Ketika Sean dan Icha bersamaan menggebrak meja, Sean mendengar suara orang terjatuh dan melihat Bian terduduk sambil menundukkan kepalanya. Tanpa pikir panjang Sean bergegas menghampiri Bian tanpa memperdulikan panggilan dari Ayahnya yang terdengar setengah berteriak.
Bian melihat Sean menghampirinya, biasanya ia akan menghampiri Sean dengan senang dan memeluknya, tapi tidak kali ini, wajahnya yang merah, belum lagi make up nya yang luntur karena menangis membuatnya memilih untuk berlari menghindari Sean. Untungnya lift berpihak kepadanya, sebelum Sean sempat menghampirinya, pintu lift sudah tertutup yang membuat Sean harus menunggu lift berikutnya. Setelah sampai di lobby Bian langsung berlari keluar hotel dan mencari taksi yang lewat. Tidak berapa lama, sebuah taksi berhenti tepat di depannya. Ia langsung masuk dan menutup pintu mobilnya. Sean melihat taksi yang Bian naiki berjalan menjauh dari hotel.
Selama hampir satu minggu Sean berkali-kali menghubungi Bian. Namun tak ada jawaban dari Bian sama sekali. Ratusan chat di berbagai sosial media Bian pun tidak dibaca sama sekali.
Harapan terakhir Sean hanyalah cafe tempat Bian selalu mampir. Bian tak banyak mendatangi tempat-tempat nongkrong seperti ini. Ia ingat Bian pernah menyebut cafe ini sebagai favoritnya dan Voilà! There she is. Sean melihat Bian berjalan lesu dengan kepala menunduk kearah cafe itu.
Bian yang melihat sosok Sean sedang duduk di dalam cafe bergegas pergi dari sana. Sayangnya Sean terlanjur melihatnya.
“Bian!”
Sean berhasil meraih pergelangan tangan Bian. Bian terdiam seluruh tubuhnya lemas, ia sangat merindukan Sean, ketika Sean memegang tangannya, menggandengnya, merangkulnya, memeluknya.. tapi ia tak mampu melihat sosok Sean saat ini, sosok yang selalu ia tunggu tak peduli berapa lama waktu yang mereka lalui.
Semua harapannya sirna saat mendengar pembicaraan dua keluarga itu, Sean dijodohkan. Segala bayangannya untuk bisa bersama Sean -teman masa kecilnya yang juuga sahabatnya yang selalu ada untuknya- selamanya pun sirna,
“Bi, kamu denger semuanya?”Sean menarik lengan Bian pelan menghadapkannya tepat di depan matanya. Hatinya sakit melihat mata Bian yang berkaca-kaca, Bian terlihat kacau dengan matanya yang terlihat bengkak.
Mata Sean melihat sekeliling mencari tempat duduk untuk mereka bicara berdua. Ia menarik Bian pelan menuju ke kursi panjang tepat di sebelah cafe yang bertengger manis seperti memang disediakan untuk mereka saat itu.
Sean duduk di lantai tepat di depan Bian yang menunduk sedih.
“Bi, jawab aku, kamu denger semuanya?” Sean mengulangi pertanyaannya. Matanya menatap Bian lembut dan disambut dengan anggukan pelan dari Bian.
“Kamu tahu kan aku sayang sama kamu. Jauh sebelum aku pergi ke Aussie pun, kamu tahu perasaanku.”Sean mengangkat wajah Bian agar bisa melihat wanita yang ia sayangi itu lebih jelas.
Mata Bian yang mulanya berkaca-kaca akhirnya tidak mampu membendung air mata yang menumpuk dan mulai berjatuhan saat melihat sosok Sean di depannya.
“Jangan nangis Bi. Aku nggak akan setuju dengan perjodohan itu apapun yang terjadi.”Tangan Sean dengan lembut menghapus airmata yang terus jatuh dari mata gadis yang ia sayangi itu. Bian melihat Sean di sela matanya yang penuh dengan kesedihan.
“Aku tau kamu pasti bilang begitu. But Sean, you know your Dad. No one can change what he said. Aku nggak mau kamu bertengkar lagi. Just do whatever he want you to do, i’m okay, really”
Setelah mengatakan apa yang ia ingin katakan, airmata kembali berjatuhan dari matanya. Sean memeluk Bian, tubuh kecil Bian bergetar menahan tangis yang semakin deras.
Hatinya sakit melihat Bian, sosok yang sangat ia sayangi selama bertahun-tahun harus menangis karenanya. Apa yang dikatakan Bian memang benar, nggak ada yang bisa melawan apa yang papi mau.
Semua bayangan yang ia gambarkan selama di Aussie, harus hancur karena keputusan dari Ayahnya.
Bayangan hari-harinya bersama Bian yang selalu ia nantikan kini hanya tinggal angin lalu. Ia menyesal dengan keputusannya kembali ke Indonesia.
Tak hanya kebebasan bahkan cinta yang ia perjuangkan bertahun-tahun lamanya harus sirna karena keluarganya.
Sean melihat Bian mulai tenang. Tangisnya mulai berhenti. Ia mengangkat wajah Bian, ia tak bisa berkata-kata. Kembali ia menarik Bian dalam pelukannya.
“Nggak bisa kayak gini. Kebebasan gue udah diambil. Sekarang perjodohan? Hal konyol apalagi ini. Gue nggak mau kehilangan dua hal dalam hidup gue.”batin Sean bergejolak memikirkan segala hal yang ia bisa lakukan untuk menghentikan perjodohan ini.
“Bi, bantu aku ya..”
Bian melihat Sean bingung. “Bantu apa?”
“Bantu aku mikir cara batalin perjodohan ini, Bi. Aku pulang ke Indonesia karena kamu. Bukan untuk perjodohan bodoh ini.” Ucap Sean tegas.
“Hah?” Otak Bian masih belum bisa berpikir secara normal, terlalu banyak kejutan yang ia dapat hari ini.
Sean melihat Bian dalam diam. Memikirkan segala hal yang jahat yang terlintas di pikirannya membuat Sean menggelengkan kepalanya berkali-kali.
Melihat Sean menggelengkan kepalanya berkali-kali Bian tersenyum. Ia memegang wajah Sean dan menatapnya.
“Kuasai perusahaan, Sean. Cuma itu satu-satunya cara kamu menghindari perjodohan. Merger perusahaan dengan embel-embel perjodohan hal yang biasa di kalangan kamu kan”Bian menatap mata Sean yang seketika berbinar.
“Kamu bener!”Sean memeluk Bian sekali lagi. “Tunggu ya, Bi. Tahan sebentar lagi, aku akan kuasain perusahaan lalu kita bisa bersama-sama lagi” ujar Sean sambil mengelus rambut Bian.
***
Dua minggu berlalu setelah pembicaraan mengenai perjodohan itu berakhir. Baik Sean maupun Icha terlalu sibuk untuk memikirkan masalah perjodohan karena merger perusahaan mereka yang semakin mendekati jadwal yang telah ditentukan.
Sean dan Bian mulai bekerja di perusahaan sesuai janji. Keduanya sibuk mengurusi merger ini, dalam berbagai waktu Icha, Sean bahkan Bian sebagai sekretarisnya ikut dalam pertemuan merger tersebut.
Icha sedang melihat-lihat kembali proposal yang harus ia serahkan hari ini kepada Papanya.
Drrt..Drrt..
Hp Icha bergetar tanda ada telepon masuk. Ia tak terlalu suka nada dering yang hanya akan mengganggu konsentrasinya saat bekerja. ‘Mom’ nama yang tertera di layar hpnya.
“Yes, Mom?”
“Cha, temenin mama belanja yuk. Sekalian fitting gaun kamu buat acara pertunangan kamu nanti”
“Fitting? But i’m busy.” Bohong. Icha terlalu enggan mendengar kata fitting. Ia terlalu sibuk sampai-sampai melupakan masalah pertunangannya dengan Sean Hartono. Oh shit.
“Kata papa kamu cuma perlu ngirim file proposal terakhir. And i know you lie to me” Mama Icha memang sosok yang paling dekat dengannya. Icha menyadari ia tak akan pernah bisa membohongi sosok Ibunya.
“Ugh, when?”Icha menundukkan kepalanya lemas.
“Now.” Klik.
Telepon ditutup. Icha menyenderkan bahunya ke kursi. Menghela nafas panjang sibuk menatap langit-langit kantornya. What should i do?
Cklek.
“Cha, mama masuk ya..”
Icha melongo. Wanita separuh baya membuka pintu kantornya secara tiba-tiba bahkan sebelum dipersilakan.
“Mom, why bother asking, you already in, even when I want to say No.”
Mamanya terkekeh melihat ekspresi Icha yang terkejut. Diana langsung duduk di kursi depan meja bertuliskan “Wakil Direktur – Alesha Widjaja”.
“Cepet siap-siap. Beresin tas kamu, kita pergi.”
“Where?”Mulut Icha masih tak percaya dengan perkataan mamanya.
“Fitting lah, Alesha.”
Tatapan Mama Icha yang tajam membuat Icha buru-buru mengirim file yang tadi ia kerjakan. Setelah memastikan file terkirim pada orang yang tepat. Ia memasukkan handphone dan segala catatan yang berserakan di mejanya ke dalam tas kantornya.
***
Mobil melaju menuju pusat kota yang dipenuhi gedung-gedung tinggi berderet sepanjang jalan. Pandangan Icha menerawang melihat pemandangan diluar kaca yang dipenuhi anak-anak muda berboncengan menggunakan sepeda motor.
Mereka bercanda sembari menunggu lampu lalu lintas berubah hijau. Icha membayangkan kembali masa-masa ia masih kuliah, Galih saat itu masih belum memiliki mobil. Ia hanya memiliki sepeda motor, sering Icha meminta supirnya untuk tidak menjemput agar ia bisa pergi dengan Galih berboncengan berdua.
Icha tertawa kecil mengingat hal-hal manisnya dengan Galih. Hal-hal sederhana yang rela dilakukannya demi Galih. Ia ingat betapa bahagianya ia waktu itu, meskipun ia tidak bisa hidup semewah sekarang. Icha menundukkan kepalanya, menatap layar handphone-nya. “God, I really want to call him” batin Icha.
Karena terlalu asyik dengan lamunannya, Icha tidak sadar sudah sampai di depan sebuah butik dengan nuansa serba putih dengan pintu berwarna emas menyambut Icha dan mamanya. Icha sempat berhenti sepersekian detik untuk meyakinkan dirinya memasuki butik itu.
“Choose wisely, Alesha, you only do this kind of thing once.”
Perkataan mamanya membuat ia sekali lagi menghela nafas. Harusnya gue ama Galih, kan so sweet. Icha membayangkan saat-saat spesialnya saat ini adalah antara ia dengan Galih. Pasti ia akan sangat bersemangat memilih gaun-gaun indah ini untuk acara pertunangannya
“Mom, acara pertunangannya kapan? Kok udah fitting?”
“It’s on Saturday, honey”
Icha melongo, berusaha mencerna kata-kata mamanya. Setelah mengejutkan anaknya, mamanya langsung pergi memilih dress.
Dalam satu hari ini entah berapa kali ia terkejut dengan segala hal yang diucapkan mamanya. Mulai dari acara fitting dadakan dan sekarang jadwal pertunangan sudah ditentukan. Icha menghela nafasnya sekali lagi dan lagi.
Ia memejamkan matanya sejenak dan menarik nafas dalam-dalam. Saat salah satu pramuniaga menepuk lengannya.
“Silahkan dicoba dress-nya. Mari saya antar ke fitting room.” Icha mengangguk mengikutinya.
Ia mencoba dress yang ia pilih tadi. Bagus, lebih bagus lagi kalau Galih pasangannya. Ugh shit. Can’t even imagine getting married with that little brat.
“I’ll take this one.”
Icha berjalan menuju kasir. Matanya berkeliling mencari sosok mamanya yang hilang entah kemana.
“Biar saya yang bayar.”
Suara berat seorang laki-laki mengagetkannya. Sean Hartono tiba-tiba ada dibelakangnya.Ugh Mom.
“Lo ngapain disini?”Tanya Icha cuek.
“Disuruh calon ibu mertua alias nyokap lo nemenin lo fitting baju. Sekalian abis itu temenin gue fitting baju.” Jawab Sean singkat.
“Oh, oke.” Icha mengambil dress yang sudah dibungkus dan bergegas pergi keluar dari butik. Sean yang melihat sosok Icha dari belakang hanya menggelengkan kepalanya. Sok banget, kayak cewek kebanyakan, nggak kayak Bian gue. Cih.
“Buruan, gue mau cepet pulang dan tidur.” Ujar Icha singkat saat ia melihat Sean yang berjalan pelan seraya tebar pesona.
“Iya nona. Tokonya sebelah kanan lo.”Sean menunjuk toko yang dipenuhi dengan jas-jas formal berwarna-warni. Saat Ia melihat Icha memasuki toko, Iapun langsung bergegas masuk sebelum Icha memilihkan jas dengan warna-warna mencolok.
Keduanya tahu bahwa mereka sama-sama tidak saling menyukai satu sama lain. Mulai dari awal pertemuannya, sampai saat-saat dimana mereka harus berkumpul berdua untuk membahas masalah merger perusahaan ataupun saat mereka bertiga dengan Bian tentunya.
Icha menyadari ada sesuatu antara Sean dan sekretarisnya, Bian. Tapi Ia tak mau memperdulikan itu. Icha hanya ingin secepatnya menguasai perusahaan dan membatalkan segala hal tentang pertunangan ini.
Sean pun merasa terlalu banyak perbedaan antara dirinya dan Icha. Ia tak membenci Icha, hanya saja sering waktu saat mereka bertemu perdebatan yang tiada hentinya selalu terjadi sampai saat Bian menghentikan perdebatan itu.
Tentu saja karena Sean hanya akan menuruti perkataan Bian. Bukan karena alasan lain.
Icha berjalan lurus menuju Sean membawa jas berwarna abu-abu yang senada dengan dress yang akan Ia kenakan nantinya.
“This one. Gue tau lo benci sama acara ini. Sama gue juga. Tapi seenggaknya kita nggak boleh mempermalukan diri kita di acara yang jelas-jelas bakal diliput media kan?” Sean hanya mengangguk mendengar penjelasan Icha.
“Ok, I’ll try it first.”
Grey. Not bad. Seenggaknya dia nggak milihin gue jas warna merah atau pink pikirnya. Sean menuju fitting room dan mencoba jas pilihan Icha.
Berkali-kali dia memastikan jasnya cocok di badannya. Setelah 5 menit meyakinkan dirinya, akhirnya Ia memilih jas pilihan Icha. Sean keluar dari fitting room dan melihat Icha sedang memilih-milih jas sambil memegang handphone-nya.
Sean berjalan pelan mendekati Icha sambil berusaha melihat layar handphone Icha. Icha yang keasikan memilih jas pun tak menyadari kehadiran Sean di belakangnya.
Sean lebih tinggi dari Icha meski umur mereka terpaut 3 tahun. Ia melihat foto yang sedari tadi Icha perhatikan saat memilih jas. “Milih jas buat siapa lo?”
Icha terkejut mendengar suara Sean yang begitu dekat. Bocah kurang ajar. Ngagetin gue mulu. Untung jantung gue sehat karena gue rajin olahraga dan gue juga jago bela diri. Awas lo ya. Icha menarik nafas panjang menenangkan detak jantungnya yang berpaju semakin cepat.
“Bukan urusan lo. Lo udah kelar? Bayar ke kasir kalau udah.”Icha kembali dengan kesibukannya memilih jas yang pastinya untuk Galih.
“Nenek lampir.”Batin Sean. Icha melihatnya sekilas seakan mendengar Sean mengatakan sesuatu tapi Ia mengabaikannya.
Keesokan harinya mereka harus bertemu kembali untuk memastikan semua berkas-berkas kepentingan merger sudah lengkap. Mereka mampir ke cafe yang terletak tak jauh dari lokasi kantor Icha.“Gue strawberry smoothie sama tenderloin steak well done. Lo apa?” Icha memberikan pesanannya pada waiters yang sedang mencatat pesanannya.“Coffee latte sama sirloin steak well-med.” Sean mengakhiri pesanannya dengan tersenyum manis pada waiters cewek di depannya. “Caper amat” batin Icha. Sean memperhatikan ekspresi Icha saat ia menebarkan pesonanya pada waiters tadi. Tiba-tiba terlintas ide jahil dalam diri Sean melihat ekspresi Icha.“Yang di foto kemarin pacar lo?”Icha yang sedang asik melihat interior cafe yang terkesan ramai langsung membelalakkan matanya. “Gue liat pas lo milih jas sambil ngecek hp” Sean menjawab pertanyaan dimata Icha yang seakan-akan bertanya ‘TAU DARIMANA MONYET’. Sean sedikit tertawa melihat tingkah Icha.“Jadi? Siapa tuh yang di foto lo kemarin?” tanya Sean lagi setelah
“Ichaa!! Hurry up! Sean udah nunggu di ruang tamu,” Mama Icha mengetuk pintu kamar Icha. Sudah 15 menit Sean menunggu Icha yang tidak kunjung keluar dari kamarnya. Ck. Dia yang suruh datang jam 1, dia juga yang lelet umpat Sean.“Sorry, tadi ada yang minta dokumen buat kelengkapan merger,” ucap Icha setelah berlari dari kamarnya. Sean menatap Icha sedikit kagum. Icha begitu peduli dengan perusahaan dan bertanggung jawab dengan tugasnya, tidak seperti Sean.“Slow, gue juga baru dateng. Yaudah, tante, kita berangkat ya, setelah selesai lihat gedung, Sean langsung antar Icha pulang.” Pamit Sean sambil tersenyum manis kepada Mama Icha.“Iya, Sean. Hati-hati, nggak pulang juga nggak apa-apa, tante percaya sama kamu kok” Jawab Mama Icha sambil mengelus kepala Sean yang diiringi dengan pelototan Icha.“Bye Mom” Icha mencium pipi Mamanya. Setelah itu Icha dan Sean bergegas ke mobil Sean yang di parkir di halaman rumah Icha, tepat di depan air mancur berwarna putih yang membuat nuansa rumah Ic
Icha menyadari Sean berjalan menyusulnya ketika melihat kehadiran Bian dan keluarganya. You are predictable, Sean.“Sean! Apa kabar? Wah kamu tambah ganteng nih, udah ketemu Bian belum?” Papa Bian memeluk Sean.“Tambah ganteng darimana. Tambah nakal dia” jawab Rudi Hartono. Diana Widjaja memperhatikan kedekatan keluarga Hartono dengan keluarga Bian.“Bi..” Ucap Sean lagi sambil menyentuh pundak Bian.“Congratulations, Sean. I’m happy for you” Bian berdiri dan memeluk Sean. Sean sadar tubuh kecil Bian bergetar, ia menahan tangisnya sedari tadi.“I’m so sorry” Sean memeluk Bian lebih erat.“E-hem” Lidya Hartono berdeham berusaha menyadarkan anaknya kalau ia sedang berpelukan dengan wanita lain didepan tunangannya.“Sean, ayo duduk” ucap Rudi Hartono. Bian melepas paksa pelukan Sean dan duduk disamping ayahnya. Sean menatap Bian lalu duduk dikursi yang sudah disediakan, tentunya disebelah Icha, berseberangan dengan Bian. “Bian ini berjasa sekali untuk Sean” Lanjut Rudi Hartono, membuka p
Pernikahan Icha dan Sean tinggal menghitung hari. Semakin dekat harinya keduanya semakin sering bertengkar, mulai dari lokasi, makanan dan hal-hal sepele lainnya. Meskipun bukan pernikahan yang mereka inginkan tetap saja mereka tak mau terlihat buruk di acara besar yang sudah jelas akan d liput banyak media.Hari ini keduanya bertemu dan untuk pertama kalinya tanpa kehadiran Bian ataupun Galih. Mulai dari proses fitting sampai pemilihan cake mereka lakukan berempat. Kejadian itu langsung diketahui kedua ibu mereka, yang membuat Diana dan Lidya murka.Keduanya sepakat untuk mengatur segalanya kecuali lokasi. Karena itulah saat ini Sean dan Icha bertemu untuk memutuskan lokasi pernikahan mereka. Dan seperti biasa mereka selalu berbeda pendapat.“Pokoknya Aussie. Gue nggak mau tempat lain.” Urat-urat Sean mulai berkedut melihat Icha menatapnya tajam.“Indonesia aja sih. Ngapain jauh-jauh ke Aussie? Toh ini bukan pernikahan bahagia.” Icha menjulurkan lidahnya membayangkan akan menikah de
Sabtu sore, setelah dari kantor Icha berencana untuk langsung menuju panti asuhan Tanah Putih.Entah kenapa Icha yang biasa selalu ditemani sopir, saat ini memilih untuk menyetir mobilnya sendiri. Ia melaju pelan menuju lokasi panti yang selalu ia kunjungi tiap bulannya itu. Hari itu tak terasa kemacetan seperti seharusnya. Padahal weekend pikirnya.Hampir seluruh tamu yang hadir dalam acara pernikahannya memberikannya berbagai hadiah. Ia sempat membuka beberapa diantaranya. Karena terlalu sibuk ia tak sempat membuka sisanya.Ia hanya terpikir untuk mengumpulkan uang dari hasil pernikahannya untuk di sumbangkan ke berbagai panti asuhan yang letaknya masih sekitaran Jabodetabek. Ia merencanakan akan mengadakan acara amal minggu depan untuk panti asuhan lainnya.Icha sempat mendiskusikannya dengan Sean. Sean pun menyetujui rencana Icha karena sejujurnya mereka benar-benar tak membutuhkannya. Akan lebih baik jika digunakan untuk hal yang lebih bermanfaat itu pikirnya.Icha sampai di peru
Sebuah mobil mewah memasuki lahan parkir sebuah rumah bernomor 001. Mobil tersebut berhenti tepat di depan teras rumah yang disokong dengan dua pillar besar berwarna putih pucat di sisi kanan kirinya. Seorang laki-laki turun dari mobil tersebut sembari memperhatikan halaman dan tanaman-tanaman kering di sekitarnya. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya, menyadari betapa usangnya rumah yang ditempatinya tersebut. Cklek. Pintu terbuka. Seorang wanita cantik dengan dress merah lengkap dengan tas LV berwarna senada muncul di antara sela pintu yang terbuka. Sean - laki-laki itu - terpaku melihat Icha yang sekarang berstatus sebagai istrinya keluar rumah dengan begitu anggunnya, tanpa menyadari kegaduhan apa yang baru saja ia buat. “Lo udah gila ya?!” sebuah kalimat yang sangat unik didengar untuk memulai pembicaraan pun terlontar dari bibir Sean. Alih-alih menjawab sapaan Sean, Icha memilih diam sambil menaikkan satu alisnya. “Nggak bisa gini lah caranya! Seenak-enak
“Sean! You coming to the party tomorrow?” Wanita dengan pakaian ketat dan hot pants melingkarkan tangannya di leher Sean. “Of course, babe. Can’t wait to have fun with you” Ujar Sean lalu mencium pipi wanita itu. Sean Hartono, adik dari Shawn Hartono, seorang dokter yang memiliki jarak umur 3 tahun lebih tua dari Sean, sekaligus merupakan anak bungsu dan ahli waris dari perusahaan besar milik orangtuanya sekarang menjalani masa-masa akhir kuliahnya di Australia. Sebelum akhirnya harus kembali ke Indonesia untuk membantu menjalankan bisnis orangtuanya. “Lo jadinya balik ke Indonesia kapan, bro?” Jimmy menoleh kearah Sean sembari meminum soft drink yang dibelinya di kantin kampus. Graduation Ceremony akan dilaksanakan hari Sabtu, yang berarti adalah 4 hari dari sekarang. Sean masih bergumul dengan keinginannya untuk tetap tinggal di Australia tapi di sisi lain, dia tau, dia harus pulang untuk sekedar absen wajah didepan orangtuanya, yang berarti ia harus mulai mempelaja
Seorang wanita sedang duduk manis di sebuah cafe di sudut kota Jakarta terlihat sibuk dengan notebook di depannya. Berhari-hari di tempat yang sama ia hanya menatap notebooknya. Suasana cafe yang tenang dan jauh dari keramaian pusat kota membuatnya dapat berpikir lebih jernih begitu dalihnya. “Hey!” Tepukan pelan di pundaknya membuat dia terkejut.“Galih?” Senyum mengembang di bibirnya yang tipis tampak sangat bahagia. Seorang wanita dengan rambut ponytail dan tubuh semampai tersenyum manis saat menyadari teman lamanya yang sekarang duduk di depannya. Pertemuannya kembali dengan Galih membawa kenangan lama mereka saat masih dalam masa-masa kuliah.“Apakabar, Cha?” Galih tersenyum lembut melihat wanita didepannya yang dulu selalu manja saat bersamnya sekarang terlihat lebih dewasa dan tentu saja, cantik.“Baik, lo gimana? Duh kebetulan banget kita ketemu disini. Ih kangen..”. Satu kata terakhir yang keluar dari bibir mungil Icha membuat Galih sedikit malu sekaligus sumringah.“Baik
Sabtu sore, setelah dari kantor Icha berencana untuk langsung menuju panti asuhan Tanah Putih.Entah kenapa Icha yang biasa selalu ditemani sopir, saat ini memilih untuk menyetir mobilnya sendiri. Ia melaju pelan menuju lokasi panti yang selalu ia kunjungi tiap bulannya itu. Hari itu tak terasa kemacetan seperti seharusnya. Padahal weekend pikirnya.Hampir seluruh tamu yang hadir dalam acara pernikahannya memberikannya berbagai hadiah. Ia sempat membuka beberapa diantaranya. Karena terlalu sibuk ia tak sempat membuka sisanya.Ia hanya terpikir untuk mengumpulkan uang dari hasil pernikahannya untuk di sumbangkan ke berbagai panti asuhan yang letaknya masih sekitaran Jabodetabek. Ia merencanakan akan mengadakan acara amal minggu depan untuk panti asuhan lainnya.Icha sempat mendiskusikannya dengan Sean. Sean pun menyetujui rencana Icha karena sejujurnya mereka benar-benar tak membutuhkannya. Akan lebih baik jika digunakan untuk hal yang lebih bermanfaat itu pikirnya.Icha sampai di peru
Pernikahan Icha dan Sean tinggal menghitung hari. Semakin dekat harinya keduanya semakin sering bertengkar, mulai dari lokasi, makanan dan hal-hal sepele lainnya. Meskipun bukan pernikahan yang mereka inginkan tetap saja mereka tak mau terlihat buruk di acara besar yang sudah jelas akan d liput banyak media.Hari ini keduanya bertemu dan untuk pertama kalinya tanpa kehadiran Bian ataupun Galih. Mulai dari proses fitting sampai pemilihan cake mereka lakukan berempat. Kejadian itu langsung diketahui kedua ibu mereka, yang membuat Diana dan Lidya murka.Keduanya sepakat untuk mengatur segalanya kecuali lokasi. Karena itulah saat ini Sean dan Icha bertemu untuk memutuskan lokasi pernikahan mereka. Dan seperti biasa mereka selalu berbeda pendapat.“Pokoknya Aussie. Gue nggak mau tempat lain.” Urat-urat Sean mulai berkedut melihat Icha menatapnya tajam.“Indonesia aja sih. Ngapain jauh-jauh ke Aussie? Toh ini bukan pernikahan bahagia.” Icha menjulurkan lidahnya membayangkan akan menikah de
Icha menyadari Sean berjalan menyusulnya ketika melihat kehadiran Bian dan keluarganya. You are predictable, Sean.“Sean! Apa kabar? Wah kamu tambah ganteng nih, udah ketemu Bian belum?” Papa Bian memeluk Sean.“Tambah ganteng darimana. Tambah nakal dia” jawab Rudi Hartono. Diana Widjaja memperhatikan kedekatan keluarga Hartono dengan keluarga Bian.“Bi..” Ucap Sean lagi sambil menyentuh pundak Bian.“Congratulations, Sean. I’m happy for you” Bian berdiri dan memeluk Sean. Sean sadar tubuh kecil Bian bergetar, ia menahan tangisnya sedari tadi.“I’m so sorry” Sean memeluk Bian lebih erat.“E-hem” Lidya Hartono berdeham berusaha menyadarkan anaknya kalau ia sedang berpelukan dengan wanita lain didepan tunangannya.“Sean, ayo duduk” ucap Rudi Hartono. Bian melepas paksa pelukan Sean dan duduk disamping ayahnya. Sean menatap Bian lalu duduk dikursi yang sudah disediakan, tentunya disebelah Icha, berseberangan dengan Bian. “Bian ini berjasa sekali untuk Sean” Lanjut Rudi Hartono, membuka p
“Ichaa!! Hurry up! Sean udah nunggu di ruang tamu,” Mama Icha mengetuk pintu kamar Icha. Sudah 15 menit Sean menunggu Icha yang tidak kunjung keluar dari kamarnya. Ck. Dia yang suruh datang jam 1, dia juga yang lelet umpat Sean.“Sorry, tadi ada yang minta dokumen buat kelengkapan merger,” ucap Icha setelah berlari dari kamarnya. Sean menatap Icha sedikit kagum. Icha begitu peduli dengan perusahaan dan bertanggung jawab dengan tugasnya, tidak seperti Sean.“Slow, gue juga baru dateng. Yaudah, tante, kita berangkat ya, setelah selesai lihat gedung, Sean langsung antar Icha pulang.” Pamit Sean sambil tersenyum manis kepada Mama Icha.“Iya, Sean. Hati-hati, nggak pulang juga nggak apa-apa, tante percaya sama kamu kok” Jawab Mama Icha sambil mengelus kepala Sean yang diiringi dengan pelototan Icha.“Bye Mom” Icha mencium pipi Mamanya. Setelah itu Icha dan Sean bergegas ke mobil Sean yang di parkir di halaman rumah Icha, tepat di depan air mancur berwarna putih yang membuat nuansa rumah Ic
Keesokan harinya mereka harus bertemu kembali untuk memastikan semua berkas-berkas kepentingan merger sudah lengkap. Mereka mampir ke cafe yang terletak tak jauh dari lokasi kantor Icha.“Gue strawberry smoothie sama tenderloin steak well done. Lo apa?” Icha memberikan pesanannya pada waiters yang sedang mencatat pesanannya.“Coffee latte sama sirloin steak well-med.” Sean mengakhiri pesanannya dengan tersenyum manis pada waiters cewek di depannya. “Caper amat” batin Icha. Sean memperhatikan ekspresi Icha saat ia menebarkan pesonanya pada waiters tadi. Tiba-tiba terlintas ide jahil dalam diri Sean melihat ekspresi Icha.“Yang di foto kemarin pacar lo?”Icha yang sedang asik melihat interior cafe yang terkesan ramai langsung membelalakkan matanya. “Gue liat pas lo milih jas sambil ngecek hp” Sean menjawab pertanyaan dimata Icha yang seakan-akan bertanya ‘TAU DARIMANA MONYET’. Sean sedikit tertawa melihat tingkah Icha.“Jadi? Siapa tuh yang di foto lo kemarin?” tanya Sean lagi setelah
Ketika Sean dan Icha bersamaan menggebrak meja, Sean mendengar suara orang terjatuh dan melihat Bian terduduk sambil menundukkan kepalanya. Tanpa pikir panjang Sean bergegas menghampiri Bian tanpa memperdulikan panggilan dari Ayahnya yang terdengar setengah berteriak.Bian melihat Sean menghampirinya, biasanya ia akan menghampiri Sean dengan senang dan memeluknya, tapi tidak kali ini, wajahnya yang merah, belum lagi make up nya yang luntur karena menangis membuatnya memilih untuk berlari menghindari Sean. Untungnya lift berpihak kepadanya, sebelum Sean sempat menghampirinya, pintu lift sudah tertutup yang membuat Sean harus menunggu lift berikutnya. Setelah sampai di lobby Bian langsung berlari keluar hotel dan mencari taksi yang lewat. Tidak berapa lama, sebuah taksi berhenti tepat di depannya. Ia langsung masuk dan menutup pintu mobilnya. Sean melihat taksi yang Bian naiki berjalan menjauh dari hotel.Selama hampir satu minggu Sean berkali-kali menghubungi Bian. Namun tak ada jawaba
Setelah mendapat kartu nama Sean dari ibunya, Icha mulai mencari tahu tentang Sean semalaman. Tapi ia tak menemukan sesuatu yang spesial ataupun detail selain Sean Hartono anak konglomerat real estate Rudi Hartono yang berhasil lulus dengan nilai terbaik di salah satu kampus Australia. Pagi menjelang saat Icha membuka matanya, Icha memutuskan untuk datang ke cafe favoritnya pagi ini karena ia masih harus menyelesaikan proposal yang ia kerjakan untuk proyek merger yang seharusnya dirapatkan minggu ini. Icha masih ingat kata-kata Mamanya kemarin, ‘Icha, meeting-nya diundur minggu depan’. What the hell. “Sampai minggu depan diundur lagi, gue rajam si Sean Hartono itu” batin Icha yang tanpa sadar mematahkan pensil mekanik yang digenggamnya. “Eh.. atau gue telepon aja ya orangnya? Siapa tahu gue bisa bikin rapatnya dimajuin” gumam Icha. Setelah berdebat dengan dirinya sendiri yang memakan waktu hampir 30 menit, Icha akhirnya mengeluarkan kartu nama yang disimpannya di dalam buku jurnal
-Jakarta, 13.00 WIB- Sean melangkahkan kaki di bandara internasional di Jakarta, sudah bertahun-tahun ia tidak melihat pemandangan seramai ini. Ia berjalan cepat, karena merindukan Bian, teman masa kecilnya yang berjanji akan menjemputnya di bandara hari ini. Kalau bukan karena Bian, mungkin sekarang Sean masih berada di apartemennya, bangun disebelah wanita yang berbeda dari hari sebelumnya. Sean memutar pandangannya, mencari sosok yang sangat ia rindukan. Masih belum terlihat sosok wanita yang sangat ingin ditemuinya. “Sean!!” seseorang berlari kearahnya dan tanpa basa-basi langsung memeluknya. Sean dengan sigap membalas pelukannya. “I miss you, I miss you so much!” Ujar sosok yang sangat Sean rindukan. Sean memeluk orang itu lebih erat, mencium bau parfum yang selama ini ia rindukan. “Finally.. You are so skinny, Bian” Sean masih memeluk Bian, tak ada sedikit pun niat untuk melepaskan Bian dari pelukannya saat ini. “Okay, It’s embarrassing now, let me go” Bian berusaha lepas
Seorang wanita sedang duduk manis di sebuah cafe di sudut kota Jakarta terlihat sibuk dengan notebook di depannya. Berhari-hari di tempat yang sama ia hanya menatap notebooknya. Suasana cafe yang tenang dan jauh dari keramaian pusat kota membuatnya dapat berpikir lebih jernih begitu dalihnya. “Hey!” Tepukan pelan di pundaknya membuat dia terkejut.“Galih?” Senyum mengembang di bibirnya yang tipis tampak sangat bahagia. Seorang wanita dengan rambut ponytail dan tubuh semampai tersenyum manis saat menyadari teman lamanya yang sekarang duduk di depannya. Pertemuannya kembali dengan Galih membawa kenangan lama mereka saat masih dalam masa-masa kuliah.“Apakabar, Cha?” Galih tersenyum lembut melihat wanita didepannya yang dulu selalu manja saat bersamnya sekarang terlihat lebih dewasa dan tentu saja, cantik.“Baik, lo gimana? Duh kebetulan banget kita ketemu disini. Ih kangen..”. Satu kata terakhir yang keluar dari bibir mungil Icha membuat Galih sedikit malu sekaligus sumringah.“Baik