"Tapi, aku bahagia denganmu," ucapnya dengan nada lirih.
"Aku sudah tidak bahagia lagi denganmu, Adonis. Aku menderita!"
Adonis tetap terdiam. Tak ada satupun emosi yang keluar wajahnya, hanya tangannya saja yang terlihat sedikit gemetar saat mendengar omongan Kaira tadi.
"Kurasa ini saat yang tepat untuk kita berpisah, Adonis."
Kemudian Adonis meraih sepotong roti yang jatuh ke lantai yang tadi dibuang Kaira. Diraihnya juga selai kacang yang tumpah di lantai dan mengoleskannya di atas roti lalu memakannya secara perlahan.
"Hey, apa kau tuli? Aku sudah muak hidup bersamamu!"
Seketika Adonis bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju lemari dapur. Dengan membabi-buta dilemparnya semua piring dan perabot yang ada di dalam lemari. Emosinya yang tadinya disimpan rapat dalam benaknya tiba-tiba keluar dan menguasai seluruh jiwa raganya. Dia mengamuk seperti seorang yang sedang kesurupan. Dengan segenap amarahnya dia meluapkan seluruh kekecewaan pada semua yang terlihat oleh matanya, tak ada satupun yang terlewatkan.
"Selama ini aku berusaha untukmu, Kaira! Siang malam aku bekerja sampai tidak lagi memperdulikan kesehatanku, semua ku lakukan hanya untukmu. Sungguh tak ku sangka begitu teganya kau berbuat ini padaku!" pekik Adonis. Kekecewaan tersirat jelas di matanya yang kemerahan karena air mata yang terus membanjiri matanya yang berwarna biru keabu-abuan.
Adonis tersungkur tak berdaya sambil bersandar di depan kulkas yang tadi di bantingnya. Tangannya berlumuran darah karena terkena pecahan-pecahan kaca lemari. Dia sangat terpukul dengan semua yang telah diketahuinya malam ini.
Perayaan makan malam untuk ulang tahun perkawinan mereka justru menjadi mimpi buruk bagi Adonis. Wanita yang sangat dicintainya itu tiba-tiba berubah menjadi layaknya seorang monster yang sudah menggerogoti kebahagiaannya sejak lama. Kaira menatap Adonis tanpa rasa iba sedikitpun, tak ada rasa sesal ataupun rasa bersalah.
"Kau memang baik, Adonis. Paras dan perlakuanmu yang hampir sempurna itu yang membuatku dulu tergila-gila. Kau selalu memperlakukan aku seperti seorang putri. Tapi, itu semua tidak cukup lagi sekarang. Perusahaanmu hancur dan akhirnya kau jatuh miskin, itu sudah takdirmu, bukan takdirku," katanya pelan dan penuh keyakinan. Kaira bangkit dari tempat duduknya, kemudian berkata, "semua sudah terlambat, Adonis. Aku akan kembali pada orang tuaku dan menata kehidupan yang baru bersama Harrold."
Di dalam hatinya, Adonis merasa sangat terpukul, bahkan hancur berkeping-keping. Dia hanya bisa menahan semua keinginan dan emosi untuk mengutuk perbuatan Kaira kepadanya, karena jauh di lubuk hatinya, Adonis sadar bahwa Kaira masih menjadi seseorang yang sangat dicintainya dengan sepenuh jiwa dan raga.
*****
Waktu menunjukkan sudah hampir jam sembilan malam. Hujan sudah mulai reda, hanya tinggal gerimis kecil yang kini masih membasahi setiap sudut lorong-lorong kecil di Hall Street. Jalanan di depan rumah kediaman Adonis pun terlihat sangat sepi. Pesta ulang tahun perkawinan yang seharusnya menjadi perayaan yang sakral, berubah menjadi tragedi yang tidak akan pernah dilupakan Adonis.
Sementara itu dari balik jendela kamar tidur, Kaira menatap ke luar dengan gelisah, seperti sedang menunggu sesuatu yang belum kunjung tiba. Dia kemudian kembali ke samping kasur dan melanjutkan membereskan barang-barang yang hendak dibawanya. Satu-persatu dilipatnya baju-baju yang dikeluarkan dari lemari dan menatanya dengan rapi di dalam koper kecil.
Di lantai bawah, Adonis masih termenung duduk bersandar di samping kulkas dengan ingatan-ingatan yang masih segar tentang perjalanan cintanya dengan Kaira. Seperti proyektor yang menjalankan pita film dan digulung ke rol kosong, satu-persatu ingatan itu muncul. Kenangan-kenangan indah yang masih tertata rapi dalam hati Adonis yang kini berusaha ditepisnya.
Tok tok tok!
Terdengar bunyi ketukan dari pintu depan.
"Siapa di sana?" seru Adonis.
Tak terdengar suara jawaban sedikitpun. Beberapa saat kemudian Kaira muncul dari tangga dengan menyeret koper dan langsung menuju ke pintu berniat hendak membukanya. Adonis menatap Kaira dari kejauhan tanpa berbicara sedikitpun. Saat pintu dibuka, betapa terkejutnya Adonis melihat sosok seorang lelaki berperawakan tinggi dengan wajah khas timur tengah yang terlihat begitu bermartabat. Itu adalah Harrold Walker, pria simpanan Kaira yang sering dilihat Adonis saat membuntutinya setahun terakhir ini.
Seketika Adonis bangkit dan berlari ke arah depan pintu dengan kepalan tangan yang masih berlumuran darah. Dengan penuh amarah dan rasa benci, Adonis mengayunkan kepalan tangannya bak seorang petinju profesional ke arah lelaki yang sedang berdiri di hadapan istrinya itu.
Gubrakkk!
Tubuhnya terhempas ke lantai saat wajahnya bertemu dengan hantaman tinju Harrold yang dengan sangat gesit mendaratkan pukulan ke wajah Adonis. "Berpikirlah dahulu sebelum kau hendak menyerangku, Adonis. Kau bukan tandingan yang layak untukku," kata Harrold dengan sangat tenang dengan raut wajah angkuh yang menjadi ciri khasnya.
Harrold adalah putra sulung dari salah satu pemilik bisnis kilang minyak terbesar di Dubai, Arcane Anchor. Perusahaan keluarganya adalah salah satu perusahaan terbesar ketiga di sana. Pria berumur tiga puluh tiga tahun yang memiliki wajah yang tampan nan mempesona dengan perawakan badan yang atletis serta bergelimang harta, membuat Harrold Walker terlihat sangat terhormat dengan setelan jas dan sepatu kulit yang selalu menempel di badannya.
"Kaira tidak pantas bersama dengan lelaki miskin sepertimu! Sekarang ia milikku!" katanya seraya meraih sesuatu dari dalam jas kemudian melemparnya ke hadapan Adonis. "Kurasa itu cukup untukmu agar tidak mencari Kaira lagi. Dan jangan lupa, belilah baju yang baru, siapa tahu dengan itu kau bisa mendapatkan wanita lain pengganti Kaira."
Sambil menunduk malu, Adonis meraih kertas yang ternyata adalah cek. Selama beberapa detik dia menatap kertas cek yang bertuliskan angka '$1.000.000'. Sungguh hatinya terasa tercabik-cabik menyaksikan wanita yang sangat berarti baginya rela menukar kebahagiaannya dengan uang.
Adonis yang tidak terima dengan penghinaan terhadapnya itu kemudian melempar kertas cek tersebut. Katanya, "aku tidak butuh ini! Kaira, kumohon jangan tinggalkan aku. Aku masih sangat mencintaimu. Tidak apa jika itu bukan anakku, aku akan menerima dan menyayanginya sepenuh hati seperti anakku sendiri."
"Sudahlah, kau jangan bermimpi! Kaira sudah tidak ingin lagi bersamamu. Benarkan, sayang?" tanya Harrold kepada Kaira sembari membelai lembut rambutnya.
"Cuih! Aku sudah tidak sudi lagi menjadi istrimu, dasar gelandangan!" jawab Kaira yang dengan tega meludahi Adonis.
Harrold yang mendengar perkataan Kaira pun tidak mau ketinggalan. Katanya, "kau dengar itu kan? Dulu kau memang bisa memenangkan hati Kaira, tapi sekarang sudah jelas Kaira memilihku! Dulu itu Kaira hanya terhipnotis dengan ketampanan dan kekayaanmu yang ternyata hanya bersifat sementara!" Dengan sangat sombong Harrold membentak Adonis yang hanya bisa berlutut di depan kaki Kaira.
"Ayo, Harrold sayang, kita pergi dari sini. Aku sudah tidak tahan lagi ditempat yang sudah seperti kandang babi ini. Aku ingin segera mandi air hangat dan beristirahat."
"Iya, benar. Lagipula, ini tidak baik untuk bayi kita. Mari tuan putri…, biar kuantar kau ke dalam mobil," ujar Harrold sambil mengecup mesra tangan Kaira kemudian mengangkat payung dan menuntunnya berjalan menuju mobil Rolls Royce Sweptail berwarna hitam mengkilap yang diparkir tepat di depan rumah Adonis.
"Sampai hati kau berbuat begini padaku, Kaira! Satu saat nanti akan kubalas penghinaan kalian berdua! Ingat itu! Aku, Adonis Draven akan membalas pengkhianatan ini, aku bersumpah!" pekik Adonis dengan mata menyala.
Harrold memandang Adonis dari kejauhan, dia menyeringai sambil sengaja memamerkan kemesraannya bersama Kaira yang tersenyum manis kepada Harrold yang sedang membukakan pintu mobil dengan posisi mempersilahkannya masuk. Betapa hancurnya hati Adonis Draven melepas kepergian wanita yang masih berstatus sebagai istrinya itu pergi dengan lelaki lain di depan matanya sendiri.
Dengan bertelanjang kaki ia berlari menghampiri kendaraan yang sudah siap untuk berangkat itu. Beberapa kali Adonis menggedor kaca mobil mewah yang berwarna transparan itu. Katanya, "aku bersumpah demi mendiang kedua orang tuaku, akan ku balas perbuatan kalian hari ini, ingat itu!"Tiba-tiba kaca mobilnya turun dan dengan lantang Harrold berseru, "dengan senang hati, aku tunggu pembalasanmu." Harrold menutup perkataannya dengan memberi seringai sinis sambil memainkan pedal gas mobil.Mobil hitam super mewah itu pun melaju dengan cepat, meninggalkan jejak yang sangat menyakitkan dan akan terus membekas di hati pria malang yang tertunduk sambil berlutut di pinggir jalan rumahnya. Padahal hari ini adalah hari yang sangat dinantikannya sejak lama. Entah kesialan atau memang takdir yang sedang dialaminya sekarang. Dengan segenap tenaga ya
Sementara itu di rumah Adonis, ia masih duduk terdiam di sofa ruang tamu sambil merokok. Matanya sembab, tatapannya kosong, tak ada lagi sukacita seperti biasa yang menghiasi wajah tampannya itu. Dengan berjalan sempoyongan, Adonis menghampiri gramophone tua milik ayahnya yang ada di atas meja kecil di samping lemari buku, berniat untuk menyalakan musik.Suara musik opera klasik mengalun dengan indahnya. Adonis memang senang mendengar lagu-lagu klasik jika dia sedang lelah atau banyak pikiran. Setidaknya itu bisa membuat suasana hatinya sedikit lebih tenteram. Dia kembali duduk di sofa, masih memegangi rokok di tangannya kemudian meletakkan kedua kaki yang masih berlumuran lumpur di atas meja. Ia menatap langit-langit rumah yang sebagian catnya sudah sedikit terkelupas, lantas perlahan menutup mata. Ia masih memikirkan Kaira. Air mata pun jatuh kembali dan mengucur dengan deras mengalir
Saat tengah mengamati kobaran api tersebut, tiba-tiba pandangan mata Adonis mulai kabur. Tubuhnya terasa lemas dan berat. Ia mencoba berjalan beberapa langkah ke arah pintu belakang dapur sambil memegangi kepalanya.Bruukk!Adonis terjatuh dan tidak sadarkan diri ketika sedang berusaha melangkahkan kaki ke dalam rumah.Keesokan harinya Adonis terbangun dengan penuh rasa kebingungan sambil menatap ke setiap penjuru ruangan yang berwarna putih bersih itu. Pandangan matanya sedikit buram, sayup-sayup ia mendengar suara seorang wanita memanggil namanya."Adonis …," ujar Ben sembari melambai-lambaikan tangan di depan wajah Adonis. "Connor! Kemarilah! Adonis sudah sadar!" teriaknya sambil berlari keluar kamar mengh
Keesokan harinya."Hey, hati-hati!" celetuk Connor kepada Adonis yang hendak membuka pintu mobil untuk keluar. "Ben! Tolong kau pegangi Adonis! Jangan sampai dia jatuh karena masih pusing.""Astaga, kenapa kalian sangat berlebihan seperti ini? Aku sudah sembuh dan tidak merasa pusing sama sekali. Jadi tenang saja, ya!" jawab Adonis.Mereka tiba di rumah Adonis tepat pukul sepuluh pagi. Suasana di rumah Adonis terlihat sepi karena memang sudah kosong. Ketika membuka pintu rumahnya, Adonis merasakan getaran yang masih tersisa dari kenangan-kenangannya dengan Kaira. Ia mencoba menampik semua ingatan yang muncul dibalik tempurung kepalanya ketika melangkah masuk ke dalam rumah."Ayo kita makan!" ujar Ben sembari mengawa
Malam itu, Adonis termenung duduk di tangga depan rumahnya. Pikirannya sedang tidak menentu. Entah sudah berapa batang rokok yang ia habiskan sejak tadi. Sesekali ia menatap langit sambil mencoba berpikir apa yang harus dilakukannya agar bisa bertahan hidup selama beberapa bulan kedepan. Uang simpanannya pun sudah hampir terkuras, belum lagi sekarang ia sering sekali membeli minuman keras.Sejenak ia sempat berpikir untuk menggunakan cek dari Harrold untuk dijadikan modal usahanya. Namun itu terbilang akan sangat miris, karena bagaimana mungkin ia menggunakan uang dari lelaki yang merebut istrinya sendiri? Sedikit demi sedikit Adonis meneguk wine murah yang tadi dibelinya sepulang dari toko Connor. Ini adalah botol kedua dan sekarang Adonis sudah mulai merasa mabuk.Sekarang ia sedang merogoh kantong celananya, mencoba meraih ponsel
Ketika Adonis hendak berdiri untuk meraih tongkat tersebut, tahu-tahu pintu kamarnya sudah terbuka. Wajah Adonis memucat, alisnya tersentak bersamaan sambil membelalakkan mata. Sosok pria dengan postur tubuh tinggi besar, memakai jubah hitam sedang berdiri tegak di depan pintu. Wajahnya menunduk, terhalang oleh kerudung hitam bergaris emas di tepiannya. Adonis menatap pria tersebut dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Pria tersebut masih berdiri dengan tatapan lurus ke bawah.Tangan kiri Adonis sudah hampir menyentuh tongkat baseball tadi. Namun, belum sempat ia menggenggam tongkat kayu itu, pria dengan kerudung hitam itu menengadahkan wajahnya ke arah Adonis. Adonis tersentak ketika mendongakkan kepalanya. Bibirnya terkatup, badannya terasa sangat kaku ketika bertatapan dengan sosok misterius itu. Entah
Sore itu matahari masih menyinari Northstone Ville dengan sangat terik. "Ya Tuhan, kesialan apalagi ini?!" Adonis bergumam dalam hati sesaat ketika seseorang menabraknya."Maaf, aku tidak sengaja," ujar seorang wanita yang mengejar anaknya yang berlarian di tengah padatnya orang yang lalu-lalang.Kopi yang tadi ada di genggaman tangan Adonis tumpah membasahi kemeja putih yang dikenakannya. Adonis hanya terdiam sambil tersenyum meratapi kesialan yang terjadi padanya. Dengan langkah berat, ia menyeret kedua kakinya masuk ke dalam toko Connor yang saat itu tengah sepi."Hey, lihat siapa yang datang hari ini?" ujar Connor menyambut Adonis dengan pelukan namun terhenti ketika ia sadar dengan baju Adonis yang kotor. "Kenapa bajumu?"
Sementara itu di jalan setapak yang dekat dengan rumah Adonis, nampak Connor dan Ben sedang berjalan beriringan. Mereka berdua terlihat begitu senang sambil bercanda di sepanjang perjalanan. Ben terlihat menenteng sebotol anggur merah di tangan kirinya.Ketika tiba dan menapaki tangga depan rumah Adonis, Connor dan Ben langsung berteriak sekeras mungkin karena kebetulan pintu depan rumah sahabatnya terbuka lebar."Adonis! Dimana kau?" teriak Connor."Hey, kawan …, kita akan mabuk malam ini!"Kedua pria itu saling bertatapan ketika masuk dan melihat seisi rumah Adonis yang sudah acak-acakan."Ada apa ini?" Ben cemas.
Sementara itu di jalan setapak yang dekat dengan rumah Adonis, nampak Connor dan Ben sedang berjalan beriringan. Mereka berdua terlihat begitu senang sambil bercanda di sepanjang perjalanan. Ben terlihat menenteng sebotol anggur merah di tangan kirinya.Ketika tiba dan menapaki tangga depan rumah Adonis, Connor dan Ben langsung berteriak sekeras mungkin karena kebetulan pintu depan rumah sahabatnya terbuka lebar."Adonis! Dimana kau?" teriak Connor."Hey, kawan …, kita akan mabuk malam ini!"Kedua pria itu saling bertatapan ketika masuk dan melihat seisi rumah Adonis yang sudah acak-acakan."Ada apa ini?" Ben cemas.
Sore itu matahari masih menyinari Northstone Ville dengan sangat terik. "Ya Tuhan, kesialan apalagi ini?!" Adonis bergumam dalam hati sesaat ketika seseorang menabraknya."Maaf, aku tidak sengaja," ujar seorang wanita yang mengejar anaknya yang berlarian di tengah padatnya orang yang lalu-lalang.Kopi yang tadi ada di genggaman tangan Adonis tumpah membasahi kemeja putih yang dikenakannya. Adonis hanya terdiam sambil tersenyum meratapi kesialan yang terjadi padanya. Dengan langkah berat, ia menyeret kedua kakinya masuk ke dalam toko Connor yang saat itu tengah sepi."Hey, lihat siapa yang datang hari ini?" ujar Connor menyambut Adonis dengan pelukan namun terhenti ketika ia sadar dengan baju Adonis yang kotor. "Kenapa bajumu?"
Ketika Adonis hendak berdiri untuk meraih tongkat tersebut, tahu-tahu pintu kamarnya sudah terbuka. Wajah Adonis memucat, alisnya tersentak bersamaan sambil membelalakkan mata. Sosok pria dengan postur tubuh tinggi besar, memakai jubah hitam sedang berdiri tegak di depan pintu. Wajahnya menunduk, terhalang oleh kerudung hitam bergaris emas di tepiannya. Adonis menatap pria tersebut dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Pria tersebut masih berdiri dengan tatapan lurus ke bawah.Tangan kiri Adonis sudah hampir menyentuh tongkat baseball tadi. Namun, belum sempat ia menggenggam tongkat kayu itu, pria dengan kerudung hitam itu menengadahkan wajahnya ke arah Adonis. Adonis tersentak ketika mendongakkan kepalanya. Bibirnya terkatup, badannya terasa sangat kaku ketika bertatapan dengan sosok misterius itu. Entah
Malam itu, Adonis termenung duduk di tangga depan rumahnya. Pikirannya sedang tidak menentu. Entah sudah berapa batang rokok yang ia habiskan sejak tadi. Sesekali ia menatap langit sambil mencoba berpikir apa yang harus dilakukannya agar bisa bertahan hidup selama beberapa bulan kedepan. Uang simpanannya pun sudah hampir terkuras, belum lagi sekarang ia sering sekali membeli minuman keras.Sejenak ia sempat berpikir untuk menggunakan cek dari Harrold untuk dijadikan modal usahanya. Namun itu terbilang akan sangat miris, karena bagaimana mungkin ia menggunakan uang dari lelaki yang merebut istrinya sendiri? Sedikit demi sedikit Adonis meneguk wine murah yang tadi dibelinya sepulang dari toko Connor. Ini adalah botol kedua dan sekarang Adonis sudah mulai merasa mabuk.Sekarang ia sedang merogoh kantong celananya, mencoba meraih ponsel
Keesokan harinya."Hey, hati-hati!" celetuk Connor kepada Adonis yang hendak membuka pintu mobil untuk keluar. "Ben! Tolong kau pegangi Adonis! Jangan sampai dia jatuh karena masih pusing.""Astaga, kenapa kalian sangat berlebihan seperti ini? Aku sudah sembuh dan tidak merasa pusing sama sekali. Jadi tenang saja, ya!" jawab Adonis.Mereka tiba di rumah Adonis tepat pukul sepuluh pagi. Suasana di rumah Adonis terlihat sepi karena memang sudah kosong. Ketika membuka pintu rumahnya, Adonis merasakan getaran yang masih tersisa dari kenangan-kenangannya dengan Kaira. Ia mencoba menampik semua ingatan yang muncul dibalik tempurung kepalanya ketika melangkah masuk ke dalam rumah."Ayo kita makan!" ujar Ben sembari mengawa
Saat tengah mengamati kobaran api tersebut, tiba-tiba pandangan mata Adonis mulai kabur. Tubuhnya terasa lemas dan berat. Ia mencoba berjalan beberapa langkah ke arah pintu belakang dapur sambil memegangi kepalanya.Bruukk!Adonis terjatuh dan tidak sadarkan diri ketika sedang berusaha melangkahkan kaki ke dalam rumah.Keesokan harinya Adonis terbangun dengan penuh rasa kebingungan sambil menatap ke setiap penjuru ruangan yang berwarna putih bersih itu. Pandangan matanya sedikit buram, sayup-sayup ia mendengar suara seorang wanita memanggil namanya."Adonis …," ujar Ben sembari melambai-lambaikan tangan di depan wajah Adonis. "Connor! Kemarilah! Adonis sudah sadar!" teriaknya sambil berlari keluar kamar mengh
Sementara itu di rumah Adonis, ia masih duduk terdiam di sofa ruang tamu sambil merokok. Matanya sembab, tatapannya kosong, tak ada lagi sukacita seperti biasa yang menghiasi wajah tampannya itu. Dengan berjalan sempoyongan, Adonis menghampiri gramophone tua milik ayahnya yang ada di atas meja kecil di samping lemari buku, berniat untuk menyalakan musik.Suara musik opera klasik mengalun dengan indahnya. Adonis memang senang mendengar lagu-lagu klasik jika dia sedang lelah atau banyak pikiran. Setidaknya itu bisa membuat suasana hatinya sedikit lebih tenteram. Dia kembali duduk di sofa, masih memegangi rokok di tangannya kemudian meletakkan kedua kaki yang masih berlumuran lumpur di atas meja. Ia menatap langit-langit rumah yang sebagian catnya sudah sedikit terkelupas, lantas perlahan menutup mata. Ia masih memikirkan Kaira. Air mata pun jatuh kembali dan mengucur dengan deras mengalir
Dengan bertelanjang kaki ia berlari menghampiri kendaraan yang sudah siap untuk berangkat itu. Beberapa kali Adonis menggedor kaca mobil mewah yang berwarna transparan itu. Katanya, "aku bersumpah demi mendiang kedua orang tuaku, akan ku balas perbuatan kalian hari ini, ingat itu!"Tiba-tiba kaca mobilnya turun dan dengan lantang Harrold berseru, "dengan senang hati, aku tunggu pembalasanmu." Harrold menutup perkataannya dengan memberi seringai sinis sambil memainkan pedal gas mobil.Mobil hitam super mewah itu pun melaju dengan cepat, meninggalkan jejak yang sangat menyakitkan dan akan terus membekas di hati pria malang yang tertunduk sambil berlutut di pinggir jalan rumahnya. Padahal hari ini adalah hari yang sangat dinantikannya sejak lama. Entah kesialan atau memang takdir yang sedang dialaminya sekarang. Dengan segenap tenaga ya
"Tapi, aku bahagia denganmu," ucapnya dengan nada lirih."Aku sudah tidak bahagia lagi denganmu, Adonis. Aku menderita!"Adonis tetap terdiam. Tak ada satupun emosi yang keluar wajahnya, hanya tangannya saja yang terlihat sedikit gemetar saat mendengar omongan Kaira tadi."Kurasa ini saat yang tepat untuk kita berpisah, Adonis."Kemudian Adonis meraih sepotong roti yang jatuh ke lantai yang tadi dibuang Kaira. Diraihnya juga selai kacang yang tumpah di lantai dan mengoleskannya di atas roti lalu memakannya secara perlahan."Hey, apa kau tuli? Aku sudah muak hidup bersamamu!"