduk di sofa, masih memegangi rokok di tangannya kemudian meletakkan kedua kaki yang masih berlumuran lumpur di atas meja. Ia menatap langit-langit rumah yang sebagian catnya sudah sedikit terkelupas, lantas perlahan menutup mata. Ia masih memikirkan Kaira. Air mata pun jatuh kembali dan mengucur dengan deras mengalir
Saat tengah mengamati kobaran api tersebut, tiba-tiba pandangan mata Adonis mulai kabur. Tubuhnya terasa lemas dan berat. Ia mencoba berjalan beberapa langkah ke arah pintu belakang dapur sambil memegangi kepalanya.Bruukk!Adonis terjatuh dan tidak sadarkan diri ketika sedang berusaha melangkahkan kaki ke dalam rumah.Keesokan harinya Adonis terbangun dengan penuh rasa kebingungan sambil menatap ke setiap penjuru ruangan yang berwarna putih bersih itu. Pandangan matanya sedikit buram, sayup-sayup ia mendengar suara seorang wanita memanggil namanya."Adonis …," ujar Ben sembari melambai-lambaikan tangan di depan wajah Adonis. "Connor! Kemarilah! Adonis sudah sadar!" teriaknya sambil berlari keluar kamar mengh
Keesokan harinya."Hey, hati-hati!" celetuk Connor kepada Adonis yang hendak membuka pintu mobil untuk keluar. "Ben! Tolong kau pegangi Adonis! Jangan sampai dia jatuh karena masih pusing.""Astaga, kenapa kalian sangat berlebihan seperti ini? Aku sudah sembuh dan tidak merasa pusing sama sekali. Jadi tenang saja, ya!" jawab Adonis.Mereka tiba di rumah Adonis tepat pukul sepuluh pagi. Suasana di rumah Adonis terlihat sepi karena memang sudah kosong. Ketika membuka pintu rumahnya, Adonis merasakan getaran yang masih tersisa dari kenangan-kenangannya dengan Kaira. Ia mencoba menampik semua ingatan yang muncul dibalik tempurung kepalanya ketika melangkah masuk ke dalam rumah."Ayo kita makan!" ujar Ben sembari mengawa
Malam itu, Adonis termenung duduk di tangga depan rumahnya. Pikirannya sedang tidak menentu. Entah sudah berapa batang rokok yang ia habiskan sejak tadi. Sesekali ia menatap langit sambil mencoba berpikir apa yang harus dilakukannya agar bisa bertahan hidup selama beberapa bulan kedepan. Uang simpanannya pun sudah hampir terkuras, belum lagi sekarang ia sering sekali membeli minuman keras.Sejenak ia sempat berpikir untuk menggunakan cek dari Harrold untuk dijadikan modal usahanya. Namun itu terbilang akan sangat miris, karena bagaimana mungkin ia menggunakan uang dari lelaki yang merebut istrinya sendiri? Sedikit demi sedikit Adonis meneguk wine murah yang tadi dibelinya sepulang dari toko Connor. Ini adalah botol kedua dan sekarang Adonis sudah mulai merasa mabuk.Sekarang ia sedang merogoh kantong celananya, mencoba meraih ponsel
Ketika Adonis hendak berdiri untuk meraih tongkat tersebut, tahu-tahu pintu kamarnya sudah terbuka. Wajah Adonis memucat, alisnya tersentak bersamaan sambil membelalakkan mata. Sosok pria dengan postur tubuh tinggi besar, memakai jubah hitam sedang berdiri tegak di depan pintu. Wajahnya menunduk, terhalang oleh kerudung hitam bergaris emas di tepiannya. Adonis menatap pria tersebut dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Pria tersebut masih berdiri dengan tatapan lurus ke bawah.Tangan kiri Adonis sudah hampir menyentuh tongkat baseball tadi. Namun, belum sempat ia menggenggam tongkat kayu itu, pria dengan kerudung hitam itu menengadahkan wajahnya ke arah Adonis. Adonis tersentak ketika mendongakkan kepalanya. Bibirnya terkatup, badannya terasa sangat kaku ketika bertatapan dengan sosok misterius itu. Entah
Sore itu matahari masih menyinari Northstone Ville dengan sangat terik. "Ya Tuhan, kesialan apalagi ini?!" Adonis bergumam dalam hati sesaat ketika seseorang menabraknya."Maaf, aku tidak sengaja," ujar seorang wanita yang mengejar anaknya yang berlarian di tengah padatnya orang yang lalu-lalang.Kopi yang tadi ada di genggaman tangan Adonis tumpah membasahi kemeja putih yang dikenakannya. Adonis hanya terdiam sambil tersenyum meratapi kesialan yang terjadi padanya. Dengan langkah berat, ia menyeret kedua kakinya masuk ke dalam toko Connor yang saat itu tengah sepi."Hey, lihat siapa yang datang hari ini?" ujar Connor menyambut Adonis dengan pelukan namun terhenti ketika ia sadar dengan baju Adonis yang kotor. "Kenapa bajumu?"
Sementara itu di jalan setapak yang dekat dengan rumah Adonis, nampak Connor dan Ben sedang berjalan beriringan. Mereka berdua terlihat begitu senang sambil bercanda di sepanjang perjalanan. Ben terlihat menenteng sebotol anggur merah di tangan kirinya.Ketika tiba dan menapaki tangga depan rumah Adonis, Connor dan Ben langsung berteriak sekeras mungkin karena kebetulan pintu depan rumah sahabatnya terbuka lebar."Adonis! Dimana kau?" teriak Connor."Hey, kawan …, kita akan mabuk malam ini!"Kedua pria itu saling bertatapan ketika masuk dan melihat seisi rumah Adonis yang sudah acak-acakan."Ada apa ini?" Ben cemas.
New Elysian, 2010."Menurut pendapatku, semua orang berhak mendapatkan sebuah keajaiban, bahkan mungkin bisa lebih dari satu," kata Adonis.Adonis Draven, seorang pria kaya raya nan tampan dan berkharisma yang menjabat sebagai pemilik tunggal perusahaan eksportir terbesar di New Elysian, yaitu Genesis Motors. Selain memiliki paras yang rupawan, Adonis adalah sosok yang sangat rendah hati serta penyayang. Ia adalah anak tunggal dari keluarga Draven yang terbilang masih memiliki darah bangsawan di negaranya itu.Saat berumur dua puluh delapan tahun, Adonis meminang seorang gadis, putri dari seorang saudagar kaya yang menjadi rekan bisnisnya di kota Trouvaille. Gadis cantik dengan mata biru itu bernama Kaira Harrison.
Sementara itu di jalan setapak yang dekat dengan rumah Adonis, nampak Connor dan Ben sedang berjalan beriringan. Mereka berdua terlihat begitu senang sambil bercanda di sepanjang perjalanan. Ben terlihat menenteng sebotol anggur merah di tangan kirinya.Ketika tiba dan menapaki tangga depan rumah Adonis, Connor dan Ben langsung berteriak sekeras mungkin karena kebetulan pintu depan rumah sahabatnya terbuka lebar."Adonis! Dimana kau?" teriak Connor."Hey, kawan …, kita akan mabuk malam ini!"Kedua pria itu saling bertatapan ketika masuk dan melihat seisi rumah Adonis yang sudah acak-acakan."Ada apa ini?" Ben cemas.
Sore itu matahari masih menyinari Northstone Ville dengan sangat terik. "Ya Tuhan, kesialan apalagi ini?!" Adonis bergumam dalam hati sesaat ketika seseorang menabraknya."Maaf, aku tidak sengaja," ujar seorang wanita yang mengejar anaknya yang berlarian di tengah padatnya orang yang lalu-lalang.Kopi yang tadi ada di genggaman tangan Adonis tumpah membasahi kemeja putih yang dikenakannya. Adonis hanya terdiam sambil tersenyum meratapi kesialan yang terjadi padanya. Dengan langkah berat, ia menyeret kedua kakinya masuk ke dalam toko Connor yang saat itu tengah sepi."Hey, lihat siapa yang datang hari ini?" ujar Connor menyambut Adonis dengan pelukan namun terhenti ketika ia sadar dengan baju Adonis yang kotor. "Kenapa bajumu?"
Ketika Adonis hendak berdiri untuk meraih tongkat tersebut, tahu-tahu pintu kamarnya sudah terbuka. Wajah Adonis memucat, alisnya tersentak bersamaan sambil membelalakkan mata. Sosok pria dengan postur tubuh tinggi besar, memakai jubah hitam sedang berdiri tegak di depan pintu. Wajahnya menunduk, terhalang oleh kerudung hitam bergaris emas di tepiannya. Adonis menatap pria tersebut dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Pria tersebut masih berdiri dengan tatapan lurus ke bawah.Tangan kiri Adonis sudah hampir menyentuh tongkat baseball tadi. Namun, belum sempat ia menggenggam tongkat kayu itu, pria dengan kerudung hitam itu menengadahkan wajahnya ke arah Adonis. Adonis tersentak ketika mendongakkan kepalanya. Bibirnya terkatup, badannya terasa sangat kaku ketika bertatapan dengan sosok misterius itu. Entah
Malam itu, Adonis termenung duduk di tangga depan rumahnya. Pikirannya sedang tidak menentu. Entah sudah berapa batang rokok yang ia habiskan sejak tadi. Sesekali ia menatap langit sambil mencoba berpikir apa yang harus dilakukannya agar bisa bertahan hidup selama beberapa bulan kedepan. Uang simpanannya pun sudah hampir terkuras, belum lagi sekarang ia sering sekali membeli minuman keras.Sejenak ia sempat berpikir untuk menggunakan cek dari Harrold untuk dijadikan modal usahanya. Namun itu terbilang akan sangat miris, karena bagaimana mungkin ia menggunakan uang dari lelaki yang merebut istrinya sendiri? Sedikit demi sedikit Adonis meneguk wine murah yang tadi dibelinya sepulang dari toko Connor. Ini adalah botol kedua dan sekarang Adonis sudah mulai merasa mabuk.Sekarang ia sedang merogoh kantong celananya, mencoba meraih ponsel
Keesokan harinya."Hey, hati-hati!" celetuk Connor kepada Adonis yang hendak membuka pintu mobil untuk keluar. "Ben! Tolong kau pegangi Adonis! Jangan sampai dia jatuh karena masih pusing.""Astaga, kenapa kalian sangat berlebihan seperti ini? Aku sudah sembuh dan tidak merasa pusing sama sekali. Jadi tenang saja, ya!" jawab Adonis.Mereka tiba di rumah Adonis tepat pukul sepuluh pagi. Suasana di rumah Adonis terlihat sepi karena memang sudah kosong. Ketika membuka pintu rumahnya, Adonis merasakan getaran yang masih tersisa dari kenangan-kenangannya dengan Kaira. Ia mencoba menampik semua ingatan yang muncul dibalik tempurung kepalanya ketika melangkah masuk ke dalam rumah."Ayo kita makan!" ujar Ben sembari mengawa
Saat tengah mengamati kobaran api tersebut, tiba-tiba pandangan mata Adonis mulai kabur. Tubuhnya terasa lemas dan berat. Ia mencoba berjalan beberapa langkah ke arah pintu belakang dapur sambil memegangi kepalanya.Bruukk!Adonis terjatuh dan tidak sadarkan diri ketika sedang berusaha melangkahkan kaki ke dalam rumah.Keesokan harinya Adonis terbangun dengan penuh rasa kebingungan sambil menatap ke setiap penjuru ruangan yang berwarna putih bersih itu. Pandangan matanya sedikit buram, sayup-sayup ia mendengar suara seorang wanita memanggil namanya."Adonis …," ujar Ben sembari melambai-lambaikan tangan di depan wajah Adonis. "Connor! Kemarilah! Adonis sudah sadar!" teriaknya sambil berlari keluar kamar mengh
Sementara itu di rumah Adonis, ia masih duduk terdiam di sofa ruang tamu sambil merokok. Matanya sembab, tatapannya kosong, tak ada lagi sukacita seperti biasa yang menghiasi wajah tampannya itu. Dengan berjalan sempoyongan, Adonis menghampiri gramophone tua milik ayahnya yang ada di atas meja kecil di samping lemari buku, berniat untuk menyalakan musik.Suara musik opera klasik mengalun dengan indahnya. Adonis memang senang mendengar lagu-lagu klasik jika dia sedang lelah atau banyak pikiran. Setidaknya itu bisa membuat suasana hatinya sedikit lebih tenteram. Dia kembali duduk di sofa, masih memegangi rokok di tangannya kemudian meletakkan kedua kaki yang masih berlumuran lumpur di atas meja. Ia menatap langit-langit rumah yang sebagian catnya sudah sedikit terkelupas, lantas perlahan menutup mata. Ia masih memikirkan Kaira. Air mata pun jatuh kembali dan mengucur dengan deras mengalir
Dengan bertelanjang kaki ia berlari menghampiri kendaraan yang sudah siap untuk berangkat itu. Beberapa kali Adonis menggedor kaca mobil mewah yang berwarna transparan itu. Katanya, "aku bersumpah demi mendiang kedua orang tuaku, akan ku balas perbuatan kalian hari ini, ingat itu!"Tiba-tiba kaca mobilnya turun dan dengan lantang Harrold berseru, "dengan senang hati, aku tunggu pembalasanmu." Harrold menutup perkataannya dengan memberi seringai sinis sambil memainkan pedal gas mobil.Mobil hitam super mewah itu pun melaju dengan cepat, meninggalkan jejak yang sangat menyakitkan dan akan terus membekas di hati pria malang yang tertunduk sambil berlutut di pinggir jalan rumahnya. Padahal hari ini adalah hari yang sangat dinantikannya sejak lama. Entah kesialan atau memang takdir yang sedang dialaminya sekarang. Dengan segenap tenaga ya
"Tapi, aku bahagia denganmu," ucapnya dengan nada lirih."Aku sudah tidak bahagia lagi denganmu, Adonis. Aku menderita!"Adonis tetap terdiam. Tak ada satupun emosi yang keluar wajahnya, hanya tangannya saja yang terlihat sedikit gemetar saat mendengar omongan Kaira tadi."Kurasa ini saat yang tepat untuk kita berpisah, Adonis."Kemudian Adonis meraih sepotong roti yang jatuh ke lantai yang tadi dibuang Kaira. Diraihnya juga selai kacang yang tumpah di lantai dan mengoleskannya di atas roti lalu memakannya secara perlahan."Hey, apa kau tuli? Aku sudah muak hidup bersamamu!"