Sementara itu di rumah Adonis, ia masih duduk terdiam di sofa ruang tamu sambil merokok. Matanya sembab, tatapannya kosong, tak ada lagi sukacita seperti biasa yang menghiasi wajah tampannya itu. Dengan berjalan sempoyongan, Adonis menghampiri gramophone tua milik ayahnya yang ada di atas meja kecil di samping lemari buku, berniat untuk menyalakan musik.
Suara musik opera klasik mengalun dengan indahnya. Adonis memang senang mendengar lagu-lagu klasik jika dia sedang lelah atau banyak pikiran. Setidaknya itu bisa membuat suasana hatinya sedikit lebih tenteram. Dia kembali duduk di sofa, masih memegangi rokok di tangannya kemudian meletakkan kedua kaki yang masih berlumuran lumpur di atas meja. Ia menatap langit-langit rumah yang sebagian catnya sudah sedikit terkelupas, lantas perlahan menutup mata. Ia masih memikirkan Kaira. Air mata pun jatuh kembali dan mengucur dengan deras mengalir di kedua pipinya. Dia menangis terisak sambil memukul-mukul dadanya seakan merasa ada sesuatu yang sangat disesalkan. Dia mengerang sekuat tenaga melepaskan seluruh emosinya sampai dia merasa lelah. Tak lama kemudian dia tertidur.
Keesokan harinya.
Tok tok tok!
Terdengar bunyi ketukan dari depan pintu rumah Adonis.
"Adonis! Hey, apa kau ada di dalam? Selamat pagi!" ujar Connor, sahabat Adonis.
Beberapa kali dia menggedor pintu tapi tidak ada jawaban sama sekali. Ia mencoba mengintip dari balik jendela tapi tak jua menemukan sosok yang dicarinya. Dari dalam rumah hanya terdengar alunan musik klasik yang diulang beberapa kali oleh Adonis sejak tadi subuh. Dia terbangun sejak subuh hanya dan hanya duduk termenung di sofa meratapi nasib malangnya. Seperti sudah kehilangan semangat hidup, ia bahkan tidak ada niat untuk membukakan pintu untuk Connor.
Connor kemudian meraih ponsel dari dalam kantong celananya dan mencoba menghubungi Benjamin.
"Halo, Ben! Aku sudah mencoba mengetuk pintunya beberapa kali, tapi tidak ada jawaban sama sekali."
"Kau tunggulah di situ, aku kesana sekarang," jawab Benjamin dari balik telepon.
Connor yang merasa cemas dengan keadaan sahabatnya itu hanya duduk di depan tangga depan rumah Adonis. Selang beberapa menit kemudian, Ben pun tiba.
"Bagaimana? Apa masih tidak ada jawaban juga?" tanya Ben cemas.
"Nihil! Sudah sedari tadi aku mencoba mengetuk pintu, tapi tetap tak ada jawaban. Aku juga sudah mencoba menghubungi ponselnya, tapi tidak aktif. Mungkin dia sengaja, kau tahu sendiri Adonis seperti apa."
"Tapi, bagaimana jika terjadi apa-apa di dalam sana dan kita tidak mengetahuinya?" kata Ben dengan raut wajah khawatir.
"Aku tau persis Adonis. Dia tidak akan berbuat aneh-aneh," kata Benjamin. "Mungkin dia memang sedang butuh waktu sendiri."
"Adonis, kami tahu kau di dalam. Jika kau sudah merasa tenang, izinkan kami bertemu denganmu. Hubungi kami jika kau butuh sesuatu, ya?" ujar Ben dengan lantang sembari menggedor-gedor pintu.
Setelah hampir sepuluh menit menunggu Adonis yang tak kunjung membukakan pintu, dengan berat hati mereka pun memutuskan untuk pulang, berharap tidak terjadi sesuatu yang buruk pada Adonis. Karena bagaimanapun juga, hanya tinggal mereka berdua saja yang dimiliki Adonis sekarang.
Beberapa saat kemudian, Adonis bangkit dari duduknya mencoba mengumpulkan sedikit demi sedikit semangat yang tersisa dalam dirinya. Ia meraih ketel air berwarna perak dari lantai yang semalam diobrak-abriknya. Ia kemudian mengisinya hingga penuh dan ditaruhnya di atas tungku kompor untuk dipanaskan.
Adonis berjalan pelan menyeret kedua kakinya yang kotor ke arah kamar mandi. Ia menyalakan air agar memenuhi bathtub. Mata birunya menatap jauh ke dalam gambaran dirinya di depan cermin kotor yang digantung di atas wastafel kamar mandi. Pandangan matanya tiba-tiba terhenti saat memandang sisir cantik berwarna biru muda milik Kaira yang tergeletak di samping botol sampo yang ada di dalam keranjang peralatan mandi.
Raut wajah Adonis yang sebelumnya tenang, tiba-tiba berubah memerah dipenuhi amarah. Seketika diraihnya keranjang peralatan mandi itu dan melemparnya ke lantai. Kebencian terlukis jelas pada paras rupawan Adonis. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, perasaan Adonis seperti mati ditelan kebencian yang seakan tengah menggerogoti dirinya saat ini.
Ia lalu kembali ke dapur untuk mengambil ketel air panas yang sudah mengepul mengeluarkan uap. Dituangnya air mendidih itu ke dalam bathtub yang sudah diisinya tadi dengan air dingin. Dilepaskannya pakaian satu persatu dan diletakan begitu saja di lantai. Kulitnya yang dulunya putih bersih kini terlihat sedikit gelap karena harus bekerja di siang hari yang terik. Badannya kekar karena dia terbiasa mengangkat barang-barang berat. Dadanya yang bidang terbentuk indah menyesuaikan otot perut sixpack-nya yang nampak sangat keras jika disentuh.
Dengan bertelanjang, Adonis kembali berjalan ke arah lemari besar yang ada di ruang tamu. Diraihnya sebotol wiski dari dalam lemari itu kemudian kembali ke dalam kamar mandi. Perlahan dia masuk ke dalam bathtub yang sudah dipenuhi dengan air hangat itu. Dibasahinya setiap sudut tubuh hingga ke wajah dan rambut kusamnya yang berwarna cokelat tua.
Ia kemudian meraih botol whiskey yang dibawanya tadi dan meneguknya secara perlahan. Wajah Adonis berubah karena rasa dari wiski yang terasa sedikit pahit. Untuk menghilangkan rasa getir di lidahnya, Adonis mengambil sebatang rokok untuk dinyalakan. Tak ada yang spesial hari ini. Hanya seorang Adonis Draven yang tidur seharian di dalam bathtub ditemani sebotol minuman keras dan rokok di jarinya.
*****
Seminggu setelah kejadian tragis itu, Adonis masih mengurung diri di kediamannya. Dia hanya keluar sesekali jika ingin membeli rokok atau makanan. Hari ini ia terlihat sedikit bersemangat walaupun masih menutup diri dari kehidupan luar. Dia akhirnya memutuskan untuk membersihkan rumah yang sudah terlihat sangat kotor sejak kepergian istrinya. Ia berusaha keras berpikir dari bagian mana harus memulai.
Setelah selesai menata beberapa sudut di rumahnya, ia mengambil kantong plastik besar lalu menuju ke lantai atas. Dia berhenti di lorong depan kamar tidurnya yang dipenuhi dengan foto-foto kenangannya dengan Kaira. Satu-persatu dicopotnya bingkai-bingkai foto itu dari dinding dan melemparnya ke dalam kantong plastik yang dibawanya tadi.
Tak lagi ada lagi rasa sedih yang terpancar dari wajah Adonis. Hanya tatapan dingin dan datar yang terpampang jelas dari roman mukanya. Setelah menyingkirkan semua barang-barang kenangan tentang dia dan Kaira, ia kemudian berjalan ke halaman belakang rumah dan menempatkan kantong plastik besar yang sudah hampir penuh itu ke dalam tong besi. Diraihnya botol plastik berisi bensin kemudian diguyurkan ke dalam tong besi tadi.
Tak ada rasa menyesal dalam benak Adonis saat kobaran api melahap semua barang kenangan tentang dia dan Kaira. Tatapan wajah yang tajam dan penuh dendam seakan memberi semangat pada kobaran api tersebut agar lebih membesar. Adonis termenung sambil menatap kobaran api yang sedang melahap barang-barang kenangan miliknya.
Saat tengah mengamati kobaran api tersebut, tiba-tiba pandangan mata Adonis mulai kabur. Tubuhnya terasa lemas dan berat. Ia mencoba berjalan beberapa langkah ke arah pintu belakang dapur sambil memegangi kepalanya.Bruukk!Adonis terjatuh dan tidak sadarkan diri ketika sedang berusaha melangkahkan kaki ke dalam rumah.Keesokan harinya Adonis terbangun dengan penuh rasa kebingungan sambil menatap ke setiap penjuru ruangan yang berwarna putih bersih itu. Pandangan matanya sedikit buram, sayup-sayup ia mendengar suara seorang wanita memanggil namanya."Adonis …," ujar Ben sembari melambai-lambaikan tangan di depan wajah Adonis. "Connor! Kemarilah! Adonis sudah sadar!" teriaknya sambil berlari keluar kamar mengh
Keesokan harinya."Hey, hati-hati!" celetuk Connor kepada Adonis yang hendak membuka pintu mobil untuk keluar. "Ben! Tolong kau pegangi Adonis! Jangan sampai dia jatuh karena masih pusing.""Astaga, kenapa kalian sangat berlebihan seperti ini? Aku sudah sembuh dan tidak merasa pusing sama sekali. Jadi tenang saja, ya!" jawab Adonis.Mereka tiba di rumah Adonis tepat pukul sepuluh pagi. Suasana di rumah Adonis terlihat sepi karena memang sudah kosong. Ketika membuka pintu rumahnya, Adonis merasakan getaran yang masih tersisa dari kenangan-kenangannya dengan Kaira. Ia mencoba menampik semua ingatan yang muncul dibalik tempurung kepalanya ketika melangkah masuk ke dalam rumah."Ayo kita makan!" ujar Ben sembari mengawa
Malam itu, Adonis termenung duduk di tangga depan rumahnya. Pikirannya sedang tidak menentu. Entah sudah berapa batang rokok yang ia habiskan sejak tadi. Sesekali ia menatap langit sambil mencoba berpikir apa yang harus dilakukannya agar bisa bertahan hidup selama beberapa bulan kedepan. Uang simpanannya pun sudah hampir terkuras, belum lagi sekarang ia sering sekali membeli minuman keras.Sejenak ia sempat berpikir untuk menggunakan cek dari Harrold untuk dijadikan modal usahanya. Namun itu terbilang akan sangat miris, karena bagaimana mungkin ia menggunakan uang dari lelaki yang merebut istrinya sendiri? Sedikit demi sedikit Adonis meneguk wine murah yang tadi dibelinya sepulang dari toko Connor. Ini adalah botol kedua dan sekarang Adonis sudah mulai merasa mabuk.Sekarang ia sedang merogoh kantong celananya, mencoba meraih ponsel
Ketika Adonis hendak berdiri untuk meraih tongkat tersebut, tahu-tahu pintu kamarnya sudah terbuka. Wajah Adonis memucat, alisnya tersentak bersamaan sambil membelalakkan mata. Sosok pria dengan postur tubuh tinggi besar, memakai jubah hitam sedang berdiri tegak di depan pintu. Wajahnya menunduk, terhalang oleh kerudung hitam bergaris emas di tepiannya. Adonis menatap pria tersebut dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Pria tersebut masih berdiri dengan tatapan lurus ke bawah.Tangan kiri Adonis sudah hampir menyentuh tongkat baseball tadi. Namun, belum sempat ia menggenggam tongkat kayu itu, pria dengan kerudung hitam itu menengadahkan wajahnya ke arah Adonis. Adonis tersentak ketika mendongakkan kepalanya. Bibirnya terkatup, badannya terasa sangat kaku ketika bertatapan dengan sosok misterius itu. Entah
Sore itu matahari masih menyinari Northstone Ville dengan sangat terik. "Ya Tuhan, kesialan apalagi ini?!" Adonis bergumam dalam hati sesaat ketika seseorang menabraknya."Maaf, aku tidak sengaja," ujar seorang wanita yang mengejar anaknya yang berlarian di tengah padatnya orang yang lalu-lalang.Kopi yang tadi ada di genggaman tangan Adonis tumpah membasahi kemeja putih yang dikenakannya. Adonis hanya terdiam sambil tersenyum meratapi kesialan yang terjadi padanya. Dengan langkah berat, ia menyeret kedua kakinya masuk ke dalam toko Connor yang saat itu tengah sepi."Hey, lihat siapa yang datang hari ini?" ujar Connor menyambut Adonis dengan pelukan namun terhenti ketika ia sadar dengan baju Adonis yang kotor. "Kenapa bajumu?"
Sementara itu di jalan setapak yang dekat dengan rumah Adonis, nampak Connor dan Ben sedang berjalan beriringan. Mereka berdua terlihat begitu senang sambil bercanda di sepanjang perjalanan. Ben terlihat menenteng sebotol anggur merah di tangan kirinya.Ketika tiba dan menapaki tangga depan rumah Adonis, Connor dan Ben langsung berteriak sekeras mungkin karena kebetulan pintu depan rumah sahabatnya terbuka lebar."Adonis! Dimana kau?" teriak Connor."Hey, kawan …, kita akan mabuk malam ini!"Kedua pria itu saling bertatapan ketika masuk dan melihat seisi rumah Adonis yang sudah acak-acakan."Ada apa ini?" Ben cemas.
New Elysian, 2010."Menurut pendapatku, semua orang berhak mendapatkan sebuah keajaiban, bahkan mungkin bisa lebih dari satu," kata Adonis.Adonis Draven, seorang pria kaya raya nan tampan dan berkharisma yang menjabat sebagai pemilik tunggal perusahaan eksportir terbesar di New Elysian, yaitu Genesis Motors. Selain memiliki paras yang rupawan, Adonis adalah sosok yang sangat rendah hati serta penyayang. Ia adalah anak tunggal dari keluarga Draven yang terbilang masih memiliki darah bangsawan di negaranya itu.Saat berumur dua puluh delapan tahun, Adonis meminang seorang gadis, putri dari seorang saudagar kaya yang menjadi rekan bisnisnya di kota Trouvaille. Gadis cantik dengan mata biru itu bernama Kaira Harrison.
Hujan di malam itu membuat kegaduhan dari kediaman keluarga Draven sedikit teredam. Pasalnya sepasang suami istri sedang terlibat pertengkaran yang sangat hebat."Karena kau adalah lelaki yang tidak bertanggung jawab, Adonis!" bentak Kaira kemudian mengacak-acak semua hidangan yang ada di atas meja makan. "Aku menyesal sudah menikah dengan lelaki sepertimu!""Tapi, Kaira …, selama ini aku berusaha untuk menafkahimu! Aku selalu berusaha memberikan yang terbaik! Aku sadar, sekarang aku miskin dan dengan pekerjaanku yang sekarang pun aku tidak bisa memberimu lebih, tapi tak pernah sedikitpun aku melupakan kewajibanku sebagai seorang suami," ujar Adonis. Matanya berkaca-kaca, air matanya hampir jatuh."Apa katamu? Memenuhi semua kebutuhanku? Selama ini kau hanya mampu mem
Sementara itu di jalan setapak yang dekat dengan rumah Adonis, nampak Connor dan Ben sedang berjalan beriringan. Mereka berdua terlihat begitu senang sambil bercanda di sepanjang perjalanan. Ben terlihat menenteng sebotol anggur merah di tangan kirinya.Ketika tiba dan menapaki tangga depan rumah Adonis, Connor dan Ben langsung berteriak sekeras mungkin karena kebetulan pintu depan rumah sahabatnya terbuka lebar."Adonis! Dimana kau?" teriak Connor."Hey, kawan …, kita akan mabuk malam ini!"Kedua pria itu saling bertatapan ketika masuk dan melihat seisi rumah Adonis yang sudah acak-acakan."Ada apa ini?" Ben cemas.
Sore itu matahari masih menyinari Northstone Ville dengan sangat terik. "Ya Tuhan, kesialan apalagi ini?!" Adonis bergumam dalam hati sesaat ketika seseorang menabraknya."Maaf, aku tidak sengaja," ujar seorang wanita yang mengejar anaknya yang berlarian di tengah padatnya orang yang lalu-lalang.Kopi yang tadi ada di genggaman tangan Adonis tumpah membasahi kemeja putih yang dikenakannya. Adonis hanya terdiam sambil tersenyum meratapi kesialan yang terjadi padanya. Dengan langkah berat, ia menyeret kedua kakinya masuk ke dalam toko Connor yang saat itu tengah sepi."Hey, lihat siapa yang datang hari ini?" ujar Connor menyambut Adonis dengan pelukan namun terhenti ketika ia sadar dengan baju Adonis yang kotor. "Kenapa bajumu?"
Ketika Adonis hendak berdiri untuk meraih tongkat tersebut, tahu-tahu pintu kamarnya sudah terbuka. Wajah Adonis memucat, alisnya tersentak bersamaan sambil membelalakkan mata. Sosok pria dengan postur tubuh tinggi besar, memakai jubah hitam sedang berdiri tegak di depan pintu. Wajahnya menunduk, terhalang oleh kerudung hitam bergaris emas di tepiannya. Adonis menatap pria tersebut dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Pria tersebut masih berdiri dengan tatapan lurus ke bawah.Tangan kiri Adonis sudah hampir menyentuh tongkat baseball tadi. Namun, belum sempat ia menggenggam tongkat kayu itu, pria dengan kerudung hitam itu menengadahkan wajahnya ke arah Adonis. Adonis tersentak ketika mendongakkan kepalanya. Bibirnya terkatup, badannya terasa sangat kaku ketika bertatapan dengan sosok misterius itu. Entah
Malam itu, Adonis termenung duduk di tangga depan rumahnya. Pikirannya sedang tidak menentu. Entah sudah berapa batang rokok yang ia habiskan sejak tadi. Sesekali ia menatap langit sambil mencoba berpikir apa yang harus dilakukannya agar bisa bertahan hidup selama beberapa bulan kedepan. Uang simpanannya pun sudah hampir terkuras, belum lagi sekarang ia sering sekali membeli minuman keras.Sejenak ia sempat berpikir untuk menggunakan cek dari Harrold untuk dijadikan modal usahanya. Namun itu terbilang akan sangat miris, karena bagaimana mungkin ia menggunakan uang dari lelaki yang merebut istrinya sendiri? Sedikit demi sedikit Adonis meneguk wine murah yang tadi dibelinya sepulang dari toko Connor. Ini adalah botol kedua dan sekarang Adonis sudah mulai merasa mabuk.Sekarang ia sedang merogoh kantong celananya, mencoba meraih ponsel
Keesokan harinya."Hey, hati-hati!" celetuk Connor kepada Adonis yang hendak membuka pintu mobil untuk keluar. "Ben! Tolong kau pegangi Adonis! Jangan sampai dia jatuh karena masih pusing.""Astaga, kenapa kalian sangat berlebihan seperti ini? Aku sudah sembuh dan tidak merasa pusing sama sekali. Jadi tenang saja, ya!" jawab Adonis.Mereka tiba di rumah Adonis tepat pukul sepuluh pagi. Suasana di rumah Adonis terlihat sepi karena memang sudah kosong. Ketika membuka pintu rumahnya, Adonis merasakan getaran yang masih tersisa dari kenangan-kenangannya dengan Kaira. Ia mencoba menampik semua ingatan yang muncul dibalik tempurung kepalanya ketika melangkah masuk ke dalam rumah."Ayo kita makan!" ujar Ben sembari mengawa
Saat tengah mengamati kobaran api tersebut, tiba-tiba pandangan mata Adonis mulai kabur. Tubuhnya terasa lemas dan berat. Ia mencoba berjalan beberapa langkah ke arah pintu belakang dapur sambil memegangi kepalanya.Bruukk!Adonis terjatuh dan tidak sadarkan diri ketika sedang berusaha melangkahkan kaki ke dalam rumah.Keesokan harinya Adonis terbangun dengan penuh rasa kebingungan sambil menatap ke setiap penjuru ruangan yang berwarna putih bersih itu. Pandangan matanya sedikit buram, sayup-sayup ia mendengar suara seorang wanita memanggil namanya."Adonis …," ujar Ben sembari melambai-lambaikan tangan di depan wajah Adonis. "Connor! Kemarilah! Adonis sudah sadar!" teriaknya sambil berlari keluar kamar mengh
Sementara itu di rumah Adonis, ia masih duduk terdiam di sofa ruang tamu sambil merokok. Matanya sembab, tatapannya kosong, tak ada lagi sukacita seperti biasa yang menghiasi wajah tampannya itu. Dengan berjalan sempoyongan, Adonis menghampiri gramophone tua milik ayahnya yang ada di atas meja kecil di samping lemari buku, berniat untuk menyalakan musik.Suara musik opera klasik mengalun dengan indahnya. Adonis memang senang mendengar lagu-lagu klasik jika dia sedang lelah atau banyak pikiran. Setidaknya itu bisa membuat suasana hatinya sedikit lebih tenteram. Dia kembali duduk di sofa, masih memegangi rokok di tangannya kemudian meletakkan kedua kaki yang masih berlumuran lumpur di atas meja. Ia menatap langit-langit rumah yang sebagian catnya sudah sedikit terkelupas, lantas perlahan menutup mata. Ia masih memikirkan Kaira. Air mata pun jatuh kembali dan mengucur dengan deras mengalir
Dengan bertelanjang kaki ia berlari menghampiri kendaraan yang sudah siap untuk berangkat itu. Beberapa kali Adonis menggedor kaca mobil mewah yang berwarna transparan itu. Katanya, "aku bersumpah demi mendiang kedua orang tuaku, akan ku balas perbuatan kalian hari ini, ingat itu!"Tiba-tiba kaca mobilnya turun dan dengan lantang Harrold berseru, "dengan senang hati, aku tunggu pembalasanmu." Harrold menutup perkataannya dengan memberi seringai sinis sambil memainkan pedal gas mobil.Mobil hitam super mewah itu pun melaju dengan cepat, meninggalkan jejak yang sangat menyakitkan dan akan terus membekas di hati pria malang yang tertunduk sambil berlutut di pinggir jalan rumahnya. Padahal hari ini adalah hari yang sangat dinantikannya sejak lama. Entah kesialan atau memang takdir yang sedang dialaminya sekarang. Dengan segenap tenaga ya
"Tapi, aku bahagia denganmu," ucapnya dengan nada lirih."Aku sudah tidak bahagia lagi denganmu, Adonis. Aku menderita!"Adonis tetap terdiam. Tak ada satupun emosi yang keluar wajahnya, hanya tangannya saja yang terlihat sedikit gemetar saat mendengar omongan Kaira tadi."Kurasa ini saat yang tepat untuk kita berpisah, Adonis."Kemudian Adonis meraih sepotong roti yang jatuh ke lantai yang tadi dibuang Kaira. Diraihnya juga selai kacang yang tumpah di lantai dan mengoleskannya di atas roti lalu memakannya secara perlahan."Hey, apa kau tuli? Aku sudah muak hidup bersamamu!"